Monday, November 18, 2013

Rahasia-rahasia di Balik Zakat


Imam Bukhari r.a. berhasil merekam jejak sejarah yang sangat penting. Sebuah sejarah yang menggambarkan ketegasan sahabat Abu Bakar r.a. ketika menghadapi kasus yang berkaitan dengan pembayaran zakat. Sebagaimana kita ketahui, mengeluarkan zakat merupakan pilar ketiga dari lima pilar rukun Islam. Melalui riwayat dari Abu Huarairah r.a., Imam Bukhari r.a. bercerita bahwa selang beberapa waktu setelah Rasulullah Saw. wafat, muncullah golongan orang yang enggan, bahkan tak mau lagi mengeluarkan zakat. Sahabat Abu Bakar r.a. yang kala itu menjabat sebagai Khalifah, sudah seharusnya mengambil langkah dan sikap yang tegas terkait fenomena ini.

Sahabat Umar bin Khattab r.a. – yang kala itu sangat dekat dengan sahabat Abu Bakar r.a. – mencoba memberanikan diri untuk bertanya kepadanya, “Wahai saudaraku, bagaimanakah dan dengan cara apakah engkau hendak memerangi mereka, sementara kita tahu bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda, “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan “Lâ Ilaha Illallah?” Barang siapa yang mengucapkan kalimat tauhid tersebut, niscaya aku sendiri yang akan menjamin nyawa dan hartanya.” 
Lalu dengan dalih apakah engkau akan menjadikan pengucapan kalimat tauhid dan enggan mengeluarkan zakat sebagai sebuah fenomena yang memiliki hukum yang sama (sama-sama diperbolehkan untuk diperangi)? Sahabat Abu Bakar menjawab, “Demi Allah, aku akan benar-benar memerangi siapa saja yang berani membedakan antara zakat dan shalat. Ketahuilah bahwa zakat merupakan hak harta (untuk disucikan). Dan demi Allah, jika mereka mencoba menghalangiku dengan mengancam atau berencana menyengsarakanku, sebagaimana yang telah mereka lakukan kepada Rasulullah Saw., niscaya akan aku perangi siapa saja yang melarang untuk mengeluarkan zakat.”
Setelah itu, sahabat Umar bin Khattab memberikan pujian kepada sahabat Abu Bakar dan berkata, “Demi Allah, sesungguhnya Allah Swt. telah menjelaskan semuanya dalam dada Abu Bakar. Maka aku pun mengetahui bahwa semua yang disampaikan oleh Abu Bakar adalah benar.”
Dari riwayat di atas, kita dapat mengerti bahwa seseorang yang melarang keluarganya untuk mengeluarkan zakat, maka ia telah kafir. Oleh sebab itu, ia berhak untuk diingatkan bahkan kalau perlu diperangi sampai ia mau mengeluarkan zakat. Andai ia masih menolak maka ia boleh dibunuh. Dalam hal ini, sahabat Abu Bakar adalah contoh paling nyata yang mesti kita jadikan suri tauladan. Karena selama menjabat menjadi Khalifah, beliau memang benar-benar memerangi siapa saja yang menolak atau melarang untuk mengeluarkan zakat. Karena dalam pandangan Abu Bakar, pelarangan atau enggan mengeluarkan zakat merupakan sebuah pengingkaran atas kewajiban zakat itu sendiri. Karena sikap semacam ini akan berujung kepada kemurtadan dari agama Islam. Hal ini seolah menjadi sebuah kesepakatan diantara para sahabat bahwa percuma saja bagi mereka yang melakukan ibadah shalat dan puasa, jika ia tidak mau mengeluarkan zakat. Ini semua karena zakat merupakan salah satu pilar agama Islam. Melarang atau menolak mengeluarkan zakat berarti sama saja dengan menghancurkan pilar-pilar agama tersebut.
Zakat sendiri merupakan pilar ketiga dari lima pilar dalam agama Islam. Dan kewajiban membayar zakat kepada yang berhak merupakan aktifitas sosial yang dapat menghidupi beberapa jiwa manusia; mengenyangkan mereka yang kelaparan; menghapuskan air mata mereka yang menderita dan sedang dalam keadaan kesusahan; dan di akhirat nanti ia akan mendatangkan rahmat dan pahala dari Allah Swt.
Islam sendiri – sebagai sebuah agama –memandang bahwa mengeluarkan zakat merupakan salah satu tata-cara bersyukur seorang hamba atas nikma-nikmat Allah Swt. yang telah diberikan kepadanya. Dari sisi yang lain, zakat merupakan sumbangsih agama Islam dalam mensejahterakan kehidupan sosial sebuah masyarakat. Islam sendiri sudah menegaskan bahwa sudah selayaknya manusia itu hidup saling membantu dan memperhatikan satu sama lain. Ia diibaratkan seperti satu jasad, jika pada bagian tubuh ada yang sakit, maka seluruh tubuh pun juga akan merasakannya.
Dengan demikian, jika Islam menyatakan bahwa kehidupan manusia diibaratkan seperti satu jasad, maka setiap orang memiliki tanggungjawab yang sama atas yang lainnya. Mereka yang berkecukupan bertanggungjawab atas mereka yang sedang kesusahan. Mereka yang kuat berkewajiban dan harus membela yang lemah.  Dan mereka yang berilmu bertanggungjawab harus mengajarkan ilmunya kepada mereka yang belum tahu. Serta jika seseorang sampai terjatuh pada sebuah keadaan yang mendesak sehingga menimbulkan keprihatinan, maka yang lain harus bersama-sama mencarikan solusi dan diselesaikan secara bersama-sama pula.
Allah Swt. menjadikan zakat sebagai barometer keimanan seseorang. Pernyataan ini dapat dibenarkan atas sabda Rasulullah Saw., “Sedekah adalah sebuah petunjuk (penanda) keimanan.” Barang siapa yang melarang, menolak atau enggan untuk mengeluarkan zakat, maka ia berarti telah kehilangan petunjuk keimanannya. Oleh karena itu, mereka yang mengingkari zakat sama halnya sedang menunjukkan kepada dirinya sendiri bahwa ia adalah pembohong dan keimanan mereka adalah palsu.
Di samping itu, zakat termasuk salah satu rangkaian pensucian jiwa dan juga pensucian harta benda. Pernyataan ini dijelaskan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya:

