Dalam mengarungi kehidupan ini, manusia memiliki urusan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya, disertai karakter masing-masing yang beragam pula. Namun, pada hakikatnya semuanya memiliki kedudukan yang sama, yaitu sebagai makhluq berfikir yang memakmurkan bumi. Segenap kekayaan alam yang tersedia di dunia ini, jika direnungkan, maka sebenarnya itu semua adalah untuk manusia. Akal manusia mungkin akan pasti menolak jika ada yang memperbolehkan tindakan merenggut nyawa manusia lainnya, namun tampaknya tiada akal manusia yang melarang tindakan merenggut nyawa hewan ternak untuk dikonsumsi manusia itu sendiri. Yang demikian itu bukanlah karena manusia semena-mena atau tidak adil, melainkan karena memang demikianlah kenyataannya, bahwa segala yang ada di alam ini sesungguhnya disediakan untuk mereka. Dengan dianugerahi akal yang merupakan letak persamaan di antara mereka, manusia juga cenderung memiliki keperluan yang sama, yaitu mencari tahu makna dari keberadaan mereka di dunia ini.
Ketika kita
berada di dalam sebuah kendaraan umum bermuatan puluhan orang yang sedang
berjalan menuju ke suatu tempat, tentunya kita tahu dan pasti memegang alasan
mengapa kita berada di dalam kendaraan tersebut. Kita mestinya sadar ke mana
kita akan pergi, dan pastinya telah mempersiapkan diri untuk tiba di tempat
tujuan, atau bahkan hingga sempat membayangkan gambaran tentang tempat yang
sedang kita tuju tersebut. Namun, jika ternyata kita tidak tahu ke mana akan
pergi, atau tak mengerti apa yang bahkan sedang kita lakukan di dalam kendaraan
tersebut, maka mungkin saja kita sedang salah tempat, atau mungkin sedang tidak
menyadari posisi dan keadaan diri kita sendiri, sehingga membutuhkan
pemberitahuan ke mana sebenarnya arah tujuan kendaraan yang sedang kita tumpangi
itu.
Jika
sekedar kendaraan yang hanya berpenumpang puluhan orang saja kita perlu tahu
dan harus memiliki alasan mengapa kita berada di dalamnya, maka tentunya kita
juga harus lebih tahu alasan mengapa kita berada di dalam kendaraan yang
berpenumpang seluruh ummat manusia ini, yaitu kendaraan kehidupan yang
menghantarkan segenap penumpangnya menuju sebuah terminal yang bernama
kematian. Jika kita pernah khawatir tentang cukup tidaknya bekal atau persiapan
kita dalam menempuh perjalanan jauh ke sebuah tempat, mungkin semestinya kita
harus lebih khawatir lagi tentang cukup tidaknya bekal dan persiapan kita dalam
perjalanan hidup yang lebih besar ini, perjalanan besar sementara yang ternyata
masih harus dilanjutkan dengan perjalanan lain yang lebih besar lagi, yaitu
perjalanan akhirat yang kekal.
Dalam
pandangan Islam, bekal yang harus disiapkan manusia untuk menempuh kedua
perjalanan besar tersebut adalah bekal ibadah atau menyembah Allah, yang mana
merupakan nilai inti dari kehidupan manusia di dunia ini. Di dalam al-Qur’an
telah disebutkan sebuah ayat yang artinya:
“Dan
tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku.”(Adz-Dzariyat: 56)
Di antara
para ulama terdapat perbedaan pendapat dalam menjelaskan arti menyembah atau ibadah
dalam ayat tersebut. Namun makna yang tampaknya paling tepat di antara beragam
pendapat yang ada adalah ibadah dalam artian mentaati segala perintah Allah dan
menjauhi segala larangan-Nya, sehingga makna ibadah di sini pun bukanlah
sekedar kegiatan ritual saja, namun juga mencakup segala kegiatan non-ritual
yang ada dalam kehidupan manusia, yang mana juga harus mengikuti aturan-Nya.
Karena jika ibadah hanya diartikan sebagai kegiatan ritual semata, maka tentu
kita akan harus meninggalkan urusan-urusan lain yang non-ritual, yang pastinya
adalah tidak mungkin. Dan jika memang ibadah hanya diartikan sebagai pemenuhan
kegiatan ritual semata, maka ketika ibadah tersebut telah dipenuhi, sewajarnya
kita pun sudah tidak memiliki beban kewajiban lagi, karena memang perintah
utama dalam hidup ini hanyalah untuk ibadah, sehingga di luar ibadah kita pun
akan boleh berbuat apa saja, termasuk pelanggaran atau maksiat.
