Wednesday, January 22, 2014

Keluarga Pertama yang Hijrah ke Madinah

Siapa keluarga pertama yang hijrah ke Madinah? Terkisah Hindun binti Umayyah bin Al-Mughirah Al-Quraisyiyah al-Makhzumiyah dengan sepupunya, Abdullah bin Abdul Asad bin Hilal Al-Makhzumi, yang merupakan pasangan suami-istri. Suaminya ini adalah saudara sesusuan sekaligus sepupu Nabi Saw.
            Kedua suami-istri ini termasuk di antara orang yang masuk Islam agak awal. Keduanya ikut berhijrah ke Ethiopia (Habsyah) dan di sanalah putra pertamanya, Salamah, dilahirkan. Keduanya kembali ke Makkah sesaat sebelum ada anjuran dan perintah agar kaum Muslimin berhijrah ke Madinah. Mereka sekeluarga (suami-istri dan anak laki-lakinya) memutuskan untuk ikut hijrah mengendarai unta. Namun di tengah jalan dihadang oleh klan hindun, Bani Al-Mughirah, dan menangkap suaminya. Para pencegat mengancam, "Ini rupanya yang mengalahkan kami? Lihatlah dirimu. Kami tak akan membiarkan suamimu menemani kamu ke Madinah.”
            Setelah para pencegat merebut suami Hindun, mereka juga berusaha merebut anak laki-laki Hindun. Bersyukur, klan Bani Abdul Asad langsung mencegahnya, "Kami tak akan membiarkan putramu diambil mereka juga." Kemudian justru Hindun yang ditahan oleh para pencegat dari klan Bani al-Mughirah tersebut, sedangkan suaminya dipersilakan melanjutkan perjalanan hijrah ke Madinah. Setiap sore menjelang, Hindun selalu pergi ke padang luas, duduk di sana untuk melupakan kesedihannya lantaran berpisah dengan anak dan suami. Hindun menangis hingga lebih dari tujuh hari.
            Sampai akhirnya ada salah seorang sepupu Hindun yang bersimpati karena melihat kesedihan di wajahnya. Dia memohon kepada klan Bani al-Mughirah agar melepaskan Hindun. "Tidakkah kalian merasa kasihan dengan perempuan ini? Lepaskanlah!" pinta sepupu Hindun.
Lalu, klan Bani al-Mughirah melepaskan Hindun. "Susullah suamimu kalau kamu mau," ujar sepupu Hindun. Dan klan Bani Abdul Asad mengembalikan anak laki-lakiku.
            Hindun segera mengendarai unta sambil membawa anak laki-lakinya menuju Madinah. Tak ada seorang pun bersamanya kecuali keyakinannya kepada Allah SWT hingga ketika sampai di Tan'im, Hindun bertemu dengan Utsman bin Thalhah (seorang laki-laki berasal dari klan Bani Abd al-Dâr). "Engkau mau ke mana, wahai putri Abu Umayyah?" tanyanya Utsman.
"Saya mau menyusul suamiku di Madinah," jawab Hindun.
Utsman bertanya lagi, "Siapa yang menemanimu?"
Jawab Hindun, "Tak seorangpun kecuali Allah dan anak kecil ini."
Sembari memegang tali kendali unta Hindun, Utsman berucap, "Demi Allah, saya tak akan membiarkanmu pergi sendirian."
            Ummu Salamah (Hindun) mengungkapkan, "Demi Allah, saya tak pernah melihat orang Arab sebaik dia (Utsman bin Thalhah). Jika saya ingin berhenti, dia membantu mendudukkan unta kemudian mencarikan kami pohon rindang untuk bersandar. Ketika saya hendak melanjutkan perjalanan, dia membantu naik dan berjalan di belakang kami sampai kami benar-benar mapan di atas unta. Baru setelah itu, dia mengambil kembali tali kendali. Begitulah, dia memperlakukan kami hingga kami benar-benar sampai di kota Madinah. Ketika kami melewati Desa Amr bin Auf di kota Quba', Utsman memberitahu, 'suamimu berada di sini'."
            Setelah hijrah dan bertemu dengan suaminya, Ummu Salamah melahirkan tiga anak: Umar, Darrah dan Zainab. Sementara suaminya, Abu Salamah, ikut bertempur di perang Badar dan Uhud hingga terluka parah. Dia kemudian ikut bersama utusan perang ke Bani Asad pada bulan Shafar tahun ke-4 Hijriyah. Lalu suaminya kembali ke Madinah dalam keadaan terluka hingga meninggal pada bulan Jumadil Akhirah.

