Monday, December 23, 2013

Bergerak Lewat Organisasi Sampai Bengkulen




Samaun Bakry (ketika itu salah satu tokoh Muhammadiyah Bengkulu) menjadi pemimpin kelompok penjemputan Bung Karno yang diasingkan Pemerintah Kolonial Belanda di Bengkulu, awal 1938. Turun dari bus yang mengantarnya dari Lubuk Linggau di Pengantungan, Bung Karno langsung menyalami Samaun Bakry.

MEMASUKI usia muda, sekitar 20 tahun, Samaun Bakry mencari jati diri. Dia dilanda kegelisahan. Hal itu tampak pada sampai langkahnya memiliki “kartu merah”. Lalu dia masuk PNI, PSII dan Persatuan Muslim Indonesia (Permi). Pemuda 20 tahun ini senantiasa tertarik pada segala macam gerakan politik perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Namun, ketika itu dia belum memiliki prinsip-prinsip politik –kecuali sifatnya yang keras dan cenderung radikal.
Pada masa itu di Minangkabau tengah beralih, dari satu perjuangan ke perjuangan berikutnya sejak Perang Padri, ke perjuangan berorganisasi yang lebih modern. Sejak usai Perang Padri (1937), di Minangkabau terjadi perjuangan bersenjata secara sporadik sekali dalam sepuluh tahun. Tokoh-tokoh perjuangan tampak silih berganti antara ninik-mamak, alim ulama, parewa, bahkan sampai ke perjuangan yang dipimpin oleh tokoh wanita. Perjuangan sporadik itu terjadi per nagari sesuai dengan struktur masyarakat yang menganut otonomi penuh bagi “Klein Republiken” seperti yang ditemukan oleh sarjana-sarjana Belanda.

Berkiprah di Muhamadiyah
Di masa itu Samaun mulai melihat ada jalan yang hendak ditempuhnya. Sementara itu ayahnya Bagindo Abu Bakar mulai sakit-sakitan dan berpulang di akhir tahun 1928 dalam usia 92 tahun. Samaun melihat jalan itu saat partai-partai nasionalis dibubarkan, Muhamadiyah muncul di Minangkabau penuh kemarakan. Muhamadiyah memperoleh giliran di mana kaum radikal menemukan tempatbernaung setelah mengalami hantaman-hantaman yang menghancurkan. Samaun mengambil tempat terdepan di antara rekan-rekannya mempelopori pembangunan Muhamadiyah di wilayah Pariaman. Nagari Kurai Taji menjadi pusat kegiatan Muhamadiyah. Kendati pusat pemerintahan di Pariaman, cabang Muhamadiyah untuk daerah itu berkantor di Nagai Kurai Taji.
Samaun dan kawan-kawan memulai gerakan itu dengan langkah-langkah yang besar. Gayanya yang khas diterapkannya kini untuk kegiatan sosial Muhamadiyah. Pertama-tama mendirikan rumah pemeliharaan anak-anak yatim yang secara legal dipropagandakan berdasarkan ayat-ayat Allah dalam al-Quran dan Hadits. Namun pada hakekatnya sekaligus untuk menampung anak-anak yang ayahnya telah menjadi korban perjuangan tahun 1926 itu, baik yang tewas dalam peryempuran maupun lantaran dibuang ke Boven Digoel, Papua. Rumah pemeliharaan anak-anak yatim banyak bermunculan di Sumatera menyusul perjuangan yang gagal itu. Dan yang paling besar adalah “Rumah Penyantun” yang didirikan oleh PGAI di Jati Padang.    
Gaya yang khas Samaun itu telah mendorong Haji Mangan menjadi semacam “Rockefeller” kecil. Rumahnya, sebuah gedung terbesar dan terindah di Nagari Kurai Taji, beratap genteng dan mempunyai jalan tersendiri ke sana dari jalan raya. Jalan menuju gedung itu dihiasi bunga-bunga bakung yang amat indah, di sebelah kanan jalan tersebut terbentang luas sawah yang kemudian dijadikan lapangan sepak bola. “Rockefeller” Kurai Taji itu telah menyerahkan gedung tersebut untuk dijadikan asrama pemeliharaan anak-anak yatim terlantar dari seluruh daerah pesisir Pariaman. Dan Samaun langsung menjadi pimpinannya. Bukan hanya sampai di situ, sebuah rumah khas milik Haji Mangan yang dikenal sebagai “rumah bulat” diserahkannya pula buat dijadikan “Gedung Perpustakaan”. Di sana, Samaun sendiri melakukan “zelfstudie”.
Samaun melakukan aktivitasnya bersama-sama dengan rekan-rekan segenerasi, dengan dukungan kuat dari Ulama-ulama terkemuka, antara lain H. Harun Al Maany yang tergolong kaum maju dan M. Adam Tuanku Hitam yang termasuk kaum kuno. Dari kalangan ninik-mamak memberikan dukungan dan dorongan moril antara Bagindo Abdullah R. Luwangso (penulis Balai Putaka yang juga kakek pelukis tenar Zaini), Ackhiruddin R. Luwangso, M. Nur Dt. Tumanggung, dan Imam Dt. Rajo Mangkuto.
Samaun yang akrab dengan hampir semua golongan masyarakat itu mempunyai  semacam pengawal dari kalangan parewa. Dengan begitu dia benar-benar menjadi seorang yang dikenal dan dihargai oleh semua kalangan. Di saat itu dia juga membentuk dan memimpin klub sepakbola “Cahaya Minang” dengan memanfaatkan lapangan sepakbola milik Haji Mangan sebagai tempat latihan. Dengan klubnya tersebut, dia sempat berkeliling Sumatera.
