Sebagai seorang anak
Bagindo, Samaun Bakry mewarisi jiwa yang pemberani. Selain itu dia juga anak
nazar, setelah lahir, ibunya ingin mengantukkan ke batu nisan Syekh Burhanuddin
di Ulakan.
NAGARI Kurai Taji adalah sebuah nagari
yang termasuk dalam kawasan ‘rantau’
pesisir barat Pulau Sumatera. Dalam tambo disebutkan perpindahan
penduduk dari “pedalaman” Minangkabau terjadi sebelum dibangunnya rantau
sebagai pelabuhan. Tambo menyebutkan bahwa “ber-Sunur
ber-Kurai Taji, sebelum ber-Tiku Pariaman”. Artinya, jauh sebelum penduduk
menjadikan Sunur dan Kurai Taji sebagai pelabuhan entreport (pelabuhan gudang) komoditi pedalaman Minangkabau telah
terjadi perpindahan penduduk ke pesisir secara berangsur.
Kurai Taji
terletak 43 kilometer ke arah barat laut kota Padang dan 5 kilometer dari arah
kota Pariaman. Sekarang, sebagian nagari Kurai Taji termasuk ke dalam wilayah Kecamatan
Nan Sabaris, Kabupaten Padang Pariaman, Provinsi Sumatera Barat. Sebagian lagi
masuk dalam Kecamatan Pariaman Selatan, Kota Pariaman.
Secara
etimologis, Kurai Taji berakar pada dua kata: kurai dan taji. Kata kurai kurang jelas artinya. Ada kata kurai yang berarti garis-garis.
Sedangkan taji mengandung dua arti. Pertama, susuk pada kaki ayam jantan
dewasa. Dan kedua, podocarpus meriifolia, sebatang kayu
yang baik untuk kerangka rumah dan daunnya direbus buat obat encok. Boleh jadi
pula penduduk asli Kurai Taji berasal dari nagari Kurai --yang sekarang berada
di kota Bukittinggi-- jauh sebelum merantau ke Kurai Taji. Namun, sejauh ini
belum ada referensi yang menguatkan.
Menyebut Nagari
Kurai Taji, ingatan kita langsung melayang pada kisah awal mula Islam masuk ke
Sumatera Barat. Nagari Kurai Taji merupakan salah satu pusat pengembangan dam
penghasil ulama-ulama besar dan cendekiawan Islam sejak awal abad ke-19.
Sementara itu jauh sebelum abad ke-19, Islam telah berkembang di Kurai Taji,
bersamaan dengan berkembangnya Islam di Pariaman (Kabupaten Padang Pariaman).
Arti kata pada masa itu sudah ada kehidupan Islam sesuai dengan kondisi
keagamaan dan pembangunan pada zaman
itu.
Islam masuk
ke Pariaman sekitar tahun 610 H (1214 M) dibawa oleh Burhanuddin Al-Kamil. Dia
datang dari Aceh pergi ke Batu Kampar, kemudian ke Kumpulan dan tibadi Ulakan,
mengajar ilmu agama di Ulakan. Akhirnya dia pergi ke Kuntu (Riau) dan meninggal
di sana tahun 1214 M. Sekitar abad ke-16, sebelum datangnya Syekh Burhanuddin
atau si Pono ke Ulakan dan akhirnya beliau dikenal sebagai pengembang Islam di
Pariaman dan Minangkabau bermakam di Ulakan sekarang, telah datang pula Raja
Alam Minangkabau atau Pagaruyung yang setelah masuk Islam bergelar Sultan Alif.
Beliau juga mengajar ilmu agama di daerah ini. Akhirnya kembali ke Sumpur Kudus
dan wafat di sana. Konon ceritanya di sanalah awal mula dibuat acara basafar.
Di akhir
abad ke-16 terjadi transmigrasi lokal dari penduduk daerah darat (sekitar kaki
Gunung Marapi) ke daerah rantau, termasuk ke nagari Kurai Taji. Waktu itu
kedatangan Si Pono atau Syekh Burhanuddin ke Sintuk buat belajar agama di
Tapakib dan kemudian memperdalamnya di Aceh bersama Tuangku Abdurrauf yang ahli
dan mendalami ilmu tarekat. Pada masa itu Aceh menjadi pusat kebudayaan dan
kerajaan Islam. Kerajaan Islam Aceh ini dipimpin oleh Sultan Alauddin iayat
Syah (1537-1568).
Dari Aceh,
Syekh Burhanuddin kembali ke Pariaman bersama misi dakwah Islam Kerajaan Aceh
lewat jajaran pantai barat Sumatera. Sehingga, daerah pantai saat itu dikuasai
oleh kerajaan Islam. Di Tiku dipusatkan kekuatan angkatan laut dan duduk di
seorang syahbandar. Jajaran daerah pantai ini berkait sebagaimana disebut dalam
pepatah lama “Alun batiku Priaman, alun
basunua Kurai Taji, alun basintuk Lubuk Alung”. Artinya, Kurai Taji waktu
itu sudah menjadi daerah pengembangan Islam dan adat di jajaran pantai Padang
Pariaman ini.
Garis Pejuang Padri
Desa kecil
Paguh Pendakian di Kenagarian Kurai Taji, Kecamatan Nan Sabaris, di Pesisir
Ranah Minangkabau (Kabupaten Padang Pariaman) ditumbuhi pohon-pohon kelapa yang
berusaha sekitar 150 tahun yang konon disuruh tanam dahulunya oleh seorang Rajo
yang termasyhur di pesisir Minangkabau. Raja tersebut terkenal dalam “kaba”
dengan julukan Tuanku Nan Garang yang berkedudukan di Tepian Legundi, Padang
Galapuang, Tanjung Medan, Ulakan.
Tuanku Nan
Garang yang bernama asli Bagindo Talabieh tersebut telah mencetuskan perang melawan
Kompeni pada tahun 1832, merobek-robek “plakat panjang” kemudian menyatakan
berpihak diri ke Padri di bawah kepemimpinan Tuangku Imam Bonjol. Tak pelak,
pada tahun 1840, dia lalu diasingkan ke Manado dan di sana dikenal sebagai
Pangeran Baginda Talabe. Berdasarkan laporan De Kolonel Militarian Komandant ter Westkuts Sumatera, W.G.
Michhiels, yang berjudul “Nota
Betrekkelijk De Gevangen Nemen Van Den Toeanko Imam Van Bonjol”, bahwa
Bagindo Talabieh yang lahir dalam tahun 1799, belum lagi mencapai usia 40 tahun
ditipu dan ditawan bersama Tuangku Imam Bonjol. Untuk kemudian diasingkan ke Manado
dalam usia muda.
