Saturday, December 21, 2013

Makanan Melimpah Berkat Do’a Nabi Muhamad Saw



Wasilah bin al-Asqa’r.a berkisah, “Bulan Ramadhan telah tiba dan kami adalah golongan Ahlu Suffah. Setiap kami hendak berbuka, kami selalu mendatangi setiap laki-laki dari golongan Ahlu Bai’at untuk mendapatkan makanan. Hingga suatu ketika, kami mendatangi mereka tetapi mereka pun tidak ada (sisa) makanan. Lalu, kami mendatangi suatu kabilah namun mereka juga tak ada (sisa) makanan. Kami akhirnya mendatangi Rasulullah. Kepada beliau, kami memberitahukan kondisi yang kami alami. Lalu, Nabi mengutus salah satu istrinya untuk menanyakan kepada istri-istri beliau, apakah ada makanan yang tersisa? Para istri beliau menjawab, ‘Tidak ada, semua makanan sudah dibagi rata di antara kami.’
Rasulullah lantas berkata kepada mereka, ‘Berkumpullah kalian semua.’ Lalu, Nabi berdoa, ‘Ya Allah, aku meminta anugerah dan rahmat kepada-Mu. Karena hanya Engkaulah yang memilikinya.’ Tak lama berselang, do’a beliau dikabulkan oleh Allah, tiba-tiba terhampar hidangan berupa kambing panggang dan beberapa roti di meja. Nabi kemudian memerintahkan kepada kami agar mengambil kambing panggang itu. Setelah itu, kami memakannya sampai kenyang. Kami berkata kepada Rasulullah, ‘Kami meminta kepada Allah anugerah dan rahmat-Nya. Inilah anugerah dari-Nya. Sungguh, Allah telah menampakkan kepada kami rahmat-Nya yang amat Agung’.”[1]

Ibu Abu Hurairah Masuk Islam Berkat Do’a Nabi Muhamad Saw
Abi Katsir al-Ghubari bercerita bahwa Abu Hurairah pernah berkata kepadanya, “Tidak ada seorang mukmin dan mukminat di permukaan bumi ini kecuali mereka saling sayang-menyayangi.”
Lalu al-Ghubari bertanya, “Apa yang kamu ketahui tentang hal ini, wahai Abu Hurairah?”
Abu Hurairah menjawab, “Dulu aku sering mengajak ibuku masuk Islam tetapi beliau menolak. Pernah suatu ketika, aku mengajak ibuku masuk Islam tetapi beliau malah mengucapkan kata-kata yang tidak aku sukai mengenai Rasulullah. Aku pun datang kepada Rasulullah, dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku sering mengajak ibuku untuk masuk Islam, tetapi beliau selalu menolak dan malah mengucapkan kata-kata yang tidak aku sukai tentang engkau. Mohonkanlah kepada Allah agar ibuku mendapatkan petunjuk dan hidayah-Nya'.”
Abu Hurairah menjawab lebih lanjut, “Setelah mendengar penjelasanku, Rasulullah langsung berdoa, ‘Ya Allah, berikanlah hidayah kepada ibu Abu Hurairah.’ Setelah itu, aku kembali ke rumah dengan perasaan gembira karena do’a Rasulullah tersebut. Setiba di rumah, aku mendapati pintu rumah masih tertutup, dan kudorong pintunya, kemudian aku mendengar ibuku sedang memakai pakaian, dan mengenakan kerudung. Lalu, ibuku berkata, ‘Ke marilah wahai Abu Hurairah.’ Aku pun membuka pintunya. Tiba-tiba ibuku berkata, ‘Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhamad adalah utusan Allah’.”
Selanjutnya Abu Hurairah menuturkan, “Lalu aku kembali lagi kepada Rasulullah Saw sembari menangis karena luapan perasaan gembira. Aku berkata, 'Wahai Rasulullah, aku sungguh gembira. Allah telah mengabulkan do’a engkau. Allah telah memberikan hidayah-Nya kepada ibuku.’ Rasulullah kemudian memuji Allah dan mengucapkan syukur kepada-Nya. Aku berucap, 'Wahai Rasulullah, mohonkanlah kepada Allah agar aku dan ibuku mencintai orang-orang mukmin dan mereka juga mencintai kami!' Kemudian Rasulullah berdoa, 'Ya Allah, jadikanlah hamba-Mu yang kecil ini (yaitu Abu Hurairah dan ibunya) cinta kepada orang-orang mukmin serta jadikanlah mereka mencintai keduanya!'
Dan, kemudian, tidak ada di permukaan bumi ini --baik dari golongan mukmin maupun mukminat-- kecuali mereka mencintai Abu Hurairah dan ibunya.[2]