Suatu hal kemudian menghadapkannya pada pilihan. Bahwa Muhamadiyah adalah organisasi sosial yang memperoleh subsidi, bukan organisasi politik, sedangkan Samaun memiliki kecenderungan politik yang radikal. Muhamadiyah di Minangkabau memang merasakan kenyataan bahwa organisasi sosial ini telah digunakan buat tempat berlindung eksponen-eksponen radikal setelah mereka kehilangan tempat bergerak. Suasana demikian menggelisahkan Pusat Muhamadiyah di Yogyakarta, sampai kemudian mengambil langkah-langkah pengamanan.
Samaun sendiri akhirnya memahami bahwa organisasi pembaharu Islam di Hindia Timur itu tidak cukup baginya untuk menyalurkan semangatnya yang terus menggelola. Dia beranggapan bahwa orang Muhamadiyah lebih memilih “konfrontasi horizontal” antara “kaum maju” (cq Muhamadiyah) dan “kaum kuno” (cq golongan Tarekat). Mereka tidak mau berusaha secaraimplisit melakukan “konfrontasi vertikal”. Demikian  diungkapkan Zaidin Bakry, adik kandung Samaun Bakry, ketika berjumpa di Bengkulu tahun 1939.  Kata Zaidin, menirukan ucapan Samaun, ”Mereka (rekan-rekannya di kampung) terlalu sibuk melarang-larang soal-soal tetek bengek yang sesungguhnya tidak dilarang oleh agama dan mewajibkan hal-hal kecil yang sesungguhnya tidaklah wajib, tetapi tidak berani melarang hal-hal besar yang benar-benar haram, serta menyuruh hal-hal besar yang betul-betul wajib.”
Di kemudian hari Zaidin memahami maksud ucapan Samaun yang sesungguhnya. Yang sungguh-sungguh dilarang agama itu adalah membiarkan diri dijajah oleh orang kafir, dan yang benar-benar wajib adalah mengusir penjajah.
Menurut Zaidin, tokoh-tokoh Muhamadiyah di Minangkabau pada masa itu dapat dikategorikan ke dalam tiga kecenderungan (golongan). Pertama, Ulama yang arif dan bijaksana yang semata-mata mencita-citakan pembaharuan masyarakat yang masih penuh dengan bid’ah dan khurafat. Mereka bukan orang politik tapi benar-benar ulama dalam arti yang seharusnya. Mereka melakukan kritik secara sopan dan halus.
Kedua, kalangan pemimpin yang mempunyai kekenesan konfrontasi horizontal yang dengan penuh semangat “menuding” golongan lain sebagai bid’ah, khurafat,  sesat, syirik dan istilah-istilah keras lainnya yang ekstrim namun tidak berani menyinggung penguasa kolonial.
Dan ketiga, para politikus yang memanfaatkan setiap kesempatan untuk menyerang secara langsung ataupun secara tidak langsung kekuasaan kolonial melalui konfrontasi vertikal, dan menghindarkan diri dalam hal-hal yang menyerang golongan lain secara horizontal.
Agaknya, demikian pendapat Zaidin, yang dimaksud Samaun adalah golongan kedua yang banyak muncul ketika itu di Minangkabau. Samaun sendiri termasuk golongan ketiga karena dia tumbuh menjadi dewasa di lingkungan keluarga besar yang terdiri dari ayah, ibu, mamak-mamak, kakek dan sebagainya yang berasal dari berbagai kalangan, paham dan pendirian.
Gerakan Muhamadiyah di wilayah Pesisir Pariaman yang berpusat di Nagari Kurai Taji ketika itu sangat gencar melakukan kegiatan-kegiatan untuk mengubah cara berpikir warga masyarakat dalam penghayatan agama Islam. Mereka yakin bahwa untuk menjadi Islam yang benar haruslah sesuai dengan segala cara yang mereka yakini. Tentu hal ini wajar di mana saja dan kapan pun bila suatu gerakan pembaruan muncul sebagai aksi maka timbul reaksi. Padahal, setidak-tidaknya wi wilayah tersebut yang selalu dipersoalkan adalah masalah-masalah furu’iyah, antara lain qunut, niat shalat, talqin, membaca bismillah yang kurang prinsipil.
Dalam hal inilah Samaun menjadi tampak ganjil di tengah-tengah rekan-rekannya yang berada pada golongan kedua yang berapi-api atai diapi-apikan untuk melakukan konfrontasi horizontal. Dia mampu memberi warna yang berbeda di kalangan Muhamadiyah di Minangkabau ketika itu.

Menjadi Wartawan yang Kritis
Selain aktif di Muhamadiyah, tahun 1929 Samaun juga bekerja menjadi jurnalis di Surat Kaba Harian Persamaan. Melalui surat kabar yang terbit di Padang itu, Samaun aktif mengkritik kesewenang-wenangan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda tingkat lokal Sumatera Barat.
Suatu waktu Samaun menulis laporan jurnalistik tentang rakyat Pariaman yang menderita kelaparan gara-gara tidak ada perhatian dari Controleur Pariaman, Spits, yang amat terkenal dalam memerintah daerah. “Itu tuan kumendur duduk ongkang-ongkang kaki di kursinya di kantor, tak peduli dengan rakyat yang menderita kelaparan dan penyakit dan sebagainya,” demikian berita di Surat Kabar Harian Persamaan sebagaimana dilaporkan reporternya di Pariaman.      
Controleur Spits memang terkenal pintar memerintah. Dia seorang ambtenaar yang sukses sekali dalam karirnya dan cepat naik pangkat. Ketika Jepang masuk Indonesia tahun 1942, dia sudah menjadi Gubernur Sumatera berkedudukan di Medan. Selama memimpin Pariaman itu, Spits aktif membaca berita-berita mengenai dirinya yang dimuat di Surat Kabar Harian Persamaan. Semua bernada negatif. Dia mengenal Samaun sebagai anak muda “jolong gadang”.