Dikisahkan,
atas izin dan restu Tuangku Imam Bonjol, Bagindo Talabieh kawin lagi dengan
seorang gadis Manado yang bernama Watok Pantaw. Dari hasil perkawinan itu
dikuruniai tujuh orang anak dan kini berkembang menjadi fam (achternaam) Bagindo di Manado dan di
Pulau Lozon, Filipina.
Kembali di
Nagari Kurai Taji, dari salah satu istrinya Puti Surambi Ameh, Tuanku Nan
Garang dikaruniai seorang anak bernama Bagindo Abu Bakar Gelar Rajo Luwangso
(Lelawangsa). Bagindo Abu Bakar ditinggal pergi oleh ayahnya Bagindo Talabieh
ketika masih erat menyusu. Sedangkan ibunda Puti Surambi Ameh mendapat julukan
Puti Tupai lantaran terlalu lama ikut suaminya Bagindo Talabieh ‘bergerilya’
dari hutan ke hutan, sampai-sampai banyak makan buah keramunting bagai seekor
tupai.
Sewaktu
berusia senja Bagindo Abu Bakar (hampir 70 tahun) menikahi Siti Syarifah pada
tahun 1895. Ketika menikah, Siti Syarifah baru berusia sekitar 16 tahun (lahir
1879). Sehingga, Syarifah bukan hanya memperoleh anak-anak tiri yang lebih tua
dari dirinya tapi juga sekaligus menerima cucu-cucu yang telah dewasa.
Siti
Syarifah dikenal pula sebagai seorang pejuang di masanya. Bahkan, oleh Harian Piaman Ekspos, ia dijuluki “Kartini”
Kurai Taji. Julukan itu sangatlah wajar karena Siti Syarifah merupakan
satu-satunya perempuan yang ikut dalam peperangan Lubuk Alung yang merupakan
awal perang belasting tahun 1906. Penarikan
pajak yang diberlakukan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda memang mendapat
perlawanan dari beberapa daerah di Sumatera Barat, sehingga menimbulkan
pemberontakan.
Namun dalam
peperangan Lubuk Alung tersebut, Siti Syarifah hanya sampai Pauh Kambar.
Karena, Haji Ranjau dan Tuangku Lareh Sidi Doa, selaku pimpinan pemberontakan,
menghendai agar Siti Syarifah tidak melanjutkan peperangan. Ia diperintahkan
pulang. Mau tak mau, walau dengan hati kesal, ia pun menuruti perintah
pimpinan. Ia pun pulang. Namun perjuangan Siti Syarifah tidak berhenti di Lubuk
Alung.
Sebagai
wanita, Siti Syarifah dikenal sebagai seorang yang nasionalis. Tubuhnya pendek
tapi berhati keras. Ia sangat benci dan anti-Belanda. Darah ke-Indonesia-annya
itu telah ada sejak nenek-moyangnya. Sekadar pengetahuan, ia termasuk keturunan
ulama besar, putri bungsu dari Tuangku H. St. Ibrahim (1810-1912). Tuangku H.
St. Ibrahim sendiri adalah generasi dari ulama Cangking, yang merupakan pusat
pendidikan tokoh-tokoh Padri di Luhak Agam.
Dan
lantaran sikapnya yang anti-Belanda, Syarifah rela mengorbankan harta-bendanya
untuk perjuangan bangsa. Termasuk rumahnya yang terletak di Pendakian Paguh,
Nagari Kurai Taji, pernah dijadikan sebagai tempat pertemuan-pertemuan rahasia
untuk persiapan perang Lubuk Alung dan menyerang Belanda.
Selain
berani maju ke medan tempur, Syarifah juga dikenal sebagai guru ngaji.
Murid-muridnya sebagian besar adalah penduduk Nagari Kurai Taji. Untuk
menampung jumlah murid yang cukup banyak itu ia rela menjadikan rumahnya
sebagai pesantren kecil. Alhasil, hampir setiap malam rumahnya senantiasa
ramai. Islam dan perjuangan tampakna telah menjadi satu kesatuan yang tak
terpisahkan dalam diri Siti Syarifah.
Siti
Syarifah ia pun ternyata pengikut fanatik dari Haji Rasul—orang tua dari Haji
Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA). Setiap Haji Rasul melakukan pengajian di Nagari
Kurai Taji, selalu di rumah Siti Syarifah. Begitu fanatiknya, sampai-sampai ia
mengusulkan pada suaminya agar anaknya, Siti Zainab, yang baru berumur 12,
dijodohkan dengan Haji Rasul. Tapi suaminya tidak mau.
Perjuangan
Padri agaknya membentur pagar tembok Pemerintah Kolonial Belanda. Tahun 1837
perjuangan Kaum Padri ditaklukkan oleh tentara Kolonial. Di bawah Pemerintah
Kolonial Hindia Belanda, pemerintahan Nagari Kurai Taji diatur Regent-Regent yang dengan Regent-Stelsel. Pada jaman itu,
nagari-nagari di Sumatera Barat pada umumnya, diatur berdasarkan Ordonantie Nagari Nomor 677/1918 dan
diperbaiki dengan Inlandsche
Gemeente Ordonantie Buitengewesten
490/1938. Undang-undang Anak Nagari Tanah Seberang Nomor 490 Tahun 1938 atau
IGOB 490/1938 mengatur Pemerintahan Nagari (waktu itu) terdiri dari Kepala
Nagari.
Di tangan Pemerintah
Kolonial Hindia Belanda, warga masyarakat Nagari Kurai Taji mengenal pangkat seperti
penghulu, kepala nagari, tuanku lareh, angku damang, dan asisten demang. Pada
masa sebelumnya, warga masyarakat hanya mengenal dua pangkat, yaitu Penghulu
dan Raja --sesuai dengan ungkapan “Luhak Bapangulu, Rantau Barajo”. Panghulu
dengan Raja sebagai pemimpin rakyat pada nagari masing-masing.
Kisah Kelahiran Samaun
Bakry
Pemerintah
Kolonial Hindia Belanda menjadikan Nagari Kurai Taji sebagai pusat perdagangan
yang penting di wilayah Padang Pariaman bagian tengah, terutama sejak mereka
membangun rel kereta api dari Teluk Bayur (Padang) ke Naras (Pariaman). Stasiun
Kurai Taji merupakan pusat perdagangan kopra, yaitu hasil bumi utama daerah
Padang Pariaman. Dan lebih kurang 150 meter dari stasiun, Pemerintah
Hindia-Belanda juga membangun pabrik minyak kelapa. Sekarang kawasan ini
dikenal dengan Kampung Pabirik—meskipun pabriknya sudah tidak ada.
