Samaun Bakry (ketika
itu salah satu tokoh Muhammadiyah Bengkulu) menjadi pemimpin kelompok
penjemputan Bung Karno yang diasingkan Pemerintah Kolonial Belanda di Bengkulu,
awal 1938. Turun dari bus yang mengantarnya dari Lubuk Linggau di Pengantungan,
Bung Karno langsung menyalami Samaun Bakry.
MEMASUKI usia muda, sekitar 20 tahun, Samaun
Bakry mencari jati diri. Dia dilanda kegelisahan. Hal itu tampak pada sampai
langkahnya memiliki “kartu merah”. Lalu dia masuk PNI, PSII dan Persatuan
Muslim Indonesia (Permi). Pemuda 20 tahun ini senantiasa tertarik pada segala
macam gerakan politik perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Namun, ketika
itu dia belum memiliki prinsip-prinsip politik –kecuali sifatnya yang keras dan
cenderung radikal.
Pada masa
itu di Minangkabau tengah beralih, dari satu perjuangan ke perjuangan
berikutnya sejak Perang Padri, ke perjuangan berorganisasi yang lebih modern.
Sejak usai Perang Padri (1937), di Minangkabau terjadi perjuangan bersenjata
secara sporadik sekali dalam sepuluh tahun. Tokoh-tokoh perjuangan tampak silih
berganti antara ninik-mamak, alim ulama, parewa, bahkan sampai ke perjuangan
yang dipimpin oleh tokoh wanita. Perjuangan sporadik itu terjadi per nagari
sesuai dengan struktur masyarakat yang menganut otonomi penuh bagi “Klein
Republiken” seperti yang ditemukan oleh sarjana-sarjana Belanda.
Berkiprah di
Muhamadiyah
Di masa itu
Samaun mulai melihat ada jalan yang hendak ditempuhnya. Sementara itu ayahnya
Bagindo Abu Bakar mulai sakit-sakitan dan berpulang di akhir tahun 1928 dalam
usia 92 tahun. Samaun melihat jalan itu saat partai-partai nasionalis
dibubarkan, Muhamadiyah muncul di Minangkabau penuh kemarakan. Muhamadiyah
memperoleh giliran di mana kaum radikal menemukan tempatbernaung setelah
mengalami hantaman-hantaman yang menghancurkan. Samaun mengambil tempat
terdepan di antara rekan-rekannya mempelopori pembangunan Muhamadiyah di
wilayah Pariaman. Nagari Kurai Taji menjadi pusat kegiatan Muhamadiyah. Kendati
pusat pemerintahan di Pariaman, cabang Muhamadiyah untuk daerah itu berkantor
di Nagai Kurai Taji.
Samaun dan
kawan-kawan memulai gerakan itu dengan langkah-langkah yang besar. Gayanya yang
khas diterapkannya kini untuk kegiatan sosial Muhamadiyah. Pertama-tama
mendirikan rumah pemeliharaan anak-anak yatim yang secara legal dipropagandakan
berdasarkan ayat-ayat Allah dalam al-Quran dan Hadits. Namun pada hakekatnya
sekaligus untuk menampung anak-anak yang ayahnya telah menjadi korban
perjuangan tahun 1926 itu, baik yang tewas dalam peryempuran maupun lantaran dibuang
ke Boven Digoel, Papua. Rumah pemeliharaan anak-anak yatim banyak bermunculan
di Sumatera menyusul perjuangan yang gagal itu. Dan yang paling besar adalah
“Rumah Penyantun” yang didirikan oleh PGAI di Jati Padang.
Gaya yang
khas Samaun itu telah mendorong Haji Mangan menjadi semacam “Rockefeller”
kecil. Rumahnya, sebuah gedung terbesar dan terindah di Nagari Kurai Taji,
beratap genteng dan mempunyai jalan tersendiri ke sana dari jalan raya. Jalan
menuju gedung itu dihiasi bunga-bunga bakung yang amat indah, di sebelah kanan
jalan tersebut terbentang luas sawah yang kemudian dijadikan lapangan sepak
bola. “Rockefeller” Kurai Taji itu telah menyerahkan gedung tersebut untuk
dijadikan asrama pemeliharaan anak-anak yatim terlantar dari seluruh daerah pesisir
Pariaman. Dan Samaun langsung menjadi pimpinannya. Bukan hanya sampai di situ,
sebuah rumah khas milik Haji Mangan yang dikenal sebagai “rumah bulat”
diserahkannya pula buat dijadikan “Gedung Perpustakaan”. Di sana, Samaun
sendiri melakukan “zelfstudie”.
Samaun
melakukan aktivitasnya bersama-sama dengan rekan-rekan segenerasi, dengan
dukungan kuat dari Ulama-ulama terkemuka, antara lain H. Harun Al Maany yang
tergolong kaum maju dan M. Adam Tuanku Hitam yang termasuk kaum kuno. Dari
kalangan ninik-mamak memberikan dukungan dan dorongan moril antara Bagindo
Abdullah R. Luwangso (penulis Balai Putaka yang juga kakek pelukis tenar
Zaini), Ackhiruddin R. Luwangso, M. Nur Dt. Tumanggung, dan Imam Dt. Rajo
Mangkuto.
Samaun yang
akrab dengan hampir semua golongan masyarakat itu mempunyai semacam pengawal dari kalangan parewa. Dengan
begitu dia benar-benar menjadi seorang yang dikenal dan dihargai oleh semua
kalangan. Di saat itu dia juga membentuk dan memimpin klub sepakbola “Cahaya
Minang” dengan memanfaatkan lapangan sepakbola milik Haji Mangan sebagai tempat
latihan. Dengan klubnya tersebut, dia sempat berkeliling Sumatera.
Suatu hal
kemudian menghadapkannya pada pilihan. Bahwa Muhamadiyah adalah organisasi
sosial yang memperoleh subsidi, bukan organisasi politik, sedangkan Samaun
memiliki kecenderungan politik yang radikal. Muhamadiyah di Minangkabau memang
merasakan kenyataan bahwa organisasi sosial ini telah digunakan buat tempat
berlindung eksponen-eksponen radikal setelah mereka kehilangan tempat bergerak.
