Masalah
perang Siffin belum kelar. Ditambah lagi peristiwa tahkim antara khalifah Ali r.a.
dan Muawiyah. Serta kemunculan kelompok Khawarij yang telah membunuh khalifah
Ali r.a. dalam perang Nahrawan.
Setelah
itu, permasalahan kekhalifahan menjadi rumit. Pasukan bergoncang. Padahal
mereka adalah orang-orang terbaik saat itu. Mereka orang yang paling taat
beribadah, zuhud, dan yang paling takut kepada Allah dibandingkan umat Islam
sesudah mereka. Akan tetapi mereka mengkhianati Sayyidina
Ali sebagai pemimpin mereka. Mereka juga meninggalkannya. Sampai-sampai mereka
membenci hidup yang telah dikaruniakan kepada mereka dan mengharapkan akan
datangnya kematian. Hal itu dikarenakan banyaknya fitnah dan malapetaka yang
terjadi waktu itu.[1]
Setelah
terjadi banyak fitnah, khalifah Ali kembali dan menetap di kota Kufah. Ia
tinggal di sana sejenak. Rasa takut pun turut menghampiri kelompok Khawarij semenjak
perang Nahrawan.
Zaid
bin Wahbah mengatakan, “Sekelompok kaum Khawarij dari kota Basrah mendatangi
khalifah Ali. Salah seorang di antara mereka yang bernama Ja’d bin
Na’jah berkata, ‘Bertakwalah kepada Allah wahai Ali, sungguh engkau akan mati’.
Ali menjawab, ‘Merekalah yang akan diwarnai dengan ini (pedang). Walaupun
mereka termasuk orang-orang yang menepati
janjinya dan melaksanakan kewajibannya. Namun, barangsiapa yang berbuat fitnah,
maka ia akan menyesal.”
Setelah
mendengar perkataan Sayyidina Ali, Ja’d langsung menyerang
beliau dengan mencela pakaiannya. Ia berkata, “Bagaimana pakaianmu dengan
pakaianku? Pakaianku jauh lebih besar. Sementara pakaian yang engkau kenakan
itu hanya cocok untukmu dibandingkan orang-orang Muslim
lainnya.”[2]
Salah
satu pemuka kaum Khawarij yang bernama Abdurrahman bin Muljam berada di
belakang beliau saat perdebatan itu terjadi. Ia termasuk orang yang berkhianat pada
beliau. Karena pada awalnya ia merupakan salah satu pengikut beliau dari kota
Kufah. Ia turut andil pula dalam perang Siffin. Ia juga ahli ibadah. Namun,
sebelum memeluk agama Islam, ia adalah salah seorang ahlul kitab. Di saat seperti itu, ia mencari celah untuk membunuh khalifah Ali. Kita
selalu berlindung kepada Allah dari cara meninggal buruk semacam ini.
Ketika
fitnah kepada khalifah Ali telah menyebar dan banyak terjadi perselisihan antar-sahabat, Abdurrahman bin Muljam mendapatkan titah untuk membunuh Sayyidina Ali. Di saat khalifah Ali sedang mengumandangkan adzan dan
ingin mengucapkan lafazhحَيَّ عَلَي الصَّلَاةِ) ), Ibn Muljam melihat situasi
melalui pintu masjid yang mengarah ke pasar. Ia kemudian berdiri di luar di balik
pintu itu. Ketika khalifah Ali keluar dari masjid, tiba-tiba saja Ibn Muljam
yang berada di balik pintu tersebut langsung melayangkan pedang ke kepala
beliau. Sehingga Ali tak bisa
mengelak dari sabitan pedang Ibn Muljam. Syahdan, kepala Ali pun terkoyak dan
terluka parah. Para sahabat lain yang mengetahui peristiwa itu kemudian langsung
berteriak, “Amirul Mukminin telah dibunuh.”
Para sahabat yang berada di sekitar masjid lantas menangkap Ibn Muljam dan membawanya serta merampas pedang dari tangannya. Khalifah
Ali mampu bertahan hidup dan menghembuskan nafas terakhirnya pada malam
harinya.
Mereka
akhirnya memotong kedua tangan dan kaki Ibn Muljam. Mereka juga tak segan untuk
mencongkel kedua matanya. Setelah itu mereka dengan perlahan membakar tubuh Ibn
Muljam yang masih tersisa.[3]
Terlihat
jelas melalui kabar ini bahwa pembunuh khalifah Ali adalah Ibn Muljam. Tapi bila kita agak jeli memperhatikan kabar-kabar lain, maka kita akan menemukan
sekutunya ketika mengerjakan perbuatan keji ini.