Kabar Nabi Muhamad Saw tentang Seorang Laki-laki Penghuni Neraka
Sahal bin Sa'ad al-Sa’idi menceritakan bahwa Rasulullah berhadapan dengan kaum Musyrikin, kemudian keduanya saling menyerang. Ketika Rasulullah bergabung dengan bala tentara  Muslimin, musuhnya juga bergabung dengan bala tentara mereka. Saat itu, terdapat salah satu sahabat (si fulan) Rasulullah yang gigih berjuang mengejar tentara musuh untuk dipenggal dengan pedangnya. Sahabat yang lain berkata, “Hari ini tidak ada seorang pun dari kita yang mendapat ganjaran pahala sebagaimana yang didapat si fulan itu (sahabat yang mengejar musuh tadi).” Lalu Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya si fulan itu termasuk dari penduduk neraka.” Seorang laki-laki dari kaumnya berkata, “Aku adalah sahabatnya.” “Kemudian dia berangkat dan mengikuti si fulan itu, apabila dia berhenti orang itu berhenti pula dan bilamana dia bergegas maka orang itu pun bergegas bersamanya.
Sahal melanjutkan, “Kemudian laki-laki itu (orang yang mengejar tadi) ditemukan dalam keadaan terluka sangat parah hingga mengharapkan segera mati. Lalu, dia meletakkan pedangnya di tanah dan ujung pedangnya diletakkah di antara dua dadanya dan tiba-tiba dia membunuh dirinya sendiri. Orang yang bersamanya tadi kemudian pergi menemui Rasulullah sambil berkata, ‘Aku bersaksi bahwa engkau adalah benar-benar utusan Allah.’ Beliau bertanya, ‘Kenapa kamu berkata seperti itu?’ Orang itu menjawab, ‘Orang yang engkau sebutkan tadi benar-benar penghuni neraka.’
Mendengar perkataannya, para sahabat merasa heran. Aku (Sahal) lalu berkata, "Aku menjadi saksinya. Aku telah keluar bersamanya di mana aku mencarinya kemudian aku dapatkan dia dalam keadaan luka parah, hingga dia berkeinginan supaya cepat mati. Lalu dia meletakkan pedangnya di tanah dan ujung pedangnya diletakkah di antara dua dadanya. Setelah itu dia membunuh dirinya sendiri.” Pada kesempatan itu juga Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya ada seseorang yang mengamalkan amalan penduduk surga berdasarkan yang nampak oleh manusia padahal dia adalah dari golongan penduduk neraka. Dan, ada pula seseorang yang mengamalkan amalan penduduk neraka berdasarkan yang nampak oleh manusia padahal dia sebenarnya dari golongan penduduk surga."[3]

Jika Engkau Jujur kepada Allah, Maka Allah akan Jujur Kepadamu!
Syaddad bin al-Had menceritakan bahwa seorang laki-laki badui datang menemui Nabi dan dia menyatakan beriman dan mengikuti beliau. Kemudian dia berkata, “Aku akan berhijrah bersama engkau?” Tetapi Nabi menitipkan orang tersebut kepada para sahabat. Setelah terjadi perang, Nabi mendapatkan ghanimah (harta rampasan perang) lalu dibagikan kepada kaum Muslimin, dan Nabi juga menyisakan untuknya.
Ketika orang badui itu datang, para sahabat memberikan jatah ghanimah itu kepadanya. Dia berkata, “Apa ini?” Para sahabat menjawab, “Bagian yang telah Nabi bagi untukmu.” Kemudian dia mengambilnya dan membawanya menemui Nabi lantas bertanya, “Apa ini, wahai Rasulullah?” Beliau berkata, “Aku telah membaginya untukmu.” Dia berkata, “Bukan untuk hal ini aku mengikuti engkau. Tapi aku mengikuti engkau agar aku ditusuk di sini –dia menunjuk ke tenggorokannya dengan tombak– sampai aku mati dan masuk surga.”
Nabi kemudian berkata, “Jika kamu jujur kepada Allah, niscaya Allah akan jujur kepadamu.” Tidak lama setelah itu, para sahabat kembali bangkit melawan musuh. Setelah selesai perang, orang badui tersebut dibawa ke tempat Nabi dengan cara diangkut. Dia terkena tombak pada tempat yang dia tunjuk. Nabi pun bertanya, “Apakah dia orangnya?” Para sahabat menjawab, “Ya.” Beliau berkata, “Dia memang benar dalam berjanji kepada Allah dan Allah mewujudkan permintaannya.” Selanjutnya Nabi mengkafaninya dengan jubah beliau kemudian menshalatkannya. Di antara bacaan yang kedengaran dalam shalat beliau adalah, “Ya Allah, inilah hamba-Mu. Dia telah keluar ikut berhijrah di jalan-Mu. Lalu dia terbunuh dalam keadaan syahid, dan aku menjadi saksinya.”[4]

