Friday, January 3, 2014

Detik-detik Khalifah Ali bin Abi Thalib Ketika Menjelang Ajal



Masalah perang Siffin belum kelar. Ditambah lagi peristiwa tahkim antara khalifah Ali r.a. dan Muawiyah. Serta kemunculan kelompok Khawarij yang telah membunuh khalifah Ali r.a. dalam perang Nahrawan.
Setelah itu, permasalahan kekhalifahan menjadi rumit. Pasukan bergoncang. Padahal mereka adalah orang-orang terbaik saat itu. Mereka orang yang paling taat beribadah, zuhud, dan yang paling takut kepada Allah dibandingkan umat Islam sesudah mereka. Akan tetapi mereka mengkhianati Sayyidina Ali sebagai pemimpin mereka. Mereka juga meninggalkannya. Sampai-sampai mereka membenci hidup yang telah dikaruniakan kepada mereka dan mengharapkan akan datangnya kematian. Hal itu dikarenakan banyaknya fitnah dan malapetaka yang terjadi waktu itu.[1]
Setelah terjadi banyak fitnah, khalifah Ali kembali dan menetap di kota Kufah. Ia tinggal di sana sejenak. Rasa takut pun turut menghampiri kelompok Khawarij semenjak perang Nahrawan.
Zaid bin Wahbah mengatakan, “Sekelompok kaum Khawarij dari kota Basrah mendatangi khalifah Ali. Salah seorang di antara mereka yang bernama Ja’d bin Na’jah berkata, ‘Bertakwalah kepada Allah wahai Ali, sungguh engkau akan mati’. Ali menjawab, ‘Merekalah yang akan diwarnai dengan ini (pedang). Walaupun mereka termasuk orang-orang yang menepati janjinya dan melaksanakan kewajibannya. Namun, barangsiapa yang berbuat fitnah, maka ia akan menyesal.”
Setelah mendengar perkataan Sayyidina Ali, Ja’d langsung menyerang beliau dengan mencela pakaiannya. Ia berkata, “Bagaimana pakaianmu dengan pakaianku? Pakaianku jauh lebih besar. Sementara pakaian yang engkau kenakan itu hanya cocok untukmu dibandingkan orang-orang Muslim lainnya.”[2]
Salah satu pemuka kaum Khawarij yang bernama Abdurrahman bin Muljam berada di belakang beliau saat perdebatan itu terjadi. Ia termasuk orang yang berkhianat pada beliau. Karena pada awalnya ia merupakan salah satu pengikut beliau dari kota Kufah. Ia turut andil pula dalam perang Siffin. Ia juga ahli ibadah. Namun, sebelum memeluk agama Islam, ia adalah salah seorang ahlul kitab. Di saat seperti itu, ia mencari celah untuk membunuh khalifah Ali. Kita selalu berlindung kepada Allah dari cara meninggal buruk semacam ini.
Ketika fitnah kepada khalifah Ali telah menyebar dan banyak terjadi perselisihan antar-sahabat, Abdurrahman bin Muljam mendapatkan titah untuk membunuh Sayyidina Ali. Di saat khalifah Ali sedang mengumandangkan adzan dan ingin mengucapkan lafazhحَيَّ عَلَي الصَّلَاةِ) ), Ibn Muljam melihat situasi melalui pintu masjid yang mengarah ke pasar. Ia kemudian berdiri di luar di balik pintu itu. Ketika khalifah Ali keluar dari masjid, tiba-tiba saja Ibn Muljam yang berada di balik pintu tersebut langsung melayangkan pedang ke kepala beliau. Sehingga Ali tak bisa mengelak dari sabitan pedang Ibn Muljam. Syahdan, kepala Ali pun terkoyak dan terluka parah. Para sahabat lain yang mengetahui peristiwa itu kemudian langsung berteriak, “Amirul Mukminin telah dibunuh.”
Para sahabat yang berada di sekitar masjid lantas menangkap Ibn Muljam dan membawanya serta merampas pedang dari tangannya. Khalifah Ali mampu bertahan hidup dan menghembuskan nafas terakhirnya pada malam harinya.
