Medan
yang berat bukan halangan untuk pengabdian melayani dan merawat kesehatan
ibu-ibu di Distrik Arso Timur. Karena, ibu-ibu itu harus diberdayakan.
Postur tubuhnya sedang-sedang saja dan langsing.
Sopan serta murah senyum. Itulah kesan awal manakala kita bersua dengan ibu bidan
yang satu ini. Ia adalah Octovina Reba (akrab disapa Ibu Bonay), anak dari
pasangan Hofni Reba (mendiang) dan Paulina Arobaya.
Ia biasa berjalan kaki dari kampung ke kampung di
Distrik Arso Timur, Kabupaten Keerom, Provinsi Papua, melayani dan merawat kesehatan
ibu-ibu. Memanggul peralatan kesehatan dan menjinjing tas obat-obatan; bermandi
hujan, melintasi lumpur rawa-rawa, kaki tertusuk duri, kulit digigit lintah dan
nyamuk. Melawan alam yang kadang tidak ramah. “Itu bukan hambatan, karena saya
tahu itu talenta yang Tuhan berikan kepada saya untuk melayani masyarakat di Distrik
Arso Timur,” papar Ibu Bonay.
Lantaran demikian banyak pekerjaan dan kegiatan,
ibu dari Grace Malanesia Putri Bonay dan Alan Hofni Putra Bonay ini pun jarang menemani
kedua anaknya. Kadang kala ia pergi saat kedua buah hatinya itu masih tertidur
dan pulang saat mereka sudah pulas. Beruntung mereka memahami pekerjaan kedua
orang tua.
Persoalan jarak, waktu dan kesulitan medan tak ia
pandang sebagai alasan untuk mengelak dari tanggung jawab terhadap pelayanan
dan perawatan kesehatan warga di kampung-kampung yang jauh. Ia menganggap
pekerjaaannya sebagai sebuah seni. Karena, katanya, kampung-kampung merupakan
tolok ukur pelayanan, ke sanalah orang harus berkiprah langsung. Bukan di kota,
kabupaten atau provinsi.
Kecintaan untuk melayani masyarakat tetap melekat
pada ibu dua orang anak ini. Pelayanan kesehatan terus dilakukan dengan
berkeliling dari kampung ke kampung di Distrik Arso Timur. Untuk tugas itu, ia sampai
rela berjalan kaki ke kampung-kampung kecil yang belum bisa dilalui kendaraan,
baik roda dua maupun roda empat. Kadang kala ia dan suami pulang malam hari;
berjalan di tengah hutan belantara hanya menggunakan senter.
Sebab, begitulah kenyataan umum di Tanah Papua yang
akan dihadapi oleh siapa saja yang memilih pekerjaan atau profesi seperti
dirinya. Beruntunglah ia punya suami yang sama-sama suka dan terbiasa dengan
pekerjaan yang menantang. Bukan sesuatu yang luar biasa, jika keduanya saling
mendukung pekerjaan masing-masing.
Melayani
Sebagai Pengabdian
Sebagai “abdi masyarakat”, ketika sang suami yang
Kepala Distrik Arso Timur berjalan kaki untuk mensosialisasikan progam-program
pemerintah, atau sekadar mengunjungi warga di kampung-kampung, sang isteri
mendampingi untuk memeriksa kesehatan dan melakukan pengobatan warga yang
disambangi.
Begitu pula sebaliknya, jika isteri yang punya
jadwal pengobatan di kampung-kampung tertentu, suami mengiringi untuk bertatap
muka dengan warga seraya mendengarkan langsung kebutuhan mereka.
Selain sebagai perawat dan bidan, Ibu Bonay juga
menjabat sebagai Ketua PKK Distrik Arso Timur. Lantaran perjalanan ‘turkam’
yang sering dilakukan bersama sang suami atau dengan tim kesehatan, ia sangat
akrab dengan persoalan utama yang dihadapi warga di kampung-kampung di wilayah Distrik
Arso Timur. Ia menilai buruknya kondisi kesehatan dan pendidikan di
kampung-kampung disebabkan masih minimnya perhatian pemerintah dan warga
kampung tidak dilibatkan.