Tapi Spits tidak bertindak apa-apa terhadap Samaun. Bahkan, suatu hari Spits sendiri turun ke sawah dalam arti sebenarnya. Spits membuka baju, melepas sepatu dan pantalonnya. Bersama aspirant, komisaris dan anggota stafnya, dia terjun ke sawah, memilih satu per satu ulat serdadu yang di pagi hari masih sebesar lidi lalu sore hari sebesar ibu jari. Ulat-ulat itu dikumpulkan dalam kancah lantas direbus. Ini terjadi beberapa kali di Desa Marunggi dan Desa Marabau, Onderdistrik Lubuk Alung. Inilah sebuah demonstrasi dari pemerintah yang ‘ramah’.
Kendati begitu, Samaun tetap kritis. Dia berucap, “...soalnya, bila Belanda pergi, itu ulat-ulat pasti pergi.”
Dan Spits menjawab, “Apa kita orang yang bawa ini ulat-ulat dari negeri, He?” spits juga pintar berbahasa daerah, bahkan dialek setempat, dan memahami pola dan struktur budaya lokal.
Sekali waktu Spits mengundang Samaun Bakry untuk ikut serta turun ke bawah keliling nagari-nagari. Samaun mempersiapkan segala sesuatu sepanjang rute yang akan dilalui Tuan Controleur untuk memberi gambaran tentang kepalaran dan penyakit. Dia menyuruh orang-orangnya (tentu saja para parewa) untuk mengumpulkan orang-orang “kaki gajah”, penderita busung lapar sedang makan buah pepaya muda, umbut batang pisang ambut kelapa, di tempat-tempat yang akan diinspeksi oleh Tuan Controleur dan rombongan. Samaun hendak membuktikan kebenaran berita yang disiarkannya. Begitulah kisah konfrontasi Samaun versus Controleur Spits.
Spits tidak kalah pintar. Dia melakukan tekanan terhadap Kepala Nagari Kurai Taji (waktu itu) Moehammad Noer Majolelo. Majolelo adalah seketurunan dengan Rajo Luwangso dari moyang mereka Rajo Nan Bauek, Raja Kurai Taju yang masyhur di abad ke-18, yang konon keturunan Aceh. Di masa kanak-kanak Noer Majolelo tinggal dan bersekolah di rumah Uning Syarifah di Paguh Pendakian dengan guru Sutan Rajo Alif alias Guru Aceh itu. Jadi di antara mereka ada hubungan kekeluargaan yang jalin berjalin, ipar bisan dan sumando menyumando.
Lantaran tak tahan tekanan atasannya (Spits) secara terus-menerus, akhirnya Majolelo datang ke Paguh Pendakian menjumpai Uning Syarifah. “Tolong benar Uning, sampaikan kepada Samaun agar dia jangan terus-menerus mengkritik Tuan Kumendur, karena saya lah yang menanggung akibatnya, dibentak-bentak si Spits itu. Tolong sampaikan Uning, saya kan dibesarkan di rumah ini dan masih ingat saya Uning menampar pipi saya ketika saya menyambar ketupat di meja,” pinta Majolelo kepada Uning Syarifah.
“Saya tidak dapat berbuat apa-apa. Samaun sudah besar kini, dia sudah dewasa. Sampaikan saja lah langsung oleh Kepala Nagari sendiri,” jawab Uning Syarifah.
Suatu waktu Majolelo mengundang Samaun ke rumahnya untuk menyampaikan ihwal betapa sulit posisinya terhadap atasannya (Spits) yang melampiaskan sakit hatinya kepada Majolelo atas perangai si Buyung Samaun.
“Baiklah, akan saya bicarakan dengan Spits sendiri,” jawab Samaun atas curahan hati Majolelo. Mendengar jawaban demikian Majolelo melongo dan geleng-geleng kepala.
Tak lama berselang Samaun menemui Spits lalu menanyakan ihwal curahan hati Majolelo. Spits menjawab, “Aaah, itu kan urusan Kepala Nagari. Saya senang dikritik.”
Demikian seni Spits berdiplomasi. Di satu sisi dia membentak-bentak Kepala Nagari gara-gara tingkah laku Samaun yang tak lain adalah anak-kemenakan Amjolelo. Di sisi yang lain dia berbaik-baik pada sang kemenakan.
Akhirnya Majolelo merogoh kantong sakunya lalu mengeluarkan uang tujuh ringgit seraya berkata kepada Samaun, “Samaun, sebenarnya kau terlalu besar, sedang daerah ini terlalu kecil untuk perkembangan bakatmu. Lebih baik lah kau pergi ke kota besar agar kau dapat berkembang. Ini uang sekadar biaya. Pergilah! Saya aman dari semburan Spits dan kau bisa berkembang, mungkin nanti kau jadi orang besar.”   

Bersiap Tinggalkan Kampung Halaman
Samaun pun mengalah, dia tak hendak membuat Majolelo semakin tertekan oleh caci-maki Controleur Spits. Dia berpikir ingin pergi ke kota yang lebih besar, bukan sebatas Padang. Masa itu, kota yang cukup berkembang dan besar di Sumatera adalah Medan. Ke sana dia ingin mengembangkan diri.
Untuk itu, sebelum merantau, Samaun terlebih dulu menyelesaikan “kisah asmara” yang telah dirajutnya sejak dia nongkrong-nongkrong di Perpustakaan Rumah Bulat. Sebenarnya Samaun sudah dua kali menikah, namun perkawinannya tersebut berlangsung menurut “prosedur” adat yang kawi. Pernikahan pertama tahun 1928 dengan Zoebaidah, seorang gadis manis dari Nagari Sunur. Hanya prosedurnya yang membuat pasangan suami-istri ini tidak berjalan serasi. Kedua suami-istri ini tidak saling mengenal. Lalu, karakter, cita-cita dan pendidikan sangat berbeda. Kendati begitu, dari Zoebaidah, Samaun dikaruniai anak yang diberi nama A. Muis –nama yang diambil dari seorang nasionalis radikal yang sohor di masanya. A. Muis pernah menjadi pegawai RRI di Jakarta dan mantan anggota DPRD-GR di Sumatera Barat. Mereka cerai berpisah minyakdengan air dan masing-masing mencari jalan sendiri-sendiri.