Mereka akhirnya memotong kedua tangan dan kaki Ibn Muljam. Mereka juga tak segan untuk mencongkel kedua matanya. Setelah itu mereka dengan perlahan membakar tubuh Ibn Muljam yang masih tersisa.[3]
Terlihat jelas melalui kabar ini bahwa pembunuh khalifah Ali adalah Ibn Muljam. Tapi bila kita agak jeli memperhatikan kabar-kabar lain, maka kita akan menemukan sekutunya ketika mengerjakan perbuatan keji ini.
Hilal bin Yusaq pernah meriwayatkan bahwa khalifah Ali pergi ke masjid untuk menunaikan shalat Subuh seraya membangunkan para sahabat yang lain, “Bangun.. bangun..! Ayo shalat..!”
Setelah memasuki waktu subuh, Sayyidina Ali menunaikan shalat. Di saat yang sama, ada dua orang yang telah mendahului beliau tiba di masjid. Yang pertama adalah Ibn Muljam, sedangkan yang kedua adalah Syabib bin Bajrah al-‘Asyja’i. Tiba-tiba saja mereka berdua langsung menyerang beliau secara bersamaan. Salah satu pukulan mereka mengenai kepalanya, dan satunya lagi meleset. Melihat beliau roboh, secara cepat Syabib mengajak Ibnu Muljam segera melarikan diri. Sebelum melarikan diri jauh, mereka melihat bahwa beberapa sahabat langsung mendatangi Sayyidina Ali di tempat kejadian dan sebagian di antara mereka berkata, “Ia (khalifah Ali) tidak apa-apa.”
Ibn Muljam berkata, “Siapa di antara orang-orang itu yang akan menangis? Aku telah menaburi racun dalam pedangku sejak dua bulan yang lalu. Aku telah memukulnya dengan sekali pukulan dari pedang itu. Aku masih bisa merobohkan seluruh orang Arab dengan pedangku ini jika aku mau.”
Dari kabar ini, kita menemukan dua orang yang menyerang khalifah Ali saat sedang menyeru umat untuk melaksanakan shalat. Ia adalah Ibn Muljam yang menyerang Ali dengan mengenai bagian kepalanya. Adapun penyerang kedua yang tak lain adalah Syabib, pedangnya meleset ketika melakukan penyerangan terhadap Ali.
Setelah melakukan perbuatan keji itu, mereka mencoba kabur. Tapi orang-orang di sekitar masjid telah mengepung mereka dari segala penjuru. Akhirnya Ibn Muljam tertangkap. Namun Syabib bisa melarikan diri.[4]
Setelah khalifah Ali wafat dan dikuburkan, Abdullah bin Ja’far berdiri melaksanakan eksekusi Ibn Muljam. Ia memulai eksekusi dengan memotong kedua tangannya, kemudian kedua kakinya, serta mencongkel kedua matanya. Dan yang terakhir membakarnya.
Saat menshalati jenazah khalifah Ali, Hasan yang mengimaminya. Mereka menshalatinya dengan empat takbir. Setelah itu beliau dikuburkan di tanah lapang yang terletak di kota Kufah. Tempat itu meliputi berbagai pintu Kindah di samping masjid yang biasa digunakan untuk shalat jamaah.
Kemudian Hasan segera pergi meninggalkan persemayaman ayahnya dan menyeru umat untuk membaiat dirinya sebagai khalifah. Maka mereka pun membaiatnya.[5]
Seperti inilah gambaran perjalanan khalifah Ali semasa hidupnya. Dan sekarang ini, beliau tetap hidup di alam barzakh bersama para syuhada, orang-orang yang dapat dipercaya (siddîqîn) dan mereka yang banyak berbuat amal saleh. Semoga mereka semua selalu diberi kebaikan oleh Allah SWT.
Harits bin Makhsya pernah mengatakan, “Khalifah Ali terbunuh di pagi hari pada tanggal 21 Ramadhan. Saat itu aku mendengar Hasan mengatakan dalam khutbahnya sambil mengingat manaqib Ali, ‘Ia terbunuh di malam Al-Qur’an diturunkan. Malam diangkatnya Nabi Isa ke langit. Dan, malam wafatnya Nabi Musa. Setelah itu Hasan menshalatkan jenazah ayahnya.[6]
Adapun kabar yang paling lengkap dan jelas yang menceritakan peristiwa ini adalah hadits yang diriwayatkan al-Sady dan lainnya. Dalam riwayat ini, mereka mengatakan, “Orang-orang Khawarij itu mengutus tiga orang, yaitu Abdurrahman bin Muljam al-Muradi yang berasal dari Hamir. Ia sejajar dengan orang Murad. Ia juga menjadi sekutu Bani Jablah dari Kindah. Yang kedua adalah al-Barak bin Abdullah al-Tamimi dan yang terakhir adalah Amru bin Bakir al-Tamimi. Mereka berkumpul di kota Makkah. Mereka saling mengikat janji dan bersepakat membunuh tiga orang: Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Amru bin Ash.”