Suasana demikian menggelisahkan Pusat Muhamadiyah di Yogyakarta, sampai
kemudian mengambil langkah-langkah pengamanan.
Samaun
sendiri akhirnya memahami bahwa organisasi pembaharu Islam di Hindia Timur itu
tidak cukup baginya untuk menyalurkan semangatnya yang terus menggelola. Dia
beranggapan bahwa orang Muhamadiyah lebih memilih “konfrontasi horizontal”
antara “kaum maju” (cq Muhamadiyah) dan “kaum kuno” (cq golongan Tarekat). Mereka
tidak mau berusaha secaraimplisit melakukan “konfrontasi vertikal”.
Demikian diungkapkan Zaidin Bakry, adik
kandung Samaun Bakry, ketika berjumpa di Bengkulu tahun 1939. Kata Zaidin, menirukan ucapan Samaun, ”Mereka
(rekan-rekannya di kampung) terlalu sibuk melarang-larang soal-soal tetek
bengek yang sesungguhnya tidak dilarang oleh agama dan mewajibkan hal-hal kecil
yang sesungguhnya tidaklah wajib, tetapi tidak berani melarang hal-hal besar
yang benar-benar haram, serta menyuruh hal-hal besar yang betul-betul wajib.”
Di kemudian
hari Zaidin memahami maksud ucapan Samaun yang sesungguhnya. Yang
sungguh-sungguh dilarang agama itu adalah membiarkan diri dijajah oleh orang
kafir, dan yang benar-benar wajib adalah mengusir penjajah.
Menurut
Zaidin, tokoh-tokoh Muhamadiyah di Minangkabau pada masa itu dapat
dikategorikan ke dalam tiga kecenderungan (golongan). Pertama, Ulama yang arif dan bijaksana yang semata-mata
mencita-citakan pembaharuan masyarakat yang masih penuh dengan bid’ah dan
khurafat. Mereka bukan orang politik tapi benar-benar ulama dalam arti yang
seharusnya. Mereka melakukan kritik secara sopan dan halus.
Kedua, kalangan pemimpin yang mempunyai
kekenesan konfrontasi horizontal yang dengan penuh semangat “menuding” golongan
lain sebagai bid’ah, khurafat, sesat, syirik
dan istilah-istilah keras lainnya yang ekstrim namun tidak berani menyinggung
penguasa kolonial.
Dan ketiga, para politikus yang memanfaatkan
setiap kesempatan untuk menyerang secara langsung ataupun secara tidak langsung
kekuasaan kolonial melalui konfrontasi vertikal, dan menghindarkan diri dalam
hal-hal yang menyerang golongan lain secara horizontal.
Agaknya,
demikian pendapat Zaidin, yang dimaksud Samaun adalah golongan kedua yang
banyak muncul ketika itu di Minangkabau. Samaun sendiri termasuk golongan
ketiga karena dia tumbuh menjadi dewasa di lingkungan keluarga besar yang
terdiri dari ayah, ibu, mamak-mamak, kakek dan sebagainya yang berasal dari
berbagai kalangan, paham dan pendirian.
Gerakan
Muhamadiyah di wilayah Pesisir Pariaman yang berpusat di Nagari Kurai Taji
ketika itu sangat gencar melakukan kegiatan-kegiatan untuk mengubah cara
berpikir warga masyarakat dalam penghayatan agama Islam. Mereka yakin bahwa
untuk menjadi Islam yang benar haruslah sesuai dengan segala cara yang mereka yakini.
Tentu hal ini wajar di mana saja dan kapan pun bila suatu gerakan pembaruan
muncul sebagai aksi maka timbul reaksi. Padahal, setidak-tidaknya wi wilayah
tersebut yang selalu dipersoalkan adalah masalah-masalah furu’iyah, antara lain qunut, niat shalat, talqin, membaca
bismillah yang kurang prinsipil.
Dalam hal
inilah Samaun menjadi tampak ganjil di tengah-tengah rekan-rekannya yang berada
pada golongan kedua yang berapi-api atai diapi-apikan untuk melakukan
konfrontasi horizontal. Dia mampu memberi warna yang berbeda di kalangan
Muhamadiyah di Minangkabau ketika itu.
Menjadi Wartawan yang
Kritis
Selain
aktif di Muhamadiyah, tahun 1929 Samaun juga bekerja menjadi jurnalis di Surat
Kaba Harian Persamaan. Melalui surat
kabar yang terbit di Padang itu, Samaun aktif mengkritik kesewenang-wenangan
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda tingkat lokal Sumatera Barat.
Suatu waktu
Samaun menulis laporan jurnalistik tentang rakyat Pariaman yang menderita
kelaparan gara-gara tidak ada perhatian dari Controleur Pariaman, Spits, yang
amat terkenal dalam memerintah daerah. “Itu tuan kumendur duduk ongkang-ongkang kaki di kursinya di kantor, tak
peduli dengan rakyat yang menderita kelaparan dan penyakit dan sebagainya,” demikian
berita di Surat Kabar Harian Persamaan
sebagaimana dilaporkan reporternya di Pariaman.
Controleur
Spits memang terkenal pintar memerintah. Dia seorang ambtenaar yang sukses
sekali dalam karirnya dan cepat naik pangkat. Ketika Jepang masuk Indonesia
tahun 1942, dia sudah menjadi Gubernur Sumatera berkedudukan di Medan. Selama
memimpin Pariaman itu, Spits aktif membaca berita-berita mengenai dirinya yang
dimuat di Surat Kabar Harian Persamaan.
Semua bernada negatif. Dia mengenal Samaun sebagai anak muda “jolong gadang”.
