Penerapan pelayanan berjenjang,
sistem kapitasi, dan standardisasi penggunaan obat mutlak dilakukan agar sistem
asuransi kesehatan sosial berjalan baik.
Demikian
pendapat Direktur Utama PT Askes Fachmi Idris dan Sulastomo, mantan Ketua Tim
SJSN 2001-2004, yang dihubungi secara terpisah, Kamis (23/5/2013), di Jakarta.
Mereka dimintai tanggapan terkait karut- marut pelaksanaan Kartu Jakarta Sehat
(KJS) yang diluncurkan Pemprov DKI Jakarta.
Fachmi
menyatakan, sampai saat ini premi Rp 23.000 per orang per bulan dikelola Unit
Pelaksana Jamkesda Dinas Kesehatan DKI Jakarta. ”Dalam KJS PT Askes hanya
verifikator, apakah klaim rumah sakit telah sesuai dengan INA-CBG. Selain itu,
melakukan pendataan peserta serta membantu informasi teknologi untuk melihat pemanfaatan
fasilitas kesehatan secara real time,” kata Fachmi.
INA-CBG
(Indonesia Case Based Group) adalah sistem pembayaran kepada pemberi pelayanan
kesehatan yang dikelompokkan berdasarkan ciri klinis dan pemakaian sumber daya
yang sama. Besaran tarif INA-CBG ditetapkan National Casemix Centre (NCC)
Kementerian Kesehatan yang saat ini terdiri dari para wakil rumah sakit
pemerintah dan jajaran Kementerian Kesehatan.
Menurut
Fachmi, dalam skema asuransi kesehatan sosial, akses pelayanan kesehatan
dilakukan berjenjang dari fasilitas pelayanan primer, sekunder, hingga tersier.
Pelayanan primer adalah entitas pelayanan kesehatan (puskesmas, klinik, atau
dokter keluarga) yang bertanggung jawab atas kesehatan populasi, sekitar 3.000
penduduk.
Penduduk
yang sakit harus ditangani di pelayanan kesehatan primer. Jika sudah tidak
mampu atau di luar kompetensi pelayanan kesehatan primer, baru pasien dirujuk
ke pelayanan kesehatan sekunder (rumah sakit di daerah). Jika penyakit terlalu
berat, baru dirujuk ke pusat rujukan nasional (RS Cipto Mangunkusumo). ”Pasien
tidak bisa melakukan jalan pintas langsung ke rumah sakit,” kata Fachmi.
Berdasarkan
bukti dari sejumlah negara didapatkan, setiap bulan dari 1.000 penduduk,
sekitar 250 orang berobat. Dari jumlah itu, hanya 21 orang yang harus dirujuk
untuk rawat jalan dan 9 orang dirawat inap di RS daerah. Hanya 1 orang dirujuk
ke pusat rujukan nasional.
Seharusnya kapitasi
Entitas
pelayanan primer dibayar dengan sistem kapitasi, pembayaran jumlah uang
tertentu di depan untuk menjamin kesehatan populasi penduduk. Penduduk yang
sakit dirawat dengan uang kapitasi. Makin sedikit penduduk yang sakit, dokter
makin untung. Karena itu, dokter harus menjaga penduduk tetap sehat dengan
penyuluhan preventif dan promotif. Dokter tidak bisa sembarangan merujuk pasien
ke pelayanan sekunder. Jika yang dirujuk melebihi jumlah wajar, biaya perawatan
dibayar dengan uang kapitasi.
Persoalannya,
kata Fachmi, dalam pelaksanaan KJS, pelayanan primer masih dibayar secara fee
for service (dibayar per pelayanan diberikan kepada pasien). Karena itu,
pelayanan kesehatan berjenjang kurang berjalan karena pelayanan kesehatan
primer bebas merujuk pasien ke rumah sakit.
PT
Askes mendorong penerapan kapitasi di pelayanan primer. ”Pelayanan primer harus
diperkuat dengan pemberian kapitasi yang memadai dan regulasi bahwa dana
kapitasi bisa langsung dimanfaatkan penyedia pelayanan, dokter keluarga maupun
puskesmas. Jadi untuk puskesmas tidak lagi diserahkan ke negara,” kata Fachmi.
Biaya
kapitasi adalah 30 persen premi. Hal itu termasuk untuk penyediaan obat dan
pemeriksaan penunjang. Dengan demikian, tidak ada lagi mismatch alat serta obat
yang diperlukan dan yang tersedia di puskesmas.
Di sisi
lain, rumah sakit dibayar dengan tarif paket INA-CBG yang didasarkan pada
perhitungan rumah sakit pemerintah. Tarif itu menjadi berat bagi rumah sakit
swasta mengingat gaji dokter dan pegawai, serta belanja modal (peralatan, alat
kesehatan, dan obat-obatan) dibiayai sendiri, bukan oleh pemerintah. Karena
itu, tarif INA-CBG kini ditinjau kembali.
Tim di
NCC juga diusulkan ditambah wakil dari BPJS, wakil asosiasi rumah sakit swasta,
akademisi, organisasi profesi serta wakil konsumen.
Terkait
paket INA-CBG, agar tidak merugi provider harus menggunakan obat-obatan yang
bioavailabilitas maupun bioekuivalensi sama dengan obat asli/ paten agar
efisien.
Standardisasi obat
Sulastomo
yang juga mantan Direktur Operasi PT Askes 1986-2000 menekankan, standardisasi
penggunaan obat mutlak dilakukan. Biaya obat adalah 40-45 persen biaya
pelayanan kesehatan. Dengan melakukan efisiensi biaya obat, biaya kesehatan
bisa efisien.
Menurut
Sulastomo, seharusnya pelaksanaan JKS maupun JKN tahun depan mengikuti sistem
Askes. ”Sistem itu sudah teruji selama puluhan tahun, tinggal diteruskan,”
katanya.
Dalam
hal ini, pelayanan kesehatan dilakukan secara berjenjang, pelayanan primer
dibayar dengan kapitasi, rumah sakit dibayar dengan tarif paket, dan obat
menggunakan Daftar dan Plafon Harga Obat (DPHO).
Kapitasi
dan tarif paket harus dihitung sesuai harga keekonomian, karena mekanisme pasar
dalam pelayanan kesehatan tetap berlaku. Jika terlalu rendah, tidak ada
fasilitas pelayanan kesehatan yang mau bergabung.
No comments:
Post a Comment