Hutan
Rakyat Institute, sebuah lembaga riset lingkungan dan sosial di Medan, Sumatera
Utara (Sumut), merilis laporan yang mengungkapkan, tiga perkebunan sawit
anggota Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), di daerah itu melanggar
prinsip dan kriteria organisasi ini. Temuan inipun akan diserahkan kepada RSPO,
yang akan mengadakan pertemuan di Medan, 11-14 November 2013.
Hotler
Zidan Parsaoran, Direktur Hutan Rakyat Institute, Jumat (8/11/13), kepada
Mongabay, di Medan, mengatakan, penelitian ini untuk membuktikan apakah anggota
RSPO di Sumut telah memenuhi komitmen dalam prinsip, kriteria, dan indikator
yang disepakati anggota RSPO atau tidak. Ternyata setelah pengumpulan bukti,
ditemukan ada tiga perusahaan sama sekali melanggar aturan.
Tiga
perusahaan itu, PT Bakrie Sumatera Plantation Koala Piasa Estate, di Kecamatan
Tinggi Raja, Kabupaten Asahan; PT London Sumatera Turangie Estate, di Kecamatan
Wampu, Kabupaten Langkat, dan PT Langkat Nusantara Kepong Kebun Gohor Lama, di
Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat.
Pengabaian
prinsip RSPO oleh perusahaan-perusahaan ini antara lain, tidak ada dokumentasi
perikatan kerja antara pekerja dengan perusahaan, baik buruh harian lepas,
kontraktor, termasuk sebagian besar pekerja menjadi buruh tetap.
Perusahaan juga melibatkan istri atau anak menjadi
buruh, membantu pekerjaan di kebun, karena target kerja dan upah minim.
Penggunaan buruh tanpa perikatan kerja jelas, katanya, memunculkan persoalan
perlindungan tenaga kerja.
Kartika
Natalia, peneliti Hutan Rakyat Institute, menambahkan, kondisi ini menunjukkan
perusahaan-perusahaan ini minim melindungi perempuan, terutama yang kerja di
penyemprotan dan pemupukan. Sedang, istri buruh yang dilibatkan bekerja
memenuhi target suami, juga tidak aman.
Mereka,
katanya, melaksanakan tugas tanpa menggunakan alat pelindung kerja
memadai. Juga masih ditemukan anak
dipekerjakan di perkebunan. Anak-anak ini bekerja di perkebunan sawit asing di
Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat.
“Mereka tidak memiliki ikatan kerja dengan perkebunan, namun target
kerja tinggi dan harapan buruh akan premi, menjadi alasan utama kehadiran anak
di perkebunan sawit,” ujar dia.
Selain itu,
besaran upah buruh perkebunan tidak mencukupi kebutuhan hidup layak. Mereka
harus menerima upah murah, dan masih harus menghadapi denda berupa pemotongan
upah, akibat melanggar beberapa kebijakan sepihak perkebunan. “Perkebunan juga
memindahkan tanggung jawab penyediaan alat kerja dan alat perlindungan kerja,
kepada buruh dengan mengurangi upah yang diterima mereka.”
Saurlin,
juga peneliti Hutan Rakyat Institute, mengatakan, ditemukan pula potensi
kecelakaan kerja cukup tinggi. Keadaan
ini, dibarengi tiada penyebaran
informasi cukup bagi pekerja tentang risiko dan penanggulangan kecelakaan,
terutama penyediaan P3K dan pondok berlindung ketika cuaca buruk. Serta pembiaran buruh bekerja tanpa menggunakan
peralatan perlengkapan kesehatan dan keselamatan kerja (K3). “Ini kenyataan di
perkebunan sawit, dan itu ditemukan pada tiga perusahaan itu, yang lagi-lagi
anggota RSPO.”
Adapun
sejumlah poin standar RSPO seperti komitmen terhadap transparansi, memenuhi
hukum dan peraturan berlaku, komitmen kelayakan ekonomi dan keuangan jangka
panjang, dan penggunaan praktik terbaik tepat oleh perkebunan dan pabrik.
Lalu,
tanggung jawab lingkungan dan konservasi kekayaan alam dan keragaman hayati,
pertimbangan bertanggungjawab atas karyawan, individu, dan komunitas yang
terkena dampak perkebunan dan pabrik, pengembangan perkebunan baru yang
bertanggungjawab serta komitmen perbaikan terus menerus pada wilayah-wilayah
utama aktivitas.
Sedangkan
standar IFC memuat sejumlah kriteria meliputi penilaian sosial, lingkungan dan
sistem managemen, tenaga kerja dan kondisi kerja, pencegahan pencemaran dan
penggunaan, dan kesehatan, keselamatan dan keamanan masyarakat. Kemudian
pembebasan lahan dan pemukiman kembali, konservasi keragaman hayati dan
pengelolaan sumbser daya alam berkelanjutan, masyarakat adat serta warisan
budaya. (www.mongabay.co.id)
No comments:
Post a Comment