Dalam belit
pemerintahan kolonial yang amat menekan rakyat Nagari Kurai Taji itu, pada tanggal
28 April 1908, pasangan suami-istri Bagindo Abu Bakar dan Siti Syarifah
dikaruniai seorang anak yang kemudian diberi nama Samaun Bakry. Sebagai anak kedua,
Samaun berbeda dari kakak dan adik-adiknya. Dia lahir dari nazar sang ibu.
Sebelum dia lahir, terlebih dulu lahir kakaknya Zainab Bakry (1902). Dan lahir
di masa kemudian, adik-adiknya: Zainun Bakry (1920) dan Zaidin Bakry (1922).
Sebagaimana
dikisahkan oleh Syamsul (ahli waris Siti Syarifah), sewaktu Siti Syarifah
mengandung, ia ingin sekali memiliki anak lelaki. Sebab itu, ia bernazar: bila
yang lahir anak laki-laki maka kepala bayi ini akan ia antukkan ke batu nisan
Tuangku Syekh Burhanuddin di Ulakan.
Ternyata
doa Siti Syarifah diijabah Allah SWT. Ia benar-benar melahirkan seorang bayi
laki-laki yang sehat. Saat itu Syarifah langsung teringat akan nazarnya. Tapi
sayang, saat ia hendak memenuhi nazarnya, di Ulakan sedang terjadi perang,
secara otomatis pelaksanaan nazar itu diundur sampai perang usai.
Syarifah,
Bagindo Abu Bakar dan segenap sanak-saudara menyambut gembira kehadiran anak
sulung itu. Bayi lelaki itu pun diberi
nama Samaun Bakry. Samaun dipuja dan dielu-elukan. Bahkan, Samaun telah disebut
sebagai “anak rancak”. Kaumnya pun telah berharap penuh terhadap Samaun kecil.
Mereka menginginkan, di kemudian hari, Samaun mampu menjadi “tiang tengah”
Rumah Gadang.
Hampir
setiap malam, anak rancak ini selalu didendangkan legenda-legenda Minangkabau,
antara lain Nan Tongga Magek Jabang
dan Malin Kundang. Dan yang tidak
ketinggalan, ayah-ibunya pun mengisahkan tentang keberanian kakeknya, Tuanku
Nan Garang dan pula Rajo si Gadombang.
Di tangan
yang penuh kasih sayang, pertumbuhan Samaun cukup pesat. Buah memang jatuh tak
jauh dari pohonnya. Sebagai anak Bagindo dan pejuang, ternyata Samaun mewarisi
jiwa pemberani. Hal ini dapat dilihat ketika Samaun masih berusia tiga tahun,
di mana saat itu dia sudah”berlancang mulut”, yaitu dengan menyebut wa’ang (kamu) terhadap kakeknya, Tuanku
H. St. Ibrahim, yang telah berusia lebih dari 100 tahun (1810-1912).
Menderngar
perkataan itu, jelas ayah, ibu dan semua saudaranya terperangah. Pasalnya,
mereka sendiri tidak berani lancang seperti itu terhadap seorang Tuanku H. St.
Ibrahim. Bagi mereka, Tuanku H. St. Ibrahim bukan saja sebagai seorang ayah dan
yang dituakan, tapi memang sangat dihormati oleh banyak orang. Menurut
kisahnya, kendati dikucilkan, Tuanku H. St. Ibrahim adalah ulama yang terkenal.
Dia lulusan dari perguruan Cangking yang menjadi pusat pendidikan para tokoh
Padri di Luhak Agam. Namun apa yang telah diucapkan oleh Samaun terhadap orang
yang disegani dan dituakan itu sungguh di luar dugaan.
Selain itu,
perkembangan diri yang demikian pesat dapat pula dilihat tatkala Samaun berusia
lima tahun. Pada saat itu Samaun sudah berani muncul di tengah kelompok
masyarakat, gelanggang adu gasing atau berkelahi dengan anak-anak di desanya.
Dia pun menjadi ‘jagoan’ dan cukup disegani. Anak-anak, bahkan orang dewasa,
menaruh rasa hormat terhadap Samaun. Enta, apakah mereka memandang Samaun
adalah anak dari Bagindo Abu Bakar yang cukup kharismatik di Nagari Kurai Taji
dan cucu dari Tuangku Nan Garang. Mungkin-mungkin saja.
Yang jelas,
Samaun memang mewarisi sifat-sifat ayah dan kakeknya yang cukup terkenal dan
disegani. Mereka adalah orang-orang yang beralemu-suluma,
alemu kebal dan alemu peluang air segala.
Dan mereka pejuang terhadap kaum penjajah Kolonial Belanda. Mereka sangat benci
pada sepak terjang kaum penjajah.
Sebenarnya
bukan hanya ayah dan kakeknya Samaun yang benci sepak terjang orang-orang
Kolonial dan antek-anteknya. Hampir semua orang Nagarai Kurai Taji sangat menaruh
rasa tidak senang dan bila perlu menguirnya jauh-jauh. Sampai kemudian Nagari
Kurai Taji dapat dikatakan sangat lekat perjuangan melawan penjajah Belanda
pada abad ke-19. Untuk memperoleh gambaran bagaimana kebencian dan kesiap-siagaan
penduduk Kurai Taji terhadap serdadi Belanda dapat kita simak dari laporan C.J.
Boelhouwer (2004:32) berikut:
“Pada
tanggal 6 Juli 1831, hari Senin, hari pekan di Kurai Taji. Kurai Taji sebuah
kampung yang terletak lebih kurang satu jam perjalanan dair Pariaman. Lapangan
yang bagus, tumbuh pohon beringin. Pada hari pasar dikunjungi oleh 3 ribu
sampai 4 ribu orang.