Oleh karena
itu, untuk menyempurnakan pemahaman tentang makna ibadah tersebut, kita mungkin
perlu memperhatikan ayat-ayat terkait lainnya. Dan di antara ayat-ayat tersebut
adalah ayat yang artinya kurang lebih sebagai berikut:
“Katakanlah:
‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang kafir.’” (Ali Imran: 32)
Dari sini
mungkin telah jelas bahwa perintah Allah kepada manusia dalam hidup mereka
adalah untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya dalam segala urusan. Dan dengan
demikian makna ibadah yang dimaksud telah menjadi utuh, yaitu bahwa segala
perintah Allah dan Rasul-Nya haruslah ditaati sebagai wujud pelaksanaan ibadah
tersebut. Dan ketika manusia berpaling dari ketaatan tersebut, maka itu akan
berarti pelanggaran terhadap ibadah.
Dari
keterangan tersebut, kita mungkin bisa memahami bahwa segala aspek dalam
kehidupan kita, baik yang ritual maupun non-ritual, sesungguhnya adalah media
ibadah atau sarana pengabdian kepada Allah. Maka dari itu, sebenarnya
kegiatan-kegiatan yang tampak remeh sekalipun, misalnya seperti duduk, berdiri,
berbaring, bergerak, diam, berjalan, dan seterusnya, pada dasarnya akan dapat
bernilai ibadah jika memang telah disertai niat untuk ibadah, karena pada
kenyataannya semua itu adalah bagian yang juga tak terpisahkan dari hidup kita.
Namun jika kegiatan-kegiatan tersebut tidak disertai niat dan kesadaran yang
semacam itu, maka mungkin nilainya pun hanya akan sebatas rutinitas yang biasa
saja. Karena sesungguhnya segala amal perbuatan akan menyesuaikan dengan
niatnya. Dengan demikian, ketika kita misalnya sedang duduk menunggu, berdiri
antri, diam karena terjebak macet, dan seterusnya, selama bukan kegiatan yang
terlarang dan bukan sedang menuju yang terlarang, maka semuanya itu akan bisa
bermakna ibadah jika diniatkan demikian.
Dan jika
memang kegiatan yang terlihat remeh saja bisa berbuah kebaikan dan bermakna
ibadah, maka tentunya terlebih lagi dengan kegiatan yang manfaatnya lebih jelas
terasa, misalnya makan, minum, olahraga, belajar, mengerjakan tugas, dan
seterusnya. Sehingga ketika kegiatan-kegiatan tersebut disertai kehadiran niat
untuk beribadah, maka tentu akan lebih utama lagi nilainya di sisi Allah.
Berbeda halnya jika semua kegiatan itu berlalu tanpa disertai niat untuk
ibadah, yang mana mungkin saja akan menjadi amal yang sifatnya baik, namun
hanya sekedar baik, tanpa disertai keutamaan nilai lainnya. Dan kita tentunya
mengakui bahwa kita hanyalah manusia biasa yang untuk bisa senantiasa memaknai
segala kegiatan rutin tersebut sebagai ibadah adalah cukup sulit, karena kita
juga cenderung sering lengah. Namun bagaimanapun, kita tetap bisa berusaha
semampunya. Dan demikianlah perbedaan antara ketika kita sekedar melaksanakan
kegiatan sebagai rutinitas, dengan ketika kita dianugerahi kesadaran memaknai
dalam melaksanakan kegiatan tersebut. Seperti misalnya ketika kita melaksanakan
shalat dengan rukun yang sempurna namun belum disertai khusyu’ yang sempurna,
yang mana mungkin saja shalat kita akan menjadi sah dan diterima sebagai amal
baik, namun sekedar menjadi penggugur beban kewajiban semata, dan kita pun
belum mendapat keberuntungan karena belum dianugerahi khusyu’ di dalam
melaksanakannya.
