Program
Jamkesmas dan Jampersal dipandang merupakan cerminan keberhasilan dan tantangan
yang akan dihadapi dalam skema asuransi kesehatan universal Indonesia
mendatang.
Meski masih
banyak mendapat kritik skema program layanan kesehatan pemerintah dinilai punya
kontribusi penting dalam upaya memperbaiki taraf kesehatan masyarakat.
Penilaian
ini ditujukan terhadap Jamkesmas (digulirkan sejak 2006) dan Jampersal (sejak
2012) yang diklaim memberi layanan gratis pada sedikitnya 89 juta orang pada
tahun lalu.
"Tentu
banyak kekurangannya, tetapi karena kita anggap cukup baik maka kita teruskan
menjadi Klik BPJS," kata Nizar Shihab dari Komisi X DPR, yeng membawahi
isu kesehatan dan menjadi ketua tim pembahas UU Badan Penyelenggara Jaminan
Ssosial tahun 2011.
Nizar
mencontohkan adanya perbaikan di sektor layanan primer kesehatan termasuk dalam
kualitas, akses dan infrastruktur setelah digulirkannya Jamkesmas.
"Dari
berbagai model layanan kesehatan yang pernah ditawarkan pemerintah selama ini,
Jamkesmas adalah yang terbaik karena bahkan meng-cover fasilitas cuci darah dan
operasi jantung," tambah Nizar.
Marius
Widjajarta, pegiat kesehatan, membantah berbagai klaim ini.
"Anda
bisa saja mengobati jutaan orang tiap hari, tetapi dengan kualitas seperti apa?
Sembuh atau malah tambah sakit?" serunya.
Teriak-teriak
Marius
adalah pendiri Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia yang sejak
lama menjadi salah satu pengkritik utama layanan kesehatan di Indonesia.
Pangkal
persoalan penetapan anggaran serta tolok ukur layanan kesehatan Indoensia,
menurut Marius tak kunjung dapat disepakatai karena tak ada standar baku yang
disebutnya Standar Pelayanan Medis.
"Kalau
standar nya belum ada, bagaimana kita mau menentukan demam typhoid harus
dirawat dengan apa, rujukannya bagaimana?" tambahnya.
Akibat
ketiadaan acuan ini menurut Marius, masing-asing praktisi kesehatan termasuk
rumah sakit membuat sendiri-sendiri standar aturan mereka yang tercermin dari
besaran biaya dan bentuk layanan yang berbeda-beda padahal untuk merawat pasien
dengan kondisi medis yang sama.
"Saya
terus teriak-teriak, buat dulu standarnya. Yang ada sekarang baru Standar Audit
Pelayanan Medis, ini juga aneh. Lha yang diaudit malah belum ada
standarnya," serunya sambil terkekeh.
Tetapi
Marius tak membantah sebagian besar masyarakat, terutama Klik kalangan
menengah-bawah, sangat terbantu oleh secarik kartu berisi jaminan layanan
kesehatan ini.
Kristina
Lasarompon, 46, warga Rajawali Kelurahan Lette, Makassar Kota mengatakan
Jamkesda 'menyelamatkan' hidup adiknya, Rita, 16 tahun.
"Tadinya
kita mau masuk ke RS dengan memakai uang sendiri biar dapat ngutang karena
memang sudah loyo sekali to, muntah-muntah terus," kata Kristina.
Justru di
RS Labuang Baji, salah satu RS milik pemerintah setempat, ia mendapat
penjelasan meski si adik bukan warga Makassar ia tak perlu bayar kalau bisa
dicarikan surat pengantar warga tak mampu dari RT/RW dan kelurahan.
"Tidak
jadi kita utang, adik saya dapat dirawat lima hari sembuh sudah," kisahnya
girang.
Cerita
seperti ini, menurut Direktur RS Labuang Baji Dr Enrico Marentek mencerminkan
besarnya peran jaminan kesehatan gratis bagi masyarakat.