Empat
opsir Belanda dari Pariaman mufakat untuk pergi menyaksikan keramaian pasar
Kurai Taji dengan menunggang kuda. Mereka sangat ceroboh karena hanya seorang
kapten yang telah lama di Sumatra yang membawa pedang dan pistol. Serdadu
lainnya tidak bersenjata. Setiba di pasar Kurai Taji, keempat serdadu itu
berjalan berkeliling. Mereka tampaknya merasa aman menyaksikan pasar yang
sedang ramai itu. Penduduk laki-laki dilihatnya membawa senjata yang merupakan
hal biasa pada waktu itu. Tetapi ketika mau kembali ke Pariaman, serdadu
Belanda itu mengambil jalan lain. Tiba-tiba seorang perempuan memekik di
belakang mereka. ‘Mungkinkah tuan-tuan ada yang kealpaan?’ Kapten Belanda itu
menggeleng dan terus memacu kudanya. Sambil meraba sakunya dan berkata, ‘saya
tidak akan ketinggalan sesuatu.’
Rombongan
serdadu Belanda itu kembali ke pasar Kurai Taji yang ditinggalkannya tadi.
Perempuan-perempuan telah meninggalkan pasar dan orang laki-laki berkumpul
dengan pandangan bermusuhan. Seorang kepala dari kampung menasihati serdadu
Belanda itu supaya segera pergi karena pasukan rakyat VII Koto telah banyak
datang. Nasihat diturutinya dan orang-orang di belakang mereka menyorakinya
sambil menghina. Baru saja mereka pergi terdengar letusan-letusan senjata di
belakang.”
Masa Sekolah
Di tahun
1915, tepatnya ketika berkecamuk Perang Dunia I, situasi di Nagari Kurai Taji
tidaklah berubah drastis. Apalagi Hindia Belanda masih menguasai pemerintahan
secara penuh, mulai dari kekuasaan, ekonomi sampai sistem pendidikan.
Pemerintah
Kolonial Hindia Belanda pada waktu itu telah banyak membangun gedung-gedung
sekolah. Itu pun lantaran rakyat sudah mau membayar belasting. Sementara di lain hal, seperti jabatan Tuangku-Tuangku Laras yang galir-galir dipusatkan di Nagari “Si
Pahit Lidah” digantikan oleh para tamatan dari Mosvia. Tapi, para Demang dan
Asisten Demang yang diharapkan dapat berpikir a la Belanda tetap tidak pula
kurang galir-galirnya.
Semua itu
bukan persoalan bagi Bagindo Talabieh dan Siti Syarifah (kedua orang tua Samaun
Bakry). Yang menjadi pemikiran mereka saat itu adalah Samaun harus
disekolahkan, karena Samaun telah memasuki usia sekolah dan harus mendapatkan
pendidikan formal.
Untuk
menentukan di mana Samaun bersekolah, Syarifah rupanya lebih berwenang dan
memegang kendali. Tapi, ternyata, hal itu berujung pada perselisihan antara
Syarifah dan Bagindo Abu Bakar. Karena, masing-masing mempertahankan
pendapatnya yang saling berbeda. Bagindo Abu Bakar menginginkan Samaun
bersekolah di sekolah milik Belanda seperti anak-anak yang lain di Padang,
antara lain Valksschool dan Vervolgschool. Keinginan itu ditolak
keras oleh Syarifah –yang lebih menghendaki Samaun bersekolah di sekolah yang
dipimpin dan dimiliki oleh orang Melayu.
Secara
historis, pendidikan formal orang Minangkabau berlandaskan pendidikan Islam.
Pendidikan untuk pertama kalinya di Sumatera Barat dilakukan oleh pedagang
Islam dari Aceh. Sesudah Islam berkembang, pendidikan Islam mulai dilaksanakan
di surau. Dan pertama kalinya dimulai oleh Syekh Burhanuddin di Ulakan,
Pariaman. Hal tersebut berjalan sampai akhir abad ke-10 dengan masuknya
pengaruh aliran baru dalam Islam dari Makkah dan Mesir ke Sumatera Barat.
Pun
demikian seiring dengan gerakan pembaruan Islam pada awal abad ke-20 yang
memunculkan tokoh-tokoh muda sebagai pembaru pendidikan Islam. Kemudian
memunculkan sekolah Islam dengan sistem kelas, seperti Sekolah Adabiah,
Thawalib dan Diniah.
Pendidikan
Islam inilah yang di mata Syarifah harus dimiliki oleh Samaun. Sebab itu
Syarifah bersikap cukup keras. Jangankan menaruh Samaun di sekolah Belanda,
mendengar nama-nama Belanda saja dirinya sudah merasa mual. Dan ia benar-benar
akan tersinggung bilamana ada orang menyebut sesuatu yang cenderung memuji
Belanda.
Meliha
kekerasan Syarifah, akhirnya Bagindo Abu Bakar mengalah dan menyerahkan pendidikan
Samaun kepada istrinya secara penuh. Lalu, Syarifah memasukkan Samaun ke
sekolah yang dipimpin oleh Sutan Rajo Alif, guru dari Aceh. Syarifah telah
menaruh rasa percaya sepenuhnya terhadap kualitas dan loyalitas guru yang satu
ini. Bukan lantaran pendidikan yang diberikan Sutan Rajo Alif lebih ke Melayu
semata, tapi memang karena Syarifah telah mengenal siapa Sutan Rajo Alif.
Berkat kedekatan itulah, Syarifah mendorong Samaun menjadi murid sekolah Sutan
Rajo Alif.
Di sekolah
Sutan Rajo Alif, Samaun menunjukkan prestasiberlajar luarbiasa. Dia sangat
cerdas. Di luar itu, kendati dikenal sebagai murid pendiam dan tenang, namun
jika marah maka Samaun secara cepat meledak-ledak dan membentak. Apalagi
bilamana berkelahi, Samaun tidak mau mengalah.
Melihat kecerdasan
yang dimiliki oleh Samaun, Sutan Rajo Alif berpikir lain. Dia menyarankan
kepada Syarifah agar sebaiknya memindahkan Samaun ke sekolah Hollandsch Inlandsche School (HIS). HIS
adalah sekolah pada jenjang pendidikan rendah (Lager Onderwijs) atau setingkat dengan pendidikan dasar. Berbeda
dengan Inlandsche School yang
menggunakan bahasa daerah, HIS memiliki bahasa pengantar bahasa Belanda (Westersch Lager Onderwijs).
Alasan guru
asal Aceh itu jelas, agar Samaun lebih dapat mengembangkan kepandaiannya. Itu
semua demi masa depan Samaun.
Mendengar
sara tersebut, Syarifah bukannya bergembira, ia justru secara tegas mengatakan,
“Samaun akan saya jadikan ulama besar. Dan justru karena pandai lah, ia harus
dijadikan ulama.”