Hilal
bin Yusaq pernah meriwayatkan bahwa khalifah Ali pergi ke masjid untuk
menunaikan shalat Subuh seraya membangunkan para
sahabat yang lain, “Bangun.. bangun..! Ayo shalat..!”
Setelah
memasuki waktu subuh, Sayyidina Ali menunaikan shalat. Di
saat yang sama, ada dua orang yang telah mendahului beliau tiba di masjid. Yang pertama adalah Ibn
Muljam, sedangkan yang kedua adalah Syabib bin Bajrah al-‘Asyja’i. Tiba-tiba saja
mereka berdua langsung menyerang beliau secara bersamaan. Salah satu pukulan
mereka mengenai kepalanya, dan satunya lagi meleset. Melihat beliau roboh, secara cepat Syabib mengajak Ibnu Muljam segera melarikan diri. Sebelum
melarikan diri jauh, mereka melihat bahwa beberapa sahabat langsung mendatangi Sayyidina Ali di tempat kejadian dan sebagian di antara mereka berkata, “Ia (khalifah Ali) tidak apa-apa.”
Ibn
Muljam berkata, “Siapa di antara orang-orang itu yang akan
menangis? Aku telah menaburi racun dalam pedangku sejak
dua bulan yang lalu. Aku telah memukulnya dengan sekali pukulan dari pedang
itu. Aku masih bisa merobohkan seluruh orang Arab dengan pedangku ini jika aku
mau.”
Dari kabar ini, kita menemukan dua orang yang menyerang khalifah Ali saat
sedang menyeru umat untuk melaksanakan shalat. Ia adalah Ibn
Muljam yang menyerang Ali dengan mengenai bagian kepalanya. Adapun penyerang
kedua yang tak lain adalah Syabib, pedangnya meleset ketika melakukan
penyerangan terhadap Ali.
Setelah
melakukan perbuatan keji itu, mereka mencoba kabur. Tapi orang-orang di sekitar
masjid telah mengepung mereka dari segala penjuru. Akhirnya Ibn Muljam
tertangkap. Namun Syabib bisa melarikan diri.[4]
Setelah
khalifah Ali wafat dan dikuburkan, Abdullah bin Ja’far berdiri melaksanakan
eksekusi Ibn Muljam. Ia memulai eksekusi dengan memotong kedua tangannya,
kemudian kedua kakinya, serta mencongkel kedua matanya. Dan yang terakhir
membakarnya.
Saat
menshalati jenazah khalifah Ali, Hasan yang
mengimaminya. Mereka menshalatinya dengan empat
takbir. Setelah itu beliau dikuburkan di tanah lapang yang terletak di kota
Kufah. Tempat itu meliputi berbagai pintu Kindah di samping masjid
yang biasa digunakan untuk shalat jamaah.
Kemudian
Hasan segera pergi meninggalkan persemayaman ayahnya dan menyeru umat untuk
membaiat dirinya sebagai khalifah. Maka mereka pun membaiatnya.[5]
Seperti
inilah gambaran perjalanan khalifah Ali semasa hidupnya. Dan sekarang ini, beliau
tetap hidup di alam barzakh bersama para syuhada, orang-orang yang dapat
dipercaya (siddîqîn) dan mereka yang banyak berbuat amal saleh. Semoga
mereka semua selalu diberi kebaikan oleh Allah SWT.
Harits
bin Makhsya pernah mengatakan, “Khalifah Ali terbunuh di pagi hari pada tanggal
21 Ramadhan. Saat itu aku mendengar Hasan mengatakan dalam khutbahnya sambil
mengingat manaqib Ali, ‘Ia terbunuh di malam Al-Qur’an diturunkan. Malam diangkatnya Nabi Isa ke langit. Dan, malam wafatnya Nabi Musa.’ Setelah itu Hasan menshalatkan jenazah
ayahnya.”[6]
Adapun kabar yang paling lengkap dan jelas yang menceritakan peristiwa ini
adalah hadits yang diriwayatkan al-Sady dan lainnya. Dalam riwayat ini, mereka mengatakan,
“Orang-orang Khawarij itu mengutus tiga orang, yaitu Abdurrahman bin Muljam
al-Muradi yang berasal dari Hamir. Ia sejajar dengan orang Murad. Ia juga
menjadi sekutu Bani Jablah dari Kindah. Yang kedua adalah
al-Barak bin Abdullah al-Tamimi dan yang terakhir adalah Amru bin Bakir
al-Tamimi. Mereka berkumpul di kota Makkah. Mereka saling mengikat janji dan bersepakat membunuh tiga orang: Ali bin Abi
Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Amru bin Ash.”
