* Ridwan
Monoarfa
Anggota
DJSN
Persoalan
besaran iuran jaminan sosial yang mesti dibayar pekerja (buruh) menjadi isu
krusial menjelah dioperasikannya BPJS Kesehatan mulai 1 Januari 2014 nanti. Tarik
ulur masih terus berlangsung. Padahal, buruh sangat lekat dengan prinsip gotong
royong alias bekerja bersama sebagai bagian dari prinsip iuran jaminan
kesehatan. Benarkah? Mari kita ikuti pernyataan Anggota Dewan Jaminan Sosial
Nasional (DJSN) Ridwan Monoarfa
berikut:
Bagaimana latar belakang Anda masuk
DJSN?
Ya
sebenarnya sejak UU SJSN ditetapkan, memang kemudian untuk pertama kalinya,
wakil dari serikta buruh itu ditunjuk. Ditunjuk oleh kementerian yang terkait,
yakni Kemenakertrans. Tapi proses penunjukan itu melalui proses organisasi
pekerja yang duduk, sebab konfederasi yang duduk. Konfederasi itu gabungan dari
federasi2 serikat pekerja. Jadi memang topnya tingkat nasional itu konfederasi.
Konfederasi yang mewakili di DJSN ini dua, Konfederasi Serikat Pekerja
Indonesia yang saya wakilkan dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia.
Saya yang mewakili dari KSPI ini, oleh rapat KSPI itu ditunjuk karena untuk
duduk di sini ada persyaratan: usia di bawah 60 tahun dan sarjana. Itu yang
paling pokok. Kemudian dilihat dari yang ada di KSPI, saya yang dipilih. Memang
ada juga yang lain memenuhi syarat, tapi sudah ada jabatan.
Prosesnya
adalah proses pilih yang dilakukan oleh rapat. Sebelumnya saya tidak tahu
persis. Tapi kemudian saya diminta oleh organisasi KSPI untuk mewakili duduk di
sini.
Lalu apa yang terbayang di benak
Anda ketika masuk ke DJSN?
Saya
waktu itu membayangkan ini satu wadah untuk kita menempatkan menyuarakan
aspirasi pekerja dalam pelaksanaan jaminan sosial. Jadi saya menyuarakan
aspirasi2 buruh. Waktu itu saya sudah dipesankan oleh kawan2 di KSPI itu tiga
hal: yakni pelayanan kesehatan seumur hidup, tanpa batasan, dan semua jenis
penyakit. Saya kira aspirasi itu sudah masuk. Jadi kalau kemudian ada jaminan
kesehatan komprehensif, juga mempertimbangkan aspirasi buruh ini, untuk semua
penyakit dan tidak ada batasan. Karena buruh merasakan betul. Kalau penyakit2
katroskopi itu tidak ditanggung, di situ lah persoalanan. Banyak perusahaan
tidak menanggung itu. Dulu Jamsostek tidak menanggung itu, sekarang sedang
diusahakan. Katroskopi itu seperti penyakit kanker, cuci darah, dan sejenisnya.
Saya
merasa form mewakili mereka, hal yang diminta kawan2 itu terakomodasi. Ini satu
situasi yang baik, Kemenkes memahami betul. Dari sisi medis, pertama orang
sakit itu ya dipulihkan. Jadi tidak harus dikenal atau ditanya wah ini penyakit
tidak dicover di sini.. dari kalangan medis sendiri menyembuhkan penyakit orang
kan tugas profesi.
Jangan
dikira menanggung penyakit komprehensif ini tidak ada tekanan2. Banyak juga
yang tidak sependapat ...oh ini penyakit mahal. Tapi saya kira Kemenkes bertemu
dengan aspirasi buruh yang kuat, sangat mempengaruhi keputusan atas jenis2
penyakit yang dijamin.
Selain soal pelayanan kesehatan yang
komprehensif, aspirasi apa lagi yang berhasil Anda perjuangkan?
Hal yang
lain soal pensiun. Pensiun ini sudah menjadi bagian, masa orang bekerja sekian
lama kok sengsara. Memang ada jaminan hari tua, tapi tidak memadai, tidak
memenuhi syarat kita untuk memiliki income
lagi. Dengan jaminan pensiun ini diharapkan, walaupun kita sudah tidak bekerja
lagi, mereka tetap memperoleh pendapatan. Mungkin pendapatannya tidak sebesar dibandingkan
ketika masih bekerja. Sekarang sedang diformulasikan berapa besarnya. Kawan2
buruh menginginkan formulasi manfaatnya secara dasar mencukupi. Pengertian
cukup itu tidak membebani pihak lain.