Tapi Spits
tidak bertindak apa-apa terhadap Samaun. Bahkan, suatu hari Spits sendiri turun
ke sawah dalam arti sebenarnya. Spits membuka baju, melepas sepatu dan
pantalonnya. Bersama aspirant, komisaris dan anggota stafnya, dia terjun ke
sawah, memilih satu per satu ulat serdadu yang di pagi hari masih sebesar lidi
lalu sore hari sebesar ibu jari. Ulat-ulat itu dikumpulkan dalam kancah lantas
direbus. Ini terjadi beberapa kali di Desa Marunggi dan Desa Marabau,
Onderdistrik Lubuk Alung. Inilah sebuah demonstrasi dari pemerintah yang
‘ramah’.
Kendati
begitu, Samaun tetap kritis. Dia berucap, “...soalnya, bila Belanda pergi, itu
ulat-ulat pasti pergi.”
Dan Spits
menjawab, “Apa kita orang yang bawa ini ulat-ulat dari negeri, He?” spits juga
pintar berbahasa daerah, bahkan dialek setempat, dan memahami pola dan struktur
budaya lokal.
Sekali
waktu Spits mengundang Samaun Bakry untuk ikut serta turun ke bawah keliling
nagari-nagari. Samaun mempersiapkan segala sesuatu sepanjang rute yang akan
dilalui Tuan Controleur untuk memberi gambaran tentang kepalaran dan penyakit.
Dia menyuruh orang-orangnya (tentu saja para parewa) untuk mengumpulkan
orang-orang “kaki gajah”, penderita busung lapar sedang makan buah pepaya muda,
umbut batang pisang ambut kelapa, di tempat-tempat yang akan diinspeksi oleh
Tuan Controleur dan rombongan. Samaun hendak membuktikan kebenaran berita yang
disiarkannya. Begitulah kisah konfrontasi Samaun versus Controleur Spits.
Spits tidak
kalah pintar. Dia melakukan tekanan terhadap Kepala Nagari Kurai Taji (waktu
itu) Moehammad Noer Majolelo. Majolelo adalah seketurunan dengan Rajo Luwangso
dari moyang mereka Rajo Nan Bauek, Raja Kurai Taju yang masyhur di abad ke-18,
yang konon keturunan Aceh. Di masa kanak-kanak Noer Majolelo tinggal dan
bersekolah di rumah Uning Syarifah di Paguh Pendakian dengan guru Sutan Rajo
Alif alias Guru Aceh itu. Jadi di antara mereka ada hubungan kekeluargaan yang
jalin berjalin, ipar bisan dan sumando menyumando.
Lantaran
tak tahan tekanan atasannya (Spits) secara terus-menerus, akhirnya Majolelo
datang ke Paguh Pendakian menjumpai Uning Syarifah. “Tolong benar Uning,
sampaikan kepada Samaun agar dia jangan terus-menerus mengkritik Tuan Kumendur,
karena saya lah yang menanggung akibatnya, dibentak-bentak si Spits itu. Tolong
sampaikan Uning, saya kan dibesarkan di rumah ini dan masih ingat saya Uning
menampar pipi saya ketika saya menyambar ketupat di meja,” pinta Majolelo
kepada Uning Syarifah.
“Saya tidak
dapat berbuat apa-apa. Samaun sudah besar kini, dia sudah dewasa. Sampaikan
saja lah langsung oleh Kepala Nagari sendiri,” jawab Uning Syarifah.
Suatu waktu
Majolelo mengundang Samaun ke rumahnya untuk menyampaikan ihwal betapa sulit
posisinya terhadap atasannya (Spits) yang melampiaskan sakit hatinya kepada
Majolelo atas perangai si Buyung Samaun.
“Baiklah,
akan saya bicarakan dengan Spits sendiri,” jawab Samaun atas curahan hati Majolelo.
Mendengar jawaban demikian Majolelo melongo dan geleng-geleng kepala.
Tak lama
berselang Samaun menemui Spits lalu menanyakan ihwal curahan hati Majolelo.
Spits menjawab, “Aaah, itu kan urusan Kepala Nagari. Saya senang dikritik.”
Demikian
seni Spits berdiplomasi. Di satu sisi dia membentak-bentak Kepala Nagari
gara-gara tingkah laku Samaun yang tak lain adalah anak-kemenakan Amjolelo. Di
sisi yang lain dia berbaik-baik pada sang kemenakan.
Akhirnya
Majolelo merogoh kantong sakunya lalu mengeluarkan uang tujuh ringgit seraya
berkata kepada Samaun, “Samaun, sebenarnya kau terlalu besar, sedang daerah ini
terlalu kecil untuk perkembangan bakatmu. Lebih baik lah kau pergi ke kota
besar agar kau dapat berkembang. Ini uang sekadar biaya. Pergilah! Saya aman
dari semburan Spits dan kau bisa berkembang, mungkin nanti kau jadi orang
besar.”
Bersiap Tinggalkan
Kampung Halaman
Samaun pun
mengalah, dia tak hendak membuat Majolelo semakin tertekan oleh caci-maki
Controleur Spits. Dia berpikir ingin pergi ke kota yang lebih besar, bukan
sebatas Padang. Masa itu, kota yang cukup berkembang dan besar di Sumatera
adalah Medan. Ke sana dia ingin mengembangkan diri.
Untuk itu,
sebelum merantau, Samaun terlebih dulu menyelesaikan “kisah asmara” yang telah
dirajutnya sejak dia nongkrong-nongkrong di Perpustakaan Rumah Bulat. Sebenarnya
Samaun sudah dua kali menikah, namun perkawinannya tersebut berlangsung menurut
“prosedur” adat yang kawi. Pernikahan pertama tahun 1928 dengan Zoebaidah,
seorang gadis manis dari Nagari Sunur. Hanya prosedurnya yang membuat pasangan
suami-istri ini tidak berjalan serasi. Kedua suami-istri ini tidak saling
mengenal. Lalu, karakter, cita-cita dan pendidikan sangat berbeda. Kendati
begitu, dari Zoebaidah, Samaun dikaruniai anak yang diberi nama A. Muis –nama
yang diambil dari seorang nasionalis radikal yang sohor di masanya. A. Muis
pernah menjadi pegawai RRI di Jakarta dan mantan anggota DPRD-GR di Sumatera
Barat. Mereka cerai berpisah minyakdengan air dan masing-masing mencari jalan
sendiri-sendiri.