"Bahkan
dalam kondisi emerjensi, layanan langsung diberikan, surat-surat bisa tunggu
kemudian," kata Dr Enrico.
Eniros
Rumengan juga tak punya dokumen lengkap meski sudah puluhan tahun tinggal di
Jakarta Utara.
Perempuan
lajang ini punya penyakit vertigo yang parah dan penghasilannya sebagai buruh
di Kampung Beting Remaja, Kramat Tunggak Jakarta Utara tak memungkinkannya
untuk berobat ke dokter umum.
Susahnya,
daerah tempat tinggal baru mulai awal tahun ini diakui resmi sebagai bagian
dari DKI Jakarta sehingga tak semua penduduk di sini punya KTP dan Kartu
Keluarga, dua syarat berobat dalam skema Kartu Jakarta Sehat, program Jamkesda
ala Jakarta.
"Untungnya
kita tinggal ke tempat pak RT/RW, minta pengantar. Kalau nggak bisa begitu, wah
nggak tau lah gimana saya bisa berobat," kata Eniros.
Keluarga
Edi tak kebagian kartu Jamkesmas/Jamkesda meski sangat layak menerima.
Banyak yang
memuji, Jamkesmas dan Jamkesda juga kerap memantik protes.
Seperti
kasus beras miskis dan bantuan tunai, di berbagai provinsi masih muncul kasus
penerima kartu yang dianggap tak sesuai. Dalam banyak kasus, penerima kartu
Jamkesmas ternyata ada pula yang diberi kartu Jamkesda.
Sialnya,
ada yang justru tak terima kartu sama sekali, seperti dialami keluarga Edi,
seorang tukang becak beranak tiga di Mariso, Makassar.
"Memang
bisa minta surat ke keluarahan, tapi kalau sakit malam-malam atau petugasnya
lagi tak ada bagaimana?" gugat Edi.
Kritik lain
menurut Marius Widjajarta, adalah pasien miskin yang tak tahu sebenarnya hanya
mendapat 'layanan sekadarnya'.
"Memang
kalau perlu dibedah ya dibedah, tetapi saya dengar dari seorang dokter di
Padang, dijahitnya dengan benang bawah standar," kata Marius tanpa merinci
siapa dokter yang dimaksudnya.
Ia juga
menyoroti bagaimana pasien harus menunggu berjam-jam untuk mendapatkan giliran
layanan, sangat berbeda dengan layanan swasta yang umunya dijual RS pada sore
hari.
"Artinya
kalau ada standar layanan yang sama, itu masih jauh, belum terjadi,"
tukasnya. Eniros Rumengan mengakui hal ini.
"Kalau pas dapat giliran untuk scan
kepala ya, tunggunya seharian pagi ampe sore. Kali yang gilirannya cepet buat
yang sanggup bayar"
"Kalau
pas dapat giliran untuk scan kepala ya, tunggunya seharian pagi ampe
sore," katanya santai. Eniros tak mempersoalkan hal ini, karena merasa
bersyukur bisa dilayani.
"Kali
yang gilirannya cepet buat yang sanggup bayar," katanya terus terang.
Saidah juga
mengaku bersyukur mendapat fasilitas Jamkesda di Kabupaten Bekasi.
Ibu tiga
anak yang bersuami tukang kebun sebuah kantor instansi pemerintah di Bekasi ini
melahirkan tiga anak di rumah sakit pemerintah, seluruhnya gratis. Namun anak
ketiganya, Muhammad Farhan Ramadhan, menderita atreasia bilier (lahir tanpa
anus) saat lahir than 2012.
"Ya
biar pun rumah sakitnya gratis, nebusnya tetep harus bayar 1,5 juta soalnya kan
langsung dioperasi," katanya lirih.
Sejak itu
bayi Saidah dirujuk ke RSCM di Jakarta untuk mendapatkan operasi lanjut, meski
sampai Agustus lalu belum juga terlaksana.
"Nggak
tahu deh kapan bisanya, saya pasrah saja." (www.bbc.co.uk)
No comments:
Post a Comment