Thursday, November 21, 2013

Hikmah di Balik Puasa: Antara Keraguan dan Kepastian




Semenjak bulan Ramadhan diyakini sebagai bulan penuh keberkahan, maka semenjak saat itu pula perbincangan mengenai nilai dan fungsinya selalu didiskusikan, baik dalam bentuk makalah, majalah maupun dalam bentuk buku.
Dalam beberapa kesempatan, kami sengaja ingin menarik perhatian dari kalangan pemikir dengan mengadakan lomba menulis kajian ilmiah terkait hadits Ramadhan dan hadits-hadits puasa secara umum. Dan tulisan kami pun mencoba untuk ikut berkompetisi dengan menjadikan “Tata-Cara Mendapatkan Hikmah dan Fungsi Puasa” sebagai obyek yang dikaji.
Sampai kapan pun, tema-tema seputar hikmah-hikmah dan fungsi-fungsi puasa selalu saja menarik perhatian buat dikaji. Tak mengherankan, kendati dengan tema dan hadits yang sama kita akan selalu mendapati pemahaman yang berbeda-beda. Karena itu, agar usaha yang kami lakukan dalam rangka menyibak rahasia-rahasia di balik ibadah puasa ini nampak berbeda, kami akan melakukannya dengan menggunakan gaya bahasa yang lugas sekaligus menghadirkannya dengan ulasan yang logis.
Cuplikan-cuplikan yang kami sajikan ketika membahas hikmah-hikmah puasa antara lain:
1.      Ketahuilah, bila manusia dalam kehidupan sehari-hari selalu menjadikan adat-istiadat sebagai barometer kesalehannya, maka ia secara mudah akan terjerembab ke dalam sekat-sekat sosial; ia akan terkelompokkan ke dalam beberapa lapisan sosial yang tergantung hukum adat yang diikutinya. Di sini, status sosial menjadi bahan pertimbangan dalam melakukan interaksi sosial sesamanya. Manusia juga akan merasa dikekang olehnya dalam setiap tindakannya. Sehingga tanpa disadari, ia justru semakin jauh dari elastisitas dalam menjalani kehidupannya. Bahkan ia hanya menjadi seperti robot.
Demikian pula, ketika manusia menjalankan hukum kehidupannya bertumpu pada adat-istiadatnya semata, ia akan menjadi budak bagi adat-istiadatnya sendiri. Kenapa manusia harus tunduk dan patuh hanya pada adat? Bukankah manusia sendiri yang menjadikan adat itu ada? Ketika disadari, adat justru mengekang manusia dari nilai-nilai kebebasannya sebagai makhluk yang memiliki pilihan dan kebebasan.
Sebab itu, Allah SWT mewajibkan puasa untuk membebaskan manusia dari praktik-praktik penyembahan pada adat-istiadat. Ibadah puasa membalikkan status adat yang semula memiliki status sangat tinggi menjadi tidak bernilai apapun. Ibadah puasa juga mengajarkan kepada manusia elastisitas kehidupan, sehingga ia tidak hanya menjadi seperti robot semata.
2.      Banyak pemikir yang membahas hal-ihwal fungsi-fungsi puasa. Salah satunya melihat dengan kacamata medis. Dalam hal ini, Dr. Farid Wajdi terbukti telah berhasil memberikan penjelasan yang sangat baik. Dalam tulisannya, beliau menyatakan:

“Kebanyakan manusia berprangsangka bahwa ibadah puasa merupakan ritual ibadah yang berkaitan dengan urusan-urusan agama semata. Memang tak dipungkiri, informasi medis mengenai fungsi-fungsi puasa sejauh ini belum tersebar secara menyeluruh dan merata di kalangan umat manusia. Hingga akhirnya, manusia mengetahui dan menyadari bahwa ternyata puasa dapat mempertebal daya tahan tubuh manusia dari berbagai macam penyakit.
Puasa pun merupakan salah satu cara paling efektif untuk memurnikan partikel-partikel racun yang terdapat pada makanan yang kerap dimakan oleh manusia. Karena zat-zat makanan dalam tubuh hewan yang kerap kita makan memiliki zat-zat pelumas seperti lemak dan juga unsur-unsur lainnya. Secara medis, tubuh manusia tidak akan mampu menyimpan semuanya, karena bila dipaksakan maka itu akan menghancurkan tubuh manusia itu sendiri. Sehingga, yang baik untuk tubuh manusia adalah dengan memberikan apa yang dibutuhkan olehnya bukan malah memaksakannya secara berlebihan.