Masa
berikutnya, Samaun “dijual” lagi bagai seekor kerbau bertuntun sebagaimana
lazimnya lelaki di nagari itu menurut tradisi. Dan Samaun sebagai kemenakan
patuh. Istrinya yang kedua bernama Siti Hafsah. Berhaul hanya untuk beroleh
seorang putri yang diberi nama Siti Asma. Kemudian Samaun pergi meninggalkan
Siti Hafsah untuk tidak kembali lagi.
Di kala
hendak meninggalkan kampung halaman lantaran Majolelo dalam tekanan Controleur
Spits, Samaun tidak mau lagi “dijual” bagai kerbau bertuntun. Dia ingin memilih
sendiri bakal istri. Waktu itu belum ada di desa-desa Minangkabau apa yang
disebut pacaran, belum ada soal transisi, modernisasi, vrij omgang dan sebagainya. Itu baru terjadi pada segelintir elit
kota atau dalam novel-novel karangan Sutan Takdir Alisyahbana atau Marah
Roesli.
Perpustakaan
yang menjadi tempat pengembangan pengetahuan diri Samaun itu telah pula menjadi
memupuk pendar-pendar asmara di hati sepasang anak manusia.
Tidak jauh
dari Perpustakaan itu terdapat sebuah sekolah putri yang sejenis “schakelschool”. Sekolah itu didirikan
oleh Haji Mangan –ayahanda Syamsuddin Mangan. Sekolah itu dipimpin oleh Siti
Khadijah, kemenakan Haji Manan. Dan karenanya, sekolah ini dinamai
“Khadijahschool”. Salah satu pelajar putri itu adalah seorang gadis yang
bilamana ingin berangkat ke sekolah mau tidak mau meti melewati jalan di depan
Perpustakaan di mana Samaun tengah bertekun mengembangkan intelektualitas diri.
Lantas, pada saat-saat yang telah disepakati dimulailah kisah-kisah asmara a la tempo doeloe.
Si gadis
bernama Siti Maryam, yang tidak lain merupakan anak sepupu Haji Mangan. Haji
Mangan yang mampu melakukan apa yang baik tentu tidak perlu repot-repot
menempuh prosedur adat yang berbelit. Dia lalu menyelesaikan kisah asmara itu
dengan sebuah “Alek” dan Samaun – Siti Maryam resmi menjadi pasangan
suami-istri pada tahun 1936. Dari istrinya Siti Maryam, Samaun Bakry beroleh
seorang anak laki-laki yang diberi nama Fuad.
Dengan
keberhasilannya mempersunting gadis pilihannya sendiri barulah Samaun bersedia
meninggalkan Nagari Kurai Taji sebagaimana diinginkan oleh Majolelo. Dia pun
bergegas meninggalkan kampung halaman menuju Medan, Sumatera Utara.
Namun,
Samaun dan Siti Maryam tidak berapa lama di Medan. Akhir 1937, Samaun berpindah
ke Bengkulen atau Bengkulu yang saat itu menjadi bagian Sumatera Selatan. Di
sini, dia merasa menemukan lingkungan yang pas untuk mengembangkan diri. Di
kota ini dia aktif terjun ke Muhamadiyah Cabang Bengkulu dan aktif menjadi
wartawan Surat Kabar Sasaran yang
dibreidel pemerintah kolonial lalu mendirikan Surat Kabar Penabur.
Samaun Menyambut Bung
Karno di Bengkulu
Kalender
Masehi memasuki tahun 1938. Pemerintah kolonial Hindia Belanda mengeluarkan
maklumat Vergader Verbod. Maklumat
tersebut berisi perintah bahwa pada tanggal 14 Februari 1938, Bung Karno
beserta keluarganya harus menjalani sisa masa pembuangan terakhir ke Bengkulen
(Bengkulu). Bung Karno kemudian berangkat ditemani istri pertamanya yang
bernama Inggit Ganarsih. Mereka berangkat dari Flores dengan menumpang kapal
dagang Belanda yang bernama Sloot Van Den
Beele menuju Batavia. Dari sini, Bung Karno menlanjutkan perjalanan ke
Lubuk Linggau, Sumatera Selatan.
Dari Lubuk
Linggau, dengan menggunakan bus Auto
Dienst Staats Spoor (ADSS) menempuh jalan darat dan tiba di Bengkulu pada
tanggal 14 Februari 1938. Menurut penuturan Boerhan Wahid Bin Thaib, warga Gang
Sepakat Kelurahan Tanah Patah, Bengkulu, kedatangan Bung Karno waktu itu telah
diketahui oleh orang-orang pergerakan di Bengkulu. Secara diam-dima mereka membentuk panitia
penyambutan kedatangan Bung Karno.
Kepindahan
Bung Karno dari Ende ke Bengkulu ini sudah lama diketahui Salmiah Pane, guru
Taman Siswa Bengkulu saat itu. Ia mengetahuinya karena mendapat telepon dari
orang pergerakan di Lubuk Linggau,
Sumatera Selatan. Mereka mengatakan bahwasanya Bung Karno menumpang bus dari
Lubuk Linggau. Mendengar kabar tersebut, para pejuang pergerakan di Bengkulu melakukan
penjemputan dan mereka berhati-hati sekali terhadap ritual penjemputan
tersebut. Apalagi pada saat itu bendera Mrah-Putih-Biru sedang berkibar
dengan megahnya. Saat itu Indonesia masih bernama Netherland Indie (Hindia Belanda) yang berada di bawah pemerintahan
Kerajaan Belanda yang waktu itu dipimpin Ratu Wilhelmina.
