Wasilah bin al-Asqa’r.a berkisah, “Bulan Ramadhan telah tiba
dan kami adalah golongan Ahlu Suffah. Setiap kami hendak berbuka, kami selalu mendatangi
setiap laki-laki dari golongan Ahlu Bai’at untuk mendapatkan makanan. Hingga
suatu ketika, kami mendatangi mereka tetapi mereka pun tidak ada (sisa) makanan.
Lalu, kami mendatangi suatu kabilah namun mereka juga tak ada (sisa) makanan.
Kami akhirnya mendatangi Rasulullah. Kepada beliau, kami memberitahukan kondisi
yang kami alami. Lalu, Nabi mengutus salah satu istrinya untuk menanyakan kepada
istri-istri beliau, apakah ada makanan yang tersisa? Para istri beliau
menjawab, ‘Tidak ada, semua makanan sudah dibagi rata di antara kami.’
Rasulullah lantas berkata kepada mereka, ‘Berkumpullah kalian semua.’ Lalu, Nabi berdo’a, ‘Ya Allah, aku meminta
anugerah dan rahmat kepada-Mu. Karena hanya Engkaulah yang memilikinya.’ Tak lama berselang,
do’a beliau dikabulkan oleh Allah, tiba-tiba terhampar
hidangan berupa kambing panggang dan beberapa roti di meja. Nabi kemudian memerintahkan kepada kami agar mengambil kambing panggang
itu. Setelah itu,
kami memakannya sampai kenyang. Kami berkata kepada Rasulullah, ‘Kami meminta
kepada Allah anugerah dan rahmat-Nya. Inilah anugerah dari-Nya. Sungguh, Allah
telah menampakkan kepada kami rahmat-Nya yang amat Agung’.”[1]
Ibu
Abu Hurairah Masuk Islam Berkat Do’a Nabi Muhamad Saw
Abi
Katsir al-Ghubari bercerita bahwa Abu Hurairah pernah berkata kepadanya, “Tidak
ada seorang mukmin dan mukminat di permukaan bumi ini kecuali mereka saling
sayang-menyayangi.”
Lalu
al-Ghubari bertanya, “Apa yang kamu ketahui tentang hal ini, wahai Abu
Hurairah?”
Abu
Hurairah menjawab, “Dulu aku sering mengajak ibuku masuk Islam tetapi beliau
menolak. Pernah suatu ketika, aku mengajak ibuku masuk Islam tetapi beliau
malah mengucapkan kata-kata yang tidak aku sukai mengenai Rasulullah. Aku pun datang
kepada Rasulullah, dan berkata, ‘Wahai Rasulullah,
aku sering mengajak ibuku untuk masuk Islam, tetapi beliau selalu menolak dan
malah mengucapkan kata-kata yang tidak aku sukai tentang engkau. Mohonkanlah
kepada Allah agar ibuku mendapatkan petunjuk dan hidayah-Nya'.”
Abu Hurairah menjawab lebih lanjut, “Setelah
mendengar penjelasanku, Rasulullah langsung berdoa, ‘Ya Allah, berikanlah hidayah kepada ibu Abu Hurairah.’ Setelah
itu, aku kembali ke rumah dengan perasaan gembira
karena do’a Rasulullah tersebut. Setiba di rumah, aku mendapati pintu rumah
masih tertutup, dan kudorong pintunya, kemudian aku mendengar ibuku sedang
memakai pakaian, dan mengenakan kerudung. Lalu, ibuku berkata, ‘Ke marilah wahai
Abu Hurairah.’ Aku pun membuka pintunya. Tiba-tiba ibuku berkata, ‘Aku bersaksi
bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhamad adalah utusan
Allah’.”
Selanjutnya Abu Hurairah menuturkan, “Lalu
aku kembali lagi kepada Rasulullah Saw sembari menangis karena luapan perasaan
gembira. Aku berkata, 'Wahai Rasulullah, aku sungguh gembira. Allah telah
mengabulkan do’a engkau. Allah telah memberikan hidayah-Nya kepada ibuku.’ Rasulullah
kemudian memuji Allah dan mengucapkan syukur kepada-Nya. Aku berucap, 'Wahai
Rasulullah, mohonkanlah kepada Allah agar aku dan ibuku mencintai orang-orang
mukmin dan mereka juga mencintai kami!' Kemudian Rasulullah berdoa, 'Ya Allah,
jadikanlah hamba-Mu yang kecil ini (yaitu Abu Hurairah dan ibunya) cinta kepada
orang-orang mukmin serta jadikanlah mereka mencintai keduanya!'
