Waktu
transformasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) tinggal 54 hari lagi.
Pemerintah sudah harus menyiapkan semua infrastruktur untuk mendukung
operasionalisasi BPJS. Jika tidak, harapan besar terhadap sistem jaminan sosial
nasional tetap berpotensi menimbulkan perselisihan kerja.
Mantan
Dirut PT Askes dan Ketua Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) 2001-2004,
Sulastomo, berpendapat jika SJSN yang operasionalnya dilakukan melalui BJPS
berjalan maksimal, perselisihan ketenagakerjaan tidak perlu terjadi. Kebutuhan
dasar rakyat, termasuk pekerja, akan terpenuhi. Jaminan kesehatan, hari tua,
kematian, kecelakan kerja, dan pensiun bisa menjadi harapan bagi pekerja.
Pekerja tak melulu membutuhkan upah, tetapi juga jaminan kesehatan dan jaminan
sosial.
Jaminan itu
memberi harapan juga kepada pengusaha yang menginginkan produktivitas
pekerjanya. Jika jaminan kesehatan dan sosial terlaksana, pekerja bisa
berkonsentrasi melakukan tugas. Kalaupun pekerja jatuh sakit, ada perlindungan
melalui sistem jaminan sosial. Sulastomo yakin SJSN bisa meredam potensi
konflik ketenagakerjaan. “Tanpa SJSN Indonesia bakal ribut melulu dan tiap
tahun pasti ada demonstrasi yang dilakukan kaum pekerja untuk menuntut
kesejahteraan,” ucapnya dalam diskusi yang digelar Apindo Training Center di
Jakarta, Rabu (6/10).
Meskipun
SJSN prospektif, Sulastomo mengingatkan agar pemerintah tak menganggap remeh
kesiapan infrastruktur seperti peraturan pelaksanannya. Peraturan teknis hingga
kini masih belum selesai. Sulastomo menilai persiapannya berjalan lamban.
Karena itu, ia meminta pemerintah serius agar pelaksanaan SJSN tetap sesuai
jadwal. “SJSN harus berjalan,” tegasnya.
Anggota
Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Bambang Purwoko, menilai pemerintah masih
melihat SJSN atau BPJS sebagai barang mewah. Padahal, BPJS tergolong sebagai
jaring pengaman bagi rakyat Indonesia, termasuk pekerja. Untuk itu Bambang
berharap pemerintah dapat segera menerbitkan peraturan pelaksana sebagaimana
diamanatkan UU SJSN dan BPJS. “Jaminan sosial ini skemanya perlindungan dasar
bagi seluruh rakyat Indonesia,” ujarnya.
Anggota
Komisi IX DPR, Indra, mencatat proses pembentukan UU SJSN dan BPJS memakan
waktu yang panjang. Baginya, yang membuat proses itu berjalan sangat lamban
adalah minimnya kemauan politik pimpinan pemerintahan. Sebagaimana Sulastomo,
Indra yakin ketika jaminan kesehatan dan sosial sudah bergulir dan mencakup
seluruh rakyat Indonesia maka perdebatan mengenai kesejahteraan pekerja,
khususnya upah tidak akan panjang lebar.
Terkait
lambannya pemerintah menerbitkan peraturan pelaksana BPJS, Indra mengaku sejak
lama mengingatkan pemerintah. Misalnya, akhir tahun lalu ketika batas waktu
penerbitan regulasi BPJS Kesehatan sudah habis. DPR sudah berkali-kali
mengingatkan pemerintah agar peraturan pelaksana itu segera diterbitkan.
Ujungnya,
Indra melanjutkan, sampai saat ini pemerintah baru menerbitkan dua peraturan
pelaksana BPJS Kesehatan. Mengacu hal tersebut, Indra khawatir BPJS Kesehatan
tidak dapat berjalan maksimal. Selain itu Indra berkomitmen jika pemerintah
tidak mampu mengimplementasukan BPJS, maka DPR akan didorong untuk melakukan
tindakan. “Jika BPJS gagal diimplementasikan, DPR harus melakukan interpelasi
atau bahkan hak angket,” paparnya.