Itulah
pendirian keras seorang Syarifah. Dan sebenarnya dari sini pula kita memperoleh
gambaran bahwa sebetulnya Samaun dibesarkan di lingkungan keluarga yang berbeda
kutub –derajat, ideologi, pendidikan, bahkan perbedaan sikap dan karakter. Tak
pelak, konflik antara kedua orang-tuanya dalam mengendalikan rumah tangga tidak
biasa, tidak sampai meruncing tajam.
Kembali ke
kisah sekolah Samaun, entah bagaimana sampai kemudian tersiar kabar bahwa
Samaun telah bersekolah di Vervolgschool,
setara Sekolah Dasar. Tahun 1920, Samaun berhasil menyelesaikan studinya. Orang
tua dan keluarganya menyambut gembira kelulusan itu. Bahkan mereka tercengang,
karena saat itu Samaun sudah pandai berbicara tentang November Belofte.
November Belofte berarti Janji November. Dalam sejarah, bulan November merupakan salah satu
bulan mitos bagi bangsa Indonesia Pertama, November belofte tahun 1918 dari Gubernur Jenderal Linburg Stirum yang
“berbaik hati” memberikan “kemerdekaan” bagi bangsa Indonesia secara bertahap.
Di mana saat itu badan persatuan Volksraad
menuntut pembekuan Dewan Parlemen Sementara atau Dewan Nasional sebagai
panitia pendirian parlemen sementara, hingga adanya pembentukan parlemen sejati
yang disusun oleh dan dari rakyat. Namun sejak 16 November 1918 namanya berubah
menjadi Politieke Concentratie, yang
dibentuk oleh seorang Belanda bernama Cramer (pemimpin fraksi sosialis Volksraad). Anggotanya terdiri dari
Boedi Oetomo, Sarekat islam, Insulinde, dan ISDV (Indische Social Democratische Vereniging).
Dan saat
itu Belanda menjawabnya dengan mengeluarkan November
Beloftie (November-Verklaring),
untuk mengadakan perubahan bagi bangsa Indonesia. Karena tidak ada batas waktu
yang pasti, jawaban Belanda itu kembali berbuah mosi dari anggota Radicale Concentratie. Hingga 17 Desember
1918, Belanda membentuk Herzienings
Commissie untuk mempelajari perubahan ketata-negaraan Indonesia.
Namun
kegembiraan itu tidak berlangsung lama gara-gara kedua orang tua Samaun kembali
berdebat ihwal kelanjutan sekolah anaknya selepas dari Vervolgschool. Seperti biasa, sang ayah menginginkan Samaun ke
Badang, bersekolah di sekolah Belanda, sedangkan si ibu tetap berkehendak
Samaun ke Sumatera Thawalib di Padangpanjang yang tengah populer waktu itu.
Di masa awal
abad ke-20 itu memang tengah terjadi pembaruan atau modernisasi Islam di
Minangkabau dan kemudian terjadi pula peralihan pusat pengembangan Islam ke
darat seperti Padang Panjang dan Padang Pariaman (Syukri Umar, Pariaman Pusat Pengembangan Kebudayaan Islam
di Minangkabau, Majalah Penuntun Amal
Bakti Kanwil Departemen Agama Sumbar, edisi 139/1992, halaman 12).
Pembaruan ini cepat diterima oleh masyarakat di Nagari Kurai Taji sekaligus
membawa perubahan paham keagamaan dalam peta pemimpin gerakan kemerdekaan.
Modernisasi
Islam masuk Nagari Kurai Taji bersamaan dengan dibawanya organisasi
Muhammadiyah oleh SDM Ilyas, mertua mantan Menteri Agama Tarmizi Taher. Dia
membawa Muhamadiyah masuk Nagari Kurai Taji pada tahun 1927 sekembalinya dari
Yogyakarta.
Kembali ke
perjalanan sekolah Samaun Bakry, tidak seperti biasa yang sudah-sudah,
perselisihan pendapat kedua orang tua Samaun kali ini tidak menemukan titik temu. Kali ini mereka
sama-sama keras dan tidak mau mengalah. Mereka tidak dapat memutuskan sekolah
mana yang harus dituju anaknya. Akibatnya, Samaun pun terkatung-katung selama
dua tahun.
Di masa
ketidak-jelasan tersebut secaraotomatis membuat Samaun merasa jenuh. Dia tidak
tahu lagi harus berbuat apa. Akhirnya Samaun lebih memilih terjun ke kalangan Parewa untuk ikut meramaikan permainan Indang dan Luambek –suatu kesenian rakyat Minangkabau. Di luar itu, Samaun
tetap rajin mengaji dan membaca buku-buku.
Namun semua
itu dipantau oleh Syarifah secara diam-diam. Ia sedih dan gelisah melihat
kondisi anaknya tersebut. Sebab itu, diam-diam pula, Syarifah bersiasat. Di
saat Bagindo Abu Bakar sedang tidak berada di rumah, tengah berada di rumah
istrinya (Siti Sawiyah) di Padang, ia akan membawa lari Samaun ke
Padangpanjang. Dan ketika sampai Padangpanjang, Samaun langsung diserahkan
kepada Inyieek Dotor untuk bersekolah di Thawalib (1922-1925).
Sayangnya
cara diam-diam menyekolahkan Samaun ke Thawalib membuat marah besar Bagindo Abu
Bakar ketika pulang dari Padang. Bagindo yang ketika itu berusia 85 tahun
berbicara keras pada istrinya, “Kau lihat akibatnya nanti, itu sekolah
orang-orang komunis.”
Bagindo Abu
Bakar terus memojokkan Syarifah sampai kemudian mereka bertengkar.
Sampai-sampai kepala Bagindo Abu Bakar benjol-benjol gara-gara dihantam teko.
Tapi, apa
yang dipikirkan oleh Bagindo Abu Bakar –tentang sekolah Thawalib-- benar
adanya. Karena, pada tahun 1925 ternyata sekolah Thawalib ditutup oleh Belanda.
Hal itu terjadi lantaran Belanda mencurigai Thawalib telah menjadi sumber
komunis dan pemberontakan yang berkecamuk di banyak nagari di Sumatera Barat.
Melihat situasi seperti itu, Samaun lalu pulang ke Nagari Kurai Taji.
Lalu
giliran Bagindo Abu Bakar yang membawa Samaun masuk ke sekolah Belanda di
Padang. Selain itu, Samaun sempat pula diikutkan kursus-kursus politik dan
bahasa asing. Langkah Bagindo terbilang sukses karena pada awal tahun 1926
Samaun sudah dapat bekerja di Kantor Tuan Besar (Residen) di Padang, walau itu
berkat hubungan pribadi Bagindo dengan Residen.