Dalam hal ini, kebebasan mutlak manusia untuk memasukkan apa yang sekiranya ia inginkan justru akan berdampak buruk terhadap kesehatannya. Jika manusia terus-menerus memaksakan diri tetap memasukkan pelbagai macam jenis makanan ke dalam tubuhnya, sama halnya secara sengaja ia memupuk tubuhnya dengan berbagai jenis penyakit.

Benar, bila di sini puasa sebagai salah satu cara buat menghindari ketamakan manusia dari mengkonsumsi makanan. Sekaligus menjaga tubuhnya agar tetap sehat. Puasa memiliki peranan yang sangat penting bagi manusia. Tidak sebatas dari segi jasmaninya saja tapi juga segi hati nuraninya. Dalam ilmu kesehatan, puasa merupakan salah satu upaya refleksi kesehatan yang tidak dimiliki oleh obat-obatan modern dalam menangani pelbagai macam penyakit. Sayangnya, sebagian besar kaum Muslim tidak menyadari hal ini. Mereka tidak lagi mempedulikan masa depan mereka. Mereka juga tidak lagi memperhatikan gaya hidup sehat agar kelak siap menghadapi hari tua. Dan, mereka tidak mengerti batas-batas kekuatan fisiknya. Yang ada dalam benak mereka hanyalah yang penting bisa hidup, bukan bagaimana tata-cara menjaga diri agar tetap hidup secara sehat.”

3.      Ditinjau dari sisi sosial lainnya, Allah SWT mewajibkan puasa agar orang-orang kaya dapat merasakan rasa lapar yang kerapkali diderita oleh saudara-saudaranya yang kesusahan (kelaparan). Dengan harapan, supaya mereka yang mampu senantiasa membantu saudara-saudaranya yang kurang mampu. Dari puasa kita dapat belajar saling memberi, saling berbagi dan saling menyayangi. Karena dari hal-hal seperti inilah asas-asas sebuah masyarakat majemuk itu dibangun. Jika  manusia di muka bumi ini dapat memahami hikmah dan fungsi di balik ibadah puasa secara baik, niscaya kesejahteraan masyarakat yang selama ini diidam-idamkan akan dapat diwujudkan.

4.      Begitu pula, melalui ibadah puasa, Allah SWT tengah mengajarkan kepada kita tentang betapa penting menjaga diri, berkomitmen dengan keyakinan dan juga tentang pentingnya arti sebuah kesabaran.

5.      Terakhir, dilihat dari sudut pandang metafisik, puasa adalah salah satu bentuk aktivitas untuk menjaga hawa nafsu manusia sekaligus menyucikan jiwanya.