Masa berikutnya, Samaun “dijual” lagi bagai seekor kerbau bertuntun sebagaimana lazimnya lelaki di nagari itu menurut tradisi. Dan Samaun sebagai kemenakan patuh. Istrinya yang kedua bernama Siti Hafsah. Berhaul hanya untuk beroleh seorang putri yang diberi nama Siti Asma. Kemudian Samaun pergi meninggalkan Siti Hafsah untuk tidak kembali lagi.
Di kala hendak meninggalkan kampung halaman lantaran Majolelo dalam tekanan Controleur Spits, Samaun tidak mau lagi “dijual” bagai kerbau bertuntun. Dia ingin memilih sendiri bakal istri. Waktu itu belum ada di desa-desa Minangkabau apa yang disebut pacaran, belum ada soal transisi, modernisasi, vrij omgang dan sebagainya. Itu baru terjadi pada segelintir elit kota atau dalam novel-novel karangan Sutan Takdir Alisyahbana atau Marah Roesli.
Perpustakaan yang menjadi tempat pengembangan pengetahuan diri Samaun itu telah pula menjadi memupuk pendar-pendar asmara di hati sepasang anak manusia.
Tidak jauh dari Perpustakaan itu terdapat sebuah sekolah putri yang sejenis “schakelschool”. Sekolah itu didirikan oleh Haji Mangan –ayahanda Syamsuddin Mangan. Sekolah itu dipimpin oleh Siti Khadijah, kemenakan Haji Manan. Dan karenanya, sekolah ini dinamai “Khadijahschool”. Salah satu pelajar putri itu adalah seorang gadis yang bilamana ingin berangkat ke sekolah mau tidak mau meti melewati jalan di depan Perpustakaan di mana Samaun tengah bertekun mengembangkan intelektualitas diri. Lantas, pada saat-saat yang telah disepakati dimulailah kisah-kisah asmara a la tempo doeloe.
Si gadis bernama Siti Maryam, yang tidak lain merupakan anak sepupu Haji Mangan. Haji Mangan yang mampu melakukan apa yang baik tentu tidak perlu repot-repot menempuh prosedur adat yang berbelit. Dia lalu menyelesaikan kisah asmara itu dengan sebuah “Alek” dan Samaun – Siti Maryam resmi menjadi pasangan suami-istri pada tahun 1936. Dari istrinya Siti Maryam, Samaun Bakry beroleh seorang anak laki-laki yang diberi nama Fuad.
Dengan keberhasilannya mempersunting gadis pilihannya sendiri barulah Samaun bersedia meninggalkan Nagari Kurai Taji sebagaimana diinginkan oleh Majolelo. Dia pun bergegas meninggalkan kampung halaman menuju Medan, Sumatera Utara.
Namun, Samaun dan Siti Maryam tidak berapa lama di Medan. Akhir 1937, Samaun berpindah ke Bengkulen atau Bengkulu yang saat itu menjadi bagian Sumatera Selatan. Di sini, dia merasa menemukan lingkungan yang pas untuk mengembangkan diri. Di kota ini dia aktif terjun ke Muhamadiyah Cabang Bengkulu dan aktif menjadi wartawan Surat Kabar Sasaran yang dibreidel pemerintah kolonial lalu mendirikan Surat Kabar Penabur.

Samaun Menyambut Bung Karno di Bengkulu
Kalender Masehi memasuki tahun 1938. Pemerintah kolonial Hindia Belanda mengeluarkan maklumat Vergader Verbod. Maklumat tersebut berisi perintah bahwa pada tanggal 14 Februari 1938, Bung Karno beserta keluarganya harus menjalani sisa masa pembuangan terakhir ke Bengkulen (Bengkulu). Bung Karno kemudian berangkat ditemani istri pertamanya yang bernama Inggit Ganarsih. Mereka berangkat dari Flores dengan menumpang kapal dagang Belanda yang bernama Sloot Van Den Beele menuju Batavia. Dari sini, Bung Karno menlanjutkan perjalanan ke Lubuk Linggau, Sumatera Selatan.
Dari Lubuk Linggau, dengan menggunakan bus Auto Dienst Staats Spoor (ADSS) menempuh jalan darat dan tiba di Bengkulu pada tanggal 14 Februari 1938. Menurut penuturan Boerhan Wahid Bin Thaib, warga Gang Sepakat Kelurahan Tanah Patah, Bengkulu, kedatangan Bung Karno waktu itu telah diketahui oleh orang-orang pergerakan di Bengkulu.  Secara diam-dima mereka membentuk panitia penyambutan  kedatangan Bung Karno. 
Kepindahan Bung Karno dari Ende ke Bengkulu ini sudah lama diketahui Salmiah Pane, guru Taman Siswa Bengkulu saat itu. Ia mengetahuinya karena mendapat telepon dari orang  pergerakan di Lubuk Linggau, Sumatera Selatan. Mereka mengatakan bahwasanya Bung Karno menumpang bus dari Lubuk Linggau. Mendengar kabar tersebut, para pejuang pergerakan di Bengkulu melakukan penjemputan dan mereka berhati-hati sekali terhadap ritual penjemputan tersebut.  Apalagi pada saat itu  bendera Mrah-Putih-Biru sedang berkibar dengan megahnya. Saat itu Indonesia masih bernama Netherland Indie (Hindia Belanda) yang berada di bawah pemerintahan Kerajaan Belanda yang waktu itu dipimpin Ratu Wilhelmina.
