Lembaga Penelitian Ilmu Pengetahuan (LIPI) menemukan bahwa kualitas pekerjaan di sebagian besar kesempatan kerja di Indonesia masih jauh dari layak.
Hal tersebut
membuat penduduk Indonesia yang bekerja tetap tidak mampu keluar dari jerat
kemiskinan atau sering disebut working poor.
Sebagian
besar dari mereka ialah pekerja sektor informal yang tidak hanya tak punya
perlindungan sosial, tapi penghasilannya juga pas-pasan.
Data awal
penelitian LIPI didasari analisis tingkat kemiskinan dan rata-rata penghasilan
pekerja di Februari 2012. Ternyata 57,17% dari pekerja formal masih hidup di
bawah garis kemiskinan, mayoritas yang bekerja pegawai informal industri.
Di sektor
formal pun masih ada yang hidup di bawah garis kemiskinan yakni 26,6%,
kebanyakan yang bekerja di sektor perdagangan. Secara nasional 43,67% pekerja
Indonesia ialah working poor.
Peneliti
Kepala Tim Peneliti Pekerjaan Layak LIPI Nawawi Asmat menjelaskan data terbaru
pun masih menunjukkan angka yang kurang lebih sama.
"Itu
pun definisi pengangguran (oleh Badan Pusat Statistik/BPS) yang digunakan
adalah yang bekerja kurang dari satu jam selama seminggu. Jadi kalau
menggunakan indikator lain, misalnya dua jam atau lima jam seminggu, belum lagi
menghitung disguised unemployment atau family worker, angkanya pasti akan
naik," terang Nawawi pada wartawan.
Menurut
estimasi LIPI, jika definisi pengangguran dihitung mereka yang bekerja di bawah
dua minggu dalam sehari, jumlah pengangguran bisa melonjak hingga empat kali
lipat. Sebagai gambaran, jumlah penganggur berdasarkan survei BPS Agustus 2013
ialah 7,39 juta orang. Jika standard dinaikkan, jumlah tersebut bisa melonjak
menjadi 29,56 juta.
"Malah
kalau diubah jadi pekerja dibayar, maka jumlah mengganggur semakin banyak lagi.
Di negara lain itu yang tidak dibayar dianggap tidak bekerja," cetus
Nawawi.
Atas dasar
tersebut, tim LIPI kemudian melakukan penelitian lebih dalam selama tiga tahun
untuk pekerja sektor informal. Mengapa menekankan pada informal, kata Nawawi,
karena 59,58% pekerja Indonesia di survei Agustus 2013 ialah pekerja informal.
Konsep
pekerjaan layak yang digunakan ialah berdasar pada konvensi International Labor
Organization (ILO) 2005, yakni bahwa pekerjaan yang layak bukan hanya soal
gaji, tapi mencakup empat dimensi: pemenuhan kesempatan kerja yang produktif
dan adil, pemenuhan hak dan standard dalam tempat kerja, pemenuhan jaminan
sosial, serta pemenuhan dialog sosial atau kesempatan berserikat.
Dari hasil
temuan penelitian di lapangan, Nawawi menjelaskan, salah satu aspek yang sangat
ditekankan adalah pada dimensi dialog sosial, yaitu mengenai kebebasan
berasosiasi dan bagaimana negara berinteraksi dengan asosiasi pekerja informal
tersebut.
"Yang
penting adalah bagaimana pekerja informal bisa dijamin usahanya, misalnya
penataan PKL (pedagang kaki lima). Ketika PKL diorganisasi, asosiasi ini media
dialog sehingga jadi titik temu. Dari yang saya temui, mereka sebenarnya ingin
sekali diajak dialog oleh pemerintah. Dan ini bisa diatur," ujar Nawawi
seraya merujuk pada bagaimana bekas walikota Solo Joko Widodo mengatur PKL.
Jokowi juga
melakukan hal yang sama ketika mengatur PKL di Tanah Abang ketika ia menjabat
gubernur DKI Jakarta.
Bagaimana
memperkuat sektor informal, lanjut Nawawi, lebih penting daripada membahas
kenaikan upah minimum yang terlalu tinggi. Sebab, upah minimum sama sekali
tidak mempengaruhi kehidupan pekerja sektor informal.
"Penataan
dan pemberian fasilitas bagi mereka itu penting," ujar Nawawi. "Pemda
harus mengubah paradigma bahwa sektor informal itu sumber masalah. Mereka harus
dilihat sebagai potensi."
Temuan lain
yang juga disampaikan, di kota indikator keberlangsungan pekerjaan dan
pendapatan menjadi faktor paling signifikan menentukan kelayakan pekerjaan.
Sementara
di desa, indikator paling utama adalah ketersediaan pekerjaan, di mana semakin
banyak alternatif pekerjaan tambahan akan dipandang lebih baik.
Sedangkan
indikator upah dianggap bersifat given. Temuan tersebut harusnya bisa menjadi
masukan untuk regulasi yang tepat memperkuat sektor informal di perkotaan dan
perdesaan.
Penguatan
sektor informal dipercaya bisa membantu pengentasan kemiskinan. Sebab,
penguatan PKL bisa mendorong efek ganda perekonomian.
"Makanya
menurut saya concern pemerintah seharusnya tidak hanya pada investasi besar
dari asing. FDI (foreign direct investment) itu penting, tapi yang juga jangan
ditinggalkan adalah sektor informal," kata Nawawi.
Sedangkan,
untuk dimensi jaminan sosial, Nawawi mengapresiasi pendirian Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan dan ketenagakerjaan.
BPJS I yang
beroperasi mulai tahun ini serta BPJS II yang akan dimulai pada 2015 dianggap
sebagai terobosan yang cukup besar untuk penyediaan jaminan sektor informal.
(Gayatri/www.metrotvnews.com)
No comments:
Post a Comment