Saat musyawarah sedang berlangsung, Abdurrahman bin Muljam mengatakan, “Akulah yang akan membunuh Ali.” Barak juga berkata, “Mu’awiyah bagianku.” Dan Amru bin Bakir berkata, “Cukuplah Amru bin Ash untukku.” Mereka bersepakat melaksanakan rencana yang mereka susun. Mereka saling meneguhkan dan menguatkan niat agar tidak ada salah satu di antara mereka yang mundur. Setiap dari mereka harus tetap berjuang hingga sasaran mereka terbunuh atau malah mereka yang terbunuh. Mereka mulai mengoperasikan rencana pada malam 17 Ramadhan. Mereka menuju ke tempat tiap sasaran masing-masing. Abdurrahman bin Muljam menuju kota Kufah dengan menemui beberapa kawan dari kelompok Khawarij. Mereka kemudian menyembunyikan Ibn Muljam seperti yang mereka rencanakan. Mereka pun saling mengunjungi satu dengan lainnya.
Suatu hari, ada rombongan dari Taim Ribab yang datang berkunjung kepada mereka. Ibn Muljam melihat salah seorang perempuan dalam rombongan tersebut yang bernama Qutam binti Sajnah bin Adi. Khalifah Ali adalah orang yang telah membunuh bapak dan kakak dari perempuan tersebut pada saat perang Nahrawan. Ibn Muljam pun kaget mendengar berita tentang perempuan itu. Ia lalu melamarnya. Saat dilamar, perempuan itu bilang, “Aku tidak mau engkau nikahi kecuali jika engkau memberi apa yang aku minta.” Ia menjawab, “Aku akan memberi semua yang engkau minta.” Perempuan itu membalas, “Aku minta uang sebesar 3000 dirham dan kematian Ali bin Abi Thalib.” Ibn Muljam menjawabnya sembari tersenyum, “Aku tidak datang ke tempat ini melainkan hanya untuk membunuh Ali. Kamu akan mendapatkan apa yang kamu minta.”
Kemudian Ibn Muljam bertemu dengan Syabib bin Bajrah al-‘Asyja’i dan mengutarakan apa yang menjadi keinginannya. Ia memintanya supaya mau menemani dalam pembunuhan ini. Syabib mengiyakan apa yang diminta Ibn Muljam. Mereka berdua bermalam di tempat di mana mereka ingin menjalankan aksinya. Saat itu Sayyidina Ali datang ke masjid memanggil Asy’at bin Qais al-Kindi sebelum subuh. Beliau berkata pada Asy’at, “Pagi telah menampakkan senyumnya wahai Asy’at, bangunlah sekarang!” Mendengar suara Ali, Ibn Muljam dan Syabib bangkit seraya menghunuskan pedangnya. Mereka berjalan dan duduk di hadapan tabir pintu di mana khalifah Ali biasanya keluar.
Hasan bin Ali berkata, Aku datang dan duduk bersama beliau saat sahur. Beliau berkata kepadaku, semalam aku tidur, kemudian bangun dan membangunkan keluargaku (untuk beribadah). Kedua mataku masih terbawa rasa kantuk. Aku lalu duduk dan tiba-tiba saja Rasulullah Saw datang kepadaku, maka aku pun berkata pada beliau, ‘Wahai Rasulullah, tidak pernah aku jumpai dalam umatmu orang-orang yang buruk akhlaknya dan suka membuat permusuhan.’ Kemudian beliau bersabda padaku, Doakanlah mereka supaya mereka tetap istiqamah di jalan kebaikan.’ Lalu aku menjawab, Ya Allah, gantikanlah pahala kebaikanku untuk mereka, dan dosa keburukan mereka untukku.”