“Mereka tidak diberdayakan, selama ini mereka
tidak banyak tersentuh pembangunan. Di sana, kesehatan ibu hamil sangat
memprihatinkan,” kata ibu dari Alan Hofni Putra Bonay ini.
Apalagi, katanya lebih lanjut, Distrik Arso Timur
merupakan distrik pemekaran yang belum seberapa umurnya yang sudah pasti sangat
tertinggal. Distrik yang banyak membutuhkan perhatian dari Pemerintah Kabupaten
Keerom.
Dari 11 kampung yang ada di Distrik Arso Timur,
tujuh kampung adalah kampung pemekaran baru. Sementara empat lainnya merupakan
kampung-kampung yang sudah lama dibuka saat Distrik Arso belum dimekarkan.
Ketujuh kampung itulah yang lebih difokuskan perhatian pelayanan kesehatan.
Ibu Bonay lahir dan besar di Kampung Dawai, Serui,
pada 15 April 1973. Ia masuk Sekolah Dasar Inpres Dawai. Tamat pada 1986. Lalu
melanjutkan ke SMP Negeri 2 Serui. Selesai 1989. Bercita-cita menjadi perawat,
ia memilih masuk di Sekolah Pendidikan Keperawatan (SPK) Jayapura. Lulus pada
1992.
Ia melanjutkan lagi pendidikan ke Diploma Kebidanan
selama setahun. Tamat pada 1993. Ia langsung bertugas sebagai bidan di Kampung
Waren (Serui). Lalu ia pindah ke salah satu Puskesmas di Serui Kota dan
bertugas di sana hingga 1996. Kemudian ia pindah lagi, dan kini ke Arso
mengikuti sang suami, Nathan Bonay, yang kini Kepala Distrik Arso Timur.
Di Arso Timur, Octovina bertugas di Puskesmas
Distrik Arso (kini Distrik Skanto) yang semula berada dalam wilayah
pemerintahan Kabupaten Jayapura. Dengan pengetahuan medis yang diperolehnya, ia
berupaya melayani masyarakat di sini dengan baik.
Ketika Kabupaten Jayapura dimekarkan dan
melahirkan Kabupaten Keerom, Distrik Arso masuk ke dalam wilayah Kabupaten
Keerom. Sang suami ditarik dan ditempatkan di BPMD (Badan Penanaman Modal Daerah)
Kabupaten Keerom. Tak lama kemudian, sang suami ditugaskan sebagai Kepala Distrik
Arso Timur hingga kini. Karena mengikuti suami, Octovina pun pindah ke Distrik
Arso Timur.
Membimbing
yang ‘Gelap Kesehatan’
Ibu yang menggemari olah raga voli ini mengatakan,
taraf pendidikan kaum perempuan di tujuh kampung dalam wilayah Distrik Arso
Timur memang masih sangat rendah. Warga di sini belum memahami arti penting
kesehatan dan bagaimana hidup sehat. Ibu hamil dan balita banyak kekurangan
gizi. Rendahnya tingkat pendidikan, sebagian, dipengaruhi oleh kondisi politik
dulu yang menyebabkan mereka kehilangan kesempatan menempuh pendidikan.
“Perempuan dan anak-anak merupakan pilar
pembangunan. Kualitas hidup mereka menentukan kualitas bangsa. Ini yang harus
kita perjuangkan,” katanya.
Untuk memperbaiki kondisi kesehatan, terutama ibu
dan anak, di Distrik Arso Timur perlu dilengkapi pos pelayanan terpadu (Posyandu)
--sarana pelayanan kesehatan yang paling dekat dengan masyarakat kampung. Jika
upaya itu sudah dipenuhi, maka langkah selanjutnya adalah melatih para ibu
rumah tangga yang minim pengetahuan kesehatan sebagai kader Posyandu. Mereka
ini yang akan menjalankan Posyandu.