Demikian
juga misalnya ketika seseorang merasa kasihan melihat seekor kucing yang
kelaparan, lalu dengan nalurinya dia lantas memberinya makan hingga rasa
laparnya itu hilang, namun tanpa disertai kehadiran niat ibadah untuk Allah,
maka amal kebaikannya tersebut akan tetap dinilai dan diterima oleh Allah
sebagai kebaikan, dengan syarat orang tersebut telah memiliki iman. Karena
Allah sendiri telah berfirman di dalam al-Qur’an yang artinya:
“Maka
barang siapa yang mengerjakan amal shalih (kebaikan), sedangkan ia beriman,
maka tidak ada pengingkaran terhadap amalannya itu dan sesungguhnya Kami
menuliskan amalannya itu untuknya” (Al-Anbiya’: 94)
Dalam
contoh amal tersebut, kita tidak diwajibkan menghadirkan niat ibadah untuk
Allah, karena memang jika benar-benar wajib, maka sepertinya amal tersebut dan
banyak amal lain yang semacamnya akan tertolak. Karena amal yang terdorong oleh
naluri tentu biasanya akan tanpa didahului oleh kesiapan menata niat ataupun
proses berfikir panjang. Dan karena itulah, mungkin saja istilah naluri adalah
makna lain dari sebuah kehendak otomatis atau ‘niat alami’ yang mana tak perlu
disiapkan ataupun ditata terlebih dahulu. Sehingga ketika orang yang memberi makan
kucing tersebut tidak menghadirkan niat ibadah untuk Allah sekalipun, dan hanya
terdorong oleh naluri kebaikannya semata, amal perbuatannya itu pun tetap
diterima sebagai amal kebaikan, karena nalurinya adalah naluri kebaikan yang
disertai iman. Dan hanya Allahlah yang lebih mengetahui hakikatnya. Namun jika
orang tersebut ternyata juga menghadirkan niat untuk Allah, maka niscaya
nilainya pun akan lebih baik dan lebih utama, karena ketika itu dia telah
menghadirkan ingatannya tentang Allah. Sedangkan mengingat Allah adalah
merupakan keberuntungan yang tersendiri. Dan ini dapat diperjelas dengan
penggalan sebuah ayat yang artinya sebagai berikut:
“… dan
ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung.” (Al-Jumu’ah: 10)
Demikianlah,
dan memang amal kebaikan yang hanya berdasarkan naluri, kebiasaan ataupun
rutinitas, tentu sifatnya akan berbeda dengan amal kebaikan yang hingga
disertai hadirnya perasaan diperhatikan, disaksikan atau diawasi oleh Allah. Di
samping itu, naluri kebaikan pun pada dasarnya tak hanya dimiliki oleh
orang-orang yang beriman, melainkan juga dimiliki oleh mereka yang tidak
beriman. Sebagaimana naluri kebaikan yang dimiliki oleh paman Rasulullah
(shallallaahu ‘alaihi wasallam), Abu Thalib, yang telah menjadi tameng yang
melindungi beliau ketika kaum kafir berusaha mengganggu dan menyakiti. Namun,
demikianlah naluri kebaikan dan rasa kasih sayang yang tak disertai iman, yang
meskipun berupa tindakan tulus menolong manusia paling mulia di sisi Allah sekalipun,
maka amal kebaikan tersebut masih tak dapat diterima di sisi-Nya. Demikianlah
kebijaksanaan Allah, hingga pun terhadap sosok yang disayangi oleh hamba yang
disayangi-Nya sendiri.
Di sinilah
keberuntungan orang-orang yang beriman, yaitu bahwa segala macam keadaan apapun
yang sedang dialaminya pada dasarnya dapat bernilai kebaikan dan ibadah untuk
bekal perjalanan dunia dan akhirat mereka, selama memang diniatkan untuk ibadah
atau pengabdian untuk Allah. Berbeda dengan mereka yang tidak beriman atau non-Muslim,
yang bahkan segala kebaikan duniawi mereka pun tak akan berarti apa-apa di
akhirat kelak, melainkan hanya mendapat balasan kebaikannya di dunia saja. Di
sinilah mungkin perbedaan sudut pandang antara orang-orang yang beriman dengan
mereka yang non-Muslim dalam memahami arti keberhasilan hidup yang sebenarnya.
Dalam
pandangan Islam, keberhasilan yang sebenarnya bukanlah ketika segala bentuk
kemudahan hidup dapat kita capai dan kita miliki, karena sebenarnya banyak juga
bentuk kemudahan yang justru menjadi istidraj, yaitu keadaan di mana segenap
kemudahan dunia mendekat, namun justru lebih menjauhkan kita dari Sang Pemberi
kemudahan itu sendiri. Dan tentunya menurut Islam keberhasilan bukanlah
demikian. Bahkan menurut Islam, justru keberhasilan dapat kita fahami sebagai
sebuah usaha pemenuhan tugas yang telah dilaksanakan semampunya sesuai aturan
Allah meskipun tampak ‘tidak berhasil’ sekalipun, sebagaimana usaha
menyampaikan ajaran Allah yang dilakukan oleh para Nabi yang ternyata gugur
dengan cara dibunuh, yang mungkin sebagian manusia akan menganggapnya sebagai
bentuk ‘kegagalan’ dalam berusaha. Namun justru Islam menilai ‘kegagalan’
tersebut sebagai sebuah ‘keberhasilan’. Sehingga, di sini pun akan muncul
pertanyaan, bagaimana bisa ‘keberhasilan’ justru diartikan sebagai sebuah usaha
yang nyatanya ‘tidak berhasil’? Dan memang demikianlah makna keberhasilan
menurut Islam, yaitu pencapaian ridha Allah, yang mana tak bisa dibaca dan
diukur dengan mata kepala manusia. Hanya Allah dan pengakuan hati seseoranglah
yang akan lebih bisa menjawab sejauh mana keberhasilan tersebut telah dicapai.