Lalu masuklah seorang sahabat yang menjadi muadzin masjid dan dia langsung bergabung bersama kami. Namanya Ibn al-Nabaj. Ia lalu berkata, “Waktu shalat telah tiba.” Kemudian tanganku ditarik oleh ayahku. Sedangkan Ibn Nabaj berdiri di hadapannya. Lalu aku mengikuti langkah Ibn Nabaj dari belakang.
Ketika telah sampai pintu luar masjid, ayah menyeru, “Wahai orang-orang yang beriman! ayo shalat.. ! ayo shalat..!” Begitulah yang dikerjakannya sehari-hari. Beliau datang bersama anggota keluarganya untuk membangunkan umat Islam supaya menunaikan shalat. Di saat yang sama, ada dua orang yang menentang perintah ayahku. Salah satu di antaranya mulai angkat bicara. Sebelum ia memulai bicara, aku sempat melihat kilauan pedang di tangannya. Ia berkata pada ayahku, “Sesungguhnya hukum ini dari Allah, bukan darimu wahai Ali.”
Kemudian aku juga melihat kilauan pedang kedua dari orang di sampingnya. Mereka kemudian bersama-sama melancarkan serangan kepada Sayyidina Ali dengan menggunakan kedua pedang tadi. Pedang pertama milik Abdurrahman bin Muljam mengenai dahi hingga otak beliau. Sedangkan pedang yang digunakan Syabib hanya mengenai lapisan kulitnya saja. Lalu aku mendengar ayah berkata, “Wahai umat Islam, jangan sampai kalian kehilangan orang yang mencoba membunuhku tadi.” Orang-orang akhirnya segera mengepung mereka dari segala penjuru. Namun Syabib mampu melarikan diri. Adapun Abdurrahman bin Muljam tertangkap dan dibawa ke hadapan ayahku. Ayahku berkata, “Tolong berikan ia makanan yang baik dan siapkan tempat tidurnya. Jika nanti aku masih hidup, akulah yang paling berhak dengan darahnya. Yaitu dengan memberikannya ampunan serta qisas (hukuman) terhadap apa yang telah dilakukannya padaku. Jika nanti aku mati, ikutkanlah ia bersamaku. Aku akan mengadukannya pada Allah, Tuhan semesta alam.”
Ummi Kultsum, putri sayyidina Ali, juga berkata pada Ibn Muljam, “Wahai musuh Allah, engkau telah membunuh pimpinan orang-orang Mukmin.” Ia menjawab, “Selama ini aku tidak pernah membunuh kecuali ayahmu.” Putri khalifah ini berkata lagi, “Demi Allah, sungguh beliau tidak akan ridha dengan apa yang engkau lakukan terhadapnya.” Ibn Muljam berkata, “Tapi mengapa engkau tidak menangis wahai putri Amirul Mukminin? Sungguh aku telah meracuni ayahmu dengan menaruh racun dalam pedangku.” Putri Amirul Mukminin ini berkata, “Jika ia berbohong padaku, semoga Allah menjauhinya dan menghancurkannya.”
Ays’ats bin Qais kemudian mengirim anaknya yang bernama sama dengan kakeknya Qais di waktu subuh ketika khalifah Ali diserang. Ia berkata kepada anaknya, “Wahai anakku, coba kamu tengok bagaimana keadaan Amirul Mukminin!” Qais kemudian pergi dan melihat keadaan beliau. Ia kembali dan berkata, “Aku melihat kedua mata beliau masuk ke dalam kepala wahai ayah.” Asy’ats lalu bilang pada anaknya, “Mataku ini terlalu banyak menangis saat aku berada di belakang Ka’bah.”
Ays’ats juga mengatakan, “Sayyidina Ali mampu bertahan hidup pada hari Jumat, hari Sabtu dan wafat malam Ahad bertepatan sebelas malam terakhir bulan Ramadhan tahun 40 Hijriah. Beliau dimandikan oleh kedua putranya Hasan dan Husein serta Abdullah bin Ja’far. Beliau lalu dikafani dengan tiga helai kain kafan bersih.”