Saat musyawarah sedang berlangsung, Abdurrahman bin Muljam mengatakan,
“Akulah yang akan membunuh Ali.” Barak juga berkata, “Mu’awiyah bagianku.” Dan
Amru bin Bakir berkata, “Cukuplah Amru bin Ash untukku.” Mereka bersepakat melaksanakan rencana yang mereka
susun. Mereka saling meneguhkan dan menguatkan niat agar tidak ada salah satu di antara mereka yang mundur. Setiap dari mereka
harus tetap berjuang hingga sasaran mereka terbunuh atau malah mereka yang
terbunuh. Mereka mulai mengoperasikan rencana pada malam 17 Ramadhan. Mereka
menuju ke tempat tiap sasaran masing-masing. Abdurrahman bin Muljam menuju kota
Kufah dengan menemui beberapa kawan dari kelompok Khawarij. Mereka kemudian
menyembunyikan Ibn Muljam seperti yang mereka rencanakan. Mereka pun saling mengunjungi satu dengan lainnya.
Suatu
hari, ada rombongan dari Taim Ribab yang datang berkunjung kepada mereka. Ibn
Muljam melihat salah seorang perempuan dalam rombongan tersebut yang bernama
Qutam binti Sajnah bin Adi. Khalifah Ali adalah orang yang telah membunuh bapak
dan kakak dari perempuan tersebut pada saat perang Nahrawan. Ibn Muljam
pun kaget mendengar berita tentang perempuan itu. Ia lalu melamarnya. Saat
dilamar, perempuan itu bilang, “Aku tidak mau engkau nikahi kecuali jika engkau
memberi apa yang aku minta.” Ia menjawab, “Aku akan memberi semua yang engkau
minta.” Perempuan itu membalas, “Aku minta uang sebesar 3000 dirham dan
kematian Ali bin Abi Thalib.” Ibn Muljam menjawabnya sembari tersenyum, “Aku
tidak datang ke tempat ini melainkan hanya untuk membunuh Ali. Kamu akan
mendapatkan apa yang kamu minta.”
Kemudian
Ibn Muljam bertemu dengan Syabib bin Bajrah al-‘Asyja’i dan mengutarakan apa yang
menjadi keinginannya. Ia memintanya supaya mau menemani dalam pembunuhan ini. Syabib
mengiyakan apa yang diminta Ibn Muljam. Mereka berdua bermalam di tempat di mana mereka ingin menjalankan aksinya. Saat itu Sayyidina Ali datang ke masjid memanggil Asy’at bin Qais al-Kindi sebelum
subuh. Beliau berkata pada Asy’at, “Pagi telah menampakkan senyumnya wahai
Asy’at, bangunlah sekarang!” Mendengar suara Ali, Ibn Muljam dan Syabib bangkit
seraya menghunuskan pedangnya. Mereka berjalan dan duduk di hadapan tabir pintu
di mana khalifah Ali biasanya keluar.
Hasan
bin Ali berkata, “Aku datang dan duduk bersama beliau
saat sahur. Beliau berkata kepadaku, semalam
aku tidur, kemudian bangun dan membangunkan keluargaku (untuk beribadah). Kedua
mataku masih terbawa rasa kantuk. Aku lalu duduk dan tiba-tiba saja Rasulullah Saw
datang kepadaku, maka aku pun berkata pada beliau, ‘Wahai Rasulullah, tidak
pernah aku jumpai dalam umatmu orang-orang yang buruk akhlaknya dan suka
membuat permusuhan.’ Kemudian beliau bersabda padaku, ‘Doakanlah mereka supaya mereka tetap istiqamah di jalan kebaikan.’ Lalu
aku menjawab, ‘Ya Allah, gantikanlah pahala
kebaikanku untuk mereka, dan dosa keburukan mereka untukku’.”