Dikaruniai Sepuluh Anak Berkat Doa Nabi Muhamad Saw
Ketika Ummu Sulaim menikah dengan Abu Thalhah, keduanya dikaruniai seorang anak. Mereka ini sangat menyayangi anak semata wayangnya tersebut. Lalu, si anak ini terserang penyakit dan tak lama setelah itu meninggal. Abu Thalhah yang saat itu sedang bekerja di luar tidak mengetahui bila anaknya itu telah meninggal. Tatkala kembali ke rumah, dia  menanyakan kondisi anaknya kepada istrinya, Ummu Sulaim. Ummu Sulaim mengatakan bahwa anaknya kini lebih tenang dari biasanya. Lalu ketika malam tiba, Ummu Sulaim menjamu suaminya dengan makanan yang istimewa dan berdandan serta berhias dengan memakai wewangian. Sehingga membuat suaminya tertarik untuk tidur bersama.
Menjelang subuh, Ummu Sulaim berbicara kepada suaminya perihal anaknya seraya berkata, “Wahai suamiku, apa pendapatmu bila ada seseorang meminjamkan barang kepada tetangganya lantas dia meminta kembali haknya, pantaskah jika si peminjam itu enggan mengembalikannya?”
Abu Thalhah menjawab, “Tidak, istriku.”
“Demikian pula anakmu, Allah meminjamkannya kepada kita dan pemiliknya telah mengambilnya kembali. Relakanlah dia,” kata Ummu Sulaim dengan tenang dan mengingatkan suaminya agar bersabar.
Pagi-pagi buta Abu Thalhah kemudian menjumpai Rasulullah Saw dan menceritakan kejadian tersebut. Rasulullah Saw bersabda, “Semoga Allah memberikan barakah pada malam pengantin kalian berdua. Berkat do’a Nabi, Ummu Sulaim mengandung lagi. Dan, setelah melahirkan, bayi itu dibawa kepada Nabi dan diletakkan di pangkuan beliau. Beliau mengambil kurma dan mengunyahnya hingga lembut kemudian beliau suapkan ke dalam mulut bayi itu hingga bayi mengecapnya.
“Wahai Rasulullah, berilah nama untuk anak ini,” ujar Ummu Sulaim.
“Namanya Abdullah,” jawab Rasulullah.
Setelah itu, di kota Madinah tidak ada seorang anak muda yang lebih utama daripada anaknya Ummu Sulaim ini (Abdullah). Ketika besar, Abdullah adalah seorang pejuang yang banyak menghabiskan hidupnya di medan perang tanpa mengendarai kuda, dan dia meninggal di Persia.
Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Abu Thalhah dikarunia anak berjumlah sepuluh, kesemuanya hafal al-Qur’an.[5]

