Sunday, November 10, 2013

Gaji Minimum Guru Non-PNS



Pemerintah pusat melalui Kementrian Pendidikan semakin agresif dalam meningkatkan mutu pendidikan dengan salah satu programnya yaitu dana BOS (bantuan operasional sekolah) yang kini menjangkau tingkat SMU/SMK yang sebelumnya hanya menjangkau sampai tingkat SD/SMP.

Dana BOS pada prinsipnya untuk membiayai biaya operasional sekolah dari semula berasal dari SPP siswa menjadi ditanggung negara melalui dana BOS dan mewajibkan penghapusan semua kutipan kepada siswa. Sayang sekali yang dihapus cuma kutipan siswa, seharusnya menghapus semua beban orang tua siswa seperti pembelian seragam, buku tulis, alat tulis, sepatu, tas dan lainnya terutama pada siswa tidak mampu.

Namun dalam perjalanannya perlu penyempurnaan berkelanjutan. Salah satu yang harus dibenahi adalah alokasi maksimal 20 % untuk gaji guru non PNS. Patokan angka maksimal 20 % ini mengakibatkan bervariasinya gaji yang diterima walau beban mengajarnya hampir sama. Apalagi untuk sekolah pedalaman dan terpencil sangat mengandalkan keberadaan para guru non PNS tersebut.

Dalam hal ini, perlu kiranya patokan angka maksimal 20 % dana BOS ini diperbaharui dengan menjadikan patokan gaji guru non PNS menjadi setara dengan gaji CPNS dengan beban mengajar standar 24 jam mengajar. Yang apabila mereka mengajar di bawah 24 jam maka tinggal mempersentasekan saja jam mengajar aktual dibagi 24 jam kalikan gaji CPNS. Contohnya bila beban mengajar hanya 16 jam berarti 16/24 x (gaji CPNS) = 2/3 x (gaji CPNS). Demikian juga bila mereka mengajar di atas 24 jam juga tinggal mengkalkulasikan saja seperti di atas.

Standarisasi gaji guru non PNS ini penting untuk meningkatkan daya konsentrasi mengajar dengan menghilangkan masalah ketidakpastian dan ketidakcukupan gaji dari pikiran mereka. Jumlah dana BOS yang cukup besar akan lebih bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan guru non PNS daripada membelanjakan ke ATK dan penggandaan yang tak jelas juntrungannya.

Masalah yang hampir sama juga dialami oleh para guru PNS yang telah lulus ujian sertifikasi guru namun tidak dapat memenuhi kewajiban mengajar minimal 24 jam dikarenakan kesulitan memenuhi jam mengajarnya akibat fluktuasi jumlah murid, banyaknya jumlah guru bermata pelajaran sama, keterbatasan jumlah sekolah dan sebagainya. Sebaiknya kewajiban 24 jam mengajar pada mata pelajaran yang sama ini difleksibelkan menjadi kewajiban 24 jam mengajar pada mata pelajaran yang serumpun seperti fisika yang serumpun dengan kimia dan matematika. Juga ketidakmampuan memenuhi target minimal 24 jam mengajar ini tidak menggugurkan gaji sertifikasinya tapi cukup dengan mengurangi gajinya dengan menggunakan persentase jumlah mengajar aktual dibagi 24 jam dikali gaji sertifikasinya. Contohnya bila beban mengajarnya hanya 16 jam maka gaji sertifikasinya 16/24 x (gaji sertifikasi). Harus difahami bahwa untuk kondisi daerah terutama di pedalaman dan pedesaan jumlah sekolah dan murid sangat terbatas sedangkan jarak antar sekolah bisa sangat jauh dan tidak terjangkau untuk mengajar di dua atau lebih sekolah untuk mengejar target 24 jam mengajar tersebut. Sehingga sangat tidak adil bila keterbatasan di luar diri guru tersebut justru ditanggung oleh guru yang bersangkutan dengan tidak bisa dapat gaji sertifikasinya. Padahal keberadaan gaji sertifkasi guru adalah untuk mengingkatkan kualitas pendidikan dengan salah satu cara meningkatkan kesejahteraan guru tanpa harus menstreskannya dengan paksaan 24 jam mengajar tanpa menghiraukan batasan situasi kondisi yang ada. Akan lebih arif kekurangan jam mengajar tersebut cukup dengan mengurangi gaji sertifikasinya secara persentase seperti di atas.

Salam reformasi.

Rahmad Daulay
(edukasi.kompasiana.com)

No comments:

Post a Comment