Lalu
masuklah seorang sahabat yang menjadi muadzin masjid dan dia langsung bergabung
bersama kami. Namanya Ibn al-Nabaj. Ia lalu berkata, “Waktu shalat telah tiba.”
Kemudian tanganku ditarik oleh ayahku. Sedangkan Ibn Nabaj berdiri di hadapannya. Lalu aku mengikuti langkah Ibn Nabaj dari belakang.
Ketika
telah sampai pintu luar masjid, ayah menyeru, “Wahai orang-orang yang beriman!
ayo shalat.. ! ayo shalat..!” Begitulah yang dikerjakannya sehari-hari. Beliau
datang bersama anggota keluarganya untuk membangunkan umat Islam supaya
menunaikan shalat. Di saat yang sama, ada dua orang yang menentang perintah
ayahku. Salah satu di antaranya mulai angkat bicara.
Sebelum ia memulai bicara, aku sempat melihat kilauan pedang di tangannya. Ia
berkata pada ayahku, “Sesungguhnya hukum ini dari Allah, bukan darimu wahai Ali.”
Kemudian
aku juga melihat kilauan pedang kedua dari orang di sampingnya. Mereka kemudian
bersama-sama melancarkan serangan kepada Sayyidina Ali dengan menggunakan
kedua pedang tadi. Pedang pertama milik Abdurrahman bin Muljam mengenai dahi
hingga otak beliau. Sedangkan pedang yang digunakan Syabib hanya mengenai
lapisan kulitnya saja. Lalu aku mendengar ayah berkata, “Wahai umat Islam,
jangan sampai kalian kehilangan orang yang mencoba membunuhku tadi.”
Orang-orang akhirnya segera mengepung mereka dari segala penjuru. Namun Syabib
mampu melarikan diri. Adapun Abdurrahman bin Muljam tertangkap dan dibawa ke
hadapan ayahku. Ayahku berkata, “Tolong berikan ia makanan yang baik dan
siapkan tempat tidurnya. Jika nanti aku masih hidup, akulah yang paling berhak
dengan darahnya. Yaitu dengan memberikannya ampunan serta qisas (hukuman) terhadap
apa yang telah dilakukannya padaku. Jika nanti aku mati, ikutkanlah ia
bersamaku. Aku akan mengadukannya pada Allah, Tuhan semesta alam.”
Ummi
Kultsum, putri sayyidina Ali, juga berkata pada Ibn Muljam, “Wahai
musuh Allah, engkau telah membunuh pimpinan orang-orang Mukmin.” Ia menjawab, “Selama ini aku tidak pernah membunuh kecuali
ayahmu.” Putri khalifah ini berkata lagi, “Demi Allah, sungguh beliau tidak
akan ridha dengan apa yang engkau lakukan terhadapnya.” Ibn Muljam berkata,
“Tapi mengapa engkau tidak menangis wahai putri Amirul Mukminin? Sungguh aku
telah meracuni ayahmu dengan menaruh racun dalam pedangku.” Putri Amirul Mukminin
ini berkata, “Jika ia berbohong padaku, semoga Allah menjauhinya dan
menghancurkannya.”
Ays’ats
bin Qais kemudian mengirim anaknya yang bernama sama dengan kakeknya Qais di
waktu subuh ketika khalifah Ali diserang. Ia berkata kepada anaknya, “Wahai
anakku, coba kamu tengok bagaimana keadaan Amirul Mukminin!” Qais kemudian
pergi dan melihat keadaan beliau. Ia kembali dan berkata, “Aku melihat kedua
mata beliau masuk ke dalam kepala wahai ayah.” Asy’ats lalu bilang pada anaknya,
“Mataku ini terlalu banyak menangis saat aku berada di belakang Ka’bah.”
Ays’ats
juga mengatakan, “Sayyidina Ali mampu bertahan hidup pada hari Jumat, hari
Sabtu dan wafat malam Ahad bertepatan sebelas malam terakhir bulan Ramadhan
tahun 40 Hijriah. Beliau dimandikan oleh kedua putranya Hasan dan Husein serta
Abdullah bin Ja’far. Beliau lalu dikafani dengan tiga helai kain kafan bersih.”
