"Dua bulan tersisa, baru ada
dua buah peraturan pelaksana BPJS Kesehatan yang diterbitkan."
Presiden
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, mendesak pemerintah
untuk serius menyiapkan pelaksanaan BPJS, khususnya BPJS Kesehatan. Pasalnya,
batas waktu persiapan itu akan berakhir dua bulan lagi karena BPJS Kesehatan
harus beroperasi pada 1 Januari 2014. Sayangnya, sampai saat ini pemerintah
diniliai lamban dalam melakukan persiapan. Salah satunya dalam menerbitkan
peraturan pelaksana yang berfungsi sebagai landasan berjalannya BPJS Kesehatan.
Sampai saat
ini Iqbal mencatat pemerintah baru menerbitkan dua peraturan pelaksana BPJS
Kesehatan yaitu Perpres Jaminan Kesehatan (Jamkes) dan PP Penerima Bantuan
Iuran (PBI). Namun, kedua peraturan tersebut dalam proses perbaikan dan sampai
sekarang belum selesai. Di samping itu masih terdapat hal penting lainnya yang
harus masuk dalam regulasi itu seperti ketentuan mengenai manfaat dan iuran.
“Kalau peraturan itu belum direvisi dan tak kunjung diterbitkan sampai batas
waktu BPJS Kesehatan yang tinggal 2 bulan lagi harus beroperasi, maka
pemerintah berpotensi melanggar hukum,” katanya dalam jumpa pers di Jakarta,
Jumat (18/10).
Terkait
iuran BPJS Kesehatan, Iqbal menekankan tiga hal penting yang perlu diperhatikan
pemerintah bagi pekerja formal. Pertama, bagi pemberi kerja yang selama ini
sudah membayar iuran jaminan kesehatan bagi para pekerjanya dan besarannya
melebihi iuran BPJS Kesehatan yang ditetapkan pemerintah maka pekerja tidak
perlu membayar iuran. Sehingga, seluruh iuran bagi pekerja ditanggung
pengusaha. Sebab, mendengar rencana pemerintah, pengusaha menanggung iuran
sebesar 4 persen dan pekerja 0,5 persen. “Misalnya, pengusaha selama ini mampu
membayar 5 persen, maka pekerja tidak perlu mengiur,” ucapnya.
Kedua, jika
pemberi kerja selama ini sudah memberi jaminan kesehatan yang lebih baik atau
di atas besaran iuran BPJS Kesehatan, Iqbal melanjutkan, maka harus dilakukan
mekanisme top up. Misalnya, iuran BPJS Kesehatan sebesar 4,5 persen, namun
selama ini pengusaha mengiur jaminan kesehatan untuk pekerjanya 10 persen, maka
pengusaha tetap membayar 10 persen kepada BPJS Kesehatan. Kemudian, pekerjanya
yang menjadi peserta BPJS Kesehatan mendapatkan pelayanan top up. Contohnya,
jika peserta BPJS Kesehatan mendapat pelayanan kesehatan di fasilitas kelas II,
maka dengan mekanisme top up peserta yang bersangkutan mendapat fasilitas kelas
I.
Ketiga,
iqbal mengatakan jika pemerintah masih menginginkan pekerja untuk mengiur 0,5
persen, maka harus diberlakukan pada 2015 dan bukan 1 Januari 2014. Baginya,
hal itu selaras dengan peraturan perundang-undangan tentang Jamsostek yang
masih berlaku ketika BPJS Kesehatan beroperasi tahun depan. Iqbal melihat dalam
ketentuan itu, pengusaha selaku pemberi kerja menanggung penuh jaminan
kesehatan pekerjanya.
Beberapa
catatan penting terkait iuran itu menurut Iqbal harus diperhatikan pemerintah
dengan serius agar pelaksanaan BPJS Kesehatan menjadi jelas. Iqbal mengaku
telah menyampaikan usulan itu kepada Presiden RI dan para menteri terkait. “Hal
ini nantinya jadi preseden bagi pelaksanaan BPJS Ketenagakerjaan,” tandasnya.
Sebelumnya,
Ketua DPN Apindo, Sofyan Wanandi, mengatakan belum ada kesepakatan antara pihak
pengusaha dan serikat pekerja mengenai besaran iuran BPJS Kesehatan. Selain itu
ia mengingatkan agar pemerintah berhati-hati dalam mempersiapkan dan
melaksanakan BPJS Kesehatan ataupun Ketenagakerjaan. Pasalnya, jika unsur
kehati-hatian tidak diperhatikan, Sofyan khawatir Indonesia akan mengalami
kebangkrutan yang sama seperti Yunani. “Untuk besaran iuran belum ada
kesepakatan,” urainya.
Sementara,
Direktur Lembaga Analisis Kebijakan dan Advokasi Perburuhan (Elkape), German E
Anggent, melihat pekan depan Presiden RI berencana mengadakan pertemuan dengan
pimpinan PT Askes di Sukabumi, Jawa Barat. Ia berharap pertemuan itu dapat membahas
dan mencari solusi atas berbagai hambatan yang selama ini dihadapi dalam
persiapan pelaksanaan BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan. Misalnya, rumitnya
proses birokrasi dalam pembahasan peraturan pelaksana BPJS.
Bagi
Anggent, Presiden harus memberi perhatian khusus terhadap persiapan pelaksanaan
BPJS karena batas waktu transformasi BPJS tinggal dua bulan lagi. Sedangkan,
sampai saat ini pemerintah baru mampu menghasilkan dua regulasi terkait BPJS,
yaitu Perpres Jamkes dan PP PBI. Padahal, masih terdapat sejumlah peraturan
lainnya yang wajib diterbitkan pemerintah seperti RPP Aset dan Liabilitas BPJS
Kesehatan dan Pengelolaan Dana Jaminan Sosial atau dikenal dengan RPP Alma.
Serta RPP tentang Kelembagaan BPJS Kesehatan.
Tak
ketinggalan Anggent menekankan agar dalam proses pembentukan peraturan
pelaksana, masyarakat sipil yang selama ini mengawal pelaksanaan BPJS harus
dilibatkan. Sehingga, kebijakan dan regulasi yang dihasilkan sesuai dengan
harapan masyarakat. Langkah itu penting agar tidak mengulang kejadian yang sama
ketika Perpres Jamkes dan PP PBI diterbitkan yang ujungnya masyarakat menuntut
untuk dilakukan revisi.
Selaras
dengan itu dalam pertemuan antara Presiden RI dan PT Askes pekan depan di
Sukabumi, Anggent mengatakan kelompok masyarakat sipil yang mengawal
pelaksanaan BPJS layak dilibatkan. Hal itu diperlukan untuk mendorong
sosialisasi tentang BPJS ke tengah-tengah masyarakat. Sebab, Elkape memantau di
sejumlah provinsi, masyarakat belum mengetahui apa itu BPJS. “Mereka hanya tahu
iklan BPJS di televisi tanpa mengerti apa BPJS,” paparnya.
Mengingat
pemerintah sudah melakukan pilot project BPJS Kesehatan di beberapa daerah,
Anggent berharap agar dilakukan evaluasi untuk mengetahui dan memperbaiki
kelemahan yang ada. Tentu saja evaluasi itu dilakukan dengan melibatkan
masyarakat di daerah yang bersinggungan dengan pilot project tersebut karena
mereka yang mengalami langsung bagaimana pelayanan yang diberikan dan mekanisme
rujukan yang dijalankan. (www.hukumonline.com)
No comments:
Post a Comment