Nabi Muhamad Saw Menjawab Sebelum Ditanya
Wabishah al-Asadi berkata, “Aku datang kepada Rasulullah dengan maksud untuk bertanya sesuatu kepadanya. Karena aku ingin, baik itu hal-hal yang menyangkut kebaikan ataupun keburukan kecuali aku telah menanyakannya kepada beliau. Saat itu, di sisi beliau ada beberapa sahabat. Sampai-sampai aku melangkahi mereka hingga mereka berucap, ‘Wahai Wabishah, menjauhlah dari Rasulullah.’ Aku menjawab, ‘Biarkan aku mendekat padanya, karena beliau adalah orang yang paling aku cintai.’ Beliau pun berkata, ‘Mendekatlah, wahai Wabishah.’ Aku lantas mendekat ke arah beliau sehingga lututku menyentuh lutut beliau.
Kemudian beliau menyapa, ‘Wahai Wabishah, aku akan memberitahukan (jawaban) kepadamu sesuatu yang menjadikanmu datang ke mari.’ Aku menyahut, ‘Wahai Rasulullah, beritahukanlah padaku.’ Beliau lalu berkata, ‘Kamu datang untuk bertanya mengenai kebaikan dan keburukan (dosa).’ Jawabku, ‘Benar.’ Beliau lantas menyatukan ketiga jarinya dan menepukkannya ke dadaku seraya berkata, ‘Wahai Wabishah, mintalah petunjuk dari jiwamu. Kebaikan itu adalah sesuatu yang dapat menenangkan dan menenteramkan hati dan jiwa. Sedangkan keburukan itu adalah sesuatu yang meresahkan hati dan menyesakkan dada, meskipun manusia membenarkanmu’."[6]

Berita Nabi Muhamad Saw tentang Abu Thalhah Masuk Islam
Setelah suami pertama Ummu Sulaim meninggal, Abu Thalhah mendatanginya dengan maksud mempersuntingnya. Ummu Sulaim berkata, "Sesungguhnya aku tidak pantas menolak orang sepertimu, wahai Abu Thalhah. Hanya saja, kamu masih dalam keadaan kafir, sementara aku seorang Muslimah. Maka tak pantas bagiku menikah denganmu.”
Abu Thalhah bertanya, “Apa keinginanmu, wahai Ummu Sulaim?”
“Keinginanku?” Ummu Sulaim balik bertanya.
“Emas, perak,” jawab Abu Thalhah setengah bertanya.
Ummu Sulaim menjawab, "Sedikitpun aku tidak menginginkan emas atau perak. Aku hanya inginkan dirimu segera memeluk agama Islam."
Memperoleh jawaban seperti itu, Abu Thalhah berucap, "Tetapi aku tidak tahu, siapa yang akan menjadi pembimbingku?"
"Tentu saja, pembimbingmu adalah Rasululah sendiri," tegas Ummu Sulaim.
Setelah itu, Abu Thalhah bergegas pergi menjumpai Rasulullah yang saat itu tengah duduk bersama para sahabatnya. Melihat kedatangan Abu Thalhah, Rasulullah berseru, “Abu Thalhah telah datang kepada kalian, dan cahaya Islam tampak pada kedua bola matanya." Rasulullah telah memberikan berita tentang hal ini. Dan akhirnya mereka berdua menikah.
Sabit al-Bunani –seorang perawi yang menukil kisah ini dari Anas bin Malik r.a.– berkata, “Tidaklah sampai berita kepada kami bahwa ada mahar yang lebih agung dari itu. Dia (Abu Thalhah) rela Islam sebagai mahar baginya.”[7]