Dan, kemudian, tidak ada di permukaan
bumi ini --baik dari golongan mukmin maupun mukminat-- kecuali mereka mencintai
Abu Hurairah dan ibunya.[2]
Kabar Nabi Muhamad Saw tentang Seorang Laki-laki Penghuni Neraka
Sahal bin
Sa'ad al-Sa’idi menceritakan bahwa Rasulullah berhadapan dengan kaum Musyrikin,
kemudian keduanya saling menyerang. Ketika Rasulullah bergabung dengan bala
tentara Muslimin, musuhnya juga bergabung
dengan bala tentara mereka. Saat itu, terdapat salah satu sahabat (si fulan) Rasulullah
yang gigih berjuang mengejar tentara musuh untuk dipenggal dengan pedangnya. Sahabat
yang lain berkata, “Hari ini tidak ada seorang pun dari kita yang mendapat
ganjaran pahala sebagaimana yang didapat si fulan itu (sahabat yang mengejar
musuh tadi).” Lalu Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya si fulan itu termasuk
dari penduduk neraka.” Seorang laki-laki dari kaumnya berkata, “Aku adalah
sahabatnya.” “Kemudian dia berangkat dan mengikuti si fulan itu, apabila dia
berhenti orang itu berhenti pula dan bilamana dia bergegas maka orang itu pun
bergegas bersamanya.
Sahal
melanjutkan, “Kemudian laki-laki itu (orang yang mengejar tadi) ditemukan dalam
keadaan terluka sangat parah hingga mengharapkan segera mati. Lalu, dia
meletakkan pedangnya di tanah dan ujung pedangnya diletakkah di antara dua
dadanya dan tiba-tiba dia membunuh dirinya sendiri. Orang yang bersamanya tadi kemudian
pergi menemui Rasulullah sambil berkata, ‘Aku bersaksi bahwa engkau adalah
benar-benar utusan Allah.’ Beliau bertanya, ‘Kenapa kamu berkata seperti itu?’
Orang itu menjawab, ‘Orang yang engkau sebutkan tadi benar-benar penghuni
neraka.’
Mendengar
perkataannya, para sahabat merasa heran. Aku (Sahal) lalu berkata, "Aku
menjadi saksinya. Aku telah keluar bersamanya di mana aku mencarinya kemudian
aku dapatkan dia dalam keadaan luka parah, hingga dia berkeinginan supaya cepat
mati. Lalu dia meletakkan pedangnya di tanah dan ujung pedangnya diletakkah di antara
dua dadanya. Setelah itu dia membunuh dirinya sendiri.” Pada kesempatan itu
juga Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya ada seseorang yang mengamalkan amalan
penduduk surga berdasarkan yang nampak oleh manusia padahal dia adalah dari
golongan penduduk neraka. Dan, ada pula seseorang yang mengamalkan amalan
penduduk neraka berdasarkan yang nampak oleh manusia padahal dia sebenarnya
dari golongan penduduk surga."[3]
Jika
Engkau Jujur kepada Allah, Maka Allah akan Jujur Kepadamu!
Syaddad
bin al-Had menceritakan
bahwa seorang laki-laki badui
datang menemui Nabi dan dia menyatakan beriman dan mengikuti beliau. Kemudian dia berkata, “Aku akan
berhijrah bersama engkau?” Tetapi Nabi menitipkan orang tersebut kepada para sahabat.
Setelah terjadi perang, Nabi mendapatkan ghanimah (harta rampasan perang) lalu dibagikan
kepada kaum Muslimin, dan Nabi juga menyisakan untuknya.
Ketika orang badui itu
datang, para sahabat memberikan jatah ghanimah itu kepadanya. Dia berkata, “Apa
ini?” Para sahabat menjawab, “Bagian yang telah Nabi bagi untukmu.” Kemudian
dia mengambilnya dan membawanya menemui Nabi lantas bertanya, “Apa ini, wahai
Rasulullah?” Beliau berkata, “Aku telah membaginya untukmu.” Dia berkata,
“Bukan untuk hal ini aku mengikuti engkau. Tapi aku mengikuti engkau agar aku
ditusuk di sini –dia menunjuk ke tenggorokannya dengan tombak– sampai aku mati
dan masuk surga.”