Kelima hal tersebut merupakan sebagian besar dari hikmah-hikmah dan fungsi-fungsi puasa yang selama ini ditulis dan disampaikan oleh para pemikir kepada masyarakat umum. Tetapi dalam kenyataannya, kehidupan manusia --khususnya umat Muslim-- belumlah memaksimalkan sepenuhnya nilai-nilai yang terkandung dalam ibadah puasa.
Umat Islam dewasa ini justru semakin menjauh dari nilai-nilai keislaman. Umat Islam tertinggal jauh dari bangsa Barat. Nilai elastisitas dalam kehidupan umat Islam seolah tercoreng. Data statistik kesehatan umat Islam jauh di bawah bangsa-bangsa Barat.
Fenomena yang sering kita saksikan akhir-akhir ini adalah di lingkungan umat Islam sedang terjangkit rasa ketidak-pedulian dan telah mengalami degradasi moral. Orang-orang kaya yang beragama Islam tidak lagi memberikan sebagian hartanya untuk kepentingan pendidikan. Seharusnya dari sumbangsih mereka terhadap pendidikan inilah orang-ornag miskin bisa mengenyam pendidikan secara gratis. Bahkan, yang paling ekstrim, mereka tidak lagi mempedulikan keadaan lingkungan sekitarnya. Mereka tidak lagi berlomba-lomba melakukan hal-hal yang berkaitan dengan kebaikan. Namun justru rumah dan gedung-gedung mereka tertutup rapat, sehingga kaum fakir-miskin pun jangankan memasuki pekarangan rumahnya, melihat dari luar saja mereka tak sanggup lantaran pagar yang menjulang terlampau tinggi.
Orang-orang kaya dari golongan umat Islam belakangan ini justru bertingkah semakin aneh. Mereka bukannya menyedekahkah hartanya demi kepentingan umat, justru menginsvestasikan harta-hartanya ke Negara-negara Eropa. Disadari atau tidak, tindakan seperti inilah yang menjadikan ekonomi umat Islam mengalami stagnasi, bahkan mundur dan tidak berkembang. Di lain pihak, mereka malah bertaruh buat memenangkan perjudian, seperti yang sering terjadi di setiap even perlombaan dunia. Atau barangkali berebut tender untuk menghadirkan penyanyi-penyanyi top kelas dunia sekaligus penari latarnya. Mereka lupa bahwa dalam harta mereka terdapat hak-hak para saudaranya yang sedang dalam keadaan lapar, haus dan kedinginan. Pada akhirnya, mereka semakin menjauh dari jalan-jalan kebaikan dan kebenaran.
Dalam sikapnya mengenai puasa, Imam Syafi’i r.a. mengatakan bahwa puasa bukanlah untuk  mengetahui sebuah kualitas atau kesederhanaan dan kedermawanan seorang hamba. Namun, katanya, dengan berpuasa seorang hamba diharapkan akan mampu mengetahui derajat kualitas ibadahnya, serta dapat mengukur untuk terus menigkatkan kualitas ibadahnya. Dengan bahasa yang lugas Imam Syafi’i menyatakan:
“Yang paling dicintai oleh seorang hamba dalam puasa Ramadhan adalah mendapatkan nilai lebih kualitas ibadahnya. Dengan harapan ini, berarti ia telah mampu mengikuti dan mengamalkan sunah Rasulullah Saw. Dan itu berarti, mereka lebih memperbanyak dan meluangkan waktunya buat beribadah daripada harus bersibuk dengan pekerjaannya semata.”
Para pakar agama menilai bahwa kesabaran yang terkandung dalam ibadah puasa bukanlah kesabaran yang kembali hanya sebatas pada orang yang sedang berpuasa. Ia juga akan mengajarkan kepada mereka yang tidak berpuasa untuk menguji sejauh manakah kesabaran mereka ketika menghormati orang-orang yang berpuasa. Tetapi kebanyakan yang terjadi, baik yang berpuasa maupun yang tidak berpuasa, kerapkali justru sama-sama tidak sabar.

*****
Berdasarkan ulasan di atas, sebagian pemikir secara tegas menyatakan bahwa kita sebagai manusia tidak akan bisa sepenuhnya mengetahui dan memahami hikmah-hikmah puasa secara utuh dan sempurna. Ini karena puasa merupakan bentuk ritual peribadatan, sementara ibadah sebagaimana yang kita ketahui, memiliki banyak perincian yang tentu tidak dapat kita ketahui semua hikmah yang terkandung di dalamnya. Misalkan, dapatkah kita memahami hikmah di balik dua rakaat shalat subuh; mengapa shalat subuh harus dua rakaat; dan waktunya pun saat pagi hari? Sementara shalat dzuhur empat rakaat, dan waktunya juga tepat ketika manusia sedang dalam keadaan puncak kesibukan? Tentu tidak bukan!
Adapun puasa –sebagai sebuah ibadah– pasti memiliki hikmah dan fungsinya tersendiri. Hanya saja, sebagai manusia biasa kita tidak akan mampu memahaminya secara utuh dan menyeluruh.