Sedangkan Barak bin Abdullah sedang duduk bersama Mu’awiyah di malam di mana Sayyidina Ali diserang. Ketika ia keluar untuk menunaikan shalat Subuh, ia mulai menyarungkan pedangnya. Pedang tersebut terletak di bagian belakang tubuhnya. Mu’awiyah lalu mengambil pedang Barak dan berkata padanya, “Aku punya berita untukmu yang sungguh akan memikatmu. Jika aku beritahu kamu, maka kamu akan untung.” Barak menjawab, “Ya.” Mu’awiyah lalu melanjutkan, “Salah satu saudaraku dibunuh Ali pada saat yang sama seperti malam ini.” Barak berkata, “Semoga ia tidak bisa menjalankannya lagi.” Mu’awiyah membalas, “Ya” Saat itu Sayyidina Ali keluar tanpa pengawalan. Mu’awiyah memanfaatkan kesempatan ini dengan menyuruh Barak membunuhnya. Dan akhirnya beliau wafat di tangan Barak.
Lalu Mu’awiyah juga meminta Barak untuk menemui seorang tabib yang bernama Sya’di dan membawa ke hadapannya. Saat tabib itu melihat Mu’awiyah, ia berkata padanya, “Pilihlah di antara dua pilihan ini. Yang pertama adalah aku memanaskan sebongkah besi dan menaruhnya di sarung pedang. Yang kedua adalah aku memberimu air minum, tapi selepas kamu meminumnya kamu tidak akan memiliki keturunan lagi dan kamu akan terbebas. Jika kamu tidak memilih, maka aku akan memukulmu dengan pedang beracun.”
Mu’awiyah menjawab, “Yang pertama, aku tidak kuat dengan panasnya api. Sedangkan yang kedua, aku telah memiliki Yazid dan Abdullah yang sangat aku cintai.” Ia kemudian meminum air tersebut dan secara langsung ia bebas. Namun benar apa yang dijanjikan tabib itu, Mu’awiyah tidak memiliki anak setelah itu. Dan saat itu juga, ia menyuruh pengawal untuk mengurung tabib tersebut. Ia juga menyuruh beberapa prajurit berjaga malam dan membuat barisan di depannya jika sedang melaksanakan shalat.
Pada malam itu juga, terjadi tragedi yang sama, akan tetapi gagal dilaksanakan. Dalam kisahnya, seseorang yang bernama Amru bin Bakir turut serta duduk malam itu bersama Amru bin Ash. Ia tidak keluar rumah melihat tragedi yang menimpa Sayyidina Ali dikarenakan sakit perut. Akhirnya, ia mengkonsultasikan penyakit perutnya dengan Kharijah bin Hadzafah yang merupakan pimpinannya. Setelah berbincang dengan Amru Kharijah pergi untuk menunaikan shalat. Saat mulai beranjak pergi, tiba-tiba ia diserang. Ia menyaksikan bahwa orang yang menyerangnya tak lain adalah pengawalnya sendiri, Amru bin Bakir. Setelah diketahui jati dirinya, Amru masih saja mencoba menusuk dan membunuh Kharijah. Melihat kejadian itu, orang-orang ramai menangkapnya. Setelah tertangkap, mereka menyerahkannya kepada kharijah. Ia lalu bertanya pada mereka, “Siapa sesungguhnya orang ini? Mereka menjawab, “Dia adalah Amru bin Bakir”. Lalu Kharijah bertanya padanya, “Berani sekali kamu ini. Siapa sebenarnya orang yang ingin kamu bunuh? Amru lalu menjawab, Kharijah bin Hadzafah. Ia lalu berkata, “Aku bersumpah demi Allah wahai orang fasik, aku mengira bahwa yang melakukan ini adalah orang selainmu.” Amru kemudian menjawab, “Aku dan Allah menginginkanmu untuk dibunuh wahai Kharijah.” Amru lalu dibawa mendekat di hadapan Kharijah, dan akhirnya ia dibunuh.[7]
Seperti inilah gambaran konspirasi jahat pengikut kelompok Khawarij dalam merusak tatanan kehidupan orang-orang Muslim. Yaitu dengan cara membunuh Sayyidina Ali bin Abi Thalib saat menjabat sebagai Amirul Mukminin. Peristiwa ini juga menjadi penanda munculnya kelompok-kelompok baru di dalam Islam. Merekalah yang awalnya menimbulkan pertikaian dalam tubuh kekhalifahan umat Islam.