Nabi kemudian berkata,
“Jika kamu jujur kepada Allah, niscaya Allah akan jujur kepadamu.” Tidak lama setelah
itu, para sahabat kembali bangkit melawan musuh. Setelah selesai perang, orang badui
tersebut dibawa ke tempat Nabi dengan cara diangkut. Dia terkena tombak pada
tempat yang dia tunjuk. Nabi pun bertanya, “Apakah dia orangnya?” Para sahabat
menjawab, “Ya.” Beliau berkata, “Dia memang benar dalam berjanji kepada Allah
dan Allah mewujudkan permintaannya.” Selanjutnya Nabi mengkafaninya dengan
jubah beliau kemudian menshalatkannya. Di antara bacaan yang kedengaran dalam
shalat beliau adalah, “Ya Allah, inilah hamba-Mu. Dia telah keluar ikut berhijrah
di jalan-Mu. Lalu dia terbunuh dalam keadaan syahid, dan aku menjadi saksinya.”[4]
Dikaruniai Sepuluh Anak Berkat Do’a Nabi Muhamad Saw
Ketika Ummu Sulaim
menikah dengan Abu Thalhah, keduanya dikaruniai seorang anak. Mereka ini
sangat menyayangi anak semata wayangnya tersebut. Lalu, si anak ini terserang
penyakit dan tak lama setelah itu meninggal. Abu Thalhah yang saat itu
sedang bekerja di luar tidak mengetahui bila anaknya itu telah meninggal. Tatkala
kembali ke rumah, dia menanyakan kondisi
anaknya kepada istrinya, Ummu Sulaim. Ummu Sulaim mengatakan bahwa anaknya kini
lebih tenang dari biasanya. Lalu ketika malam tiba, Ummu Sulaim menjamu
suaminya dengan makanan yang istimewa dan berdandan serta berhias dengan
memakai wewangian. Sehingga membuat suaminya tertarik untuk tidur bersama.
Menjelang subuh, Ummu
Sulaim berbicara kepada suaminya perihal anaknya seraya berkata, “Wahai suamiku,
apa pendapatmu bila ada seseorang meminjamkan barang kepada tetangganya lantas dia
meminta kembali haknya, pantaskah jika si peminjam itu enggan mengembalikannya?”
Abu Thalhah menjawab,
“Tidak, istriku.”
“Demikian pula anakmu,
Allah meminjamkannya kepada kita dan pemiliknya telah mengambilnya kembali.
Relakanlah dia,” kata Ummu Sulaim dengan tenang dan mengingatkan suaminya
agar bersabar.
Pagi-pagi buta Abu Thalhah
kemudian menjumpai Rasulullah Saw dan menceritakan kejadian tersebut. Rasulullah
Saw bersabda, “Semoga
Allah memberikan barakah pada malam pengantin kalian berdua.” Berkat
do’a Nabi, Ummu Sulaim mengandung lagi. Dan, setelah melahirkan, bayi itu dibawa
kepada Nabi dan diletakkan di pangkuan beliau. Beliau mengambil kurma dan
mengunyahnya hingga lembut kemudian beliau suapkan ke dalam mulut bayi itu
hingga bayi mengecapnya.
“Wahai Rasulullah,
berilah nama untuk anak ini,” ujar Ummu Sulaim.
“Namanya
Abdullah,” jawab Rasulullah.
Setelah
itu, di kota Madinah tidak ada seorang anak muda yang lebih utama daripada
anaknya Ummu Sulaim ini (Abdullah). Ketika besar, Abdullah adalah seorang pejuang
yang banyak menghabiskan hidupnya di medan perang tanpa mengendarai kuda, dan
dia meninggal di Persia.
Dalam
riwayat lain dikatakan bahwa Abu Thalhah dikarunia anak berjumlah
sepuluh, kesemuanya hafal al-Qur’an.[5]
Nabi Muhamad Saw Menjawab Sebelum Ditanya
Wabishah al-Asadi
berkata, “Aku datang
kepada Rasulullah dengan maksud untuk bertanya sesuatu
kepadanya. Karena aku ingin, baik itu hal-hal
yang menyangkut kebaikan ataupun keburukan kecuali aku
telah menanyakannya kepada beliau. Saat itu, di sisi beliau ada
beberapa sahabat. Sampai-sampai aku melangkahi mereka hingga mereka berucap, ‘Wahai
Wabishah, menjauhlah dari Rasulullah.’ Aku menjawab, ‘Biarkan aku mendekat
padanya, karena beliau adalah orang yang paling aku cintai.’ Beliau pun berkata,
‘Mendekatlah, wahai Wabishah.’ Aku lantas mendekat ke arah beliau sehingga
lututku menyentuh lutut beliau.