*****
Sekiranya, perlu kita tegaskan bahwa kita di sini tidak sedang mencoba mencari titik akhir terkait hikmah-hikmah di balik ibadah puasa. Kita tidak ingin pula mengulangi apa yang telah disampaikan oleh sebagian pemikir seperti di atas. Namun, secara sederhana, kita akan melakukan upaya pemahaman menggunakan ayat-ayat al-Qur’an yang membicarakan tentang ibadah puasa. Dari sana, kita akan dapat memahami hikmah-hikmahnya. Jika diamati secara teliti, maka kita akan menemukan sebuah pemahaman yang dapat menerangkan kepada kita secara jelas dan terperinci mengenai perintah dan hikmah di balik ibadah puasa. Allah SWT berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS Al-Baqarah [2]: 183).
Dari ayat tersebut, dapat kita pahami bahwa Allah SWT mewajibkan kepada kita berpuasa dengan tujuan tertentu, yaitu agar kita menjadi hamba-hamba-Nya yang bertakwa. Ini tersurat secara jelas dalam redaksi firman-Nya. (ötbqà)­Gs? Nä3ª=yès9). Penggunaan kata ‘لَعَلَّ (la’alla) pada ayat tersebut tidak diputus dengan kata selanjutnya, yaitu ötbqà)­Gs? (tattaqûn). Ini menandakan bahwa buah dari ibadah puasa bukanlah hal yang mustahil. Dengan ungkapan lain, jika seorang hamba mampu melakukan puasa secara baik dan benar, maka kualitas ketakwaannya akan semakin meningkat. Karena puasa merupakan upaya persiapan bagi seorang Muslim untuk meningkatkan ketakwaannya kepada Allah SWT.
Ibadah puasa yang dipahami sebagai upaya persiapan seorang hamba menuju ketakwaaan, dapat diibaratkan dengan seorang petani yang telah menyiapkan sebidang tanah untuk ia tanami. Jika ia menjaga sebidang tanah tersebut secara baik, niscaya tanamannya akan tumbuh secara baik dan tidak diganggu oleh rumput-rumput liar. Semua ini kembali kepada diri si petani itu sendiri. Bila ia menelantarkan sawahnya, mengabaikan sistem perairannya, serta acuh terhadap rumput-rumput liar yang dapat mengganggu perkembangan tanamannya, maka ia tidak akan memperoleh hasil yang baik saat waktu panen tiba. Sehingga, kualitas tanaman yang akan didapat saat panen nanti sangat bergantung bagaimana cara si petani tersebut menjaga dan merawat tanamannya. Begitu pula keadaan seorang hamba ketika ia menjalankan ibadah puasanya. Semua pemaknaan seperti ini, dapat kita pahami melalui firman-Nya dalam kalimat (ötbqà)­Gs? Nä3ª=yès9).
Dari penjelasan tadi, minimal dapat kita jadikan sebagai kunci pemahaman untuk membuka pintu-pintu hadits Rasulullah Saw tentang tema-tema puasa. Semua hadits tentang puasa tidak akan dapat kita pahami secara benar, bilaman kita tidak memposisikan puasa sebagai upaya pengujian bagi seorang hamba.
Diriwayatkan bahwa suatu hari Abu Amamah r.a. bertanya kepada Rasulullah Saw tentang amal apakah yang paling diridhai oleh Allah SWT. Rasulullah menjawab, “Engkau harus berpuasa, ketahuilah bahwa tidak ada keadilan yang lebih adil kecuali ibadah puasa.” Abu Amamah pun merasa belum puas, hingga akhirnya ia bertanya lagi kepada Rasulullah Saw dengan pertanyaan yang sama. Dan Rasulullah menjawab, “Engkau harus berpuasa, ketahuilah bahwa tidak ada yang bisa menyamai pahala puasa.” Hingga akhirnya, Abu Amamah bertanya kepada Rasulullah Saw dengan pertanyaan yang sama untuk ketiga kalinya. Rasulullah Saw pun tidak mengubah jawabannya. Beliau tetap memberikan jawaban yang sama; yaitu ia harus puasa jika ingin mendapatkan ridha dari Allah SWT.
