Thursday, November 7, 2013

Waktu Makin Sempit, Regulasi Teknis BPJS Ditunggu

Waktu transformasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) tinggal 54 hari lagi. Pemerintah sudah harus menyiapkan semua infrastruktur untuk mendukung operasionalisasi BPJS. Jika tidak, harapan besar terhadap sistem jaminan sosial nasional tetap berpotensi menimbulkan perselisihan kerja.
Mantan Dirut PT Askes dan Ketua Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) 2001-2004, Sulastomo, berpendapat jika SJSN yang operasionalnya dilakukan melalui BJPS berjalan maksimal, perselisihan ketenagakerjaan tidak perlu terjadi. Kebutuhan dasar rakyat, termasuk pekerja, akan terpenuhi. Jaminan kesehatan, hari tua, kematian, kecelakan kerja, dan pensiun bisa menjadi harapan bagi pekerja. Pekerja tak melulu membutuhkan upah, tetapi juga jaminan kesehatan dan jaminan sosial.
Jaminan itu memberi harapan juga kepada pengusaha yang menginginkan produktivitas pekerjanya. Jika jaminan kesehatan dan sosial terlaksana, pekerja bisa berkonsentrasi melakukan tugas. Kalaupun pekerja jatuh sakit, ada perlindungan melalui sistem jaminan sosial. Sulastomo yakin SJSN bisa meredam potensi konflik ketenagakerjaan. “Tanpa SJSN Indonesia bakal ribut melulu dan tiap tahun pasti ada demonstrasi yang dilakukan kaum pekerja untuk menuntut kesejahteraan,” ucapnya dalam diskusi yang digelar Apindo Training Center di Jakarta, Rabu (6/10).
Meskipun SJSN prospektif, Sulastomo mengingatkan agar pemerintah tak menganggap remeh kesiapan infrastruktur seperti peraturan pelaksanannya. Peraturan teknis hingga kini masih belum selesai. Sulastomo menilai persiapannya berjalan lamban. Karena itu, ia meminta pemerintah serius agar pelaksanaan SJSN tetap sesuai jadwal.  “SJSN harus berjalan,” tegasnya.
Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Bambang Purwoko, menilai pemerintah masih melihat SJSN atau BPJS sebagai barang mewah. Padahal, BPJS tergolong sebagai jaring pengaman bagi rakyat Indonesia, termasuk pekerja. Untuk itu Bambang berharap pemerintah dapat segera menerbitkan peraturan pelaksana sebagaimana diamanatkan UU SJSN dan BPJS. “Jaminan sosial ini skemanya perlindungan dasar bagi seluruh rakyat Indonesia,” ujarnya.
Anggota Komisi IX DPR, Indra, mencatat proses pembentukan UU SJSN dan BPJS memakan waktu yang panjang. Baginya, yang membuat proses itu berjalan sangat lamban adalah minimnya kemauan politik pimpinan pemerintahan. Sebagaimana Sulastomo, Indra yakin ketika jaminan kesehatan dan sosial sudah bergulir dan mencakup seluruh rakyat Indonesia maka perdebatan mengenai kesejahteraan pekerja, khususnya upah tidak akan panjang lebar.
Terkait lambannya pemerintah menerbitkan peraturan pelaksana BPJS, Indra mengaku sejak lama mengingatkan pemerintah. Misalnya, akhir tahun lalu ketika batas waktu penerbitan regulasi BPJS Kesehatan sudah habis. DPR sudah berkali-kali mengingatkan pemerintah agar peraturan pelaksana itu segera diterbitkan.
Ujungnya, Indra melanjutkan, sampai saat ini pemerintah baru menerbitkan dua peraturan pelaksana BPJS Kesehatan. Mengacu hal tersebut, Indra khawatir BPJS Kesehatan tidak dapat berjalan maksimal. Selain itu Indra berkomitmen jika pemerintah tidak mampu mengimplementasukan BPJS, maka DPR akan didorong untuk melakukan tindakan. “Jika BPJS gagal diimplementasikan, DPR harus melakukan interpelasi atau bahkan hak angket,” paparnya.