Penjemputan Bung Karno dibagi dalam dua kelompok. Satu kelompok yang dipimpin Samaun Bakry (tokoh Muhamadiyah Bengkulu) dan Salmiah Pane (Guru Taman Siswa) menunggu di Pasar Pengantungan. Satu kelompok lagi dipimpin Kakaung Gunadi dari Taman Siswa menunggu di tempat pemberhentian bus terakhir di Kampung Cina, dekat rumah Shin Chi Hoo.
Tepat pada waktu yang telah dijadwalkan, bus yang dinanti-nanti berhenti menurunkan penumpang di Pengantungan. Salah satu penumpangnya adalah Bung Karno. Turun dari bus, Bung Karno langsung menyalami Samaun Bakry dan Salmiah Pane. Bung Karno mengatakan bahwa ia akan menginap di hotel Sentrum (Hotel Asia sekarang) sebagai tempat penginapan sementara.
Beberapa hari di Bengkulu, Bung Karno berusaha mencari tempat tinggal tetap. Beliau tinggal di kawasan Tanah Patah, menyewa rumah milik H. Middin. Tempat  tinggalnya sangat indah pemandangannya ke arah timur, ada panorama Gunung Bungkuk yang menjadi kebanggaan warga masyarakat Bengkulu. Namun, Bung Karno tidak tinggal lama di sana.  Beliau kemudian pindah ke Anggut Atas (sekarang rumah itu dijadikan museum Bung Karno). Bung Karno tinggal bersama Inggit Garnasih dan dua orang anak angkat. Dua anak angkat perempuan itu masing-masing Ratna Joemi dan Sukartik (anak angkat dari Ende berumur sekitar 9 tahun ketika itu).
Setelah Bung Karno mendiami rumahnya di Anggut Atas, tampaknya Bung Karno tidak betah hanya ongkang-ongkang kaki di rumah. Setiap pagi Bung Karno keluar rumah melanglang buana dengan menggowes sepeda merek Vongers kesayangannya, dengan mengenakan setelan pakaian rapi serba putih berdasi, kopiah hitam, terkadang dilengkapi dengan kaca  mata hitam yang menambah daya tarik ketika tersenyum. Bung Karno tidak sombong dan angkuh kepada orang Bengkulu. Sebaliknya, dia senantiasa mengumbar senyum pada siapa saja yang ditemuinya di jalan. Apalagi dengan  teman seperjuangannya.  Jika melihat temannya berada jauh darinya, dia tak segan melambaikan tangan sambil mengucapkan salam “hidup”, sebuah salam  partai  pergerakan waktu itu, Partai Parindera. Beberapa tokoh Muhammadiyah ikut bergabung dalam partai itu. Salamnya memang mirip dengan salam Hitler di Jerman.
Bung Karno mempunyai kebiasaan mengunjungi sekolah-sekolah partikelir atau sekolah non-pemerintah. Seperti Sekolah Muhamadiyah di Kebun Roos, apalagi  sekolah Taman Siswa yang merupakan sekolah kebanggaan warga masyarakat Bengkulu masa itu. Setiap hari Sabtu, saat jam pelajaran akan berakhir, Bung Karno sudah berada di ruangan kantor bersama guru-guru. Kadang mereka berbicara serius, kadang pula terdengar tawa lepas Bung Karno memenuhi ruangan tersebut. Sudah menjadi kebiasaan di Taman Siswa yang terletak di kawasan Tengah Padang, bilamana pelajaran terakhir, mulai dari anak-anak Taman Antara sampai anak-anak Taman Dewasa bergabung dalam sebuah kelas yang besar untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya. Itulah sebabnya Bung Karno selalu hadir. Dia bernyanyi bersama para siswa dengan semangat dan spirit yang tinggi. Yang pada akhirnya lagu tersebut dijadikan sebagai lagu kebangsaan Indonesia.
Semasa hidupnya Bung Karno selalu menanamkan rasa cinta tanah air kepada rakyat Indonesia. Termasuk ketika ia berada di Bengkulu. Salah satu cara Bung Karno menanamkan rasa cinta Tanah Air itu dengan cara  berkumpul dengan anak-anak. Hal ini dirasakan langsung Boerhan Wahid ketika itu berusia 12 tahun. Bung Karno selalu mengikuti kegiatan kepanduan (kini Pramuka). Kepanduan saat itu diberi nama Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI).  “Jika kami mengadakan kamp furen (api unggun), maka Bung Karno menyempatkan diri datang padang siang harinya,” kata Boerhan dalam catatannya sebagaimana dilansir http://adekabang.wordpress.com.
Saat Bung Karno datang, semua anggota KBI diminta duduk melingkari api unggun. Sesudah itu, Bung Karno mengadakan kegiatan cerdas tangkas. Pertanyaannya seputar pengetahuan nama-nama pahlawan pada masa itu. Setelah itu, Bung Karno juga bercerita tentang tokoh-tokoh pewayangan seperti cerita tentang Ken Dedes - Ken Arok dan kisah Empu Gandring yang membuat keris dengan jari-jari tangannya sendiri. Kemudian dari cerita itu, Bung Karno mulai menyinggung kepahlawanan Diponegoro dan Gadjah Mada. Dengan cara inilah Bung Karno  menanamkan rasa cinta Tanah Air secara dini kepada anak-anak. “Cinta terhadap Tanah Air memang belum begitu melekat. Namun, cinta kami pada Bung Karno sudah mulai  tertanam di lubuk hati,” lanjut Boerhan.