 “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka. Dengan zakat itu, kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” (QS: Al-Taubah [9]: 103).
Ketahuilah, setelah umat muslim mengeluarkan zakatnya, sejatinya Allah Swt. telah menggantinya dengan dua kali lipat lebih banyak. Ini merupakan janji Allah Swt. yang tertuang dalam firman-Nya:

“Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS: Al-Baqarah [2]: 26).
Dari ulasan di atas, dapat kita tarik benang merah bahwa zakat merupakan ikatan yang menghubungkan antara manusia dengan Allah Swt.; sebuah hubungan suci yang diridhai oleh-Nya. Ia juga merupakan bentuk wujud rasa syukur manusia kepada karunia-Nya atas semua yang telah diberikan-Nya kepada manusia.  Sudah sewajarnya manusia harus berterimakasih kepada-Nya. Bila dilihat dari nilai-nilai sosial, zakat merupakan bentuk aktifitas kemanusiaan. Karena ia mengatur langsung bagaimana cara berbagi antar sesama dengan tetap memperhatikan asas-asas kepedulian dan tali kasih sayang.
Asas-asas yang harus diperhatikan ketika mengeluarkan zakat adalah bahwa zakat harus diberikan atas dasar iman dan rasa peduli terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Niat tulus, ikhlas dan tetap selalu bersyukur adalah kunci utamanya. Karena jika tidak, ia hanya akan menjadi ibadah yang sia-sia. Dalam hal ini Allah Swt. telah memperingatkan kita dalam firman-Nya:

“Maka, Kami memperingatkan kamu dengan neraka yang menyala-nyala. Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka, yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari iman). Kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya. Padahal tidak ada seseorangpun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya. Tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya yang Maha Tinggi. Dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan.” (QS: Al-Lail [92]: 24-21).
Karena pada kenyataannya, terdapat beberapa golongan manusia yang senantiasa pamrih dalam amal sedekahnya. Zakat yang ia keluarkan tidak lagi diniati dengan ketulusan ibadah dan rasa syukur, melainkan hanya sebagai simbol kesombongan atas harta kekayaan. Model zakat yang seperti ini tidaklah diterima di sisi Allah Swt. Karena hanya amal ibadah dan sedekah yang tuluslah yang akan diterima di sisi-Nya. Hal ini juga ditegaskan dalam firman-Nya:

“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS: Al-Baqarah [2]: 262).
Karena sejatinya harta benda yang dizakatkan tersebut adalah sepenuhnya milik Allah Swt. Pernyataan ini terangkum jelas dalam firman-Nya:

”Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu.” (QS: Al-Nur [24]: 33). 
Dan dalam hadits Qudsi, Allah Swt. berfirman, “Mereka yang kaya adalah wakil-Ku dan mereka yang miskin adalah keluarga-Ku. Dan jika para wakil-Ku menyia-nyiakan keluarga-Ku, niscaya mereka akan AKu siksa, dan tidak akan lagi mendapat perhatian dari-Ku.”
Sebagai penegasan atas kekuasaan-Nya, Allah Swt. kembali memperingatkan kepada mereka yang enggan untuk berbagi, dan cenderung menyimpan harta-bendanya demi kepentingannya sendiri seperti di dalam ayat berikut:


“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS: Ali-Imran [3]: 180).

No comments:

Post a Comment