Friday, January 17, 2014

Bekal Perjalanan


Dalam mengarungi kehidupan ini, manusia memiliki urusan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya, disertai karakter masing-masing yang beragam pula. Namun, pada hakikatnya semuanya memiliki kedudukan yang sama, yaitu sebagai makhluq berfikir yang memakmurkan bumi. Segenap kekayaan alam yang tersedia di dunia ini, jika direnungkan, maka sebenarnya itu semua adalah untuk manusia. Akal manusia mungkin akan pasti menolak jika ada yang memperbolehkan tindakan merenggut nyawa manusia lainnya, namun tampaknya tiada akal manusia yang melarang tindakan merenggut nyawa hewan ternak untuk dikonsumsi manusia itu sendiri. Yang demikian itu bukanlah karena manusia semena-mena atau tidak adil, melainkan karena memang demikianlah kenyataannya, bahwa segala yang ada di alam ini sesungguhnya disediakan untuk mereka. Dengan dianugerahi akal yang merupakan letak persamaan di antara mereka, manusia juga cenderung memiliki keperluan yang sama, yaitu mencari tahu makna dari keberadaan mereka di dunia ini.

Ketika kita berada di dalam sebuah kendaraan umum bermuatan puluhan orang yang sedang berjalan menuju ke suatu tempat, tentunya kita tahu dan pasti memegang alasan mengapa kita berada di dalam kendaraan tersebut. Kita mestinya sadar ke mana kita akan pergi, dan pastinya telah mempersiapkan diri untuk tiba di tempat tujuan, atau bahkan hingga sempat membayangkan gambaran tentang tempat yang sedang kita tuju tersebut. Namun, jika ternyata kita tidak tahu ke mana akan pergi, atau tak mengerti apa yang bahkan sedang kita lakukan di dalam kendaraan tersebut, maka mungkin saja kita sedang salah tempat, atau mungkin sedang tidak menyadari posisi dan keadaan diri kita sendiri, sehingga membutuhkan pemberitahuan ke mana sebenarnya arah tujuan kendaraan yang sedang kita tumpangi itu.

Jika sekedar kendaraan yang hanya berpenumpang puluhan orang saja kita perlu tahu dan harus memiliki alasan mengapa kita berada di dalamnya, maka tentunya kita juga harus lebih tahu alasan mengapa kita berada di dalam kendaraan yang berpenumpang seluruh ummat manusia ini, yaitu kendaraan kehidupan yang menghantarkan segenap penumpangnya menuju sebuah terminal yang bernama kematian. Jika kita pernah khawatir tentang cukup tidaknya bekal atau persiapan kita dalam menempuh perjalanan jauh ke sebuah tempat, mungkin semestinya kita harus lebih khawatir lagi tentang cukup tidaknya bekal dan persiapan kita dalam perjalanan hidup yang lebih besar ini, perjalanan besar sementara yang ternyata masih harus dilanjutkan dengan perjalanan lain yang lebih besar lagi, yaitu perjalanan akhirat yang kekal.

Dalam pandangan Islam, bekal yang harus disiapkan manusia untuk menempuh kedua perjalanan besar tersebut adalah bekal ibadah atau menyembah Allah, yang mana merupakan nilai inti dari kehidupan manusia di dunia ini. Di dalam al-Qur’an telah disebutkan sebuah ayat yang artinya:

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”(Adz-Dzariyat: 56)

Di antara para ulama terdapat perbedaan pendapat dalam menjelaskan arti menyembah atau ibadah dalam ayat tersebut. Namun makna yang tampaknya paling tepat di antara beragam pendapat yang ada adalah ibadah dalam artian mentaati segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya, sehingga makna ibadah di sini pun bukanlah sekedar kegiatan ritual saja, namun juga mencakup segala kegiatan non-ritual yang ada dalam kehidupan manusia, yang mana juga harus mengikuti aturan-Nya. Karena jika ibadah hanya diartikan sebagai kegiatan ritual semata, maka tentu kita akan harus meninggalkan urusan-urusan lain yang non-ritual, yang pastinya adalah tidak mungkin. Dan jika memang ibadah hanya diartikan sebagai pemenuhan kegiatan ritual semata, maka ketika ibadah tersebut telah dipenuhi, sewajarnya kita pun sudah tidak memiliki beban kewajiban lagi, karena memang perintah utama dalam hidup ini hanyalah untuk ibadah, sehingga di luar ibadah kita pun akan boleh berbuat apa saja, termasuk pelanggaran atau maksiat.