Nasehat Ali bin Abi Thalib untuk Putranya, Hasan r.a.
Ketika sayyidina Ali r.a. berbaring menyambut datangnya ajal, beliau merasakan sakit yang luar biasa karena lukanya yang kian parah. Beberapa saat kemudian, putra beliau, Hasan masuk ke kamar pembaringan ayahnya sambil menangis tersedu-sedu.
Beliau bertanya padanya, “Mengapa engkau menangis wahai anakku?” Hasan menjawab, “Apakah aku tidak boleh menangis karena melihat keadaan engkau seperti ini wahai ayah? Apalagi engkau sekarang berada di awal perjalanan kehidupan akhirat dan di ujung perjalanan kehidupan dunia.”
Maka sayyidina Ali pun berkata pada Hasan, “Wahai anakku, aku wasiatkan padamu 3 hal dan aku nasehatkan pula padamu untuk menjauhi 3 hal. Untuk 3 hal pertama, sesungguhnya kayanya kekayaan itu terdapat dalam akal. Besarnya kefakiran itu terdapat dalam kebodohan. Dan buruknya keburukan itu terdapat dalam sifat sombong.” Hasan pun berkata kembali, “Wahai ayah, beritahu aku 3 hal lainnya!” Sayyidina Ali melanjutkan nasehatnya, “Wahai anakku, yang pertama, jauhilah berkawan dengan orang dungu. Suatu saat ia ingin memberikan manfaat padamu tapi malah akan mencelakaimu. Yang kedua, jauhilah berkawan dengan orang pelit. Karena ia akan menjauhkanmu dari kebutuhan yang kamu butuhkan. Yang ketiga, jauhilah berkawan dengan pendosa. Karena ia akan memperjual-belikanmu dengan harga yang murah.”

Wasiat Ali bin Abi Thalib r.a. Menjelang Ajal
Terkisah dari Sa’id bin Abdul Aziz al-Salmi bahwa setelah luka Sayyidina Ali kian parah, dan merasa ajal kian mendekat, beliau lantas berwasiat kepada anak-anaknya. Dalam keadaan ini, mulut beliau terasa berat untuk mengucapkan sepatah kata pun kecuali kalimat ‘lâilâha Illallâh’ hingga beliau wafat.
Ja’far bin Muhamad mengatakan, “Sayyidina Ali berwasiat kepada anak-anaknya setelah ajal mulai terasa akan datang menghampirinya. Beliau bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhamad adalah utusan-Nya. Allah telah mengirimnya dengan cahaya hidayah dan agama yang benar untuk menunjukkan manusia pada agama yang sempurna.” Beliau melanjutkan, “Sesungguhnya shalat, ibadah, hidup dan matiku hanya milik Allah semata. Dan sekali-kali tidak ada sekutu bagi-Nya.”
“Aku juga akan memberikan wasiat kepadamu wahai Hasan, serta seluruh keluarga kita dan siapa saja yang mengantarkan kematianku,” kata khalifah Ali melanjutkan. “Bertakwalah kalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa dan janganlah mati kecuali kalian dalam keadaan Islam. Serta eratkanlah tali hubungan kalian semua dengan Allah,” ucap beliau mengakhiri wasiatnya untuk Hasan dan keluarga.
Sayyidina Ali menambahi lagi wasiatnya, “Aku juga tidak lupa memberi nasehat pada tetangga-tetanggaku. Sesungguhnya Rasulullah Saw masih memberiku nasehat yang diperuntukkan buat para tetangganya hingga aku mengira beliau akan memberikan warisan kepada mereka.”
“Ya Allah.. Ya Allah.. Sungguh tidak ada yang mendahului al-Qur’an kecuali Engkau
Ya Allah.. Ya Allah .. Sungguh shalat merupakan tiang agama-Mu
Ya Allah.. Ya Allah.. Sungguh barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan sabar, maka ia akan selamat dari api neraka
Ya Allah.. Ya Allah.. Sungguh berjihadlah kalian dengan harta dan jiwa kalian. Berkatalah yang baik kepada orang lain. Dan bersatulah kalian. Serta janganlah sekali-kali kalian saling berselisih.”[8]


[1]Ibn Katsir, ‘al-Bidâyah wa al-Nihâyah’, Juz VII, hlm. 353.
