لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ،
لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ
وَالْمُلْكَ لاَشَرِيْكَ لَكَ
“Aku
memenuhi panggilan-Mu, ya Allah aku memenuhi panggilan-Mu. Aku memenuhi
panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu, aku memenuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya
pujaan dan nikmat adalah milik-Mu, begitu juga kerajaan, tiada sekutu bagi-Mu.”
Berdasarkan kalimat talbiyah yang sarat makna keimanan
ini, kualitas pribadi seorang Muslim akan senantiasa dituntun untuk mendapatkan
hidayah. Karena hidayah merupakan buah yang dapat dipanen dari ladang-ladang
keimanan. Memang, dalam pelaksanaan seluruh rangkaian ibadah haji, seorang Muslim
harus benar-benar tulus mengerjakannya hanya untuk Allah SWT semata. Lantaran ketulusan
dan
keikhlasan
adalah pondasi pokok keimanan dan kemanusiaan. Dalam beragama, manusia harus
mempraktikkan ajarannya penuh keihklasan. Dan dalam kehidupan sosialnya,
manusia pun senantiasa dituntut agar selalu mengerjakan segala hal dengan penuh
ketulusan.
Dengan kalimat talbiyah di atas,
manusia menegaskan kepada dirinya sendiri bahwa semua yang ada di alam raya ini
adalah hanyalah milik Allah SWT dan tiada pula sekutu bagi-Nya. Serta
mengukuhkan bahwa segenap kenikmatan yang ia dapatkan merupakan limpahan rezeki
yang hanya bersumber dari Allah SWT. Sebagaimana firman Allah SWT:
“Segala puji bagi
Allah Pencipta langit dan bumi, yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan
(untuk mengurus pelbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada
yang) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang
dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Apa saja
yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorangpun
yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak
seorangpun yang sanggup melepaskannya sesudah itu. Dan Dialah yang Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana.” (QS Fâthir [35]: 1-2).
Nilai keikhlasan dan ketulusan dalam melaksanakan seluruh rangkaian
ibadah haji tercermin dari saat seorang Muslim bertaubat secara sungguh-sungguh
pada awal ketika ia hendak bepergian melaksanakan ibadah haji. Dan taubat
bukanlah rangkaian kata-kata yang diucapkan, melainkan merupakan upaya penuh
kesadaran yang memiliki beberapa syarat:
1.
Berjanji pada diri sendiri untuk
tidak melakukan maksiat kembali, serta menjauhi tempat-tempat kemaksiatan.
2.
Secara jujur mengakui perbuatannya
dan menyesalinya penuh penyesalan.
3.
Berjanji pada diri sendiri
untuk tidak melakukan maksiat selama-lamanya.
Dengan demikian, ketika ada satu syarat saja yang hilang
atau tidak terpenuhi, maka taubatnya tidak sah. Dalam artian, ia belum
benar-benar bertaubat.
Ketiga syarat di atas adalah khusus untuk kategori maksiat
yang berhubungan langsung dengan kekuasaan Allah SWT, misalkan syirik, tidak
beribadah, tidak berpuasa dan semacamnya. Adapun jika maksiatnya tersebut
berhubungan dengan hak-hak manusia, maka syarat taubat yang jumlahnya tiga di
atas harus ditambah dengan satu syarat lagi. Yaitu semaksimal mungkin meminta
maaf kepada mereka dengan memberikan hak-hak mereka kembali, tentunya melalui
tata-cara yang baik dan bijaksana.
Bila bertaubat adalah langkah pertama menyucikan batin
untuk mencapai keikhlasan, maka mandi dan bersuci serta mengenakan kain serba
putih merupakan langkah selanjutnya untuk menunjukkan keikhlasan melalui
lahiriah badan. Ketika sudah dalam keadaan demikian, ia telah benar-benar siap
memenuhi panggilan Allah SWT. Sebagaimana tercantum dalam firman-Nya:
“Maka
sembahlah Allah dengan memurnikan ibadah kepada-Nya.” (QS Al-Mu’min [40]: 14).
Dan pada tingkatan selanjutnya, ia akan sanggup menaati
perintah Allah SWT, serta menjauhi apa yang dilarang oleh-Nya. Sebagaimana
firman-Nya:
“Sesungguhnya
Kami menurunkan kepadamu kitab (al-Quran) dengan (membawa)
kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah,
hanya kepunyaan Allah lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang
mengambil pelindung selain Allah (berkata), ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan
supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya.’
Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka
berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang
pendusta dan sangat ingkar.” (QS Az-Zumar [39]: 3).
Setibanya di Makkah al-Mukaramah, segera
dimulailah ibadah thawaf dengan mengelilingi Ka’bah. Dalam proses ibadah thawaf
ini, apa yang dilakukan oleh manusia haruslah hanya ditujukan kepada Allah SwT
semata. Dengan keimanannya ini, manusia akan dapat berlari menjauh dari segala
bentuk kemusyrikan, serta berbagai macam kemaksiatan, baik yang lahir maupun
yang batin. Dan dengan menerima agama Allah SWT ini, ia akan meghadiahkan semua
aktivitas kebaikannya kepada Allah SWT. Hanya kepada-Nya lah, ia akan memohon pertolongan, serta
hanya kepada-Nya lah, ia memasrahkan segala urusan dan harapan.
Semua ini berfungsi sebagai bentuk
persiapan diri untuk menancapkan nilai-nilai keikhlasan dan ketulusan dalam
jiwa manusia. Serta menjadikan keikhlasan serta ketulusan sebagai nafas
kehidupannya.
Setelah thawaf, ibadah selanjutnya
adalah melaksanakan ibadah Sa’i. Sa’i sendiri merupakan sebuah aktivitas mulia
yang telah dilakukan oleh Siti Hajar, yaitu ibunda Nabi Ism’ail, ketika ia
berlarian ke sana ke mari di antara bukit Shafa dan Marwa demi mencari setetes
air buat menyelamatkan rasa dahaga yang tengah menyiksa putranya. Ia
bolak-balik antara kedua bukit tersebut sebanyak tujuh kali. Apa yang ia
lakukan adalah bukti kasih sayang, rasa simpati serta belas kasih seorang ibu
kepada putranya. Tindakan mulia yang dilakukan Siti Hajar inilah yang
menjadikan peristiwa bersejarah tersebut diabadikan dalam ibadah Sa’i yang
masuk dalam rangkain ibadah haji.
Dari peristiwa sejarah yang
melatar-belakangi ibadah Sa’i tersebut, kita diajarkan untuk senantiasa
mempraktikkan dan menyebar-luaskan rasa kasih sayang dan kepedulian kepada
seluruh umat manusia di alam raya ini. Tak peduli apa perkataan dan
perbuatannya, rasa kasih sayang haruslah hadir dalam setiap tindakan manusia,
kapan saja dan di mana saja. Dengan demikian, ajaran agama Islam senantiasa
memotivasi manusia agar selalu berkasih sayang antar-sesama manusia.
Sehingga pada akhirnya
agama Islam merupakan agama yang peduli atas bahtera kesejahteraan manusia.
Maka apa yang disampaikan oleh Allah SWT kepada Rasulullah Saw terkait pengutusannya
ke muka bumi ini adalah untuk menyelamatkan umat manusia dari kedzaliman dengan
bertumpu pada nilai-nilai kasih sayang. Sebagaimana firman Allah SWT:
“Sesungguhnya apa
yang disebutkan dalam surat ini, benar-benar menjadi peringatan bagi kaum yang
menyembah Allah. Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi
rahmat bagi semesta alam.” (QS Al-Anbiyâ’ [21]: 106-107).
Kemudian mengenai beberapa hikmah dari ibadah haji ini Allah
SWT berfirman:
“Musim haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi (bulan Syawal, Zulkaidah dan Zulhijjah). Barangsiapa
yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh
rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan
apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekal lah,
dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku wahai
orang-orang yang berakal.” (QS Al-Baqarah [2]: 197).
Bila kita cermati, ayat ini menginformasikan kepada kita
bahwa dalam pelaksanaan seluruh rangkaian ibadah haji, umat Islam sama sekali
tidak diperkenankan melakukan tindak kekejian dan kerusakan, baik itu berupa
pernyataan maupun perbuatan. Jangankan melakukan hal-hal yang dapat menimbulkan
perpecahan dan kerusakan secara langsung, bersikeras dalam mempertahankan
argumen pun dilarang.
Barangkali hikmah yang dapat kita ambil dari ibadah haji
ini akan mirip seperti hikmah pada ibadah puasa. Misalkan, menjaga diri dari
segala bentuk kemaksiatan dan perbuatan keji. Hanya saja, dalam ibadah haji, Allah
SWT menegaskan bahwa berniat melakukan hal keji atau maksiat saja tidak
diperbolehkan, meskipun niat tersebut tidak dipraktikkan dalam tindakan.