Karena yang mengetahui isi hati seseorang hanyalah Allah dan pemilik hati itu
sendiri.
Dan dalam
memaknai sebuah keberhasilan pun, keberhasilan dalam arti yang lebih luas, kita
tidak semestinya merasa bahwa ‘kemampuan’ yang ada pada diri kita adalah atas
kehendak kita sendiri, hingga kita meyakini bahwa keberhasilan yang kita
peroleh adalah disebabkan oleh ‘kemampuan’ diri sendiri. Memang yang demikian
itu sepertinya akan tampak wajar dan sah-sah saja, namun sebenarnya tidaklah
pantas. Karena pada dasarnya kita semua adalah sama, tidak pernah memiliki
apa-apa. Semua yang ada pada diri kita hanyalah titipan dan pemberian, yang ada
tanpa kita minta sebelumnya. Mereka yang berhasil adalah karena memang Allah
berkehendak memberi mereka keberhasilan, dengan cara memampukan diri mereka,
dan bukan sebaliknya, bahwa keberhasilan mereka adalah dikarenakan ‘kemampuan’
mereka sendiri. Sesungguhnya segala macam pencapaian yang ada pada manusia
hanyalah karena memang Allah telah menghendakinya.
Dan
keyakinan inilah yang akan membantu kita untuk tidak mudah membandingkan nasib,
mengeluh, atau hingga merasa berkuasa atas ‘kemampuan’ diri sendiri. Karena
pada dasarnya semua manusia adalah sama lemahnya jika bukan karena rahmat
Allah, dan sama tersesatnya jika bukan karena hidayah-Nya. Semua manusia
memiliki kelemahan atau kekurangan, dan kekurangan seseorang akan pasti
ditutupi oleh kelebihan manusia lainnya, demi keutuhan dan keseimbangan
bersama. Karena itulah kita mungkin pernah mendengar sebuah ungkapan yang
dinisbatkan kepada Rasulullah (shallallaahu ‘alaihi wasallam) yang kurang lebih
artinya sebagai berikut: “Kalian lebih tahu tentang urusan-urusan dunia
kalian.” Ungkapan inilah yang mungkin merupakan bentuk kesadaran bahwa memang
masing-masing dari kita memiliki peran tersendiri. Dan masing-masing pasti
memiliki ruang kosong berupa kekurangan, agar justru diisi oleh kelebihan orang
lain. Karena itulah, kita harus meyakini bahwa hanya atas rahmat Allah sajalah
kita memiliki kapasitas masing-masing yang berbeda. Dan semuanya tetaplah
merupakan keberuntungan selama disertai anugerah Allah berupa iman.
Jika
mungkin sempat muncul lintasan hati yang cenderung mengajak kita untuk membandingkan
nasib, mengeluh, atau hingga merasa berkuasa atas ‘kemampuan’ diri sendiri,
maka sebenarnya itu adalah bisikan setan musuh nyata manusia, dan kita bisa
menepisnya dengan segera beristighfar dan mengingat Allah, Dzat di balik segala
kemampuan manusia, agar hati kita terhindar dari keburukan. Dan ketika kita
merasa tak sanggup untuk menjaga hati, niat, amal, masa depan, sisa usia, dan
segenap urusan kita, maka kita bisa menitipkan penjagaan itu semua ‘langsung’
kepada Allah, yang tentu lebih baik penjagaan-Nya. Karena memang ketika kita
terlalu bersandar pada ‘kemampuan’ diri sendiri, atau terlalu kuat serta
berlebihan bergantung pada hukum sebab-akibat, tanpa benar-benar menyadari
adanya peran dan rencana Allah yang begitu halus dan pasti sesuai janji-Nya,
maka kita mungkin akan lebih sering kecewa dalam urusan kita ketika mengalami
kesulitan, atau mungkin hingga tak percaya ketika mendapati kenyataan yang
ternyata di luar perhitungan kita. Karena itu, menyandarkan segalanya kepada
Allah adalah pilihan yang selalu tepat, dan akan menghindarkan kita dari sikap
berputus asa yang sangat dibenci oleh Allah.
“Sesungguhnya
tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir” (Yusuf: 87)
Semoga
Allah memberikan kemudahan kepada kita dan segenap hamba-Nya yang beriman untuk
bersama-sama mengumpulkan bekal bagi perjalanan kehidupan di dunia ini dan di
akhirat nanti. Dan sesungguhnya sebaik-baik bekal dalam hidup adalah rasa takut
kepada Dzat Pemilik hidup. Hanya milik Allahlah segala kebenaran, hidayah dan
taufiq. Semoga Allah segera meluruskan dan memberikan petunjuk-Nya jika
ternyata terdapat kesalahan faham dalam tulisan ini.
Wallaahu
a’lam.
Ibnu Anwar/www.eramuslim.com
No comments:
Post a Comment