Sedangkan
Barak bin Abdullah sedang duduk bersama Mu’awiyah di malam di mana Sayyidina Ali diserang. Ketika ia
keluar untuk menunaikan shalat Subuh, ia mulai menyarungkan
pedangnya. Pedang tersebut terletak di bagian belakang tubuhnya. Mu’awiyah lalu
mengambil pedang Barak dan berkata padanya, “Aku punya berita untukmu yang sungguh
akan memikatmu. Jika aku beritahu kamu, maka kamu akan untung.” Barak menjawab,
“Ya.” Mu’awiyah lalu melanjutkan, “Salah satu saudaraku dibunuh Ali pada saat
yang sama seperti malam ini.” Barak berkata, “Semoga ia tidak bisa
menjalankannya lagi.” Mu’awiyah membalas, “Ya” Saat itu Sayyidina Ali keluar
tanpa pengawalan. Mu’awiyah memanfaatkan kesempatan ini dengan menyuruh Barak
membunuhnya. Dan akhirnya beliau wafat di tangan Barak.
Lalu
Mu’awiyah juga meminta Barak untuk menemui seorang tabib yang bernama Sya’di
dan membawa ke hadapannya. Saat tabib itu melihat
Mu’awiyah, ia berkata padanya, “Pilihlah di antara dua pilihan ini. Yang pertama adalah aku memanaskan sebongkah
besi dan menaruhnya di sarung pedang. Yang kedua adalah aku memberimu air minum,
tapi selepas kamu meminumnya kamu tidak akan memiliki keturunan lagi dan kamu
akan terbebas. Jika kamu tidak memilih, maka aku akan memukulmu dengan pedang beracun.”
Mu’awiyah
menjawab, “Yang pertama, aku tidak kuat dengan panasnya api. Sedangkan yang
kedua, aku telah memiliki Yazid dan Abdullah yang sangat aku cintai.” Ia
kemudian meminum air tersebut dan secara langsung ia bebas. Namun benar apa
yang dijanjikan tabib itu, Mu’awiyah tidak memiliki anak setelah itu. Dan saat
itu juga, ia menyuruh pengawal untuk mengurung tabib tersebut. Ia juga menyuruh
beberapa prajurit berjaga malam dan membuat barisan di depannya jika sedang
melaksanakan shalat.
Pada
malam itu juga, terjadi tragedi yang sama, akan tetapi gagal dilaksanakan.
Dalam kisahnya, seseorang yang bernama Amru bin Bakir turut serta duduk malam
itu bersama Amru bin Ash. Ia tidak keluar rumah melihat tragedi yang menimpa Sayyidina Ali dikarenakan sakit perut. Akhirnya, ia mengkonsultasikan
penyakit perutnya dengan Kharijah bin Hadzafah yang merupakan pimpinannya. Setelah
berbincang dengan Amru Kharijah pergi untuk menunaikan shalat. Saat mulai
beranjak pergi, tiba-tiba ia diserang. Ia menyaksikan bahwa orang yang
menyerangnya tak lain adalah pengawalnya sendiri, Amru bin Bakir. Setelah
diketahui jati dirinya, Amru masih saja mencoba menusuk dan membunuh Kharijah.
Melihat kejadian itu, orang-orang ramai menangkapnya. Setelah tertangkap,
mereka menyerahkannya kepada kharijah. Ia lalu bertanya pada mereka, “Siapa
sesungguhnya orang ini?” Mereka menjawab, “Dia adalah Amru
bin Bakir”. Lalu Kharijah bertanya padanya, “Berani sekali kamu ini. Siapa
sebenarnya orang yang ingin kamu bunuh?” Amru lalu menjawab, “Kharijah bin Hadzafah.” Ia lalu berkata, “Aku bersumpah demi
Allah wahai orang fasik, aku mengira bahwa yang melakukan ini adalah orang
selainmu.” Amru kemudian menjawab, “Aku dan Allah menginginkanmu untuk dibunuh
wahai Kharijah.” Amru lalu dibawa mendekat di hadapan Kharijah, dan akhirnya ia
dibunuh.[7]
Seperti
inilah gambaran konspirasi jahat pengikut kelompok Khawarij dalam merusak
tatanan kehidupan orang-orang Muslim. Yaitu dengan cara membunuh Sayyidina Ali bin Abi Thalib saat menjabat sebagai Amirul Mukminin.
Peristiwa ini juga menjadi penanda munculnya kelompok-kelompok baru di dalam
Islam. Merekalah yang awalnya menimbulkan pertikaian dalam tubuh kekhalifahan
umat Islam.