Penjemputan
Bung Karno dibagi dalam dua kelompok. Satu kelompok yang dipimpin Samaun Bakry
(tokoh Muhamadiyah Bengkulu) dan Salmiah Pane (Guru Taman Siswa) menunggu di
Pasar Pengantungan. Satu kelompok lagi dipimpin Kakaung Gunadi dari Taman Siswa
menunggu di tempat pemberhentian bus terakhir di Kampung Cina, dekat rumah Shin
Chi Hoo.
Tepat pada
waktu yang telah dijadwalkan, bus yang dinanti-nanti berhenti menurunkan penumpang
di Pengantungan. Salah satu penumpangnya adalah Bung Karno. Turun dari bus, Bung
Karno langsung menyalami Samaun Bakry dan Salmiah Pane. Bung Karno mengatakan
bahwa ia akan menginap di hotel Sentrum (Hotel Asia sekarang) sebagai tempat
penginapan sementara.
Beberapa
hari di Bengkulu, Bung Karno berusaha mencari tempat tinggal tetap. Beliau
tinggal di kawasan Tanah Patah, menyewa rumah milik H. Middin. Tempat tinggalnya sangat indah pemandangannya ke arah
timur, ada panorama Gunung Bungkuk yang menjadi kebanggaan warga masyarakat
Bengkulu. Namun, Bung Karno tidak tinggal lama di sana. Beliau kemudian pindah ke Anggut Atas
(sekarang rumah itu dijadikan museum Bung Karno). Bung Karno tinggal bersama
Inggit Garnasih dan dua orang anak angkat. Dua anak angkat perempuan itu
masing-masing Ratna Joemi dan Sukartik (anak angkat dari Ende berumur sekitar 9
tahun ketika itu).
Setelah
Bung Karno mendiami rumahnya di Anggut Atas, tampaknya Bung Karno tidak betah hanya
ongkang-ongkang kaki di rumah. Setiap pagi Bung Karno keluar rumah melanglang
buana dengan menggowes sepeda merek Vongers
kesayangannya, dengan mengenakan setelan pakaian rapi serba putih berdasi,
kopiah hitam, terkadang dilengkapi dengan kaca
mata hitam yang menambah daya tarik ketika tersenyum. Bung Karno tidak
sombong dan angkuh kepada orang Bengkulu. Sebaliknya, dia senantiasa mengumbar
senyum pada siapa saja yang ditemuinya di jalan. Apalagi dengan teman seperjuangannya. Jika melihat temannya berada jauh darinya, dia
tak segan melambaikan tangan sambil mengucapkan salam “hidup”, sebuah
salam partai pergerakan waktu itu, Partai Parindera.
Beberapa tokoh Muhammadiyah ikut bergabung dalam partai itu. Salamnya memang
mirip dengan salam Hitler di Jerman.
Bung Karno
mempunyai kebiasaan mengunjungi sekolah-sekolah partikelir atau sekolah non-pemerintah.
Seperti Sekolah Muhamadiyah di Kebun Roos, apalagi sekolah Taman Siswa yang merupakan sekolah
kebanggaan warga masyarakat Bengkulu masa itu. Setiap hari Sabtu, saat jam
pelajaran akan berakhir, Bung Karno sudah berada di ruangan kantor bersama
guru-guru. Kadang mereka berbicara serius, kadang pula terdengar tawa lepas
Bung Karno memenuhi ruangan tersebut. Sudah menjadi kebiasaan di Taman Siswa
yang terletak di kawasan Tengah Padang, bilamana pelajaran terakhir, mulai dari
anak-anak Taman Antara sampai anak-anak Taman Dewasa bergabung dalam sebuah
kelas yang besar untuk menyanyikan lagu Indonesia
Raya. Itulah sebabnya Bung Karno selalu hadir. Dia bernyanyi bersama para
siswa dengan semangat dan spirit yang tinggi. Yang pada akhirnya lagu tersebut
dijadikan sebagai lagu kebangsaan Indonesia.
Semasa
hidupnya Bung Karno selalu menanamkan rasa cinta tanah air kepada rakyat
Indonesia. Termasuk ketika ia berada di Bengkulu. Salah satu cara Bung Karno
menanamkan rasa cinta Tanah Air itu dengan cara
berkumpul dengan anak-anak. Hal ini dirasakan langsung Boerhan Wahid
ketika itu berusia 12 tahun. Bung Karno selalu mengikuti kegiatan kepanduan (kini
Pramuka). Kepanduan saat itu diberi nama Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI). “Jika kami mengadakan kamp furen (api unggun), maka Bung Karno
menyempatkan diri datang padang siang harinya,” kata Boerhan dalam catatannya
sebagaimana dilansir http://adekabang.wordpress.com.
Saat Bung
Karno datang, semua anggota KBI diminta duduk melingkari api unggun. Sesudah
itu, Bung Karno mengadakan kegiatan cerdas tangkas. Pertanyaannya seputar
pengetahuan nama-nama pahlawan pada masa itu. Setelah itu, Bung Karno juga
bercerita tentang tokoh-tokoh pewayangan seperti cerita tentang Ken Dedes - Ken
Arok dan kisah Empu Gandring yang membuat keris dengan jari-jari tangannya
sendiri. Kemudian dari cerita itu, Bung Karno mulai menyinggung kepahlawanan
Diponegoro dan Gadjah Mada. Dengan cara inilah Bung Karno menanamkan rasa cinta Tanah Air secara dini
kepada anak-anak. “Cinta terhadap Tanah Air memang belum begitu melekat. Namun,
cinta kami pada Bung Karno sudah mulai
tertanam di lubuk hati,” lanjut Boerhan.
Bung Karno
suka sekali berkumpul dengan para pemuda Bengkulu lewat perkumpulan musik yang
terkenal di kota itu. Nama perkumpulan musik yang lagi sohor saat itu adalah Monte Carlo. Perkumpulan ini dipimpin
oleh Manaf Sofyan alias Manaf Laboe (bukan Manaf Thalib). Singkat cerita,
setelah mereka membaur dengan Bung
Karno, mulailah Bung Karno mengajak mengadakan pertunjukan tonil atau sandiwara.