Bung Karno suka sekali berkumpul dengan para pemuda Bengkulu lewat perkumpulan musik yang terkenal di kota itu. Nama perkumpulan musik yang lagi sohor saat itu adalah Monte Carlo. Perkumpulan ini dipimpin oleh Manaf Sofyan alias Manaf Laboe (bukan Manaf Thalib). Singkat cerita, setelah mereka  membaur dengan Bung Karno, mulailah Bung Karno mengajak mengadakan pertunjukan tonil atau sandiwara. Pertama kali pementasan yang diangkat adalah cerita Putri Gading Cempaka (Rainbouw). Sesudah itu Cut-Cut Bie, Cungking Djakarta, To Bero, Dokter Saytan,  Hantu Gunung Bungkuk dan Kibin Dimpye (Si Kecil Jempolan). Dimana Boerhan Wahid pada waktu itu diberikan kepercayaan sebagai pemegang peranan utamanya. Dengan adanya pertunjukan demi pertunjukkan tersebut, nama Bung Karno mulai menjadi buah bibir rakyat Bengkulu.  Saat itu banyak para pemuda yang terpikat penampilan Bung Karno dan anggota Monte Carlo terus bertambah.
Dengan adanya pertunjukan-pertunjukan sandiwara kerja sama Bung Karno dengan Monte Carlo ini, maka para pemuda yang menjadi ambtenaar (pegawai negeri) jajahan Belanda pada waktu itu mulai dipanggil oleh bosnya (kaki tangan Pemerintah Kolonial Belanda). Mereka ini kemudian disuruh memilih salah satu saja.  Kalau mau jadi pegawai, jauhi Ir. Soekarno (Bung Karno). Lalu, bila mau dekat-dekat Soekarno, maka lepaskan status pegawai negeri. Salah seorang pemuda pegawai pemerintahan jajahan Belanda bernama Hanafi minta berhenti dengan hormat, karena ia memilih dekat-dekat dengan Bung Karno. Monte Carlo pun kian tenar.
Sesudah itu, ruang gerak Bung Karno dan Monte Carlo mulai dipersempit.  Apa lagi kalau mau mengadakan pertunjukkan di luar daerah. Seperti di Curup atau ke tempat lain dalam keresidenan Bengkulu. Kalau mau pentas, dia harus meminta  izin tertulis lebih dulu. Itu pun terkadang berminggu-minggu ditunggu dan setelah digugat baru dikeluarkan izinnya. Semenjak itu penjagaan terhadap Bung Karno semakin diperketat.
Diam-diam rupanya Bung Karno waktu itu sedang membuat naskah cerita. Naskah itu berjudul Klein Deimpye, artinya Si Kecil Jempolan. Sewaktu naskah sudah  jadi, lalu dipersiapkan untuk dipentaskan. Boerhan Wahid pun diajak bermain dan diminta menjadi pemeran utama. Selain  itu, juga diajak orang lain, di antaranya  kakak  Boerhan Wahid bernama Firdaus Boerhan dan teman-teman lain sebanyak 30 orang yang umurnya masih berumur belasan tahun.
Kendati pengawasan teerhadap Bung Karno diperketat, namun serdadu Belanda kecolongan pula. Suatu hari, Bung Karno mengendarai sepedanya ke Pasar Ikan (sekarang Barukoto II). Di sana ada tempat tinggal seorang tokoh Muhamadiyah yang juga seorang penjahit pakaian bernama Achmad alias Amad Kancil. Amad Kancil juga salah seorang paman dengan Ibu Fatmawati. Singkat cerita, di depan rumah Amad Kancil tumbuh  pohon jambu yang rimbun dan besar. Begitu sampai di rumah Amad Kancil, Bung Karno langsung menyendarkan sepedanya di pohon jambu itu sampai keesokan harinya.
Reserse kolonial kalang kabut kebingungan dan bertanya kepada setiap orang yang lewat di depan rumah Amad Kancil. Apakah mereka melihat Tuan Soekarno  di situ? Setiap orang yang ditanya mengatakan tidak melihat Tuan Soekarno. Rupanya Bung Karno berpesan kepada Pak Amad Kancil, “Biarkan sepeda saya di situ Pak. Jangan dibawa masuk. Ada yang menjaganya. Sekarang saya mau pulang naik delman.’’
Bung Karno masuk ke rumah itu dan keluar jalan melalui dapur menyusur jalan Kampung Bugis, di samping LP (Rumah Penjara) sekarang. Setibanya di jalan besar, Bung  Karno menyuruh seorang anak kecil mencari delman. Beliau lantas naik delman pulang ke Anggut Atas. Keesokan harinya Bung Karno menyuruh Boerhan Wahid mengambil sepeda itu lalu mengantarkannya ke Jalan Soekarno – Hatta, Kelurahan Anggut Atas, Kota Bengkulu, rumah Bung Karno yang jadi lokasi bersejarah.

Dari “Sasaran” ke “Penabur”
Tahun 1938 juga,  Surat Kabar Sasaran yang diterbitkan Samaun dibreidel pemerintah kolonial karena dianggap mengganggu ketenangan sang penjajah. Pertengahan 1939, Zaidin Bakry menyusul ke Bengkulu karena merasa tidak ada pintu kantor yang terbuka untuk bekerja di Sumatera Barat, apalagi kalau hanya bermodal selembar ijazah particulier.
“Bagaimana kabar kampung halaman?” tanya Samaun begitu Zaidin tiba di Bengkulu. Zaidin pun menceritakan apa adanya. Lalu Samaun bertutur tentang sikapnya yang tetap keras terhadap penjajah Kolonial Belanda.
Sejurus kemudian Samaun menyodorkan buku biografi Kemal Attaturk agar dibaca oleh Zaidin. “Baca ini,” kata Samaun sembari menyerahkan buku itu kepada Zaidin. Beberapa hari kemudian Samaun menyerahkan setumpuk buku-buku tentang gerakan-gerakan nasionalis –baik di Tanah Air maupun di mancanegara seperti Mesir, Tiongkok, India dan Turki. Semua berbau politik.