Nasehat Ali bin Abi Thalib untuk Putranya,
Hasan r.a.
Ketika
sayyidina Ali r.a. berbaring menyambut datangnya ajal, beliau merasakan sakit
yang luar biasa karena lukanya yang kian parah. Beberapa saat kemudian, putra
beliau, Hasan masuk ke kamar pembaringan ayahnya sambil menangis tersedu-sedu.
Beliau bertanya padanya, “Mengapa engkau menangis wahai anakku?” Hasan menjawab,
“Apakah aku tidak boleh menangis karena melihat keadaan engkau seperti ini wahai
ayah? Apalagi engkau sekarang berada di awal perjalanan kehidupan akhirat dan
di ujung perjalanan kehidupan dunia.”
Maka sayyidina Ali pun berkata pada Hasan, “Wahai anakku, aku wasiatkan
padamu 3 hal dan aku nasehatkan pula padamu untuk menjauhi 3 hal. Untuk 3 hal
pertama, sesungguhnya kayanya kekayaan itu terdapat dalam akal. Besarnya
kefakiran itu terdapat dalam kebodohan. Dan buruknya keburukan itu terdapat
dalam sifat sombong.” Hasan pun berkata kembali, “Wahai ayah, beritahu aku 3
hal lainnya!” Sayyidina Ali melanjutkan nasehatnya, “Wahai anakku, yang
pertama, jauhilah berkawan dengan orang dungu. Suatu saat ia ingin memberikan
manfaat padamu tapi malah akan mencelakaimu. Yang kedua, jauhilah berkawan
dengan orang pelit. Karena ia akan menjauhkanmu dari kebutuhan yang kamu
butuhkan. Yang ketiga, jauhilah berkawan dengan pendosa. Karena ia akan memperjual-belikanmu
dengan harga yang murah.”
Wasiat Ali bin Abi Thalib r.a. Menjelang Ajal
Terkisah dari Sa’id bin Abdul Aziz
al-Salmi bahwa setelah luka Sayyidina Ali kian parah, dan merasa ajal kian
mendekat, beliau lantas berwasiat kepada
anak-anaknya. Dalam keadaan ini, mulut beliau terasa berat untuk mengucapkan
sepatah kata pun kecuali kalimat ‘lâilâha
Illallâh’ hingga beliau wafat.
Ja’far bin Muhamad mengatakan, “Sayyidina Ali berwasiat kepada anak-anaknya
setelah ajal mulai terasa akan datang menghampirinya. Beliau bersaksi
bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhamad adalah utusan-Nya. Allah telah
mengirimnya dengan cahaya hidayah dan agama yang benar untuk menunjukkan
manusia pada agama yang sempurna.” Beliau melanjutkan, “Sesungguhnya shalat,
ibadah, hidup dan matiku hanya milik Allah semata. Dan sekali-kali tidak ada
sekutu bagi-Nya.”
“Aku
juga akan memberikan wasiat kepadamu wahai Hasan, serta seluruh keluarga kita
dan siapa saja yang mengantarkan kematianku,” kata khalifah Ali melanjutkan.
“Bertakwalah kalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa dan janganlah
mati kecuali kalian dalam keadaan Islam. Serta eratkanlah tali hubungan kalian semua
dengan Allah,” ucap beliau mengakhiri wasiatnya untuk Hasan dan
keluarga.
Sayyidina
Ali menambahi lagi wasiatnya, “Aku juga tidak lupa memberi nasehat pada
tetangga-tetanggaku. Sesungguhnya Rasulullah Saw masih memberiku nasehat yang
diperuntukkan buat para
tetangganya hingga aku mengira beliau akan memberikan warisan kepada mereka.”
“Ya Allah..
Ya Allah.. Sungguh tidak ada yang mendahului al-Qur’an kecuali Engkau
Ya Allah..
Ya Allah .. Sungguh shalat merupakan tiang agama-Mu
Ya Allah..
Ya Allah.. Sungguh barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan sabar,
maka ia akan selamat dari api neraka
Ya Allah..
Ya Allah.. Sungguh berjihadlah kalian dengan harta dan jiwa kalian. Berkatalah
yang baik kepada orang lain. Dan bersatulah kalian. Serta janganlah sekali-kali
kalian saling berselisih.”[8]
[1]Ibn Katsir, ‘al-Bidâyah wa al-Nihâyah’, Juz VII, hlm. 353.