Pertama kali pementasan yang diangkat adalah cerita Putri Gading Cempaka (Rainbouw). Sesudah itu Cut-Cut Bie, Cungking Djakarta, To Bero, Dokter Saytan, Hantu Gunung Bungkuk dan Kibin Dimpye (Si Kecil Jempolan). Dimana
Boerhan Wahid pada waktu itu diberikan kepercayaan sebagai pemegang peranan
utamanya. Dengan adanya pertunjukan demi pertunjukkan tersebut, nama Bung Karno
mulai menjadi buah bibir rakyat Bengkulu.
Saat itu banyak para pemuda yang terpikat penampilan Bung Karno dan anggota
Monte Carlo terus bertambah.
Dengan
adanya pertunjukan-pertunjukan sandiwara kerja sama Bung Karno dengan Monte Carlo ini, maka para pemuda yang
menjadi ambtenaar (pegawai negeri)
jajahan Belanda pada waktu itu mulai dipanggil oleh bosnya (kaki tangan Pemerintah
Kolonial Belanda). Mereka ini kemudian disuruh memilih salah satu saja. Kalau mau jadi pegawai, jauhi Ir. Soekarno
(Bung Karno). Lalu, bila mau dekat-dekat Soekarno, maka lepaskan status pegawai
negeri. Salah seorang pemuda pegawai pemerintahan jajahan Belanda bernama
Hanafi minta berhenti dengan hormat, karena ia memilih dekat-dekat dengan Bung
Karno. Monte Carlo pun kian tenar.
Sesudah
itu, ruang gerak Bung Karno dan Monte
Carlo mulai dipersempit. Apa lagi
kalau mau mengadakan pertunjukkan di luar daerah. Seperti di Curup atau ke tempat
lain dalam keresidenan Bengkulu. Kalau mau pentas, dia harus meminta izin tertulis lebih dulu. Itu pun terkadang
berminggu-minggu ditunggu dan setelah digugat baru dikeluarkan izinnya.
Semenjak itu penjagaan terhadap Bung Karno semakin diperketat.
Diam-diam
rupanya Bung Karno waktu itu sedang membuat naskah cerita. Naskah itu berjudul Klein Deimpye, artinya Si Kecil Jempolan. Sewaktu naskah
sudah jadi, lalu dipersiapkan untuk
dipentaskan. Boerhan Wahid pun diajak bermain dan diminta menjadi pemeran
utama. Selain itu, juga diajak orang
lain, di antaranya kakak Boerhan Wahid bernama Firdaus Boerhan dan
teman-teman lain sebanyak 30 orang yang umurnya masih berumur belasan tahun.
Kendati
pengawasan teerhadap Bung Karno diperketat, namun serdadu Belanda kecolongan pula.
Suatu hari, Bung Karno mengendarai sepedanya ke Pasar Ikan (sekarang Barukoto
II). Di sana ada tempat tinggal seorang tokoh Muhamadiyah yang juga seorang
penjahit pakaian bernama Achmad alias Amad Kancil. Amad Kancil juga salah
seorang paman dengan Ibu Fatmawati. Singkat cerita, di depan rumah Amad Kancil
tumbuh pohon jambu yang rimbun dan
besar. Begitu sampai di rumah Amad Kancil, Bung Karno langsung menyendarkan sepedanya
di pohon jambu itu sampai keesokan harinya.
Reserse kolonial
kalang kabut kebingungan dan bertanya kepada setiap orang yang lewat di depan
rumah Amad Kancil. Apakah mereka melihat Tuan Soekarno di situ? Setiap orang yang ditanya mengatakan
tidak melihat Tuan Soekarno. Rupanya Bung Karno berpesan kepada Pak Amad Kancil,
“Biarkan sepeda saya di situ Pak. Jangan dibawa masuk. Ada yang menjaganya.
Sekarang saya mau pulang naik delman.’’
Bung Karno
masuk ke rumah itu dan keluar jalan melalui dapur menyusur jalan Kampung Bugis,
di samping LP (Rumah Penjara) sekarang. Setibanya di jalan besar, Bung Karno menyuruh seorang anak kecil mencari delman.
Beliau lantas naik delman pulang ke Anggut Atas. Keesokan harinya Bung Karno
menyuruh Boerhan Wahid mengambil sepeda itu lalu mengantarkannya ke Jalan
Soekarno – Hatta, Kelurahan Anggut Atas, Kota Bengkulu, rumah Bung Karno yang
jadi lokasi bersejarah.
Dari “Sasaran” ke
“Penabur”
Tahun 1938
juga, Surat Kabar Sasaran yang diterbitkan Samaun dibreidel pemerintah kolonial
karena dianggap mengganggu ketenangan sang penjajah. Pertengahan 1939, Zaidin
Bakry menyusul ke Bengkulu karena merasa tidak ada pintu kantor yang terbuka
untuk bekerja di Sumatera Barat, apalagi kalau hanya bermodal selembar ijazah particulier.
“Bagaimana
kabar kampung halaman?” tanya Samaun begitu Zaidin tiba di Bengkulu. Zaidin pun
menceritakan apa adanya. Lalu Samaun bertutur tentang sikapnya yang tetap keras
terhadap penjajah Kolonial Belanda.
Sejurus
kemudian Samaun menyodorkan buku biografi Kemal
Attaturk agar dibaca oleh Zaidin. “Baca ini,” kata Samaun sembari
menyerahkan buku itu kepada Zaidin. Beberapa hari kemudian Samaun menyerahkan
setumpuk buku-buku tentang gerakan-gerakan nasionalis –baik di Tanah Air maupun
di mancanegara seperti Mesir, Tiongkok, India dan Turki. Semua berbau politik.