Samaun yang
telah bekerja di Kantor Residen Padang ternyata berkehendak lain. Sebab, baru
beberapa bulan bekerja, Samaun justru pulang ke Nagari Kurai Taji. Keluarganya
pun menaruh tanda tanya. Tapi, Samaun tetap tak mau kembali lagi ke Padang.
“Orang
Belanda itu terlalu angkuh. Enak saja memanggil saya dengan siulan sambil
menggamit dengan telunjuk,” cerita Samaun kepada ibu dan mamak-mamaknya sebagai
alasan kuat mengapa dia tidak mau lagi balik ke Padang menjadi pegawai Kantor
Residen.
Dari
sinilah kita bisa menangkap bahwa Samaun telah menjadi seorang remaja yang
dewasa. Dia sudah dapat memilih mana yang baik dan mana yang buruk bagi
dirinya.
Ikut Perjuangan
Sebagai
seorang remaja, perkembangan diri Samaun telah tumbuh dengan pesat. Apalagi
saat itu dia sudah menjadi seorang remaja dengan pemikiran nasionalisme yang
demikian tinggi. Lihat saja bagaimana dia mampu berbicara tentang revolusi dan
berbagai sarana/prasarana yang seharusnya menjadi milik pribumi. “Kereta api
kita punya, jalan raya kita punya, Ombilin kita punya.” Dan yang lebih
mencengangkan lagi adalah dirinya memiliki “kartu merah” sebagai anggota
radikal. Dia menjadi anggota partai PNI masa itu.
Pergerakan Samaun
pun sudah tidak bisa lagi diatur dan dikendalikan oleh kedua orang-tuanya. Juga
ketika secara diam-diam Samaun telah melibatkan diri ke dalam kelompok perjuangan.
Suatu kali pernah
pihak Gouverment, lewat pasukan marsose, berhasil mengendus pergerakan
perjuangan. Secara cepat Gouverment
melakukan razia di setiap daerah yang dicurigai sebagai markas dan jalur
perlintasan pemberontak. Dan saat razia dilakukan di Alung, beberapa orang pejuang
berhasil diciduk, ternyata salau satunya adalah Samaun Bakry.
Bersyukur,
saat razia tersebut ada Sergeant Toemengkol, suami Pensi Bagindo dari Manado
yang memang tanpa diketahui oleh pasukan Belanda sebenarnya masih bersaudara
dengan Samaun. Sergeant lansung melepaskan Samaun dengan dalih anak itu baru
berusia 17 tahun.
Sekadar
pengetahuan, ternyata di dalam kelompok pejuang yang berhasil diringkus oleh Gouverment itu terdapat mamak-mamak
Samaun. Mereka sempat dikurung dalam kandang kawat berduri dan dipukuli dengan
cemeti. Bersyukur pada mamak itu berhasil meloloskan diri.
Setelah
berhasil keluar, mamak-mamak itu langsung menemui Samaun dan berkata, “Jangan
berpikir yang tidak-tidak lagi buyung. Kini kita sudah hancur. Tak mungkin
melawan. Kau ikuti apa baiknya saja. Jangan waang
meniru-niru Tuanku Nan Garang, sia-sia belaka. Kembalilah ke Padang. Tengalah kami!” Demikian nasehat
mamak-mamak yang telah putus asa menghadapi kenyataan pahit.
Perjuangan
melawan kompeni Belanda memang telah kerap dilakukan sebagian warga masyarakat
Sumatera Barat pada saat itu. Termasuk di Padang dan juga di Nagari Kurai Taji.
Meski kerap diringkus namun api perjuangan tidak pernah padam.
Di
antaranya tahun 1926 pecah perjuangan di Nagai Kurai Taji. Perjuangan kali ini
dipimpin oleh Bagindo Baralian Gelar Rajo Luwangso yang merupakan keponakan
dari Bagindo Abu Bakar. Tapi naas, perjuangan tersebut berhasil dibuat kocar-kacir
dan panik oleh marsose Belanda.
Akibatnya, sebagian besar pejuang merasa kapok.
Lain halnya
dengan Samaun. Melihat kejadian itu dia justru semakin bersemangat berjuang.
“Saya akan melawan Belanda sampai mati!” ucap Samaun berapi-api. Apalagi
dilihatnya banyak mamak-mamak menangisi para kemenakannya lelaki yang tewas,
padahal mereka diharapkan dapat menjadi penengah keluarga matrilineal. Dengan
tekad bulat Samaun pun pergi ke Padang.
Tapi, tak
lama berselang, Samaun balik lagi ke Nagari Kurai Taji. Kepulangan Samaun ini
membuat seluruh keluarga terperanjat. Pasalnya, Samaun yang barusia 19 tahun
itu pulang dengan membawa uang F17,50 dan sepucuk surat sebagai serdadu Koninklijke Nederlands Indische Leger
(KNIL) atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda.
Apa yang
sebetulnya terjadi dan dipikirkan oleh Samaun sampai-sampai dia menanda-tangani
kontrak dinas selama tiga tahun sebagai serdadu KNIL? Konyolnya lagi, dia telah
menggenggam uang kontrak kerja tersebut. Tentu saja berita ini menghebohkan,
lantaran tidak ada dalam sejarahnya anak Minangkabau yang bersedia menjadi
serdadu Belanda. Tapi, mengapa Samaun berbeda?
“Kok
jadinya begini? Kau berkata akan melawan terus sampai mati, tapi justru masuk
menjadi serdadu Belanda?” Mamak-mamaknya bertanya penuh keheranan.
Kendati
para mamak mrah dan gusar, Samaun tetap tenang. Dengan enteng dia menjawab,
“Diusahakan melawan dari dalam.”
Sontak
ninik-mamak kembali tercengang dan heboh. Mereka tidak menyangka jalan pikiran
Samaun. Walau tujuannya sangat cemerlang namun mereka jelas tidak sepakat bila
Samaun menjadi KNIL. Lalu bagaimana cara menyelesaikan persoalan ini.
Tidak ada
cara lain kecuali harus mengembalikan uang kontrak dinas yang telah dipegang
oleh Samaun. Tentu tidak mudah, karena pihak Belanda pasti tidak mau menerima
begitu saja.
