Friday, November 29, 2013

Prinsip-prinsip Kemanusiaan dalam Ibadah Haji




لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَشَرِيْكَ لَكَ
Aku memenuhi panggilan-Mu, ya Allah aku memenuhi panggilan-Mu. Aku memenuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu, aku memenuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya pujaan dan nikmat adalah milik-Mu, begitu juga kerajaan, tiada sekutu bagi-Mu.”
Berdasarkan kalimat talbiyah yang sarat makna keimanan ini, kualitas pribadi seorang Muslim akan senantiasa dituntun untuk mendapatkan hidayah. Karena hidayah merupakan buah yang dapat dipanen dari ladang-ladang keimanan. Memang, dalam pelaksanaan seluruh rangkaian ibadah haji, seorang Muslim harus benar-benar tulus mengerjakannya hanya untuk Allah SWT semata.  Lantaran ketulusan dan keikhlasan adalah pondasi pokok keimanan dan kemanusiaan. Dalam beragama, manusia harus mempraktikkan ajarannya penuh keihklasan. Dan dalam kehidupan sosialnya, manusia pun senantiasa dituntut agar selalu mengerjakan segala hal dengan penuh ketulusan.
Dengan kalimat talbiyah di atas, manusia menegaskan kepada dirinya sendiri bahwa semua yang ada di alam raya ini adalah hanyalah milik Allah SWT dan tiada pula sekutu bagi-Nya. Serta mengukuhkan bahwa segenap kenikmatan yang ia dapatkan merupakan limpahan rezeki yang hanya bersumber dari Allah SWT. Sebagaimana firman Allah SWT:
 “Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus pelbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak seorangpun yang sanggup melepaskannya sesudah itu. Dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS Fâthir [35]: 1-2).
Nilai keikhlasan dan ketulusan dalam melaksanakan seluruh rangkaian ibadah haji tercermin dari saat seorang Muslim bertaubat secara sungguh-sungguh pada awal ketika ia hendak bepergian melaksanakan ibadah haji. Dan taubat bukanlah rangkaian kata-kata yang diucapkan, melainkan merupakan upaya penuh kesadaran yang memiliki beberapa syarat:
1.      Berjanji pada diri sendiri untuk tidak melakukan maksiat kembali, serta menjauhi tempat-tempat kemaksiatan.
2.      Secara jujur mengakui perbuatannya dan menyesalinya penuh penyesalan.
3.      Berjanji pada diri sendiri untuk tidak melakukan maksiat selama-lamanya.
Dengan demikian, ketika ada satu syarat saja yang hilang atau tidak terpenuhi, maka taubatnya tidak sah. Dalam artian, ia belum benar-benar bertaubat.
Ketiga syarat di atas adalah khusus untuk kategori maksiat yang berhubungan langsung dengan kekuasaan Allah SWT, misalkan syirik, tidak beribadah, tidak berpuasa dan semacamnya. Adapun jika maksiatnya tersebut berhubungan dengan hak-hak manusia, maka syarat taubat yang jumlahnya tiga di atas harus ditambah dengan satu syarat lagi. Yaitu semaksimal mungkin meminta maaf kepada mereka dengan memberikan hak-hak mereka kembali, tentunya melalui tata-cara yang baik dan bijaksana.
Bila bertaubat adalah langkah pertama menyucikan batin untuk mencapai keikhlasan, maka mandi dan bersuci serta mengenakan kain serba putih merupakan langkah selanjutnya untuk menunjukkan keikhlasan melalui lahiriah badan. Ketika sudah dalam keadaan demikian, ia telah benar-benar siap memenuhi panggilan Allah SWT. Sebagaimana tercantum dalam firman-Nya:
  
“Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ibadah kepada-Nya.” (QS Al-Mu’min [40]: 14).
Dan pada tingkatan selanjutnya, ia akan sanggup menaati perintah Allah SWT, serta menjauhi apa yang dilarang oleh-Nya. Sebagaimana firman-Nya:
“Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu kitab (al-Quran) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata), ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya.’ Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.” (QS Az-Zumar [39]: 3).
Setibanya di Makkah al-Mukaramah, segera dimulailah ibadah thawaf dengan mengelilingi Ka’bah. Dalam proses ibadah thawaf ini, apa yang dilakukan oleh manusia haruslah hanya ditujukan kepada Allah SwT semata. Dengan keimanannya ini, manusia akan dapat berlari menjauh dari segala bentuk kemusyrikan, serta berbagai macam kemaksiatan, baik yang lahir maupun yang batin. Dan dengan menerima agama Allah SWT ini, ia akan meghadiahkan semua aktivitas kebaikannya kepada Allah SWT. Hanya kepada-Nya lah, ia akan memohon pertolongan, serta hanya kepada-Nya lah, ia memasrahkan segala urusan dan harapan.
Semua ini berfungsi sebagai bentuk persiapan diri untuk menancapkan nilai-nilai keikhlasan dan ketulusan dalam jiwa manusia. Serta menjadikan keikhlasan serta ketulusan sebagai nafas kehidupannya.
Setelah thawaf, ibadah selanjutnya adalah melaksanakan ibadah Sa’i. Sa’i sendiri merupakan sebuah aktivitas mulia yang telah dilakukan oleh Siti Hajar, yaitu ibunda Nabi Ism’ail, ketika ia berlarian ke sana ke mari di antara bukit Shafa dan Marwa demi mencari setetes air buat menyelamatkan rasa dahaga yang tengah menyiksa putranya. Ia bolak-balik antara kedua bukit tersebut sebanyak tujuh kali. Apa yang ia lakukan adalah bukti kasih sayang, rasa simpati serta belas kasih seorang ibu kepada putranya. Tindakan mulia yang dilakukan Siti Hajar inilah yang menjadikan peristiwa bersejarah tersebut diabadikan dalam ibadah Sa’i yang masuk dalam rangkain ibadah haji.
Dari peristiwa sejarah yang melatar-belakangi ibadah Sa’i tersebut, kita diajarkan untuk senantiasa mempraktikkan dan menyebar-luaskan rasa kasih sayang dan kepedulian kepada seluruh umat manusia di alam raya ini. Tak peduli apa perkataan dan perbuatannya, rasa kasih sayang haruslah hadir dalam setiap tindakan manusia, kapan saja dan di mana saja. Dengan demikian, ajaran agama Islam senantiasa memotivasi manusia agar selalu berkasih sayang antar-sesama manusia. Sehingga pada akhirnya agama Islam merupakan agama yang peduli atas bahtera kesejahteraan manusia. Maka apa yang disampaikan oleh Allah SWT kepada Rasulullah Saw terkait pengutusannya ke muka bumi ini adalah untuk menyelamatkan umat manusia dari kedzaliman dengan bertumpu pada nilai-nilai kasih sayang. Sebagaimana firman Allah SWT:
 “Sesungguhnya apa yang disebutkan dalam surat ini, benar-benar menjadi peringatan bagi kaum yang menyembah Allah. Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.” (QS Al-Anbiyâ’ [21]: 106-107).
Kemudian mengenai beberapa hikmah dari ibadah haji ini Allah SWT berfirman:
 “Musim haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi (bulan Syawal, Zulkaidah dan Zulhijjah). Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekal lah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang berakal.” (QS Al-Baqarah [2]: 197).
Bila kita cermati, ayat ini menginformasikan kepada kita bahwa dalam pelaksanaan seluruh rangkaian ibadah haji, umat Islam sama sekali tidak diperkenankan melakukan tindak kekejian dan kerusakan, baik itu berupa pernyataan maupun perbuatan. Jangankan melakukan hal-hal yang dapat menimbulkan perpecahan dan kerusakan secara langsung, bersikeras dalam mempertahankan argumen pun dilarang.
Barangkali hikmah yang dapat kita ambil dari ibadah haji ini akan mirip seperti hikmah pada ibadah puasa. Misalkan, menjaga diri dari segala bentuk kemaksiatan dan perbuatan keji. Hanya saja, dalam ibadah haji, Allah SWT menegaskan bahwa berniat melakukan hal keji atau maksiat saja tidak diperbolehkan, meskipun niat tersebut tidak dipraktikkan dalam tindakan. Sebagaimana dalam firman-Nya:
 “Dan mereka diberi petunjuk kepada ucapan-ucapan yang baik dan ditunjuki pula kepada jalan Allah yang terpuji. Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan menghalangi manusia dari jalan Allah dan Masjidil Haram yang telah Kami jadikan untuk semua manusia, baik yang bermukim di situ maupun di padang pasir. Dan barangsiapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara dzalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebagian siksa yang pedih.” (QS Al-Hajj [22]: 24-25).
Dari ayat ini kita dapat memahami bahwa Allah SWT tidak berfirman menggunakan kalimat “barangsiapa yang melakukan kejahatan di dalamnya” namun kalimat yang digunakan adalah “barangsiapa yang bermaksud melakukan kejahatan di dalamnya.” Dengan demikian, Allah SWT akan tetap memberikan siksaan kepada siapa saja yang bermaksud melakukan kejahatan: sekali lagi hanya sebentuk maksud atau keinginan semata. Oleh karena itu, jika manusia mampu menjaga dirinya dari niat-niat yang buruk dan keji, berarti jiwanya benar-benar telah siap menerima amanah kebijakan dan pancaran cahaya dari rahmat Allah SWT.
Allah SWT melarang berbicara menggunakan kata-kata yang buruk atau semisalnya, sifat-sifat fasik dan adu argumentasi yang berlarut-larut hingga lupa bahwa sejatinya ia sedang beribadah, sebagaimana dalam penggalan ayat berikut ini:
 “Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats (berbicara menggunakan kata-kata yang kotor, buruk dan semisalnya), berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.”
Di dalam ibadah haji Allah SWT tentu akan memerintahkan hambanya agar senantiasa melakukan aktivitas-aktivitas yang memiliki nilai-nilai kebaikan. Sebagaimana dalam lanjutan firman-Nya:
“Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya.”
Allah SWT mencintai segala bentuk aktivitas kebaikan yang kita lakukan. Bahkan jika kita terus berusaha meningkatkan kualitas kebaikan demi mendapatkan ridha-Nya, maka kelak ia akan menjadi bekal kita yang dapat menyelamatkan pada hari di mana harta dan anak-anak kita tidak lagi bisa memberikan manfaat kepada kita (tidak bisa membantu kita). Adapun sebaik-baiknya bekal adalah ketakwaan. Sebagaimana tercantum secara jelas dalam lanjutan firman-Nya:
 “Berbekal lah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang berakal.”
Setelah itu, rangkaian ibadah haji selanjutnya adalah melempar jumrah. Ini merupakan ibadah penutup karena makna yang terkandung dalam ibadah melempar jumrah ini adalah melempar iblis yang merupakan sumber segala macam perbuatan buruk dan keji serta maksiat. Wajar saja, melempar jumrah dilakukan berulang-ulang kali.
Dari ulasan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa semua rangkaian ibadah haji merupakan bukti penegasan dari manusia bahwa haji adalah memantapkan keyakinan, meninggalkan segala bentuk hawa nafsu dan proses perubahan pribadi manusia menjadi manusia yang lebih baik dan bermanfaat. Ini dilakukan tidak hanya dengan melepaskan ikatan setan pada jiwa-jiwa manusia semata, melainkan juga menyucikannya dari bujuk rayu setan. Karena setan sudah tidak lagi berkuasa atas dirinya. Sudah dipastikan, bila manusia mampu melakukan seperti ini, ia dapat menempati posisi istimewa di mata Allah SWT dengan gelar sebagai hamba-hamba-Nya yang dengan penuh keikhlasan dan ketulusan, senantiasa menjalankan apa yang diperintahkan-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Sebagai penutup, akan jauh lebih sempurna jika kita merenungi sabda Rasulullah Saw, “Barangsiapa yang bepergian untuk melaksanakan ibadah haji, dan selama berhaji ia tidak berkata rafats, tidak juga melakukan kefasikan, maka ia akan kembali (pulang) seperti seorang anak yang baru saja dilahirkan oleh sang ibu.” (HR Imam Bukhari dan Imam Muslim).

No comments:

Post a Comment