Pada suatu
hari Samaun menyuruh Zaidin menterjemahkan buku Saad Zagloel Phasha. Setelah terjemahan itu selesai dan dibacanya,
Samaun tersenyum lalu mengangguk-angguk sembari berkata, “Kau orang sastra.”
Lantas dia pergi membawa naskah terjemahan itu untuk dimuat di Surat Kabar Penabur yang diterbitkan sejak awal 1939
sebagai pengganti Surat Kabar Sasaran
yang dibredidel.
Beberapa
hari berselang Samaun pulang dengan sebundel tebal majalah sastra Pujangga Baroe dan melontarkannya di
meja tempat Zaidin tengah mencoba menulis sajak-sajak. Zaidin mengaku dirinya
tidak terselera pada dunia politik, kurang berminat menjadi politikus. Zaidin
lebih asyik melahap banyak novel dan roman, mulai dari yang picisan terbitan
Medan sampai terbitan Balai Pustaka. Namun ada sedikit yang menggelitik, yakni
keinginan menjadi pelukis. Keinginan ini telah dimulainya sejak masa
kanak-kanak.
Suatu pagi
datanglah seorang tamu yang gagah. Rasanya Zaidin pernah melukis wajahnya, mem-vergroot sebuah fotonya ketika di
kampung halaman dulu. Wajah itu segar, bermata bundar, dan di ketiaknya dikepit
seuah helmhoed. Saat Zaidin masih
terpana, tamu itu bertanya ramah, “Ada Samaun?”
“Ada Tuan,”
jawab Zaidin.
“Apa? Tuan?
Hahaha ...panggil Bung, Bung Karno,” katanya. Gayanya membuat Zaidin kagum. Parasnya
seperti tertinggal di angin di depan meja tempat Zaidin melukis.
Samaun
Bakry keluar menemui tamunya. Lalu mereka masuk ke ruangan dalam. Zaidin masih
termangu-mangu. Entah apa yang mereka perbincangkan. Tapi, tatkala keluar lagi
setelah usai berbincang-bincang dengan Samaun, Bung Karno mendekati Zaidin.
Sembari mencubit dagu Zaidin, Bung Karno berkata, “Kalau inign jadi pelukis,
teruslah berlatih serius.” Lelaki tampan itu kerap datang bertamu dan berbincang
berdua dengan Samaun Bakry tentang segala sesuatu yang Zaidin tidak pernah
tahu.
Kembali ke
Surat Kabar Penabur yang diterbitkan
Samaun Bakry sebagai pengganti Surat Kabar Sasaran.
Semula gaya pemberitaan Penabur
bergaya lunak namun makin lama makin
keras saja meniru kembali gaya Sasaran
yang telah dibreidel. Suasana politik makin keras bergejolak. Pasifik yang
semula teduh mulai bergejolak bergelora dibayangi Perang Dunia II. Negeri
Belanda di-blitzkrieg oleh Jerman. Lalu
meletus Perang Dunia II.
Hari itu
kira-kira di awal tahun 1940, Samaun Bakry pergi ke rumah sakit bersama
istrinya Siti Maryam membawa bayi mereka berumur sekitar tiga bulan. Mereka
duduk di ruang tunggu dan Samaun memeluk bayinya. Agaknya, menurut Zaidin Bakry,
Samaun sedang melamunkan Surat Kabar Penabur
yang harus terbit hari itu. Dia merasa mendengar nama seseorang
dipanggil-panggil dari kamar dokter, tapi dia mengira yang dipanggil itu pasien
yang lain.
Tiba-tiba
pintu kamar dokter terbuka, Kepala Rumah Sakit Residensi Dokter Hoogezand
berkacak pinggang dengan beringasan membentak-bentak: “Kambing, Melayu busuk.
Siapa di sini yang bernama Fuad? Apa kamu orang tuli he, kerbau?”
Samaun baru
tersadar bahwa yang bernama Fuad adalah bayi yang tengah dipeluknya. Namun dia
justru menyerahkan bayinya kepada istrinya. Lalu dia menuju ke Dokter Hoogezand
yang bertubuh tinggi besar itu. Dia langsung memberikan ketupat Bangkahulu di
perutnya dengan jangan kanan dan menyusulkan sebuah lagi dengan tangan kiri di
mulut dokter berkebangsaan Belanda itu. Dokter
Hoogezand ternganga seperti tak percaya ada si Melayu pendek langsung
menghajarnya.
Dengan
wajah pucat dan gemetar, Dokter Hoogezand lari ke dalam kamarnya terus
menyambar gagang telepon. Sementara Samaun terus nyerocos, “Tak tahu diri kau,
he, Tengik. Negerimu sudah dijajah Jerman, Bajingan.” Tiba-tiba Samaun naik
darah bagai Bagindo Talabieh alias Tuanku Nan Garang menghajar Panderedzk (Van
der Hijde) pada tahun 1832 di Ulakan. Yang berbeda, Tuanku Nan Garang tidak
menggunakan buku tangan. Tuanku Nan Garang menggunakan pedang lalu memancung
Van der Hijde dan pengawalnya yang malang lantaran telah melecehkan seorang
wanita bangsa Indonesia di Nagari Tapakih, Kecamatan Nan Sabaris, Kabupaten
Padang Pariaman, kini.
Kemudian
Samaun meninggalkan rumah sakit terus ke percetakan Surat Kabar Penabur. Dan
pada hari itu di halaman 1 kolom 1 Penabur
terpacak sebuah berita hangat dengan judul “Dokter Busuk Mulut”. Isinya
mengenai Dokter Hoogezand telah menghina bangsa Indonesia dengan kata-kata yang
tidak pantas keluar dari mulut seorang dokter. Lalu di pojok koran itu ditulis:
“Jaman sudah edan, dunia sudah gila.
Belanda dijajah Jerman, Indonesia dijajah Belanda ... Trala, tralala la!”