Apa tantangan untuk mencapai pelayanan
kesehatan yang komprehensif?
Situasi
berubah, sikap kita ternyata tidak berubah. Contoh paling gampang, dulu atau
selama ini buruh tidak merasa membayar iuran. Sekarang, sistemnya sudah diperbaiki,
tidak ada lagi diskriminasi, kita sadari bahwa kita harus berubah, ya mesti membayar
iuran karena UU mensyaratkan demikian. Kalau saya membayar iuran, sebagai
buruh, ke depan saya menjunjung sikap solidaritas atau gotong royong. Karena
gotong royong atau solidaritas itu ideologi buruh. Dalam sistem jaminan sosial
sekarang ini ada prinsip gotong royong. Artinya, sudah sesuai dengan aspirasi. Nah,
di mana gotong royong itu, ya di iuran tersebut. Modal gotong royong itu,
khususnya di sistem kesehatan, pemerintah/negara membantu yang miskin, pengusaha
dan buruh sama2 membayar iuran, yang sehat membantu yang sakit, yang sehat kan
iurannya gak kembali karena dipakai oleh yang sakit. Di situlah prinsip kegotong-royongan.
Dalam pandangan saya, prinsip gotong royong ini yang harus dikuatkan oleh
serikat buruh untuk diperbarui setiap saat. Karena di situ ada ideologi buruh
yang kuat. Menjadi tantangan bagi saya untuk meyakinkan kawan2 terhadap isu
ini, terhadap perwujudan prinsip gotong royong ini.
Ini
bukan pekerjaan gampang. Sejauh ini kami terus menjalin dialog2. Saya optimis
hal ini makin hari makin ada pengertian yang kuat. Karena dulu lihat saja, gak
bayar, sekarang sudah mau tapi minta secara bertahap. Sudah ada perubahan,
pemahaman dan pengertian. Dan semakin disadari gotong royong ini yang
menjadikan sistem ini semakin kuat. Sistem ini akan bekerja baik kalau sesama
warga negara saling tolong-menolong.
Saya
kira hal itulah yang mendasar. Tantangannya soal waktu saja. Kalau sistem makin
baik, manfaat juga baik, akan muncul kesadaran di masyarakat akan arti penting
jaminan sosial. Sistem harus dipelihara secara baik karena di sinilah ada
hubungan antara negara dan warga masyarakat. Hubungan semakin diperkuat.
Masyarakat semakin berkontribusi pada sistem jaminan kesehatan nasional.
Mengapa sepertinya soal konsensus
pekerja mengiur ini berjalan alot?
Watak
kaum buruh itu suka membantu orang. Saya ini pengelola serikat buruh, sebagai
pimpinan lho, ketua salah satu serikat pekerja di Panasonic Gobel Group. Waktu
saya pimpin, sistem ini kan belum ada. Kami biasa bergotong-royong membantu
kalau ada pekerja yang sakit walaupun perusahaan tidak menanggung. Apa yang
kita bantu? Biaya2 dari keluarga yang datang dari kampung. Di situ lah buruh
kumpul duit untuk mengongkosi keluarga. Artinya, suasana itu sudah ada tapi
masih bersifat kelompok, baru kesadaran sosial, belum sistem. Sekarang sudah
berusaha disistemkan, diundangkan, jadi semakin kuat posisinya. Justru kita
harus makin maju melihat bahwa iuran kita itu terkait dengan harga diri. Kalau
kita membayar maka kita merasa memiliki sistem ini. Yang kemudian kita
mengontrol. Bukan dalam arti psikologis tapi dalam tindakan2 kontrol kita bisa
lakukan. Karena kita yang membiayai, kita berjuang, kita mengambil peran. Di
situlah kontrol kita apakah sistem bekerja secara baik. Jangan ada yang
korupsi, jangan disalah-gunakan, pelayanan baik atau tidak, di sinilah fungsi
kita. Karena kita berkontribusi, itu harga diri namanya.
Ke depan apa harapan Anda?