[2]Hadits shahih, HR Imam Ahmad dalam ‘Musnad Ahamd’ bab
Zuhud hlm. 65, Imam Hakim dalam ‘al-Mustadrak ala al-Shahîhain’, Juz III, hlm. 143, Abu Na’im dalam ‘Hilyat
al-Auliyâ’, Juz I, hlm. 82-83, Ibn al-Jauzi dalam ‘Sifat al-Safwah’,
Juz I, hlm. 332 dan Abdullah bin Ahmad
dalam ‘Zawaid al-Musnad’ hlm. 703.
[3] Hadits shahih, HR. Abu al-Abbas al-Râfiqi dalam ‘al-Mutafajji’ûn’
yang diriwayatkan dari al-Zuhri dengan sanad yang mursal. Disebutkan juga oleh Imam
al-Dzahabi dalam ‘Târîkh al-Islâm’ , Juz III, hlm. 608 yang diriwayatkan dari al-Zuhri dan Anas
dengan sanad yang muttasil. Lihat juga, Ibn Sa’ad dalam ‘Tabaqât Kubrâ’,
Juz III, hlm. 39 dari Amru bin Asham dengan sanad yang hasan.
[4]Hadits
ini tidak dipermasalahkan. HR. Abu al-‘Abbas al-Rafiqi dalam ‘al-Mutafajji’ûn’
hlm. 19, Ibn Sa’ad dalam ‘Tabaqât Kubrâ’, Juz III, hlm. 36-37. dan
disebutkan juga oleh Imam al-Dzahabi dalam ‘Târîkh al-Islâm’, Juz IV.
hlm. 650.
[5]Hadits shahih, HR Ibn Sa’ad dalam‘Tabaqât Kubrâ’, Juz III, hlm
37-38 melalui 5 jalur. Imam al-Dzahabi
dalam ‘Târîkh al-Islâm’, Juz III, hlm. 651, Abu al-Barakat al-Baghdadi,‘Târîkh
Baghdâd’, Juz I, hlm. 137, Jalaludin al-Suyuti, ‘Târîkh al-Khulafa’,
hlm. 76.
[6]Hadits hasan, HR Imam Hakim dalam ‘Al-Mustadrak ala al-Shahîhain’, Juz
III, hlm. 143 yang telah ditashih dan
ditakrir oleh Imam al-Dzahabi.
[7]Hadits yang tidak dipermasalahkan dalam jalur-jalurnya. HR Imam Thabari
dalam ‘Târîkh al-Thabari’, Juz V, hlm. 143 melalui jalur Musa bin Abdurrahman
al-Masruqi, dari Utsman bin Abdurrahman al-Harrani, dan dari Ismail bin Rasid. Rijal-nya
juga tidak bermasalah akan tetapi mursal. Dari jalur ini, hadits ini
juga HR Imam Thabrani dalam ‘Târîkh Kabîr’ hlm. 168. Ibn Hajar
al-Haitsami juga mengatakan dalam ‘Mujma’, Juz IX, hlm. 145. Ia
mengatakan bahwa hadits ini mursal dan isnadnya hasan. Imam Hakim dalam ‘Al-Mustadrak
ala al-Shahîhain’, Juz III, hlm. 143 dengan sanad yang diriwayatkan dari
al-Sada yang tidak dipermasalahkan dan dengan matan yang sangat pendek.
Al-Haitsam bin Adi dari seseorang yang berasal dari kaum Bajilah, seorang yang
dituakan dalam kaum tersebut seperti yang diceritakan dalam ‘al-Bidâyah wa al-Nihâyah’ milik Ibn Katsir, Juz VII, hlm. 359. Ibn Sa’ad
dalam ‘Tabaqât Kubrâ’, Juz III, hlm. 35-37. Disebutkan juga oleh Ibn Abdil Bar dalam ‘al-Istî’âb’, Juz III, hlm. 1123-1125 dan
Imam Imam al-Dzahabi dalam ‘Târîkh Islâm’, Juz III, hlm. 649-650.
[8]HR Ibn
Abi Syaibah dalam ‘Mushannif’ dengan sanad yang munqati’. Hadits ini juga disebutkan oleh al-Zubaidi seperti yang
terdapat dalam ‘Ittihâf al-Sâdah
al-Muttaqîn’, Juz IV, hlm. 188.
No comments:
Post a Comment