Oleh karena itu, untuk menyempurnakan pemahaman tentang makna ibadah tersebut, kita mungkin perlu memperhatikan ayat-ayat terkait lainnya. Dan di antara ayat-ayat tersebut adalah ayat yang artinya kurang lebih sebagai berikut:

“Katakanlah: ‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.’” (Ali Imran: 32)

Dari sini mungkin telah jelas bahwa perintah Allah kepada manusia dalam hidup mereka adalah untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya dalam segala urusan. Dan dengan demikian makna ibadah yang dimaksud telah menjadi utuh, yaitu bahwa segala perintah Allah dan Rasul-Nya haruslah ditaati sebagai wujud pelaksanaan ibadah tersebut. Dan ketika manusia berpaling dari ketaatan tersebut, maka itu akan berarti pelanggaran terhadap ibadah.

Dari keterangan tersebut, kita mungkin bisa memahami bahwa segala aspek dalam kehidupan kita, baik yang ritual maupun non-ritual, sesungguhnya adalah media ibadah atau sarana pengabdian kepada Allah. Maka dari itu, sebenarnya kegiatan-kegiatan yang tampak remeh sekalipun, misalnya seperti duduk, berdiri, berbaring, bergerak, diam, berjalan, dan seterusnya, pada dasarnya akan dapat bernilai ibadah jika memang telah disertai niat untuk ibadah, karena pada kenyataannya semua itu adalah bagian yang juga tak terpisahkan dari hidup kita. Namun jika kegiatan-kegiatan tersebut tidak disertai niat dan kesadaran yang semacam itu, maka mungkin nilainya pun hanya akan sebatas rutinitas yang biasa saja. Karena sesungguhnya segala amal perbuatan akan menyesuaikan dengan niatnya. Dengan demikian, ketika kita misalnya sedang duduk menunggu, berdiri antri, diam karena terjebak macet, dan seterusnya, selama bukan kegiatan yang terlarang dan bukan sedang menuju yang terlarang, maka semuanya itu akan bisa bermakna ibadah jika diniatkan demikian.

Dan jika memang kegiatan yang terlihat remeh saja bisa berbuah kebaikan dan bermakna ibadah, maka tentunya terlebih lagi dengan kegiatan yang manfaatnya lebih jelas terasa, misalnya makan, minum, olahraga, belajar, mengerjakan tugas, dan seterusnya. Sehingga ketika kegiatan-kegiatan tersebut disertai kehadiran niat untuk beribadah, maka tentu akan lebih utama lagi nilainya di sisi Allah. Berbeda halnya jika semua kegiatan itu berlalu tanpa disertai niat untuk ibadah, yang mana mungkin saja akan menjadi amal yang sifatnya baik, namun hanya sekedar baik, tanpa disertai keutamaan nilai lainnya. Dan kita tentunya mengakui bahwa kita hanyalah manusia biasa yang untuk bisa senantiasa memaknai segala kegiatan rutin tersebut sebagai ibadah adalah cukup sulit, karena kita juga cenderung sering lengah. Namun bagaimanapun, kita tetap bisa berusaha semampunya. Dan demikianlah perbedaan antara ketika kita sekedar melaksanakan kegiatan sebagai rutinitas, dengan ketika kita dianugerahi kesadaran memaknai dalam melaksanakan kegiatan tersebut. Seperti misalnya ketika kita melaksanakan shalat dengan rukun yang sempurna namun belum disertai khusyu’ yang sempurna, yang mana mungkin saja shalat kita akan menjadi sah dan diterima sebagai amal baik, namun sekedar menjadi penggugur beban kewajiban semata, dan kita pun belum mendapat keberuntungan karena belum dianugerahi khusyu’ di dalam melaksanakannya.

Demikian juga misalnya ketika seseorang merasa kasihan melihat seekor kucing yang kelaparan, lalu dengan nalurinya dia lantas memberinya makan hingga rasa laparnya itu hilang, namun tanpa disertai kehadiran niat ibadah untuk Allah, maka amal kebaikannya tersebut akan tetap dinilai dan diterima oleh Allah sebagai kebaikan, dengan syarat orang tersebut telah memiliki iman. Karena Allah sendiri telah berfirman di dalam al-Qur’an yang artinya:

“Maka barang siapa yang mengerjakan amal shalih (kebaikan), sedangkan ia beriman, maka tidak ada pengingkaran terhadap amalannya itu dan sesungguhnya Kami menuliskan amalannya itu untuknya” (Al-Anbiya’: 94)