Akhirnya
kalau sistem ini berjalan baik, kembali kepada perusahaan kita, perbaikilah
hubungan industrial di tingkat perusahaan, bangunlan sikap kerjasama antara
pengusaha dan pekerja untuk memajukan perusahaan, dan kesejahteraan buruh harus
terjamin dan terus-menerus. Harapan kami dalam membangun sistem jaminan sosial
ini ada dua hal yang harus diperhatikan oleh negara maupun pengusaha: pertama, pekerjaan itu harus bisa
dijamin secara terus-menerus sehingga buruh bisa bekerja secara baik. Jadi
memang buruh kontrak itu problem karena tidak punya jaminan bakal bekerja
terus-menerus. Kedua, berikan
pendapatan yang menjadi bagian purchasing
buruh untuk menguatkan secara makro sekaligus membantu sistem ini menjadi kuat.
Itulah mengapa buruh harus membayar iuran. Bayangkan masa punya upah gak bisa
bayar iuran. Di sinilah jaminan pekerjaan dan jaminan pendapatan menjadi
penting. Ini hanya bisa terwujud apabila hubungan industrial di tingkat
perusahaan berlangsung baik. Pengusaha harus melihat pekerja itu bukan siapa2,
mereka adalah bagian dari perusahaan. Dan karena itu harus dijaga. Caranya jaminan
sosial itu harus bisa berlangsung dengan syarat ada jaminan pekerjaan dan
jaminan pendapatan. Itulah harapan yang paling kuat.
Memang
banyak negara mengatakan wah negara beri semuanya, itu negara luar. Negara kita
sedang tumbuh kok. Kita ini direbut pasarnya oleh perusahaan asing, kok tidak
yakin, apa gunanya merdeka. Yang mau saya katakan adalah saat terjadi perubahan
di dunia internasional jangan lantas ikut2an. Sebagai bangsa yang merdeka kita
punya strategi buat mengatur sendiri. Bangsa ini sedang tumbuh besar, bahkan
menjadi sorotan dunia, bahwa perkembangan ekonomi ada di Indonesia. Jangan
ketika terjadi krisis ekonomi di Barat, karena mereka sudah penuh, kita kan
tidak. Kita kan baru mulai, gitu lho. Jangan saat membangun ini lantas pakai
alasan2 di atas, itu ahistoris namanya, tidak sesuai dengan pertumbuhan sejarah
kita. Industri kita belum apa2, pasar kita diambil kok. Jangan takut membangun
sistem jaminan sosial karena takur bersaing. Oo yang bersaing siapa. Jangan
lupa industri negara maju itu tumbuh karena purchasing
dari buruhnya. Cuma lagi2 mereka sudah full.
Kita masih terbuka luas industri tumbuh lebih luas lagi.
Harapan
saya SJSN ini mereorientasikan kita bagaimana menata hubungan industrial itu ke
depan. Mari kita bersama2 melihat sistem jaminan sosial ini harus berjalan baik
dengan satu sikap saling kerja sama buruh, pengusaha dan pemerintah.
Ini
penting sekali, pengusaha harus berubah mentalnya atas sikapnya melihat pekerja
seolah2 sebagai orang yang berada di bawahnya. Jangan lagi melihat pekerja
seperti majikan melihat PRT di rumah. Majikan jangan melihat buruh seperti itu.
Sebaliknya buruh jangan melihat majikan selalu eksploitatif. Karena itu kalau
kita bisa bangun sistem jaminan pekerjaan terhadap pekerjanya, dia bisa bekerja
terus-menerus, memperoleh income yang layak, punya jaminan sosial, saya yakin
negara ini akan menjadi lebih kuat. Hubungan industrial di perusahaan akan
terbangun dengan baik. Lagi2 kita harus mengubah mindset.
Apa yang menjadi keberatan kalangan
buruh atas iuran SJSN ini?