[2]Hadits shahih, HR Imam Ahmad dalam ‘Musnad Ahamd’ bab Zuhud hlm. 65, Imam Hakim dalam ‘al-Mustadrak ala al-Shahîhain’,  Juz III, hlm. 143, Abu Na’im dalam ‘Hilyat al-Auliyâ’, Juz I, hlm. 82-83, Ibn al-Jauzi dalam ‘Sifat al-Safwah’, Juz I, hlm. 332  dan Abdullah bin Ahmad dalam ‘Zawaid al-Musnad’ hlm. 703.
[3] Hadits shahih, HR.  Abu al-Abbas al-Râfiqi dalam ‘al-Mutafajji’ûn’ yang diriwayatkan dari al-Zuhri dengan sanad yang mursal. Disebutkan juga oleh Imam al-Dzahabi dalam ‘Târîkh al-Islâm’ , Juz III, hlm. 608  yang diriwayatkan dari al-Zuhri dan Anas dengan sanad yang muttasil. Lihat juga, Ibn Sa’ad dalam ‘Tabaqât Kubrâ’, Juz III, hlm. 39 dari Amru bin Asham dengan sanad yang hasan.
[4]Hadits ini tidak dipermasalahkan. HR. Abu al-‘Abbas al-Rafiqi dalam ‘al-Mutafajji’ûn’ hlm. 19, Ibn Sa’ad dalam ‘Tabaqât Kubrâ’, Juz III, hlm. 36-37. dan disebutkan juga oleh Imam al-Dzahabi dalam ‘Târîkh al-Islâm’, Juz IV. hlm. 650.
[5]Hadits shahih, HR Ibn Sa’ad dalam‘Tabaqât Kubrâ’, Juz III, hlm 37-38  melalui 5 jalur. Imam al-Dzahabi dalam ‘Târîkh al-Islâm’, Juz III, hlm. 651, Abu al-Barakat al-Baghdadi,‘Târîkh Baghdâd’, Juz I, hlm. 137, Jalaludin al-Suyuti, ‘Târîkh al-Khulafa’, hlm. 76.
[6]Hadits hasan, HR Imam Hakim dalam ‘Al-Mustadrak ala al-Shahîhain’, Juz III, hlm. 143  yang telah ditashih dan ditakrir oleh Imam al-Dzahabi.
[7]Hadits yang tidak dipermasalahkan dalam jalur-jalurnya. HR Imam Thabari dalam ‘Târîkh al-Thabari’, Juz V, hlm. 143  melalui jalur Musa bin Abdurrahman al-Masruqi, dari Utsman bin Abdurrahman al-Harrani, dan dari Ismail bin Rasid. Rijal-nya juga tidak bermasalah akan tetapi mursal. Dari jalur ini, hadits ini juga HR Imam Thabrani dalam ‘Târîkh Kabîr’ hlm. 168. Ibn Hajar al-Haitsami juga mengatakan dalam ‘Mujma’, Juz IX, hlm. 145. Ia mengatakan bahwa hadits ini mursal dan isnadnya hasan. Imam Hakim dalam ‘Al-Mustadrak ala al-Shahîhain’, Juz III, hlm. 143 dengan sanad yang diriwayatkan dari al-Sada yang tidak dipermasalahkan dan dengan matan yang sangat pendek. Al-Haitsam bin Adi dari seseorang yang berasal dari kaum Bajilah, seorang yang dituakan dalam kaum tersebut seperti yang diceritakan dalam ‘al-Bidâyah wa al-Nihâyah’ milik Ibn Katsir,  Juz VII, hlm. 359. Ibn Sa’ad dalam ‘Tabaqât Kubrâ’, Juz III, hlm. 35-37.  Disebutkan juga oleh Ibn Abdil Bar dalam ‘al-Istî’âb’, Juz III, hlm. 1123-1125 dan Imam Imam al-Dzahabi dalam ‘Târîkh Islâm’, Juz III, hlm. 649-650.
[8]HR Ibn Abi Syaibah dalam ‘Mushannif’ dengan sanad yang munqati’. Hadits ini juga disebutkan oleh al-Zubaidi seperti yang terdapat dalam ‘Ittihâf al-Sâdah al-Muttaqîn’, Juz IV, hlm. 188.  

No comments:

Post a Comment