Imam Bukhari r.a. berhasil merekam jejak
sejarah yang sangat penting. Sebuah sejarah yang menggambarkan ketegasan
sahabat Abu Bakar r.a. ketika menghadapi kasus yang berkaitan dengan pembayaran
zakat. Sebagaimana kita ketahui, mengeluarkan zakat merupakan
pilar ketiga dari lima pilar rukun Islam. Melalui riwayat dari Abu Huarairah
r.a., Imam Bukhari r.a. bercerita bahwa selang beberapa waktu setelah Rasulullah
Saw. wafat, muncullah golongan orang yang enggan, bahkan tak mau lagi
mengeluarkan zakat. Sahabat Abu Bakar r.a. yang kala itu menjabat sebagai
Khalifah, sudah seharusnya mengambil langkah dan sikap yang tegas terkait
fenomena ini.
Sahabat Umar bin Khattab r.a. – yang
kala itu sangat dekat dengan sahabat Abu Bakar r.a. – mencoba memberanikan diri
untuk bertanya kepadanya, “Wahai saudaraku, bagaimanakah dan dengan cara apakah
engkau hendak memerangi mereka, sementara kita tahu bahwa Rasulullah Saw.
pernah bersabda, “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka
mengucapkan “Lâ Ilaha Illallah?” Barang siapa yang mengucapkan kalimat tauhid tersebut,
niscaya aku sendiri yang akan menjamin nyawa dan hartanya.”
Lalu dengan dalih apakah engkau akan menjadikan pengucapan kalimat
tauhid dan enggan mengeluarkan zakat sebagai sebuah fenomena yang memiliki
hukum yang sama (sama-sama diperbolehkan untuk diperangi)? Sahabat Abu Bakar menjawab,
“Demi Allah, aku akan benar-benar memerangi
siapa saja yang berani membedakan antara zakat dan shalat. Ketahuilah bahwa
zakat merupakan hak harta (untuk disucikan). Dan demi Allah, jika mereka
mencoba menghalangiku dengan mengancam atau berencana menyengsarakanku,
sebagaimana yang telah mereka lakukan kepada Rasulullah Saw., niscaya akan aku perangi
siapa saja yang melarang untuk mengeluarkan zakat.”
Setelah itu, sahabat Umar bin
Khattab memberikan pujian kepada sahabat Abu Bakar dan berkata, “Demi Allah,
sesungguhnya Allah Swt. telah menjelaskan semuanya dalam dada Abu Bakar. Maka aku pun mengetahui bahwa semua
yang disampaikan oleh Abu Bakar adalah benar.”
Dari riwayat di atas, kita dapat mengerti
bahwa seseorang yang melarang keluarganya untuk mengeluarkan zakat, maka ia
telah kafir. Oleh sebab itu, ia berhak untuk diingatkan bahkan kalau perlu
diperangi sampai ia mau mengeluarkan zakat. Andai ia masih menolak maka ia
boleh dibunuh. Dalam
hal ini, sahabat Abu
Bakar adalah
contoh paling nyata yang mesti kita jadikan suri
tauladan. Karena selama
menjabat menjadi Khalifah, beliau memang benar-benar
memerangi siapa saja yang menolak atau melarang untuk mengeluarkan zakat.
Karena dalam pandangan Abu Bakar, pelarangan atau enggan mengeluarkan zakat
merupakan sebuah pengingkaran atas kewajiban zakat itu sendiri. Karena sikap
semacam ini akan berujung
kepada kemurtadan dari agama Islam. Hal ini seolah menjadi sebuah kesepakatan diantara
para sahabat bahwa percuma saja bagi mereka yang melakukan ibadah shalat dan
puasa, jika ia tidak mau mengeluarkan zakat. Ini semua karena zakat merupakan
salah satu pilar agama Islam. Melarang atau menolak mengeluarkan
zakat berarti sama saja dengan menghancurkan pilar-pilar agama tersebut.
Zakat sendiri merupakan pilar
ketiga dari lima pilar dalam agama Islam. Dan kewajiban membayar zakat kepada
yang berhak merupakan aktifitas sosial yang dapat menghidupi beberapa jiwa
manusia; mengenyangkan mereka yang kelaparan; menghapuskan air mata mereka yang
menderita dan sedang dalam keadaan kesusahan; dan di akhirat nanti ia akan
mendatangkan rahmat dan pahala dari Allah Swt.
Islam sendiri – sebagai sebuah
agama –memandang bahwa mengeluarkan zakat merupakan salah satu tata-cara
bersyukur seorang hamba atas nikma-nikmat Allah Swt. yang telah diberikan
kepadanya. Dari sisi yang lain, zakat
merupakan sumbangsih agama Islam dalam mensejahterakan kehidupan sosial sebuah masyarakat.
Islam sendiri sudah menegaskan bahwa sudah selayaknya manusia itu hidup saling membantu dan memperhatikan satu
sama lain. Ia diibaratkan seperti satu jasad, jika pada bagian tubuh ada yang
sakit, maka seluruh tubuh pun juga
akan merasakannya.