Dalam contoh amal tersebut, kita tidak diwajibkan menghadirkan niat ibadah untuk Allah, karena memang jika benar-benar wajib, maka sepertinya amal tersebut dan banyak amal lain yang semacamnya akan tertolak. Karena amal yang terdorong oleh naluri tentu biasanya akan tanpa didahului oleh kesiapan menata niat ataupun proses berfikir panjang. Dan karena itulah, mungkin saja istilah naluri adalah makna lain dari sebuah kehendak otomatis atau ‘niat alami’ yang mana tak perlu disiapkan ataupun ditata terlebih dahulu. Sehingga ketika orang yang memberi makan kucing tersebut tidak menghadirkan niat ibadah untuk Allah sekalipun, dan hanya terdorong oleh naluri kebaikannya semata, amal perbuatannya itu pun tetap diterima sebagai amal kebaikan, karena nalurinya adalah naluri kebaikan yang disertai iman. Dan hanya Allahlah yang lebih mengetahui hakikatnya. Namun jika orang tersebut ternyata juga menghadirkan niat untuk Allah, maka niscaya nilainya pun akan lebih baik dan lebih utama, karena ketika itu dia telah menghadirkan ingatannya tentang Allah. Sedangkan mengingat Allah adalah merupakan keberuntungan yang tersendiri. Dan ini dapat diperjelas dengan penggalan sebuah ayat yang artinya sebagai berikut:

“… dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung.” (Al-Jumu’ah: 10)

Demikianlah, dan memang amal kebaikan yang hanya berdasarkan naluri, kebiasaan ataupun rutinitas, tentu sifatnya akan berbeda dengan amal kebaikan yang hingga disertai hadirnya perasaan diperhatikan, disaksikan atau diawasi oleh Allah. Di samping itu, naluri kebaikan pun pada dasarnya tak hanya dimiliki oleh orang-orang yang beriman, melainkan juga dimiliki oleh mereka yang tidak beriman. Sebagaimana naluri kebaikan yang dimiliki oleh paman Rasulullah (shallallaahu ‘alaihi wasallam), Abu Thalib, yang telah menjadi tameng yang melindungi beliau ketika kaum kafir berusaha mengganggu dan menyakiti. Namun, demikianlah naluri kebaikan dan rasa kasih sayang yang tak disertai iman, yang meskipun berupa tindakan tulus menolong manusia paling mulia di sisi Allah sekalipun, maka amal kebaikan tersebut masih tak dapat diterima di sisi-Nya. Demikianlah kebijaksanaan Allah, hingga pun terhadap sosok yang disayangi oleh hamba yang disayangi-Nya sendiri.

Di sinilah keberuntungan orang-orang yang beriman, yaitu bahwa segala macam keadaan apapun yang sedang dialaminya pada dasarnya dapat bernilai kebaikan dan ibadah untuk bekal perjalanan dunia dan akhirat mereka, selama memang diniatkan untuk ibadah atau pengabdian untuk Allah. Berbeda dengan mereka yang tidak beriman atau non-Muslim, yang bahkan segala kebaikan duniawi mereka pun tak akan berarti apa-apa di akhirat kelak, melainkan hanya mendapat balasan kebaikannya di dunia saja. Di sinilah mungkin perbedaan sudut pandang antara orang-orang yang beriman dengan mereka yang non-Muslim dalam memahami arti keberhasilan hidup yang sebenarnya.

Dalam pandangan Islam, keberhasilan yang sebenarnya bukanlah ketika segala bentuk kemudahan hidup dapat kita capai dan kita miliki, karena sebenarnya banyak juga bentuk kemudahan yang justru menjadi istidraj, yaitu keadaan di mana segenap kemudahan dunia mendekat, namun justru lebih menjauhkan kita dari Sang Pemberi kemudahan itu sendiri. Dan tentunya menurut Islam keberhasilan bukanlah demikian. Bahkan menurut Islam, justru keberhasilan dapat kita fahami sebagai sebuah usaha pemenuhan tugas yang telah dilaksanakan semampunya sesuai aturan Allah meskipun tampak ‘tidak berhasil’ sekalipun, sebagaimana usaha menyampaikan ajaran Allah yang dilakukan oleh para Nabi yang ternyata gugur dengan cara dibunuh, yang mungkin sebagian manusia akan menganggapnya sebagai bentuk ‘kegagalan’ dalam berusaha. Namun justru Islam menilai ‘kegagalan’ tersebut sebagai sebuah ‘keberhasilan’. Sehingga, di sini pun akan muncul pertanyaan, bagaimana bisa ‘keberhasilan’ justru diartikan sebagai sebuah usaha yang nyatanya ‘tidak berhasil’? Dan memang demikianlah makna keberhasilan menurut Islam, yaitu pencapaian ridha Allah, yang mana tak bisa dibaca dan diukur dengan mata kepala manusia. Hanya Allah dan pengakuan hati seseoranglah yang akan lebih bisa menjawab sejauh mana keberhasilan tersebut telah dicapai. Karena yang mengetahui isi hati seseorang hanyalah Allah dan pemilik hati itu sendiri.