Dengan demikian, tidak perlu kita ragukan lagi bahwa tidak ada keadilan yang lebih adil kecuali ibadah puasa. Dan tidak ada bentuk pahala yang dapat menandingi ibadah puasa ketika seorang hamba mempersiapkan diri untuk sampai pada sebuah derajat ketakwaan. Barangsiapa yang berhasil melewati masa ujian (puasa) dan sampai pada tujuan hakiki dari ujian (puasa) tersebut maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya. Hal ini ditegaskan Rasulullah Saw melalui sabdanya, “Barangsiapa yang menjalankan ibadah puasa atas dasar keimanan, niscaya Allah SWT akan mengampuni segala dosa-dosanya yang telah lampau.”
Dari sini, kita dapat memahami tentang hakikat makna hadits, “Setiap amal kebaikan anak keturunan Nabi Adam a.s. akan dilipat-gandakan sebanyak sepuluh kali lipat. Dan dari kelipatan sepuluh tersebut akan dilipat-gandakan lagi sebanyak tujuh ratus kali lipat.”
Di dalam hadits Qudsi, Allah SWT juga berfirman, “Ketahuilah dan ingatlah bahwa ibadah puasa merupakan ibadah untuk-Ku. Dan Aku sendirilah yang akan memberikan balasan pahalanya.” (HR Imam Bukhari dan Imam Muslim).
Dalam redaksi agak berbeda, Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Allah Swt berfirman, “Setiap amal ibadah anak-cucu Adam a.s. akan menjadi hak pribadinya kecuali ibadah puasa. Ketahuilah bahwa ibadah puasa murni milik-Ku dan hanya Aku sendirilah yang akan memberikan ganjaran pahalanya.”
Jadi, Allah SWT akan memberikan pahala puasa bagi hamba-Nya secara terus-menerus hingga tujuh ratus kali lipat. Pernyataan ini dapat dibenarkan jika pada kenyataanya seorang hamba memang telah benar-benar menjalankan puasanya secara baik dan benar serta bertakwa kepada Allah SWT. Adapun mereka yang tidak menjalankan ibadah puasa secara benar serta tidak pula bertakwa kepada Allah SWT, sejatinya mereka tidak memperoleh apa-apa kecuali hanya haus dan lapar belaka. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Betapa banyak jumlah orang yang berpuasa, namun dari puasanya mereka tidak mendapatkan apa-apa kecuali hanya lapar dan dahaga semata.” (HR Imam Nasa’i dan Imam Ibnu Majah)
Dalam hadits yang lain, Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa yang tidak bisa meninggalkan perkataan kotor dan bahkan melakukan tindakan buruk, maka Allah SWT tidak akan merasa perlu membalas mereka (memberi pahala), meskipun mereka berupaya keras menahan diri untuk tidak makan dan tidak minum.” (HR Imam Bukhari).
Ibadah puasa tidak akan sampai pada tujuan hakiki pensyari’atannya sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah SWT kecuali dijalankan dengan niat yang tulus dan penuh keimanan. Dengan kata lain, ketika perintah puasa diberlakukan pada hamba-Nya, maka ia akan benar-benar menjalankannya dengan penuh kebahagiaan, menghiasi diri dengan akhlak mulia, tidak membencinya dan tidak pula merasa berat melakukannya. Dengan begitu, sudah sewajarnya bila dalam menjalankan ibadah puasa tersebut seorang hamba harus benar-benar karena Allah SWT dan diiringi dengan niat yang tulus dan kemauan yang kuat demi mendapatkan keridhaan dari Allah SWT.
Jika semua perkara di atas bisa terpenuhi, maka segala hal yang telah dikatakan oleh para ulama tentang hikmah-hikmah dan fungsi-fungsi puasa akan dapat terwujud. Sebaliknya, bila tidak dapat dipenuhi, sebagaimana yang telah ditegaskan di atas, maka ibadah puasa akan menjadi sia-sia, tidak mendapatkan apa-apa, kecuali hanya lapar dan dahaga belaka. Semoga Allah SWT senantiasa menjaga kita dari semua amal ibadah kita.

No comments:

Post a Comment