Mus
Aida, Ketua Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia mengatakan, ketidak-puasan RS
swasta atas tarif klaim pelayanan pasien Kartu Jakarta Sehat (KJS) bukan
berarti ingin menghambat program Gubernur Joko Widodo. Hanya, ARSSI memendam
sejumlah harapan kepada pemerintah dalam menjalankan program ini. “Yang
penting, kami tidak rugi,” ujarnya Selasa 4 Juni 2013.
Pertama,
RS swasta berharap pemerintah mendasarkan perhitungan tarif klaim pelayanan
dengan biaya tahun 2013. Sedangkan yang dipakai Dinkes dalam sistem klaim
Indonesia Case-based Group masih tarif tahun 2009. Sehingga, meski klaim RS
dipenuhi 100 persen pun, RS swasta masih tetap merugi.
Dia
mempertimbangkan faktor inflasi yang mempengaruhi biaya pelayanan. “Bayangin
inflasi naik berapa persen.” Belum lagi Upah Minimum Karyawan yang juga
berubah. “Harus ada adjustment UMK.”
Kedua,
RS swasta berharap, ada perjanjian kerjasama berbentuk formal antara pemerintah
DKI dengan RS swasta. “MoU saja tidak cukup kuat ikatan hukumnya.” Tanpa ikatan
yang jelas, peluang perselisihan di masa mendatang terbuka lebar. “Kami
khawatir bakal ada malprestasi.”
Ketiga,
ARSSI juga berharap pemerintah memberi insentif kepada RS swasta yang membantu
program pemerintah. Menurut Aida, ini sudah diatur dalam Undang-Undang Rumah
Sakit Nomor 44 tahun 2009. “Harusnya ada bantuan insentif, misalnya keringanan
pajak untuk RS swasta.” Ketentuan ini sudah lama ada, tapi belum ada turunan
seperti peraturan menteri. Persoalan KJS dirasa bisa jadi momentum membuatnya
konkret.
KJS
adalah salah satu program unggulan Gubernur DKI Joko Widodo. Namun
pelaksanaannya tidak mulus. Sebanyak 16 RS swasta nyaris mundur serentak dari
program ini karena tarif tagihan pelayanan KJS kepada Dinkes tidak sesuai. RS
tidak dibayar penuh per 1 April lalu.
No comments:
Post a Comment