Buntut-buntutnya,
Semaun diseret ke pengadilan kolonial karena bertindak menjadi hakim sendiri
terhadap pegawai negeri. Hasilnya, kata Zaidin Bakry, dijatuhkan hukuman
“voorwaardelijk” sekian bulan dalam masa percobaan sekian bulan (Zaidin tidak
ingat persis berapa bulan masa percobaan itu).
Dalam
menjalani masa percobaan itu, ultimo tahun 1940, Samaun Bakry ditangkap
sehubungan dengan sebuah naskah yang sedang dicetak di Medan. Naskah itu adalah
sebuah “Roman Sejarah” yang bertajuk “Si Patai”.
Si Patai
adalah seorang tokoh perjuangan tahun 1926 di Padang Luar Kota (Padangsche
ommelanden). Si Patai bersama wakilnya bernama si Ganjil termasuk tokoh parewa
dalam perjuangan di Minangkabau. Sebagaimana halnya Datuk Gamuk dan Datuk
Palima Bega dari kalangan Ninik mamak (1832) dan Haji Ranjau dan Lebai Palak
Pisang dari kalangan Ulama (1906), demikian pula Ibu Siti dan Upik Hitam (1908)
dari golongan wanita.
Adapun si
Patai (atau siapa saja) yang menentang secara kekerasan kekuasaan kolonial
sudah tentu secara resmi diumumkan sebagai “penjahat” oleh penguasa kolonial
itu. Begitu halnya si Patai yang pada akhir perlawanannya dia tertangkap dalam
perlawanan yang benar-benar sampai tetes darah yang terakhir. Setelah
dipenggal, kepalanya diarak keliling Kota Padang. Demikian lah nasib setiap
“penjahat”, ujar pejabat kolonial dalam pidatonya.
Namun
Samaun telah menuliskan riwayat perjuangan si Patai dalam versinya sendiri yang
sudah barang tentu bertolak belakang dengan versi yang “resmi”. Si Patai adalah
patriot, pejuang bangsa, pahlawan rakyat dan sebagainya. Tentu saja perbuatan
dianggap melanggar undang-undang, melanggar artikel bis dan ter, mengganggu
ketenteraman umum, rust en orde-nya
penguasa. Dan, setelah menjalani sidang-sidang pengadilan kolonial, Samaun
harus menjalani hukuman selama empat tahun di Penjara Sukamiskin, Bandung.
Samaun
Bakry pun pergi ke Penjara Sukamiskin dengan meninggalkan istrinya tercinta,
anaknya Muis yang masih duduk di HIS dan Fuad yang masih bayi baru mulai
belajar merangkak. Masyarakat Bengkulen yang ramah itu telah menampung mereka
dengan sumbangan memberinya kerja menjahit dan membordir.
Beberapa
hari setelah Samaun “dibuang”, datanglah seorang tamu lelaki bertubuh tinggi
berinisial ISM kepada Zaidin Bakry. Orang ini datang untuk menyampaikan rasa
dukacita atas dihukumnya Samaun. Lalu orang ini memberikan duit seringgit dan
tanpa sadar Zaidin menerimanya. Beberapa hari kemudian, ISM datang lagi menghadiahi
sepasang vulpen dan notes.
Rupanya ISM
punya tujuan tertentu. Setelah beberapa kali memberikan hadiah dan mulai akrab,
ISM mulai berbaik hati ingin memberikan “lapangan kerja” yang akan menghasilkan
duit yang cukup, bahkan lebih dari cukup untuk hidup di Bengkulu pada masa itu.
Pekerjaan itu enteng sekali, cuma agar rajin-rajin datang ke rumah Bung Karno
di Anggut Atas dengan alasan ingin belajar melukis atau bermain tonil Monte Carlo yang diasuh oleh Bung Karno.
Tentu saja tidak sekadar belajar dan bermain, Zaidin juga harus mencatat dalam
notes siapa-siapa yang datang dan apa yang dibicarakan hari, tanggal, bulan dan
sebagainya. “Hanya itu kerjanya, enteng kan?” ujar lelaki ISM kepada Zaidin.
“La haula wala quata illa billah,
na’udzubillah,” ucap Zaidin sangat terkejut. Tapi, bagaimana dengan uang
dan hadiah yang telah diterimanya.
“Saya pikir-pikir dulu,” jawab Zaidin kemudian.
Karena
Zaidin memang tidak pernah berpikir-pikir, lambat laun ISM merasa Zaidin
mempermainkannya. Suatu hari, Zaidin dijemput politie lalu ditahan di Benteng Marlborough lantaran dituduh
memerasa ISM.
Sehari
setelah penahanan, Tuan Commisaris Politie Dolmans menjenguk Zaidin di sel
tahanannya. Setelah melihat wajah Zaidin yang lugu, dia pergi dan segera Zaidin
menghirup kembali udara kebebasan. Sejak saat itu Zaidin merasa tidak aman lagi
di Bengkulen.
Zaidin
lantas mengembara selama hampir satu tahun ke arah selatan dengan niat menuju
Batavia. Dan dia bermimpin pengembaraanya sampai Penjara Sukamiskin, Bandung,
untuk menjumpai sang kakak, Samaun Bakry. Sekali lagi hanya mimpi buat sampai
Sukamiskin. Sebab, tiba di Lampung, Zaidin menerima telegram dari kampung
halaman. Isinya: “Pulang segera, Bunda sakit keras.”
Zaidin pun
langsung pulang kampung di Nagari Kurai Taji. Ternyata ibunda Zaidin, Syarifah,
sehat walafiat. Syarifah hanya sakit hati karena Pearl Harbour dibom. Itulah
sebabnya Syarifah berbohong pada Zaidin.
Ada hikmah
di balik bom yang membuat Sekutu (di dalamnya ada Belanda) terdesak dan
tertekan dalam Perang Asia Timur Raya. Secara tak sengaja, bom itu membuka
pintu serdadu-sedadu Jepang datang ke Indonesia dan membukakan pintu penjara
dan membebaskan Samaun Bakry dari Penjara Sukamiskin, Bandung, pada tahun 1942.
***
No comments:
Post a Comment