Ekonom,
Faisal Basri, menyebut pemerintah tidak tanggap menjalankan tugas. Misalnya, di
berbagai forum Presiden SBY menyatakan Indonesia sudah meninggalkan era upah
murah. Padahal, lebih dari 60 persen pekerja di Indonesia tingkat pendidikannya
di bawah SMP. Lalu, bea masuk barang ke Indonesia hanya 2,6 persen, lebih murah
dari Singapura. Dengan kondisi itu Faisal menilai kebijakan yang diterbitkan
pemerintah tidak sinergis. Sehingga rakyat menjadi korban. Ironisnya,
pemerintah tidak menyediakan jaring pengaman bagi rakyatnya. Walaupun
pemerintah kerap mengklaim bahwa upah minimum adalah jaring pengaman, Faisal
menampiknya.
Bagi Faisal
upah minimum bukan jaring pengaman. Jika pemerintah serius menyelenggarakan
jaring pengaman maka SJSN harus dilaksanakan secara konsisten. Seperti Indra,
Faisal menilai pemerintah lemah dalam melindungi rakyat Indonesia lewat
proteksi sosial. Hal itu semakin jelas ketika posisi Indonesia sekarang dalam
bidang proteksi sosial termasuk yang terendah. Yaitu berada di urutan 27 dari
30-an negara di dunia. Bahkan Indonesia jauh tertinggal dengan Timor Leste yang
mampu menduduki peringkat 17 dalam bidang proteksi sosial.
“Yang
dimaksud jaring pengaman itu seharusnya bukan upah minimum tapi SJSN. Proteksi
sosial itu diantaranya Jaminan kesehatan, perlindungan terhadap pekerja,
kelompok usia kerja,” ujar Faisal.
Terkait
peraturan pelaksana BPJS, Anggota Sektor dan Bidang Advokasi serta Kebijakan
Publik DPN Apindo, Anthony Hilman, mengatakan regulasi itu penting agar
pemangku kepentingan mengetahui bagaimana pelaksanaan BPJS ke depan. Ia
menjelaskan saat ini banyak pertanyaan yang muncul baik di kalangan pengusaha
ataupun pekerja soal pelaksanaan BPJS Kesehatan. Misalnya, bagaimana dengan
perusahaan yang saat ini sudah memberikan jaminan kesehatan yang sangat baik
kepada pekerjanya. Menurutnya, BPJS Kesehatan hanya melayani kebutuhan dasar,
sedangkan jaminan kesehatan yang digelar sebagian perusahaan besar sudah lebih
dari itu.
Anthony
mengatakan ada kekhawatiran di kalangan pengusaha ketika BPJS Kesehatan
berjalan, maka pengusaha diwajibkan untuk mendaftarkan seluruh pekerjanya.
Ujungnya, pengusaha akan membayar ganda iuran jaminan kesehatan yaitu kepada
asuransi dan BPJS Kesehatan. Sedangkan kalangan pekerja yang jaminan
kesehatannya saat ini sudah baik khawatir manfaat yang diterima bakal berkurang
ketika dialihkan menjadi peserta BPJS Kesehatan.
Oleh
karenanya, Anthony berharap agar pemerintah segera menerbitkan peraturan
pelaksana BPJS agar pemangku kepentingan mendapat kejelasan. “Ke depan, hal ini
berpotensi menimbulkan konflik ketenagakerjaan,” ucapnya.
Menanggapi
hal itu, Direktur Pengupahan dan Jamsos Kemnakertrans, Wahyu Widodo, mengatakan
sejumlah peraturan pelaksana BPJS sudah masuk tahap harmonisasi. Dari berbagai
peraturan itu, salah satu yang diharmonisasi adalah Rancangan Peraturan
Pemerintah tentang Pengelolaan Aset BPJS atau dikenal dengan RPP Alma.
“Pemerintah optimis SJSN bisa jalan tahun depan,” pungkasnya.
(www.hukumonline.com)
No comments:
Post a Comment