MALANG benar Indonesia ini. Negara ini sebagian besar
rakyatnya mempercayai zakat sebagai suatu sistem penting untuk
pengentasan kemiskinan dan juga sangat gemar berzakat. Namun keyakinan
ini tak nyambung dengan keyakinan negara.
Bagaimana zakat dikumpulkan, bagaimana zakat di administrasikan dan didistribusikan tak menjadi penting bagi kita. Bayangkan kebijakan strategis Rasulullah ketika membentuk tim Amilin yang berkembang kemudian menjadi baitul maal. Bayangkan juga bagaimana zakat (juga infaq, sedekah, wakaf dll) dihimpun dan didayagunakan untuk pembangunan negara dan dakwah pada masa itu. Kita sering dengar tentang kisah zakat di zaman Umar Bin Abdul Aziz yang fenomenal itu.
Istilah penyaluran zakat sangat menjebak. Karena akhirnya zakat benar-benar disalurkan dan didistribusikan dalam bentuk uang zakat itu sendiri. Lihatkah budaya memberikan amplop uang zakat. Padahal ditetapkannya Amil Zakat adalah untuk memetakan, merencanakan, mengembangkan dan memberdayakan zakat sebagai suatu komponen sumberdaya yang akan memakmurkan ummat. Jadi zakat memang harus didayagunakan, bukan sekadar disalurkan.
Karena targetnya adalah memberdayakan, bukan sekadar keterampilan mendata si miskin, adalah penting memahami anatomi kemiskinan dan menemukan obat bagi penyakit sosial ini. Zakat harus di arsiteki secara terpadu bersama kekuakan pembangunan umat lainnya seperti sektor keuangan, perdagangan, permodalan, asuransi, pariwisata dll. Jadi zakat tak tunggal sebagai obat bagi kemiskinan. Ia harus holistik. Makanya butuh kebijakan kepimimpinan dan aturan yang cantik dan memberdayakan.
Ajaran zakat membuat kondisi kesalehan ummat maneingkat karena zakat mengajak kita semua mengaitkan kehidupan keseharian dengan kewajiban dan penglihatan Allah Swt. Tijaroh dan semua sektor pekerjaan rakyat kita dihitung dengan mengaitkannya dengan kewajiban zakat dan anjuran peduli kepada orang lain.
Maka kondisi ini menciptakan kesalehan ummat. Jangankan mengurangi timbangan atau kecurangan perdagangan lainnya, dari keuntungan halalpun kita diharapkan menyisihkannya buat mereka yang tidak berpunya. Budaya zakat akan membentuk budaya bersih dan adil.
Zakat juga adalah sumberdaya yang tak kunjung henti. Selama kewajiban zakat masih ada, maka zakat adalah sumber daya abadi sampai hari kiamat. Namun keabadian zakat tak berbanding lurus dengan jaminan kecemerlangan zakat.
Tiga unsur zakat yaitu muzakki, mustahik (asnaf) dan Amil adalah penentu zakat berdaya atau tidak. Maka kesuksesan zakat harus serius diupayakan bukan ditunggu atau sekadar dimpikan.
Lalu sudahkan kita ada dalam barisan pendukung konsep zakat?
* Penulis: Moh. Arifin Purwakananta, Direktur Sumber daya Dompet Dhuafa
No comments:
Post a Comment