Sebongkah Batu yang Terpecah dan Memancarkan Cahaya
Diriwayatkan oleh Al-Nasa’i, “Ketika Rasulullah memerintahkan para sahabat melakukan penggalian parit, ternyata ada sebongkah batu besar menghalangi penggalian itu. Lalu, Rasulullah bangkit mengambil kapak dan meletakkan mantelnya di ujung parit, dan berkata, ‘Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (Al-Qur`an) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah-ubah kalimat-kalimat-Nya dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.’[8]
Tiba-tiba terpecahlah sepertiga batu tersebut. Salman al-Farisi ketika itu sedang berdiri menyaksikan Rasulullah memecah batu itu. Dia melihat kilat yang memancar seiring pukulan Rasulullah. Kemudian beliau memukul lagi kedua kalinya, dan membaca: ‘Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (Al-Qur`an) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah-ubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.’
Lalu terpecah pulalah sepertiga batu itu. Salman melihat lagi kilat yang memancar ketika Rasulullah memukul batu tersebut. Rasulullah memukul sekali lagi dan membaca, ‘Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (Al-Qur`an) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah-ubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.’ Dan untuk ketiga kalinya, batu itupun pecah berantakan. Kemudian beliau mengambil mantelnya dan duduk.
Salman berkata, ‘Wahai Rasulullah, ketika engkau memukul batu itu, aku melihat kilat memancar.’ Rasulullah berkata kepadanya, ‘Wahai Salman, engkau melihatnya?’
‘Demi Dzat Yang mengutus engkau membawa kebenaran. Betul, wahai Rasulullah, aku melihatnya,’ jawab Salman.
Rasulullah berkata, ‘Ketika aku memukul pertama kali batu itu, ditampakkan kepadaku kota-kota Kisra Persia dan sekitarnya serta sejumlah kota besarnya hingga aku melihatnya dengan kedua mataku.’ Para shahabat yang hadir ketika itu mengucap, ‘Wahai Rasulullah, do’akanlah kepada Allah agar membukakannya untuk kami dan memberi kami ghanimah berupa rumah-rumah mereka, dan agar kami hancurkan negeri mereka dengan tangan-tangan kami.’ Rasulullah pun berdo’a.
‘Kemudian aku memukul lagi kedua kalinya, dan ditampakkan kepadaku kota-kota Kaisar Romawi dan sekitarnya hingga aku melihatnya dengan kedua mataku.’ Para shahabat mengucap, ‘Wahai Rasulullah, berdo’alah kepada Allah agar membukakannya untuk kami dan memberi kami ghanimah berupa rumah-rumah mereka, dan agar kami hancurkan negeri mereka dengan tangan-tangan kami.’ Rasulullah pun berdoa.
‘Kemudian pada pukulan ketiga, ditampakkan kepadaku negeri Ethiopia (Habsyah) dan wilayah-wilayah sekitarnya hingga aku melihatnya dengan kedua mataku.’ Lanjut beliau, ‘Biarkanlah Ethiopia (Habsyah) selama mereka membiarkan kalian (tidak memusuhi), dan tinggalkanlah Turki selama mereka meninggalkan kalian (tidak memusuhi)’.”[9]
Dalam hadits ini terkandung beberapa mukjizat Nabi, antara lain:
1.      Sahabat memperhatikan saat Rasulullah memecah batu.
2.      Sahabat melihat batu berkilau di pukulan pertama.
3.      Sahabat melihat batu berkilat yang memancar di pukulan kedua.
4.      Sahabat melihat batu memancar dan bersinar di pukulan ketiga.

