Sekitar enam bulan lagi, Indonesia memasuki babak baru dalam pelayanan kesehatan. Mulai 1 Januari 2014, pemerintah memberikan jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Jaminan kesehatan menyeluruh bagi rakyat sesungguhnya telah dinanti sejak UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) disahkan pada masa kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri pada 2004. Sayangnya, setelah Megawati lengser program tersebut tak ditindaklanjuti secara serius. Hal itu terbukti dari pengesahan UU BPJS yang baru dilakukan tujuh tahun kemudian, bahkan aturan pelaksanaannya hingga kini belum semuanya beres.
Setidaknya ada empat persoalan yang harus dibereskan maksimal dalam waktu tiga bulan ke depan, agar 1 Januari 2014 BPJS Kesehatan bisa beroperasi dengan baik. Pertama, aturan pelaksana UU BPJS. Masih ada beberapa peraturan pemerintah (PP), peraturan presiden (perpres), dan peraturan menteri (permen) yang harus segera diterbitkan. Sesuai hierarki peraturan perundangan, tentu saja PP yang diprioritaskan untuk diselesaikan, kemudian perpres dan permen. Aturan-aturan tersebut merupakan payung hukum agar berbagai kebijakan yang diambil direksi BPJS sejalan dengan keinginan pemerintah dan rakyat.
Kedua, iuran peserta. Sampai saat ini pemerintah telah mematok besaran iuran peserta BPJS Kesehatan Rp 15.500 per orang per bulan. Besaran tersebut masih jauh dari premi yang dihitung sejumlah kalangan. Misalnya, Kementerian Kesehatan mengajukan angka Rp 23.000, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Rp 27.000, bahkan premi peserta PT Askes yang segera berganti baju menjadi BPJS Kesehatan Rp 40.000.
Dari angka-angka tersebut, kita menilai iuran Rp 27.000 cukup rasional dan tidak terlalu memberatkan semua pihak. Apalagi, saat ini sebetulnya pegawai negeri sipil, TNI/Polri, pegawai swasta dan buruh, sudah dipotong penghasilannya 5 persen untuk mendapatkan jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, dan jaminan pensiun dari PT Jamsostek yang pada 1 Juli 2015 menjadi BPJS Ketenagakerjaan, PT Askes, PT Taspen, dan PT Asabri. Tak hanya itu, pemberi kerja, yakni pemerintah dan perusahaan swasta menambah iuran tersebut sekitar 9 persen.
Sebagai gambaran, dengan rata-rata upah minimum provinsi (UMP) Rp 2 juta, setiap pekerja dipotong Rp 100.000. Bila ditambah iuran dari pemberi kerja Rp 180.000, dalam sebulan terkumpul Rp 280.000. Bila akhirnya iuran BPJS Kesehatan Rp 27.000, masih tersisa Rp 253.000 yang bisa dikelola BPJS Ketegakerjaan untuk memberi jaminan kecelakaan kerja, pensiun, hari tua, dan jaminan kematian.
Ketiga, penerima bantuan iuran (PBI). Kita sadar pemerintah memiliki keterbatasan anggaran, sehingga belum bisa menerima besaran iuran Rp 27.000. Namun, bila ada political will, pemerintah bisa melakukan realokasi anggaran mulai tahun 2014. Dengan menaikkan harga BBM bersubsidi, pemerintah bisa berhemat sekitar Rp 97 triliun. Dari jumlah tersebut, hanya sekitar Rp 30 triliun untuk kompensasi bagi rakyat miskin, sehingga masih ada Rp 67 triliun yang bisa dialokasikan buat PBI dan juga pembangunan infrastruktur.
Sedangkan menyangkut jumlah PBI, pemerintah hanya akan mengalokasikannya pada 86,6 juta orang. Padahal, beberapa lembaga menghitung jumlah orang miskin yang seharusnya dibantu mencapai 120 juta orang. Untuk mengatasinya, di samping realokasi anggaran, Direktorat Jenderal Pajak harus terus didorong meningkatkan penerimaan negara. Masih banyak warga yang mampu, tetapi tidak membayar pajak semestinya. Masih banyak perusahaan yang mengemplang pajak dan berkongkalikong dengan fiskus. Bila hal itu bisa diatasi, penerimaan negara akan bertambah signifikan dan semakin banyak pula rakyat miskin yang bisa dibantu.
Keempat, sosialisasi. Masalah ini tidak bisa dianggap sepele karena berkaitan dengan pelayanan kesehatan bagi 240 juta penduduk. Masyarakat harus paham bahwa tidak semua penderita harus dibawa ke rumah sakit. Penyakit-penyakit ringan bisa diatasi di tingkat puskesmas pembantu dan puskesmas di desa, kelurahan, dan kecamatan. Bila lebih berat, penderita bisa dibawa ke rumah sakit tingkat kabupaten dan bisa berlanjut ke tingkat provinsi dan pusat. Bila mekanisme itu dijalankan dengan baik, kita yakin BPJS Kesehatan dan kelak BPJS Ketenagakerjaan merupakan program konkret untuk menyejahterakan rakyat, sekaliguslegacy Presiden SBY. (www.beritasatu.com)
No comments:
Post a Comment