Kemudian
beliau menyapa, ‘Wahai Wabishah, aku akan memberitahukan (jawaban) kepadamu
sesuatu yang menjadikanmu datang ke mari.’ Aku menyahut, ‘Wahai Rasulullah,
beritahukanlah padaku.’ Beliau lalu berkata, ‘Kamu datang untuk bertanya
mengenai kebaikan dan keburukan (dosa).’ Jawabku, ‘Benar.’ Beliau lantas
menyatukan ketiga jarinya dan menepukkannya ke dadaku seraya berkata, ‘Wahai
Wabishah, mintalah petunjuk dari jiwamu. Kebaikan itu adalah sesuatu yang dapat
menenangkan dan menenteramkan hati dan jiwa. Sedangkan keburukan itu adalah
sesuatu yang meresahkan hati dan menyesakkan dada, meskipun manusia
membenarkanmu’."[6]
Berita Nabi Muhamad Saw tentang Abu Thalhah Masuk Islam
Setelah
suami pertama Ummu Sulaim meninggal, Abu Thalhah mendatanginya dengan
maksud mempersuntingnya. Ummu Sulaim berkata, "Sesungguhnya aku tidak
pantas menolak orang sepertimu, wahai Abu Thalhah. Hanya saja, kamu masih
dalam keadaan kafir, sementara aku seorang Muslimah. Maka tak pantas bagiku
menikah denganmu.”
Abu Thalhah
bertanya, “Apa keinginanmu, wahai Ummu Sulaim?”
“Keinginanku?”
Ummu Sulaim balik bertanya.
“Emas,
perak,” jawab Abu Thalhah setengah bertanya.
Ummu
Sulaim menjawab, "Sedikitpun aku tidak
menginginkan emas atau perak. Aku hanya inginkan dirimu segera
memeluk agama Islam."
Memperoleh
jawaban seperti itu, Abu Thalhah berucap, "Tetapi aku tidak tahu, siapa
yang akan menjadi pembimbingku?"
"Tentu
saja, pembimbingmu adalah Rasululah sendiri," tegas Ummu Sulaim.
Setelah
itu, Abu Thalhah bergegas pergi menjumpai Rasulullah yang saat itu
tengah duduk bersama para sahabatnya. Melihat kedatangan Abu Thalhah, Rasulullah
berseru, “Abu Thalhah telah datang kepada kalian, dan cahaya Islam tampak
pada kedua bola matanya." Rasulullah telah memberikan berita tentang hal ini.
Dan akhirnya mereka berdua menikah.
Sabit al-Bunani
–seorang perawi yang menukil kisah ini dari Anas bin Malik r.a.– berkata, “Tidaklah
sampai berita kepada kami bahwa ada mahar yang lebih agung dari itu. Dia (Abu Thalhah)
rela Islam sebagai mahar baginya.”[7]
Sebongkah
Batu yang Terpecah dan Memancarkan Cahaya
Diriwayatkan
oleh Al-Nasa’i, “Ketika Rasulullah memerintahkan para sahabat melakukan
penggalian parit, ternyata ada sebongkah batu besar menghalangi penggalian itu.
Lalu, Rasulullah bangkit mengambil kapak dan meletakkan mantelnya di ujung
parit, dan berkata, ‘Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (Al-Qur`an) sebagai
kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah-ubah
kalimat-kalimat-Nya dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.’[8]
Tiba-tiba terpecahlah
sepertiga batu tersebut. Salman al-Farisi ketika itu sedang berdiri menyaksikan
Rasulullah memecah batu itu. Dia melihat kilat yang memancar seiring pukulan Rasulullah.
Kemudian beliau memukul lagi kedua kalinya, dan membaca: ‘Telah sempurnalah
kalimat Rabbmu (Al-Qur`an) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang
dapat mengubah-ubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui.’