Dengan demikian, jika Islam
menyatakan bahwa kehidupan manusia diibaratkan seperti satu jasad, maka setiap
orang memiliki tanggungjawab yang sama atas yang lainnya. Mereka yang
berkecukupan bertanggungjawab atas mereka yang sedang kesusahan. Mereka yang
kuat berkewajiban dan harus membela yang lemah.
Dan mereka yang berilmu bertanggungjawab harus mengajarkan ilmunya
kepada mereka yang belum tahu. Serta jika seseorang sampai terjatuh pada sebuah
keadaan yang mendesak sehingga menimbulkan keprihatinan, maka yang lain harus bersama-sama
mencarikan solusi dan diselesaikan secara bersama-sama pula.
Allah Swt. menjadikan zakat
sebagai barometer
keimanan seseorang. Pernyataan ini dapat dibenarkan
atas sabda Rasulullah Saw., “Sedekah adalah sebuah petunjuk (penanda) keimanan.”
Barang siapa yang melarang, menolak
atau enggan untuk mengeluarkan zakat, maka ia berarti telah kehilangan petunjuk keimanannya. Oleh karena itu,
mereka yang mengingkari zakat sama halnya sedang menunjukkan kepada dirinya
sendiri bahwa ia adalah pembohong dan keimanan mereka adalah palsu.
Di samping itu, zakat termasuk
salah satu rangkaian pensucian jiwa dan juga pensucian harta benda. Pernyataan
ini dijelaskan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka. Dengan zakat itu, kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” (QS: Al-Taubah [9]: 103).
Ketahuilah, setelah umat muslim mengeluarkan zakatnya, sejatinya Allah
Swt. telah menggantinya dengan dua kali lipat lebih banyak. Ini merupakan janji
Allah Swt. yang tertuang dalam firman-Nya:
“Perumpamaan orang-orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh
bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran)
bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas
(karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS: Al-Baqarah [2]: 26).
Dari ulasan di atas, dapat kita tarik
benang merah bahwa zakat merupakan ikatan yang menghubungkan antara manusia
dengan Allah Swt.; sebuah hubungan suci yang diridhai oleh-Nya. Ia juga merupakan bentuk wujud rasa
syukur manusia kepada karunia-Nya
atas semua yang
telah diberikan-Nya
kepada
manusia. Sudah sewajarnya manusia harus berterimakasih
kepada-Nya. Bila
dilihat dari
nilai-nilai sosial, zakat merupakan bentuk aktifitas kemanusiaan. Karena ia
mengatur langsung bagaimana cara berbagi antar sesama dengan tetap
memperhatikan asas-asas kepedulian dan tali kasih sayang.
Asas-asas yang harus diperhatikan
ketika mengeluarkan zakat adalah bahwa zakat harus diberikan atas dasar iman
dan rasa peduli terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Niat tulus, ikhlas dan tetap selalu bersyukur adalah
kunci utamanya. Karena jika tidak, ia hanya akan menjadi ibadah yang sia-sia. Dalam hal ini
Allah Swt. telah
memperingatkan kita dalam firman-Nya:
“Maka, Kami memperingatkan kamu
dengan neraka yang menyala-nyala. Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling
celaka, yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari iman). Kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka
itu, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk
membersihkannya. Padahal tidak ada seseorangpun memberikan suatu nikmat kepadanya
yang harus dibalasnya. Tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari
keridhaan Tuhannya yang Maha Tinggi. Dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan.” (QS: Al-Lail [92]: 24-21).
Karena pada kenyataannya, terdapat beberapa golongan manusia
yang senantiasa pamrih dalam amal sedekahnya. Zakat yang ia keluarkan tidak
lagi diniati dengan ketulusan ibadah dan rasa syukur, melainkan hanya sebagai simbol
kesombongan atas harta kekayaan. Model zakat yang seperti ini tidaklah diterima
di sisi Allah Swt. Karena hanya amal ibadah dan sedekah yang tuluslah yang akan diterima di sisi-Nya. Hal ini juga ditegaskan dalam firman-Nya:
“Orang-orang yang menafkahkan
hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang
dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak
menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan
mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula)
mereka bersedih hati.” (QS: Al-Baqarah [2]: 262).
Karena sejatinya harta benda yang dizakatkan tersebut
adalah sepenuhnya milik Allah Swt. Pernyataan ini terangkum jelas dalam
firman-Nya:
”Dan berikanlah kepada mereka sebagian
dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu.” (QS: Al-Nur [24]: 33).
Dan dalam hadits Qudsi, Allah Swt. berfirman, “Mereka yang kaya adalah wakil-Ku dan mereka yang miskin adalah keluarga-Ku. Dan jika para wakil-Ku menyia-nyiakan keluarga-Ku, niscaya mereka akan AKu siksa, dan tidak akan lagi mendapat perhatian dari-Ku.”
Sebagai penegasan atas
kekuasaan-Nya, Allah Swt. kembali memperingatkan kepada mereka yang enggan
untuk berbagi, dan cenderung menyimpan harta-bendanya demi kepentingannya
sendiri seperti di dalam ayat berikut:
“Sekali-kali janganlah orang-orang
yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya
menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu
adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak
di lehernya di hari kiamat. Kepunyaan Allah-lah segala
warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (QS: Ali-Imran [3]: 180).
No comments:
Post a Comment