Nabi Muhamad Saw Mengetahui Pertanyaan Sebelum Sahabat Bertanya
Abdullah bin Umar r.a. berkisah, “Ketika aku duduk di samping Rasulullah, tiba tiba datang dua laki-laki: satu dari golongan Anshar dan satu lagi dari golongan Tsaqif. Kedua laki-laki itu hendak segera menanyakan sesuatu kepada Rasulullah. Tetapi Rasulullah berkata lebih dahulu, ‘Wahai saudaraku dari Tsaqif, saudaramu dari kaum Anshar telah mendahuluimu bertanya kepadaku tentang suatu masalah.’
Lalu Sahabat Anshar berkata, Wahai Rasulullah! Aku harusnya yang lebih dulu bertanya kepadamu.’ Lantas Rasulullah mengucap, ‘Tanyalah kepadaku apa keperluanmu? Jika kamu berkehendak, aku akan menceritakan apa yang ingin kamu tanyakan.’ Sahabat Anshar langsung menukas, ‘Hal itu sungguh membuatku takjub, wahai Rasulullah.’
Selanjutnya Rasulullah berkata, ‘Kamu menanyakan tentang shalatmu di kala malam hari, tentang ruku’mu, tentang sujudmu, tentang puasamu dan tentang mandi jinabatmu (mandi besar).’
Sahabat Anshar langsung menyatakan, ‘Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran bahwa hal itulah yang hendak aku tanyakan kepadamu, wahai Rasulullah.’
Nabi menjawab, ‘Adapun tentang shalatmu di malam hari, shalatlah di awal malam dan di akhir malam, dan tidurlah di tengah tengah keduanya.’ 
Sahabat Anshar bertanya, ‘Bagaimana pendapatmu wahai Rasulullah, jika aku shalatnya di waktu tengah itu?’
‘Jika memang ketika itu kamu demikian, maka tidak apa-apa,’ ujar Rasulullah lalu melanjutkan, ‘Adapun ruku’mu, jika kamu menghendaki jadikan kedua telapak tanganmu di atas kedua lututmu dan jemari dikumpulkan, lalu angkat kepalamu tegak berdiri, hingga setiap tulang kembali ke tempat semula. Dan ketika sujudmu, jidatmu harus menempel di tanah bukan seperti mematuk. Adapun puasamu, puasalah di malam hari dengan puasa putih (puasa mutih) setiap tanggal tiga belas, empat belas dan lima belas.’
Setelah itu, Nabi memandang sahabat Anshar, beliau mengucap, ‘Wahai saudaraku Anshar, bertanyalah apa keperluanmu, apabila kamu berkehendak aku akan bercerita kepadamu tentang urusan yang akan kamu tanyakan kepadaku.’
‘Hal itu sungguh membuatku takjub wahai Rasulullah,’ kata sahabat Anshar. Nabi berkata, ‘Kamu datang untuk menanyakan sesuatu yang berkaitan dengan kepergianmu berkunjung ke Tanah Suci (Ka’bah).’
Lalu sahabat Anshar bertanya, ‘Apa yang aku lakukan?’
‘Wukuflah di padang Arafah,’ jawab Rasulullah.
‘Setelah itu, apa yang harus aku lakukan?‘
‘Cukurlah rambutmu,’ jawab Rasulullah.
‘Selanjutnya, apa yang harus aku lakukan, wahai Rasulullah?’
‘Thawaflah di Ka’bah,’ jawab Rasulullah lagi.
Kemudian dia bertanya lagi, ‘Setelah itu, apa yang aku lakukan?‘
‘Lemparlah Jumrah,’ jawab Rasulullah.
Dan dia bertanya lagi, sampai Rasulullah menjawab tuntas semua yang ditanyakan sahabat Anshar.
Sahabat Anshar berkata, ‘Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran bahwa hal itulah yang hendak aku tanyakan kepadamu, wahai Rasulullah.’
Nabi menerangkan, ‘Adapun kamu keluar untuk berkunjung ke Tanah Suci (Ka’bah) bahwa setiap tanah yang kamu pijak dalam perjalananmu akan dicatat sebagai kebaikan dan menghapus kejelekan. Ketika kamu wukuf di padang Arafah, Allah turun ke langit dunia dan berkata kepada malaikat, ‘Inilah hambaku yang datang kepadaku dengan muka kusut karena debu dari segenap punjuru. Dia senantiasa mengharapkan Rahmat-Ku dan takut akan siksa-Ku. Dia juga tidak melihat-Ku. Ketika kamu thawaf di Ka”bah, maka keluarlah segala dosamu dan tidak ada dosa lagi yang ada dalam dirimu’.”[10]

Luka Sembuh Berkat Ludah Nabi Muhamad Saw
Yazid bin Abu 'Ubaid bercerita, “Aku pernah melihat bekas luka sayatan pedang pada kaki (bagian lutut) Salamah. Aku lalu berkata kepadanya, ‘Wahai Abu Muslim, luka bekas pukulan apakah ini?’ Dia menjawab, ‘Ini luka bekas pukulan yang aku alami pada perang Khaibar. Saat itu, orang-orang berkata, Salamah terluka, lalu aku mendatangi Nabi kemudian beliau meludahi lukaku sebanyak tiga kali. Setelah itu, aku tidak merasakan sakit hingga sekarang’.”[11]


[1]Hadits Hasan, HR Baihaqi (6/129).
[2]Hadits Shahih, HR Muslim.
[3]Hadits Shahih, HR Bukhari dan HR Muslim.
[4]Hadits Shahih, HR Nasai (4/60), HR Hakim (3/595-596), HR Baihaqi dalam Sunan-nya (4/15-16) dan Thahawi dalam kitab Syarh Ma’âni Al-Asar (1/291).
[5]Hadits Shahih, HR Abu Dawud (2056).
[6]Hadits Shahih, HR Ahmad (4/228).
[7]Hadits Shahih, HR Abu Dawud (2056), HR Bukhari (6/105-106), dan HR Muslim (6/174-175).
[8](QS Al-An’am [6]:115).
[9]Hadits Hasan, HR Al-Nasai, HR Ibnu Ishak, HR Ibnu Hajar, HR Baihaqi.
[10]Hadits Hasan, HR Abu Nua’im.
[11]Hadits Shahih, HR Bukhari.

No comments:

Post a Comment