Kendati di atas kertas sudah ada PKK di Distrik Arso
Timur, namun program-programnya belum jalan. Dana pemberdayaan kampung (10
persen bagian untuk PKK) sampai saat ini belum dikucurkan. Padahal, menurut
Octovina, dengan dana ini memungkinkan dilakukan peningkatan pelayanan
kesehatan ibu di Distrik Arso Timur. (suaraperempuan.papua.wordpress.com)
Ibu-ibu
yang Memprihatinkan
Maria Ajopave (20) menggendong putra pertamanya yang
baru berumur enam bulan. Hidung anak itu terus mengeluarkan ingus, dan menangis
lantaran demam. ”Sudah sebulan dia sakit. Saya sudah bawa ke puskesmas di
Kebar, tapi belum sembuh juga,” ujar Maria usai berobat gratis dari balai pengobatan
di Distrik Senopi, Kabupaten Tambrauw, Provinsi Papua Barat, yang digelar
Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI) Sanggeng, Manokwari, awal Desember
2011.
Siang itu, lebih dari 20 ibu membawa anak-anak
mereka untuk diperiksa dokter yang didatangkan dari Manokwari. Selama ini
mereka jarang ke puskesmas atau rumah sakit guna mendapat pelayanan dari dokter
karena tak ada di Distrik Senopi, atau Distrik Kebar, distrik terdekat. Sudah
dua tahun tidak ada dokter yang bertugas di wilayah itu.
Bahkan, pelayanan imunisasi di puskesmas pembantu,
kata Petrus Yewen, mantri di Distrik Senopi, sudah hampir tujuh bulan tak
dilakukan karena kehabisan stok obat dan belum dikirim dari Dinas Kesehatan
kabupaten setempat. Anak balita yang akan diimunisasi harus pergi ke Kebar,
berjarak 20 km, atau Manokwari berjarak 220 km.
Umumnya, ibu dan anak yang datang ke pengobatan
gratis itu menderita sakit saluran pernapasan dan malaria. Hal ini disebabkan
buruknya sanitasi dan kebersihan tempat tinggal, serta minimnya pemahaman
kesehatan ibu-ibu sehingga belum bisa melakukan pencegahan. Hal ini pula yang
terjadi pada kesehatan ibu hamil dan mempunyai anak balita.
Tahun 2011, menurut Petrus, ada dua anak balita
meninggal setelah dilahirkan dan seorang ibu meninggal usai melahirkan. Satu
bayi di Kampung Abogiar, meninggal dalam kandungan, dan satu bayi berusia satu
bulan juga meninggal di Kampung Afrawi. Kedua bayi yang meninggal itu diduga
akibat kurang gizi. Sementara ibu yang meninggal setelah bersalin karena
pendarahan akibat anemia. Tahun sebelumnya terjadi kasus serupa, seorang bayi
meninggal setelah dilahirkan.
Meski sudah ada bidan desa, perhatian ibu-ibu di
kampung terhadap janin dalam kandungan atau bayinya masih kurang. Itu karena
sosialisasi kesehatan ibu dan anak jarang dilakukan dan warga hanya datang ke
puskesmas saat sakit.
Fasilitas sepeda motor dinas milik puskesmas
pembantu setempat pun rusak sejak setahun lalu, sehingga mantri dan bidan tak
bisa secara optimal melayani 1.500 jiwa penduduk di distrik itu.
Sria Riawan (23), bidan desa di Puskesmas
Minyambauw, mengatakan, ibu hamil di kampung kerap terlambat berobat. Bahkan,
bidan dipanggil setelah terjadi masalah pada proses persalinan. Akibatnya,
pertolongan yang diberikan terlambat karena pendarahan sudah terjadi.
”Tenaga medis datang lebih dari dua jam, atau
melebihi batas rata-rata waktu selamat saat pendarahan. Hal ini karena ibu
hamil jarang memeriksa kandungannya dan tidak mengetahui komposisi asupan gizi
yang baik baginya,” kata Sria. (tribunmanado.co.id)
No comments:
Post a Comment