Lalu
terpecah pulalah sepertiga batu itu. Salman melihat lagi kilat yang memancar
ketika Rasulullah memukul batu tersebut. Rasulullah memukul sekali lagi dan
membaca, ‘Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (Al-Qur`an) sebagai kalimat yang
benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah-ubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah
yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.’ Dan untuk ketiga kalinya, batu
itupun pecah berantakan. Kemudian beliau mengambil mantelnya dan duduk.
Salman
berkata, ‘Wahai Rasulullah, ketika engkau memukul batu itu, aku melihat kilat
memancar.’ Rasulullah berkata kepadanya, ‘Wahai Salman, engkau melihatnya?’
‘Demi
Dzat Yang mengutus engkau membawa kebenaran. Betul, wahai Rasulullah, aku melihatnya,’
jawab Salman.
Rasulullah
berkata, ‘Ketika aku memukul pertama kali batu itu, ditampakkan kepadaku
kota-kota Kisra Persia dan sekitarnya serta sejumlah kota besarnya hingga aku melihatnya
dengan kedua mataku.’ Para shahabat yang hadir ketika itu mengucap, ‘Wahai Rasulullah,
do’akanlah kepada Allah agar membukakannya untuk kami dan memberi kami ghanimah
berupa rumah-rumah mereka, dan agar kami hancurkan negeri mereka dengan
tangan-tangan kami.’ Rasulullah pun berdo’a.
‘Kemudian
aku memukul lagi kedua kalinya, dan ditampakkan kepadaku kota-kota Kaisar
Romawi dan sekitarnya hingga aku melihatnya dengan kedua mataku.’ Para shahabat
mengucap, ‘Wahai Rasulullah, berdo’alah kepada Allah agar membukakannya untuk
kami dan memberi kami ghanimah berupa rumah-rumah mereka, dan agar kami
hancurkan negeri mereka dengan tangan-tangan kami.’ Rasulullah pun berdoa.
‘Kemudian
pada pukulan ketiga, ditampakkan kepadaku negeri Ethiopia (Habsyah) dan wilayah-wilayah
sekitarnya hingga aku melihatnya dengan kedua mataku.’ Lanjut beliau, ‘Biarkanlah
Ethiopia (Habsyah) selama mereka membiarkan kalian (tidak memusuhi), dan
tinggalkanlah Turki selama mereka meninggalkan kalian (tidak memusuhi)’.”[9]
Dalam
hadits ini terkandung beberapa mukjizat Nabi,
antara lain:
1. Sahabat
memperhatikan saat Rasulullah memecah
batu.
2. Sahabat
melihat batu berkilau
di pukulan
pertama.
3. Sahabat
melihat batu
berkilat yang memancar di pukulan kedua.
4. Sahabat
melihat batu
memancar dan bersinar di
pukulan ketiga.
Nabi
Muhamad Saw Mengetahui
Pertanyaan Sebelum Sahabat Bertanya
Abdullah
bin Umar r.a. berkisah, “Ketika aku duduk di samping Rasulullah, tiba tiba
datang dua laki-laki: satu dari golongan Anshar dan satu lagi dari golongan
Tsaqif. Kedua laki-laki itu hendak segera menanyakan sesuatu kepada Rasulullah.
Tetapi Rasulullah berkata lebih dahulu, ‘Wahai saudaraku dari Tsaqif, saudaramu
dari kaum Anshar telah mendahuluimu bertanya kepadaku tentang suatu masalah.’
Lalu
Sahabat Anshar berkata, ‘Wahai Rasulullah!
Aku harusnya yang lebih dulu bertanya kepadamu.’ Lantas Rasulullah mengucap, ‘Tanyalah
kepadaku apa keperluanmu? Jika kamu berkehendak, aku akan menceritakan apa yang
ingin kamu tanyakan.’ Sahabat Anshar langsung menukas, ‘Hal itu sungguh membuatku
takjub, wahai Rasulullah.’
Selanjutnya
Rasulullah berkata, ‘Kamu menanyakan tentang shalatmu di kala malam hari, tentang
ruku’mu, tentang sujudmu, tentang puasamu dan tentang mandi jinabatmu (mandi
besar).’
Sahabat
Anshar langsung menyatakan, ‘Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran bahwa
hal itulah yang hendak aku tanyakan kepadamu, wahai Rasulullah.’
Nabi menjawab,
‘Adapun tentang shalatmu di malam hari, shalatlah di awal malam dan di akhir
malam, dan tidurlah di tengah tengah keduanya.’
Sahabat
Anshar bertanya, ‘Bagaimana pendapatmu wahai Rasulullah, jika aku shalatnya di
waktu tengah itu?’