Di saat
itulah Haji Ahmad, seorang kaya raya di Nagai Kurai Taji, turun tangan. Haji
Ahmad merogoh sakunya dalam-dalam untuk mengembalikan dua kali lipat uang
kontrak yang telah dipegang Samaun. Singkat cerita, akhirnya Samaun berhasil
dikeluarkan lagi dari kontrak dinas KNIL. Lepas dari kontrak KNIL, Samaun lalu
bekerja sebagai korensponden surat kabar harian Persamaan di Padang (1928-1935).
Memang,
siasat yang akan dilakukan Samaun untuk melawan Belanda dengan cara masuk ke
dalam tubuh KNIL, terbilang cukup jitu. Dan itu pun sebenarnya telah dilakukan
oleh beberapa pejuang Tanah Air, karena tanpa diketahui oleh banyak orang
sebenarnya ada beberapa bagindo yang telah menyusup menjadi tentara KNIL. Salah
satunya Marten Bagindo Sergeant KNIL.
Marten
sendiri adalah cucu Pangeran Baginda Talabe. Dia adalah serdadu KNIL namun
sejak 1910 –secara diam-diam—membina hubungan atau komunikasi dengan para
Bagindo, termasuk dengan Tuanku Nan Garang. Misalkan sekitar setahun setelah
perang Ulakan usai, Bagindo Abu Bakar bersama sekelompok tamu asing datang ke
pendakian Paguh Kurai Taji. Tamu asing dari Padang itu terdiri dari lima orang
lelaki dan lima orang perempuan, di mana dua orang lelaki berpakaian seragam
KNIL sedangkan para perempuan berpakaian aneh dengan sanggul dipucuk di kepala.
Bagindo Abu
Bakar langsung memperkenalkan tamu asing tersebut kepada istrinya, “Fah, ini
adik, ini ipar, dan ini anak menantu saya.”
Syarifah
tercengang melihat kehdairan tamu asing di rumahnya. Dengan nada keheranan ia
bertanya, “Adik, ipar, anak menantu bagaimana?”
“Ini Mahmud
adik saya, dan ini istrinya. Sementara yang ini Pensi adik Marten, dan ini
suaminya, Toemengkol,” jelas Bagindo Abu Bakar memperkenalkan satu per satu
tamunya kepada Syarifah.
“Saya tidak
mengerti,” ujar Syarifah yang masih terdiam.
Namun
akhirnya, setelah mendapat penjelasan yang lebih panjang, Syarifah mulai
mengerti siapa sebetulnya Mahmud, Pensi, Marten atau Toemengkol. Ternyata
mereka masih keturunan dari Tuanku Nan Garang dari istrinya di Manado.
Di kalangan
kaum terpelajar Sumatera Barat, kaum nasionalis dan kalangan kmunis, Samaun
selalu dipanggil sebagai “Semaun”. Hal ini mengingatkan orang pada salah satu
tokoh Sarekat Islam (SI) yang kemudian terkenal menjadi “SI Merah”. Sementara
di sebagian lingkungan PID dan segelintir ambtenaar,
namanya dibisik-bisikkan sebagai “Pira’un” (Firaun = Pharao).
Begitulah
kisah masa remaja Samaun. Dia tidak pandang pilih untuk bergaul dengan berbagai
kalangan masyarakat. Dari lingkungan Parewa
sampai surau, sampai ke lingkungan terpelajar hingga kaum radikal dan komunis.
Tapi toh, dia tetap diterima, bahkan menjadi kebanggaan.
Kegelisahan
memang terjadi dalam diri Samaun Bakry. Kegelisahan itu ditandai dengan
dimilikinya “kartu merah”, kemudian sebagai PNI, lalu PSII dan Persatuan Muslim
Indonesia (Permi). Anak muda yang baru berusia 20 tahun ini selalu tertarik
kepada berbagai macam gerakan politik untuk menggapai kemerdekaan Indonesia.
Walau Samaun sendiri belum mempunyai prinsip-prinsip politik, kecuali
sifat-sifatnya yang keras dan radikal.
Apalagi
saat itu api perjuangan membara di Minangkabau. Sejak perang Padri usai (1837),
suasana perjuangan rakyat Minangkabau terus menggelora. Perjuangan-perjuangan
kerap meletup dan meletus di mana-mana secara sporadis. Tokoh-tokoh perjuangan
pun tampak muncul secara bergantian, yaitu antara ninik-mamak, alim ulama, dan
parewa di setiap nagari.
Situasi ini
tentu tak ditinggalkan oleh Samaun. Dia ikut pula terlibat di setiap perjuangan
yang terjadi. Karena, ini adalah jalan yang diinginkannya, sebagaimana dia
seringkali mengucapkan kata “merdeka”.
Sementara
bersamaan dengan berjalannya waktu, ayahnya Bagindo Abu Bakar sudah mulai
sakit-sakitan. Dan di akhir 1928 Bagindo Abu Bakar wafat dalam usia 92 tahun di
rumah istrinya Siti Sawiyah alias Upik Putih yang telah meninggal duluan (1926)
di Alang Lawas Padang.
Hati Samaun Gampang
Tersentuh
Selain
pintar, Samaun anak nazar ini memiliki sifat-sifat yang di mata banyak orang
terlihat aneh. Bahkan, kerap membuat geleng-geleng sekaligus mengangguk-angguk.
Misalkan saja, suatu waktu ada seseorang datang ke Samaun. Orang itu lalu
bercerita pada Samaun bahwa dirinya membutuhkan kain sarung untuk shalat, namun
dia tidak memiliki uang untuk membeli. Mendengar keluhan itu, tanpa berpikir
panjang, Samaun langsung memberikan sarung yang sedang dikenakannya kepada
orang miskin tersebut.
Ya, seperti
itulah sosok Samaun. Bahkan, bukan cuma sarung, tapi juga jas, kemeja ataupun
peci yang dipakainya juga telah berpindah tangan kepada setiap orang yang
datang dan mengadu kepadanya. Sebab itulah, pantas bila orang-orang yang
melihat dan mendengar kisah itu langsung menilai aneh sosok Samaun.
Tapi, suatu
hari Samaun pernah bernasib buruk. Kejadiannya pada tahun 1928 ketika Samaun
memberikan kain sarung Bugis kesayangan ibunya kepada seseorang. Tak pelak hal
itu membuat ibunya marah.
Sekadar
pengetahuan, kain sarung Bugis berbeda dengan kain sarung yang lain. Saat itu
kain sarung Bugis termasuk barang yang relatif mahal, bergengsi dan dijadikan
pusaka oleh warga masyarakat Minangkabau. Akibatnya, ketika Samaun pulang dan
tidak lagi bersarung Bugis, ibunya langsung bertanya-tanya.