Dan dalam memaknai sebuah keberhasilan pun, keberhasilan dalam arti yang lebih luas, kita tidak semestinya merasa bahwa ‘kemampuan’ yang ada pada diri kita adalah atas kehendak kita sendiri, hingga kita meyakini bahwa keberhasilan yang kita peroleh adalah disebabkan oleh ‘kemampuan’ diri sendiri. Memang yang demikian itu sepertinya akan tampak wajar dan sah-sah saja, namun sebenarnya tidaklah pantas. Karena pada dasarnya kita semua adalah sama, tidak pernah memiliki apa-apa. Semua yang ada pada diri kita hanyalah titipan dan pemberian, yang ada tanpa kita minta sebelumnya. Mereka yang berhasil adalah karena memang Allah berkehendak memberi mereka keberhasilan, dengan cara memampukan diri mereka, dan bukan sebaliknya, bahwa keberhasilan mereka adalah dikarenakan ‘kemampuan’ mereka sendiri. Sesungguhnya segala macam pencapaian yang ada pada manusia hanyalah karena memang Allah telah menghendakinya.

Dan keyakinan inilah yang akan membantu kita untuk tidak mudah membandingkan nasib, mengeluh, atau hingga merasa berkuasa atas ‘kemampuan’ diri sendiri. Karena pada dasarnya semua manusia adalah sama lemahnya jika bukan karena rahmat Allah, dan sama tersesatnya jika bukan karena hidayah-Nya. Semua manusia memiliki kelemahan atau kekurangan, dan kekurangan seseorang akan pasti ditutupi oleh kelebihan manusia lainnya, demi keutuhan dan keseimbangan bersama. Karena itulah kita mungkin pernah mendengar sebuah ungkapan yang dinisbatkan kepada Rasulullah (shallallaahu ‘alaihi wasallam) yang kurang lebih artinya sebagai berikut: “Kalian lebih tahu tentang urusan-urusan dunia kalian.” Ungkapan inilah yang mungkin merupakan bentuk kesadaran bahwa memang masing-masing dari kita memiliki peran tersendiri. Dan masing-masing pasti memiliki ruang kosong berupa kekurangan, agar justru diisi oleh kelebihan orang lain. Karena itulah, kita harus meyakini bahwa hanya atas rahmat Allah sajalah kita memiliki kapasitas masing-masing yang berbeda. Dan semuanya tetaplah merupakan keberuntungan selama disertai anugerah Allah berupa iman.

Jika mungkin sempat muncul lintasan hati yang cenderung mengajak kita untuk membandingkan nasib, mengeluh, atau hingga merasa berkuasa atas ‘kemampuan’ diri sendiri, maka sebenarnya itu adalah bisikan setan musuh nyata manusia, dan kita bisa menepisnya dengan segera beristighfar dan mengingat Allah, Dzat di balik segala kemampuan manusia, agar hati kita terhindar dari keburukan. Dan ketika kita merasa tak sanggup untuk menjaga hati, niat, amal, masa depan, sisa usia, dan segenap urusan kita, maka kita bisa menitipkan penjagaan itu semua ‘langsung’ kepada Allah, yang tentu lebih baik penjagaan-Nya. Karena memang ketika kita terlalu bersandar pada ‘kemampuan’ diri sendiri, atau terlalu kuat serta berlebihan bergantung pada hukum sebab-akibat, tanpa benar-benar menyadari adanya peran dan rencana Allah yang begitu halus dan pasti sesuai janji-Nya, maka kita mungkin akan lebih sering kecewa dalam urusan kita ketika mengalami kesulitan, atau mungkin hingga tak percaya ketika mendapati kenyataan yang ternyata di luar perhitungan kita. Karena itu, menyandarkan segalanya kepada Allah adalah pilihan yang selalu tepat, dan akan menghindarkan kita dari sikap berputus asa yang sangat dibenci oleh Allah.

“Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir” (Yusuf: 87)

Semoga Allah memberikan kemudahan kepada kita dan segenap hamba-Nya yang beriman untuk bersama-sama mengumpulkan bekal bagi perjalanan kehidupan di dunia ini dan di akhirat nanti. Dan sesungguhnya sebaik-baik bekal dalam hidup adalah rasa takut kepada Dzat Pemilik hidup. Hanya milik Allahlah segala kebenaran, hidayah dan taufiq. Semoga Allah segera meluruskan dan memberikan petunjuk-Nya jika ternyata terdapat kesalahan faham dalam tulisan ini.

Wallaahu a’lam.

Ibnu Anwar/www.eramuslim.com  

No comments:

Post a Comment