Sebagaimana dalam firman-Nya:
“Dan mereka diberi
petunjuk kepada ucapan-ucapan yang baik dan ditunjuki pula kepada jalan Allah
yang terpuji. Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan menghalangi manusia dari
jalan Allah dan Masjidil Haram yang telah Kami jadikan untuk semua manusia,
baik yang bermukim di situ maupun di padang pasir. Dan barangsiapa yang
bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara dzalim, niscaya akan Kami
rasakan kepadanya sebagian siksa yang pedih.” (QS Al-Hajj [22]: 24-25).
Dari ayat ini kita dapat memahami bahwa Allah SWT tidak
berfirman menggunakan kalimat “barangsiapa yang melakukan kejahatan di
dalamnya” namun kalimat yang digunakan adalah “barangsiapa yang bermaksud
melakukan kejahatan di dalamnya.” Dengan demikian, Allah SWT akan tetap memberikan
siksaan kepada siapa saja yang bermaksud melakukan kejahatan: sekali lagi hanya
sebentuk maksud atau keinginan semata. Oleh karena itu, jika manusia mampu
menjaga dirinya dari niat-niat yang buruk dan keji, berarti jiwanya benar-benar
telah siap menerima amanah kebijakan dan pancaran cahaya dari rahmat Allah SWT.
Allah SWT melarang berbicara
menggunakan kata-kata yang buruk atau semisalnya, sifat-sifat fasik dan adu
argumentasi yang berlarut-larut hingga lupa bahwa sejatinya ia sedang
beribadah, sebagaimana dalam penggalan ayat berikut ini:
“Barangsiapa yang menetapkan niatnya
dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats (berbicara
menggunakan kata-kata yang kotor, buruk dan semisalnya), berbuat fasik dan
berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.”
Di dalam ibadah haji Allah SWT tentu akan memerintahkan
hambanya agar senantiasa melakukan aktivitas-aktivitas yang memiliki
nilai-nilai kebaikan. Sebagaimana dalam lanjutan firman-Nya:
“Dan apa yang kamu kerjakan berupa
kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya.”
Allah SWT mencintai segala bentuk aktivitas kebaikan
yang kita lakukan. Bahkan jika kita terus berusaha meningkatkan kualitas
kebaikan demi mendapatkan ridha-Nya, maka kelak ia akan menjadi bekal kita yang
dapat menyelamatkan pada hari di mana harta dan anak-anak kita tidak lagi bisa memberikan
manfaat kepada kita (tidak bisa membantu kita). Adapun sebaik-baiknya bekal
adalah ketakwaan. Sebagaimana tercantum secara jelas dalam lanjutan firman-Nya:
“Berbekal lah, dan sesungguhnya
sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang
berakal.”
Setelah itu, rangkaian ibadah haji
selanjutnya adalah melempar jumrah. Ini merupakan ibadah penutup karena makna
yang terkandung dalam ibadah melempar jumrah ini adalah melempar iblis yang
merupakan sumber segala macam perbuatan buruk dan keji serta maksiat. Wajar
saja, melempar jumrah dilakukan berulang-ulang kali.
Dari ulasan di atas kita dapat
menyimpulkan bahwa semua rangkaian ibadah haji merupakan bukti penegasan dari
manusia bahwa haji adalah memantapkan keyakinan, meninggalkan segala bentuk
hawa nafsu dan proses perubahan pribadi manusia menjadi manusia yang lebih baik
dan bermanfaat. Ini dilakukan tidak hanya dengan melepaskan ikatan setan pada
jiwa-jiwa manusia semata, melainkan juga menyucikannya dari bujuk rayu setan.
Karena setan sudah tidak lagi berkuasa atas dirinya. Sudah dipastikan, bila
manusia mampu melakukan seperti ini, ia dapat menempati posisi istimewa di mata
Allah SWT dengan gelar sebagai hamba-hamba-Nya yang dengan penuh keikhlasan dan
ketulusan, senantiasa menjalankan apa yang diperintahkan-Nya dan menjauhi
segala larangan-Nya.
Sebagai penutup, akan jauh lebih
sempurna jika kita merenungi sabda Rasulullah Saw, “Barangsiapa yang bepergian
untuk melaksanakan ibadah haji, dan selama berhaji ia tidak berkata rafats,
tidak juga melakukan kefasikan, maka ia akan kembali (pulang) seperti seorang
anak yang baru saja dilahirkan oleh sang ibu.” (HR Imam Bukhari dan Imam Muslim).
No comments:
Post a Comment