Friday, November 8, 2013

Menjadi Wali


GUS ADHIM
Apa yang terlintas tanya di benak pembaca saat mengeja judul ini  --mungkin-- sama dengan yang saya pikirkan. Yakni bagaimana mungkin kita bisa orang biasa ini menjadi wali yang ---secara awam banyak dipahami--- merupakan representasi manusia kesayangan Tuhan,laku diri bertabiat suci, ucapannya bermuatan sabda pandita raja, dan kalimat doanya bertuah ijabah serta karomah?
Jawabannya adalah mungkin saja. Tentu saya tidak bermaksud akan mengubah gaya keseharian anda, misalnya ganti penampilan seperti gambaran wali di poster atau buku cerita itu. Saya juga tidak hendak mengkonversi  Anda menjadi “orang sakti” yang saat wafat kembali ke bumi lalu kuburannya diziarahi. Tidak.
Izinkan saya terlebih dulu menyederhanakan dan “mengecilkan” makna wali itu. Sebatas literasi yang saya pahami, makna wali dapat dibahasakan singkat lewat kata “kekasih pengayom, pelindung, pengawal, pengampu, pengelola, penggembala, pengasuh, pembimbing, pengawas dan penasehat.”  Para wali sering diidentifikasi sebagai pribadi yang memiliki kelebihan pengetahuan serta kekayaan keteladanan yang dimanfaatkan untuk melindungi dan melayani umat.
Untuk memudahkan pemahaman kebahasaan, mari kita cari padanan istilahnya. Dalam pengasuhan bayi, istilah wali bisa disejajarkan pelayanannya semirip baby sitter.Dalam pendidikan ke-TNI-an, tupoksi wali menyerupaiperan bimbingan asuh (bimsuh), pembinaan mental (bintal) dan binjas (pembinaan jasmani). Di struktur organisasi yayasan, keberaaan wali ini bisa disamakan dengan posisi pembina dan pengawas sekaligus.
Nah, berangkat dari penyederhanaan istilah wali ini, saya ajak kita semua untuk berikhtiar pintar belajar menjalani tupoksi wali. Kita awali lewat aksi-aksi kecil yang riil dan berdampak banyak bagi perubahan positif kebaikan ke depan.
Di asarama pesantren SPMAA yang kami kelola misalnya, setiap santri dimotivasi jadi “Wali Sandal”. Praktiknya, mereka dilatih untuk menempatkan sandal seperti pengaturan parkiran dengan ujung sandal menghadap ke depan. Caranya setiap memasuki masjid, asrama, atau lokasi-lokasi bertuliskan “SUCI”, mereka harus melepas sandal dengan memutar badan terlebih dulu. Sehingga dengan begitu, sandal akan otomatis tertata menghadap ke depan dan siap digunakan.
Pun, tugas “Wali Sandal” ini sekaligus mengawasi kebiasaan penggasapan (pinjam tanpa izin) dan atau membina para kriminal “update sandal” (baca, pencurian) yang kerap terjadi di lingkungan santri. Terutama saat sholat Jumat, “Wali Sandal” ini akan bekerja mengasihi, menata sekaligus menjaga sepatu dan sandal para jamaah dari kaki-kaki jahil yang hobi ngutil.
Latihan pembiasaan perilaku baik itu prosesnya nampak sederhana. Tapi dampaknya luar biasa, terutama mengubah kebiasaan wanprestasi para santri yang kerap nggasap dan menelantarkan sandal tidak beraturan. “Wali Sandal” ini setidaknya berhasil membujuk mereka untuk sadar kerapian dan keindahan.
Melalui ikhtiar latihan menjadi “wali imitasi” ini, para santri dapat menunjukkan teladan akhlak mulia keislaman. Mereka belajar jadi “wali” yang menjaga dan melindungi praktik keislaman di tengah fakta fenomena palsunya pengakuan beragama. “Wali Sandal” merupakan transformasi santri yang kerapjadi representasi kaum priyayi, hijrah menuju figur pribadi santri yang siap mengasihi dan melayani. Upaya itu dimulai lewat aksi kecil yang riil namun bermanfaat personal dan berdampak sosial: menata dan menjaga sandal.
Di lingkungan pembelajaran, kita semua bisa jadi “wali studi” bagi peserta didik dan segenap civitas akademik. Jalankan fungsi bimbingan konseling secara serius dan fokus serta dibarengi asas taat waskat. Setiap guru memiliki jiwa penggembala, sehingga setiap siswa wajib dijaga dari ancaman serigala dunia. Semua warga sekolah diedukasi menjadi “wali” yang berkekasih ilahi dan tidak terburu menurutkan nafsu ego libido.  Wali murid betul-betul dikondisikan jadi “wali studi” yang mengerti dan segera antisipasi gejala pubertas muridnya. 
Dengan begitu, kasus amoral dan asosial yang merajelala di ruang belajar anak-anak kita, bisa dikendalikan pertumbuhan jumlahnya –jika tak bisa dinolkan. Paling penting, peran ibu dan bapak yang sepatutnya menjadi “wali keluarga”.Afdolnya mereka turut menjaga, mengawasi, membina, dan mengasihi anak-anaknya secara manusia. Bukan cuma menitipkan anak ke sekolah saja. Karena tanpa peran serta dukungan keluarga, pembelajaran di sekolah hanya akan berbuah stempel  lulus akhirussanah di lembar ijazah. Tidak lebih. 
Di dunia pergaulan virtual, kita bisa jadi “wali maya”. Tugasnya mengedukasi, menjaga, mendampingi, memelihara konten-konten yang diakses anak atau keluarga kita, supaya tetap berada di jalur aman fungsi pembelajaran.
Kita juga bisa menjadi “Wali Media” yang mengasihi insan pers dengan kritik konstruktif atas kerja-kerja mereka.Sesekali bacakan Al Fatihah untuk pewarta dan pemilik media, supaya mereka mau kembali pada idealisme jurnalistiknya, tidak melulu bisnis berita pesanan saja. Atau setidaknya dengan menjadi “Wali Media”, kita bisa menjaga asupan informasi di keluarga kita, supaya tidak segera percaya dan mengamini begitu saja “seruan”berita yang muncul di media.
Kita niati ikhtiar menjadi “wali” ini, semoga  Indonesia ini kembali pada takdir baiknya, yakni secuil potongan surga di dunia yang penghuninya saling mengasihi bersaliman penuh interaksisosial kerahmatan. Aamiin.

No comments:

Post a Comment