Pada suatu hari Samaun menyuruh Zaidin menterjemahkan buku Saad Zagloel Phasha. Setelah terjemahan itu selesai dan dibacanya, Samaun tersenyum lalu mengangguk-angguk sembari berkata, “Kau orang sastra.” Lantas dia pergi membawa naskah terjemahan itu untuk dimuat di Surat Kabar Penabur yang diterbitkan sejak awal 1939 sebagai pengganti Surat Kabar Sasaran yang dibredidel.
Beberapa hari berselang Samaun pulang dengan sebundel tebal majalah sastra Pujangga Baroe dan melontarkannya di meja tempat Zaidin tengah mencoba menulis sajak-sajak. Zaidin mengaku dirinya tidak terselera pada dunia politik, kurang berminat menjadi politikus. Zaidin lebih asyik melahap banyak novel dan roman, mulai dari yang picisan terbitan Medan sampai terbitan Balai Pustaka. Namun ada sedikit yang menggelitik, yakni keinginan menjadi pelukis. Keinginan ini telah dimulainya sejak masa kanak-kanak.
Suatu pagi datanglah seorang tamu yang gagah. Rasanya Zaidin pernah melukis wajahnya, mem-vergroot sebuah fotonya ketika di kampung halaman dulu. Wajah itu segar, bermata bundar, dan di ketiaknya dikepit seuah helmhoed. Saat Zaidin masih terpana, tamu itu bertanya ramah, “Ada Samaun?”
“Ada Tuan,” jawab Zaidin.
“Apa? Tuan? Hahaha ...panggil Bung, Bung Karno,” katanya. Gayanya membuat Zaidin kagum. Parasnya seperti tertinggal di angin di depan meja tempat Zaidin melukis.
Samaun Bakry keluar menemui tamunya. Lalu mereka masuk ke ruangan dalam. Zaidin masih termangu-mangu. Entah apa yang mereka perbincangkan. Tapi, tatkala keluar lagi setelah usai berbincang-bincang dengan Samaun, Bung Karno mendekati Zaidin. Sembari mencubit dagu Zaidin, Bung Karno berkata, “Kalau inign jadi pelukis, teruslah berlatih serius.” Lelaki tampan itu kerap datang bertamu dan berbincang berdua dengan Samaun Bakry tentang segala sesuatu yang Zaidin tidak pernah tahu.
Kembali ke Surat Kabar Penabur yang diterbitkan Samaun Bakry sebagai pengganti Surat Kabar Sasaran. Semula gaya pemberitaan Penabur bergaya lunak  namun makin lama makin keras saja meniru kembali gaya Sasaran yang telah dibreidel. Suasana politik makin keras bergejolak. Pasifik yang semula teduh mulai bergejolak bergelora dibayangi Perang Dunia II. Negeri Belanda di-blitzkrieg oleh Jerman. Lalu meletus Perang Dunia II.
Hari itu kira-kira di awal tahun 1940, Samaun Bakry pergi ke rumah sakit bersama istrinya Siti Maryam membawa bayi mereka berumur sekitar tiga bulan. Mereka duduk di ruang tunggu dan Samaun memeluk bayinya. Agaknya, menurut Zaidin Bakry, Samaun sedang melamunkan Surat Kabar Penabur yang harus terbit hari itu. Dia merasa mendengar nama seseorang dipanggil-panggil dari kamar dokter, tapi dia mengira yang dipanggil itu pasien yang lain.
Tiba-tiba pintu kamar dokter terbuka, Kepala Rumah Sakit Residensi Dokter Hoogezand berkacak pinggang dengan beringasan membentak-bentak: “Kambing, Melayu busuk. Siapa di sini yang bernama Fuad? Apa kamu orang tuli he, kerbau?”
Samaun baru tersadar bahwa yang bernama Fuad adalah bayi yang tengah dipeluknya. Namun dia justru menyerahkan bayinya kepada istrinya. Lalu dia menuju ke Dokter Hoogezand yang bertubuh tinggi besar itu. Dia langsung memberikan ketupat Bangkahulu di perutnya dengan jangan kanan dan menyusulkan sebuah lagi dengan tangan kiri di mulut dokter berkebangsaan Belanda itu. Dokter  Hoogezand ternganga seperti tak percaya ada si Melayu pendek langsung menghajarnya.
Dengan wajah pucat dan gemetar, Dokter Hoogezand lari ke dalam kamarnya terus menyambar gagang telepon. Sementara Samaun terus nyerocos, “Tak tahu diri kau, he, Tengik. Negerimu sudah dijajah Jerman, Bajingan.” Tiba-tiba Samaun naik darah bagai Bagindo Talabieh alias Tuanku Nan Garang menghajar Panderedzk (Van der Hijde) pada tahun 1832 di Ulakan.  Yang berbeda, Tuanku Nan Garang tidak menggunakan buku tangan. Tuanku Nan Garang menggunakan pedang lalu memancung Van der Hijde dan pengawalnya yang malang lantaran telah melecehkan seorang wanita bangsa Indonesia di Nagari Tapakih, Kecamatan Nan Sabaris, Kabupaten Padang Pariaman, kini.
Kemudian Samaun meninggalkan rumah sakit terus ke percetakan Surat Kabar Penabur. Dan pada hari itu di halaman 1 kolom 1 Penabur terpacak sebuah berita hangat dengan judul “Dokter Busuk Mulut”. Isinya mengenai Dokter Hoogezand telah menghina bangsa Indonesia dengan kata-kata yang tidak pantas keluar dari mulut seorang dokter. Lalu di pojok koran itu ditulis: “Jaman sudah edan, dunia sudah gila. Belanda dijajah Jerman, Indonesia dijajah Belanda ... Trala, tralala la!