Ekonom, Faisal Basri, menyebut pemerintah tidak tanggap menjalankan tugas. Misalnya, di berbagai forum Presiden SBY menyatakan Indonesia sudah meninggalkan era upah murah. Padahal, lebih dari 60 persen pekerja di Indonesia tingkat pendidikannya di bawah SMP. Lalu, bea masuk barang ke Indonesia hanya 2,6 persen, lebih murah dari Singapura. Dengan kondisi itu Faisal menilai kebijakan yang diterbitkan pemerintah tidak sinergis. Sehingga rakyat menjadi korban. Ironisnya, pemerintah tidak menyediakan jaring pengaman bagi rakyatnya. Walaupun pemerintah kerap mengklaim bahwa upah minimum adalah jaring pengaman, Faisal menampiknya.
Bagi Faisal upah minimum bukan jaring pengaman. Jika pemerintah serius menyelenggarakan jaring pengaman maka SJSN harus dilaksanakan secara konsisten. Seperti Indra, Faisal menilai pemerintah lemah dalam melindungi rakyat Indonesia lewat proteksi sosial. Hal itu semakin jelas ketika posisi Indonesia sekarang dalam bidang proteksi sosial termasuk yang terendah. Yaitu berada di urutan 27 dari 30-an negara di dunia. Bahkan Indonesia jauh tertinggal dengan Timor Leste yang mampu menduduki peringkat 17 dalam bidang proteksi sosial.
“Yang dimaksud jaring pengaman itu seharusnya bukan upah minimum tapi SJSN. Proteksi sosial itu diantaranya Jaminan kesehatan, perlindungan terhadap pekerja, kelompok usia kerja,” ujar Faisal.
Terkait peraturan pelaksana BPJS, Anggota Sektor dan Bidang Advokasi serta Kebijakan Publik DPN Apindo, Anthony Hilman, mengatakan regulasi itu penting agar pemangku kepentingan mengetahui bagaimana pelaksanaan BPJS ke depan. Ia menjelaskan saat ini banyak pertanyaan yang muncul baik di kalangan pengusaha ataupun pekerja soal pelaksanaan BPJS Kesehatan. Misalnya, bagaimana dengan perusahaan yang saat ini sudah memberikan jaminan kesehatan yang sangat baik kepada pekerjanya. Menurutnya, BPJS Kesehatan hanya melayani kebutuhan dasar, sedangkan jaminan kesehatan yang digelar sebagian perusahaan besar sudah lebih dari itu.
Anthony mengatakan ada kekhawatiran di kalangan pengusaha ketika BPJS Kesehatan berjalan, maka pengusaha diwajibkan untuk mendaftarkan seluruh pekerjanya. Ujungnya, pengusaha akan membayar ganda iuran jaminan kesehatan yaitu kepada asuransi dan BPJS Kesehatan. Sedangkan kalangan pekerja yang jaminan kesehatannya saat ini sudah baik khawatir manfaat yang diterima bakal berkurang ketika dialihkan menjadi peserta BPJS Kesehatan.
Oleh karenanya, Anthony berharap agar pemerintah segera menerbitkan peraturan pelaksana BPJS agar pemangku kepentingan mendapat kejelasan. “Ke depan, hal ini berpotensi menimbulkan konflik ketenagakerjaan,” ucapnya.

Menanggapi hal itu, Direktur Pengupahan dan Jamsos Kemnakertrans, Wahyu Widodo, mengatakan sejumlah peraturan pelaksana BPJS sudah masuk tahap harmonisasi. Dari berbagai peraturan itu, salah satu yang diharmonisasi adalah Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Aset BPJS atau dikenal dengan RPP Alma. “Pemerintah optimis SJSN bisa jalan tahun depan,” pungkasnya. (www.hukumonline.com)

No comments:

Post a Comment