‘Jika memang
ketika itu kamu demikian, maka tidak apa-apa,’ ujar Rasulullah lalu
melanjutkan, ‘Adapun ruku’mu, jika kamu menghendaki jadikan kedua telapak
tanganmu di atas kedua lututmu dan jemari dikumpulkan, lalu angkat kepalamu
tegak berdiri, hingga setiap tulang kembali ke tempat semula. Dan ketika
sujudmu, jidatmu harus menempel di tanah bukan seperti mematuk. Adapun puasamu,
puasalah di malam hari dengan puasa putih (puasa mutih) setiap tanggal tiga
belas, empat belas dan lima belas.’
Setelah
itu, Nabi memandang sahabat Anshar, beliau mengucap, ‘Wahai saudaraku Anshar, bertanyalah
apa keperluanmu, apabila kamu berkehendak aku akan bercerita kepadamu tentang
urusan yang akan kamu tanyakan kepadaku.’
‘Hal itu
sungguh membuatku takjub wahai Rasulullah,’ kata sahabat Anshar. Nabi berkata,
‘Kamu datang untuk menanyakan sesuatu yang berkaitan dengan kepergianmu berkunjung
ke Tanah Suci (Ka’bah).’
Lalu sahabat Anshar bertanya, ‘Apa yang aku lakukan?’
‘Wukuflah di padang Arafah,’ jawab Rasulullah.
‘Setelah itu, apa yang harus aku lakukan?‘
‘Cukurlah rambutmu,’ jawab Rasulullah.
‘Selanjutnya, apa yang harus aku lakukan, wahai Rasulullah?’
‘Thawaflah di Ka’bah,’ jawab Rasulullah lagi.
Kemudian dia bertanya lagi, ‘Setelah itu, apa yang aku
lakukan?‘
‘Lemparlah Jumrah,’ jawab Rasulullah.
Dan dia bertanya lagi, sampai Rasulullah menjawab tuntas
semua yang ditanyakan sahabat Anshar.
Sahabat Anshar berkata, ‘Demi Dzat yang mengutusmu dengan
kebenaran bahwa hal itulah yang hendak aku tanyakan kepadamu, wahai Rasulullah.’
Nabi menerangkan,
‘Adapun kamu keluar untuk berkunjung ke Tanah Suci (Ka’bah) bahwa setiap tanah
yang kamu pijak dalam perjalananmu akan dicatat sebagai kebaikan dan menghapus
kejelekan. Ketika kamu wukuf di padang Arafah, Allah turun ke langit dunia dan
berkata kepada malaikat, ‘Inilah hambaku yang datang kepadaku dengan muka kusut
karena debu dari segenap punjuru. Dia senantiasa mengharapkan Rahmat-Ku dan
takut akan siksa-Ku. Dia juga tidak melihat-Ku. Ketika kamu thawaf di Ka”bah,
maka keluarlah segala dosamu dan tidak ada dosa lagi yang ada dalam dirimu’.”[10]
Luka Sembuh Berkat Ludah Nabi Muhamad Saw
Yazid bin
Abu 'Ubaid bercerita, “Aku pernah melihat bekas luka sayatan pedang pada kaki
(bagian lutut) Salamah. Aku lalu berkata kepadanya, ‘Wahai Abu Muslim, luka
bekas pukulan apakah ini?’ Dia menjawab, ‘Ini luka bekas pukulan yang aku alami
pada perang Khaibar. Saat itu, orang-orang berkata, Salamah terluka, lalu aku
mendatangi Nabi kemudian beliau meludahi lukaku sebanyak tiga kali. Setelah itu,
aku tidak merasakan sakit hingga sekarang’.”[11]
[4]Hadits
Shahih, HR Nasai (4/60), HR Hakim
(3/595-596), HR Baihaqi dalam Sunan-nya (4/15-16) dan Thahawi dalam kitab Syarh Ma’âni Al-Asar (1/291).
[6]Hadits Shahih, HR Ahmad (4/228).
[7]Hadits Shahih, HR Abu Dawud (2056), HR Bukhari (6/105-106),
dan HR Muslim (6/174-175).
[8](QS Al-An’am [6]:115).
[9]Hadits Hasan, HR Al-Nasai, HR Ibnu Ishak, HR Ibnu Hajar, HR Baihaqi.
No comments:
Post a Comment