Buntut-buntutnya, Semaun diseret ke pengadilan kolonial karena bertindak menjadi hakim sendiri terhadap pegawai negeri. Hasilnya, kata Zaidin Bakry, dijatuhkan hukuman “voorwaardelijk” sekian bulan dalam masa percobaan sekian bulan (Zaidin tidak ingat persis berapa bulan masa percobaan itu).
Dalam menjalani masa percobaan itu, ultimo tahun 1940, Samaun Bakry ditangkap sehubungan dengan sebuah naskah yang sedang dicetak di Medan. Naskah itu adalah sebuah “Roman Sejarah” yang bertajuk “Si Patai”.
Si Patai adalah seorang tokoh perjuangan tahun 1926 di Padang Luar Kota (Padangsche ommelanden). Si Patai bersama wakilnya bernama si Ganjil termasuk tokoh parewa dalam perjuangan di Minangkabau. Sebagaimana halnya Datuk Gamuk dan Datuk Palima Bega dari kalangan Ninik mamak (1832) dan Haji Ranjau dan Lebai Palak Pisang dari kalangan Ulama (1906), demikian pula Ibu Siti dan Upik Hitam (1908) dari golongan wanita.
Adapun si Patai (atau siapa saja) yang menentang secara kekerasan kekuasaan kolonial sudah tentu secara resmi diumumkan sebagai “penjahat” oleh penguasa kolonial itu. Begitu halnya si Patai yang pada akhir perlawanannya dia tertangkap dalam perlawanan yang benar-benar sampai tetes darah yang terakhir. Setelah dipenggal, kepalanya diarak keliling Kota Padang. Demikian lah nasib setiap “penjahat”, ujar pejabat kolonial dalam pidatonya.
Namun Samaun telah menuliskan riwayat perjuangan si Patai dalam versinya sendiri yang sudah barang tentu bertolak belakang dengan versi yang “resmi”. Si Patai adalah patriot, pejuang bangsa, pahlawan rakyat dan sebagainya. Tentu saja perbuatan dianggap melanggar undang-undang, melanggar artikel bis dan ter, mengganggu ketenteraman umum, rust en orde-nya penguasa. Dan, setelah menjalani sidang-sidang pengadilan kolonial, Samaun harus menjalani hukuman selama empat tahun di Penjara Sukamiskin, Bandung.
Samaun Bakry pun pergi ke Penjara Sukamiskin dengan meninggalkan istrinya tercinta, anaknya Muis yang masih duduk di HIS dan Fuad yang masih bayi baru mulai belajar merangkak. Masyarakat Bengkulen yang ramah itu telah menampung mereka dengan sumbangan memberinya kerja menjahit dan membordir.
Beberapa hari setelah Samaun “dibuang”, datanglah seorang tamu lelaki bertubuh tinggi berinisial ISM kepada Zaidin Bakry. Orang ini datang untuk menyampaikan rasa dukacita atas dihukumnya Samaun. Lalu orang ini memberikan duit seringgit dan tanpa sadar Zaidin menerimanya. Beberapa hari kemudian, ISM datang lagi menghadiahi sepasang vulpen dan notes.
Rupanya ISM punya tujuan tertentu. Setelah beberapa kali memberikan hadiah dan mulai akrab, ISM mulai berbaik hati ingin memberikan “lapangan kerja” yang akan menghasilkan duit yang cukup, bahkan lebih dari cukup untuk hidup di Bengkulu pada masa itu. Pekerjaan itu enteng sekali, cuma agar rajin-rajin datang ke rumah Bung Karno di Anggut Atas dengan alasan ingin belajar melukis atau bermain tonil Monte Carlo yang diasuh oleh Bung Karno. Tentu saja tidak sekadar belajar dan bermain, Zaidin juga harus mencatat dalam notes siapa-siapa yang datang dan apa yang dibicarakan hari, tanggal, bulan dan sebagainya. “Hanya itu kerjanya, enteng kan?” ujar lelaki ISM kepada Zaidin.
La haula wala quata illa billah, na’udzubillah,” ucap Zaidin sangat terkejut. Tapi, bagaimana dengan uang dan hadiah yang telah diterimanya.   
 “Saya pikir-pikir dulu,” jawab Zaidin kemudian.
Karena Zaidin memang tidak pernah berpikir-pikir, lambat laun ISM merasa Zaidin mempermainkannya. Suatu hari, Zaidin dijemput politie lalu ditahan di Benteng Marlborough lantaran dituduh memerasa ISM.
Sehari setelah penahanan, Tuan Commisaris Politie Dolmans menjenguk Zaidin di sel tahanannya. Setelah melihat wajah Zaidin yang lugu, dia pergi dan segera Zaidin menghirup kembali udara kebebasan. Sejak saat itu Zaidin merasa tidak aman lagi di Bengkulen.
Zaidin lantas mengembara selama hampir satu tahun ke arah selatan dengan niat menuju Batavia. Dan dia bermimpin pengembaraanya sampai Penjara Sukamiskin, Bandung, untuk menjumpai sang kakak, Samaun Bakry. Sekali lagi hanya mimpi buat sampai Sukamiskin. Sebab, tiba di Lampung, Zaidin menerima telegram dari kampung halaman. Isinya: “Pulang segera, Bunda sakit keras.”
Zaidin pun langsung pulang kampung di Nagari Kurai Taji. Ternyata ibunda Zaidin, Syarifah, sehat walafiat. Syarifah hanya sakit hati karena Pearl Harbour dibom. Itulah sebabnya Syarifah berbohong pada Zaidin.
Ada hikmah di balik bom yang membuat Sekutu (di dalamnya ada Belanda) terdesak dan tertekan dalam Perang Asia Timur Raya. Secara tak sengaja, bom itu membuka pintu serdadu-sedadu Jepang datang ke Indonesia dan membukakan pintu penjara dan membebaskan Samaun Bakry dari Penjara Sukamiskin, Bandung, pada tahun 1942. ***   

No comments:

Post a Comment