Thursday, January 16, 2014

Bekerja, tapi Tetap Miskin


Lembaga Penelitian Ilmu Pengetahuan (LIPI) menemukan bahwa kualitas pekerjaan di sebagian besar kesempatan kerja di Indonesia masih jauh dari layak.

Hal tersebut membuat penduduk Indonesia yang bekerja tetap tidak mampu keluar dari jerat kemiskinan atau sering disebut working poor.

Sebagian besar dari mereka ialah pekerja sektor informal yang tidak hanya tak punya perlindungan sosial, tapi penghasilannya juga pas-pasan.

Data awal penelitian LIPI didasari analisis tingkat kemiskinan dan rata-rata penghasilan pekerja di Februari 2012. Ternyata 57,17% dari pekerja formal masih hidup di bawah garis kemiskinan, mayoritas yang bekerja pegawai informal industri.

Di sektor formal pun masih ada yang hidup di bawah garis kemiskinan yakni 26,6%, kebanyakan yang bekerja di sektor perdagangan. Secara nasional 43,67% pekerja Indonesia ialah working poor.

Peneliti Kepala Tim Peneliti Pekerjaan Layak LIPI Nawawi Asmat menjelaskan data terbaru pun masih menunjukkan angka yang kurang lebih sama.

"Itu pun definisi pengangguran (oleh Badan Pusat Statistik/BPS) yang digunakan adalah yang bekerja kurang dari satu jam selama seminggu. Jadi kalau menggunakan indikator lain, misalnya dua jam atau lima jam seminggu, belum lagi menghitung disguised unemployment atau family worker, angkanya pasti akan naik," terang Nawawi pada wartawan.

Menurut estimasi LIPI, jika definisi pengangguran dihitung mereka yang bekerja di bawah dua minggu dalam sehari, jumlah pengangguran bisa melonjak hingga empat kali lipat. Sebagai gambaran, jumlah penganggur berdasarkan survei BPS Agustus 2013 ialah 7,39 juta orang. Jika standard dinaikkan, jumlah tersebut bisa melonjak menjadi 29,56 juta.

"Malah kalau diubah jadi pekerja dibayar, maka jumlah mengganggur semakin banyak lagi. Di negara lain itu yang tidak dibayar dianggap tidak bekerja," cetus Nawawi.

Atas dasar tersebut, tim LIPI kemudian melakukan penelitian lebih dalam selama tiga tahun untuk pekerja sektor informal. Mengapa menekankan pada informal, kata Nawawi, karena 59,58% pekerja Indonesia di survei Agustus 2013 ialah pekerja informal.

Konsep pekerjaan layak yang digunakan ialah berdasar pada konvensi International Labor Organization (ILO) 2005, yakni bahwa pekerjaan yang layak bukan hanya soal gaji, tapi mencakup empat dimensi: pemenuhan kesempatan kerja yang produktif dan adil, pemenuhan hak dan standard dalam tempat kerja, pemenuhan jaminan sosial, serta pemenuhan dialog sosial atau kesempatan berserikat.

Dari hasil temuan penelitian di lapangan, Nawawi menjelaskan, salah satu aspek yang sangat ditekankan adalah pada dimensi dialog sosial, yaitu mengenai kebebasan berasosiasi dan bagaimana negara berinteraksi dengan asosiasi pekerja informal tersebut.

"Yang penting adalah bagaimana pekerja informal bisa dijamin usahanya, misalnya penataan PKL (pedagang kaki lima). Ketika PKL diorganisasi, asosiasi ini media dialog sehingga jadi titik temu. Dari yang saya temui, mereka sebenarnya ingin sekali diajak dialog oleh pemerintah. Dan ini bisa diatur," ujar Nawawi seraya merujuk pada bagaimana bekas walikota Solo Joko Widodo mengatur PKL.
Jokowi juga melakukan hal yang sama ketika mengatur PKL di Tanah Abang ketika ia menjabat gubernur DKI Jakarta.

Bagaimana memperkuat sektor informal, lanjut Nawawi, lebih penting daripada membahas kenaikan upah minimum yang terlalu tinggi. Sebab, upah minimum sama sekali tidak mempengaruhi kehidupan pekerja sektor informal.

"Penataan dan pemberian fasilitas bagi mereka itu penting," ujar Nawawi. "Pemda harus mengubah paradigma bahwa sektor informal itu sumber masalah. Mereka harus dilihat sebagai potensi."

Temuan lain yang juga disampaikan, di kota indikator keberlangsungan pekerjaan dan pendapatan menjadi faktor paling signifikan menentukan kelayakan pekerjaan.

Sementara di desa, indikator paling utama adalah ketersediaan pekerjaan, di mana semakin banyak alternatif pekerjaan tambahan akan dipandang lebih baik.

Sedangkan indikator upah dianggap bersifat given. Temuan tersebut harusnya bisa menjadi masukan untuk regulasi yang tepat memperkuat sektor informal di perkotaan dan perdesaan.

Penguatan sektor informal dipercaya bisa membantu pengentasan kemiskinan. Sebab, penguatan PKL bisa mendorong efek ganda perekonomian.

"Makanya menurut saya concern pemerintah seharusnya tidak hanya pada investasi besar dari asing. FDI (foreign direct investment) itu penting, tapi yang juga jangan ditinggalkan adalah sektor informal," kata Nawawi.

Sedangkan, untuk dimensi jaminan sosial, Nawawi mengapresiasi pendirian Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan dan ketenagakerjaan.

BPJS I yang beroperasi mulai tahun ini serta BPJS II yang akan dimulai pada 2015 dianggap sebagai terobosan yang cukup besar untuk penyediaan jaminan sektor informal. (Gayatri/www.metrotvnews.com)

No comments:

Post a Comment