“Sudah saya
berikan kepada yang membutuhkan,” jawab Samaun tenang, seolah tiada persoalan
apa-apa.
Mendengar
jawaban seperti itu, Syarifah tak mampu lagi menahan diri. Ia langsung
menyambar sapu dan cerek. Melihat ibunya yang ingin menhantamnya, Samaun
langsung berlari ke luar rumah. Satu sepakan cerek sempat mengenai tubuh
Samaun, tapi anak itu terus berlari.
Setelah
kejadian itu, Samaun tidak pulang. Dia baru pulang ke rumah pada keesokan
harinya.
Syarifah
tidak lagi berang namun ia mencoba mensehati anaknya itu. “Bagaimana kau ini
Samaun? Keadaan sekarang begini sulit, kau malah menghabiskan apa yang ada,
mulai dari toko, pabrik, kini kau justru mulai menghabiskan apa yang ada
padaku!”
Samaun
berusaha menjawab, “Kalau sudah merdeka, semua kesulitan akan hilang.”
“Merdeka,merdeka
katamu. Aku juga ingin merdeka, tapi tidak dengan menghabiskan harta seperti
caramu itu. Dan aku mendengar kau berutang di mana-mana, itu kan membuat malu
keluarga!” Suara ibunya kembali meledak-ledak.
Kacau.
Setelah membagi-bagikan pakaiannya ternyata ibunya juga mengetahui bahwa Samaun
telah memiliki banyak utang.
Kabar
tentang Samaun yang memiliki banyak utang benar adanya. Dia banyak berutang
pada para pedagang atau orang berduit di banyak tempat. Dan itu sebenarnya
telah pula diketahui oleh banyak orang.
Mengapa
Samaun banyak berutang? Ternyata hal ini berkaitan dengan sikapnya yang aneh
yang gampang memberikan apa saja yang dibutuhkan oleh orang yang mengadu
padanya. Sayangnya, solusi Samaun pun tergolong aneh. Bilamana sudah tidak ada
lagi yang dapat diberikannya, Samaun langsung membwa orang-orang muskin
tersebut ke sebuah toko atau kedai. Di toko itulah dia membelikan keperluan
orang-orang miskin yang datang kepadanya, kendati ujung-ujungnya membuat bon
utang.
Yang tidak
masuk di akal lagi, para pemilik toko tersebut tidak menagih utang kepada
Samaun. Mereka sepertinya sudah mengetahui bahwa bon-bon utang itu tidak akan
terlunasi. Sebab itu para pemilik toko menganggap utang Samaun sama saja
seperti zakat yang diberikan Samaun kepada orang-orang miskin melalui toko
mereka.
Lantaran
todak ingin melihat Samaun bertingkah aneh-aneh lagi, paling tidak menjauhkan
Samaun dari perang gerilya melawan Belanda, ayahnya langsung bergegas pulang
kampung. Di sana Bagindo Abu Bakar mendirikan sebuah pabrik Limundo. Lalu
Samaun ditunjuk untuk mengendalikan dan mengelola pabrik tersebut. Namun tidak
berlangsung lama, pabrik itu bangkrut. Kehancuran perusahaan itu jelas
gara-gara Samaun yang mempercayakan seseorang untuk mengendalikannya namun
justru membawa pada kehancuran.
Hal itu
tidak menyurutkan niat Bagindo Abu Bakar untuk menjadikan Samaun sebagai
seorang pengusaha. Setelah pabrik Limundo bangkrut, selanjutnya Bagindo
membuatkan sebuah toko untuk Samaun. Toko yang lumayan besar yang menjual
porselen, kromopon, jam dan barang modern lainnya. Kali ini nasibnya sama saja.
toko itu kembali bangkrut lantaran –lagi-lagi—Samaun menyuruh seorang parewa (preman) untuk mengelolanya.
Kali habis
pula semangat Bagindo Abu Bakar untuk mendidik dan membangunkan tempat usaha
untuk Samaun. Bagindo telah kehabisan akan dan kesabaran. Dia sudah tidak
peduli lagi hendak ke mana masa depan Samaun.
Dalam
situasi seperti ini Samaun pun resah-gelisah. Setiap hari dia tampak
hilir-mudik dari satu tempat ke tempat lain, atau dari satu surau kesurau yang
lain. Bahkan dirinya dapat secara mudah dijumpai di kalangan preman “Cap
Tombak” atau kalangan preman lainnya.
Di kelompok
preman, Samaun lebih dikenal dengan nama “Karibana”. Nama Karibana sendiri
sebetulnya nama dari seorang tokoh parewa yang paling terkenal di ondistrik Lubuk Alung. Karibana juga
seorang “Runcing Tanduk” yang amat ditakuti, karena memiliki berbagai ilmu
kejahatan dan disegani orang “bagak” yang baru keluar dari penjara Cilacap,
Jawa Tengah.
Demikianlah
kehidupan keseharian Samaun selepas dirinya tidak lagi bekerja di Kantor
Residen Padang. Keadaan psikologisnya tampak tidak stabil. Di mana saja dia
berada hanya untuk mencari kesibukan.
Dan
diceritakan oleh anak Jawinya, yaitu Marasisir yang pernah menjadi tokoh Partai
Syarikat Islam Indonesia (PSII) di Kabupaten Padang Pariaman, bahwa Samaun juga
tidak terlalu larut dalam kehidupan parewa karena terkadang dia dapat pula
ditemui di kalangan rakyat dan lingkungan para seniman “Indang”. Di kelompok
kesenian inilah pengetahuan politik Samaun mulai bertambah, walau semua itu
disampaikan secara kiasan atau dengan lambang (metaforik).
Pun begitu
dilakangan surau, Samaun cukup aktif. Bahkan namanya kerap diucapkan dengan
logat Arab secara fasih. “Samaun” disengaukan dengan suara berdengung dalam
hidung yang bermakna “mendengar”.
Itulah
jalan pemikiran seorang Samaun yang berbeda dengan kebanyakan orang. Anak muda
yang bertampang mirip ibunya dan hanya bertinggi badan sekitar 160 centimeter
ini memang tengah gelisah dan mencari jati dirinya. Terlebih semangat mudanya
yang senantiasa menyala-nyala dalam meneriakkan perjuangan, kendati dia sendiri
belum mengetahui realisasi perjuangan itu sendiri. ***
No comments:
Post a Comment