Siapa Laki-laki Terbaik Setelah Abu Salamah?
            Suatu waktu Ummu Salamah mendengar Nabi Saw bersabda, "Tak ada seorang Muslim yang tertimpa musibah kemudian mengatakan Innâlillâhi wa Inna Ilaihi Râjiûn kecuali akan diberi pahala dari kejadian itu kemudian akan diganti oleh Allah dengan yang lebih baik."
            Ketika Abu Salamah meninggal, Ummu Salamah berkata, "Siapa yang lebih baik daripada Abu Salamah [suaminya]? Kami adalah keluarga pertama yang berhijrah karena perintah Rasulullah."[1]
            Sampai saat masa 'iddah-nya selesai,[2] Abu Bakar melamarnya tapi batal dinikahi. Kemudian datang Umar melamar tetapi Ummu Salamah menolak lamarannya. Lalu Nabi Saw mengirim Hatib bin Abu Balta'ah untuk melamarkan Ummu Salamah buat beliau. Ummu Salamah berkata, "Saya masih memiliki bayi perempuan yang disusui, dan saya sangat pencemburu; saya khawatir akan terjadi sesuatu yang dimurka oleh Allah gara-gara itu. Saya juga sudah berumur dan memiliki keluarga besar. Juga tak memiliki wali nikah di sini."
            Nabi Saw lantas menasehati, "Adapun ucapanmu bahwa kamu memiliki keluarga besar, maka Allah akan mencukupi dan menjamin kehidupan anak-anakmu. Sementara sifatmu yang sangat pencemburu, semoga Allah menghapuskannya. Sedangkan perkataanmu bahwa kamu sudah berumur, maka juga sama denganku atau bahkan aku lebih tua darimu. Adapun wali nikah, itu tidak perlu karena mereka semua akan rela."
            Dan kemudian Nabi Saw menikahinya secara resmi. Ummu Salamah berucap, "Allah telah mengganti Abu Salamah dengan orang termulya, Muhamad Rasulullah Saw."[3]

Kecerdasan Ummu Salamah
            Istri Nabi Saw, Ummu Salamah, terkenal kecantikannya yang menawan dan kecerdasannya serta pendapatnya yang bernas. Hal itu terlihat ketika dia mengajukan pendapatnya kepada Rasulullah di hari perjanjian Hudaibiyah. Ketika Nabi Saw menyelesaikan perjanjian tertulis dengan kaum Quraisy,[4] Nabi bersabda, "Berdiri dan bubarlah. Sembelihlah hewan ternak kalian dan potonglah rambut kalian." Namun tak seorangpun yang percaya pada perintah Nabi Saw meski sabda dan perintahnya diulangi hingga tiga kali.
Nabi lantas menemui Ummu Salamah dan menceritakan hal tersebut. Lalu Ummu Salamah berkata, "Wahai Nabi Allah, engkau ingin mereka mengikuti perintahmu? Keluarlah, dan jangan berbicara dengan siapapun, sembelih hewan ternakmu dan panggil tukang cukur agar mencukur rambutmu."[5]
Kemudian Nabi keluar dan melaksanakan usul sang istri. Ketika kaum Muslimin melihat Nabi melakukannya, mereka semua menyembelih ternak dan memotong rambut masing-masing.[6]
            Dalam kisah ini terdapat gambaran mengenai keutamaan Ummu Salamah dan kecerdasan otaknya. Sampai Imam al-Haramain berkomentar, "Saya tak pernah menemukan seorang perempuan di masa Nabi Saw yang memberi usul kemudian dibenarkan oleh Nabi kecuali Ummu Salamah."[7]




[1]Muslim (918-919).
[2]Ini terjadi setelah Zainab, putrinya baru lahir. Sementara suaminya, Abu Salamah, wafat beberapa bulan sebelum Zainab dilahirkan.
[3]Ibnu Sa'ad (8/87-96).
[4]Perjanjian damai Hudaibiyah adalah kesepakatan antara kaum Muslimin dan kafir Quraiys untuk melakukan genjatan senjata selama 10 tahun [penj].
[5]Mustadrâk (4/33-34).
[6]Bukhari (7420).
[7]Bukhari (7421).

No comments:

Post a Comment