Problem
buruh itu banyak dan banyak pula pemimpinnya. Kita ada di alam demokrasi, tidak
boleh memaksakan satu terhadap yang lain. Kemudian berpendapat beda dimaklumkan
di alam demokrasi. Problem adalah ketika mencari konsensus di dalam perbedaan
ini. Saya kira kita masih perlu belajar dalam mencari konsensus dalam berbeda
pendapat. Contoh paling kongkret soal jaminan sosial tadi, ada yang setuju
bayar, ada yang tidak setuju bayar. Oo jangan ini tanggung jawab negara. Ini
kan pendapat. Tapi ketika dicari konsensus sulit, masing2 pihak begitu,
akhirnya tergantung pemerintah. Kita tentu tidak bisa membayangkan ada kelompok
serikat buruh yang menolak UU SJSN, tidak bisa dibayangkan ini buruh siapa? Itulah
karena terlalu banyak kelompok tadi. Dan pemimpin buruh punya banyak latar
belakang. Di sinilah perbedaan itu. Tapi sekali lagi, kalau perbedaan itu kita
hargai bagian dari demokrasi, jangan lupa konsensus harus dicapai. Kalau tidak
maka ya seperti ini.
Soal premi ini kan ada porsi buruh
dan pengusaha, berapa?
Harus
dikembalikan kepada perhitungan keekonomian. Ada variabel2 mengapa iuran itu
besarnya sekian. Setelah dikaji dari berbagai sudut ya angka lima persen itu. Kalau
kita mau fair dengan keadaan, kalau
kita lihat eksisting rata-rata jadi 4,5 persen, dengan sistem yang baru kan
tinggal tambah 0,5 persen dari biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan yang
lima persen, terlepas siapa yang bayar: pengusaha atau buruh. Buruh atau
pengusaha yang bayar itu soal administrasi, karena iuran itu diambil dari
perusahaan. Perusahaan itu hidup karena ada kerjasama majikan dan pekerja. Mau
4:1 atau 3:2 ya diambil dari perusahaan. Sebab, buruh kan tidak bawa uang dari
rumah lalu bayar premi. Oo tidak. Nanti di labour
cost, biaya buruh, itu terbaca betul gaji berapa, bayar iuran jamsostek
berapa, pajak, biaya piknik, biaya baju. Semua itu masuk komponen biaya buruh. Itu
lah yang mempengaruhi harga produk kita. Kemudian konsumen bayar itu. Karena
produk bagus, konsumen bisa menikmati.
Lagi2
sebenarnya besaran 5 persen itu harus dilihat dari perusahaan kita. Sanggup
ataukah tidak, itu harus dicek di labour
costnya. Berapa labour cost
Indonesia, masih di bawah 10 persen. Artinya yang dibicarakan ini 10 persen di
dalam 90 persen cost. Terlalu relatif kecil. Tapi kalau kita tarik nominal
seolah2 besar. Cuma saya harus mengatakan, terkait dengan padat karya, kita
harus siap betul. Karena padat karya ini biasanya komponen labour costnya
tinggi sekali. Tapi kita harus cek betul, pengusaha harus jujur lah. Tapi untuk
bayar kesehatan, dibandingkan dengan negara2 ASEAN, Indonesia masih kecil.
Semangat
kawan2 berharap pemerintah membantu buruh formal dalam pelayanan kesehatan ini.
Jadi 1/3 buruh, 1/3 pengusaha dan 1/3 pemerintah. Tanggung jawab bersama lah,
maunya begitu. Tapi pemerintah kita ka wah fiskal, fiskal... ya sudahlah.
Padahal kalau pemerintah bayar itu kan menstimulasi. Perusahaan akhirnya ikut
semua. Kalau tidak kita kehilangan opportunity,
30 persen yang dibayar pemerintah tidak kita gunakan. Saya kira menarik kalau
pemerintah ikut, tiga pihak kan. Tapi pemerintah bilang kan untuk pertama kali
buat yang tidak mampu dulu lah. Artinya, buruh bisa meminta, kalau terima upah
minimum itu dianggap tidak mampu, karena upah itu hanya cukup buat makan, tidak
cukup buat bayar premi jaminan kesehatan. Kita berharap dapat PBI juga. Harapannya
begitu.
Ini
semua saya kira isu2 penting yang mesti kita lihat. Bagi saya yang penting
pertama pastikan kita terdaftar sebagai anggota peserta jaminan sosial. Pastikan
itu.
Bagaimana dengan pekerja mandiri
atau informal?
Untuk
buruh informal kami juga perjuangkan. Iuran mreka biasa dalam bentuk nominal,
misal Rp20.000-an untuk yang standar, yang di atas standar bisa Rp40.000-an.
Mereka cukup peduli pada kesehatan dan mereka sudah nanya2 karena melihat
sistem sekarang ini lebih bagus.***
No comments:
Post a Comment