Wednesday, January 22, 2014

Presiden pun Ikut BPJS


Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Fahmi Idris.

Foto: M Fathra Nazrul/JPNN.Com
Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Fahmi Idris. Foto: M Fathra Nazrul/JPNN.Com
JAMINAN Kesehatan Nasional (JKN) dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan telah resmi bergulir sejak 1 Januari 2014 lalu. Program ini dianggap sebagai salah satu hutang pemerintah kepada rakyat yang akhirnya terbayar, yaitu pemberian jaminan kesehatan secara nasional dan menyeluruh.
Dengan iuran murah dalam program JKN, pemerintah menjanjikan masyarakat mendapatkan pelayanan maksimal dan menjangkau pembayaran semua perawatan jenis penyakit berat dengan tarif tinggi, atas dasar azas gotong-royong. Yang sehat membantu yang sakit. Semua warga negara pun diwajibkan menjadi peserta JKN.
Dua minggu berlaku, program JKN ini mendapat respon yang bervariatif dari masyarakat. Sebagian menyambut baik dengan langsung mendaftarkan diri sebagai peserta, sementara sisanya mengaku masih bingung dengan pendaftaran dan keuntungan fasilitas yang didapat. Belum lagi, kekhawatiran masyarakat menengah ke bawah yang sangsi mendapat pelayanan lebih baik dari rumah sakit setelah adanya program ini.
Kepala BPJS Kesehatan Fahmi Idris pun berupaya mengikis kekhawatiran itu. "Semua penyakit ditanggung. Tentunya sesuai indikasi medis dan prosedur. Kecuali untuk penyakit karena kosmetik, bencana alam dan percobaan bunuh diri," ujarnya dalam wawancara khusus dengan Nathalia Laurens dan M Fathra Nazrul dari JPNN.
Fahmi menegaskan, tidak ada pengkotak-kotakan pelayanan terhadap peserta BPJS Kesehatan. Meski kelas dan iuran yang dibayarkan para peserta berbeda-beda, pelayanan rumah sakit yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan tetap sama. Hanya ruang kelasnya yang berbeda.
Untuk masyarakat miskin yang belum terintegrasi masuk dalam Penerima Bantuan Iuran (PBI), BPJS Kesehatan sudah membuka pintu setiap 6 bulan sekali meneripa update data terbaru dari Kementerian Sosial. Dengan demikian, nantinya masyarakat tidak mampu tetap mendapat pelayanan kesehatan biaya negara.
Pelayanan kesehatan di JKN diberikan dengan mengikuti prosedur rawat jalan di Fasilitas Kesehatan Primer sesuai tertera di kartu kepesertaan yang meliputi puskesmas, dokter keluarga, dokter gigi keluarga, atau klinik swasta.
Jika membutuhkan tindakan medis lanjutan, maka dirujuk ke Faskes Skunder yaitu  Rawat Jalan Tingkat Lanjutan ke spesialis dan sub-spesialis di rumah sakit, termasuk pelayanan laboratorium atau rawat inap. Prosedur rawat jalan dan rujukan tidak berlaku apabila keadaan emergency.
Fami pun membeber lebih lengkap soal BPJS. Berikut kutipan wawancaranya di kantor BPJS Kesehatan di kawasan Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Rabu, (15/1) :
Sudah berapa peserta yang terdaftar sejak BPJS Kesehatan diberlakukan 1 Januari lalu?
Sejak tanggal 1 Januari kan kami sudah membuka pendaftaran, itu sudah ratusan yang mendaftar dalam sehari. Nah sedangkan perkembangan ke depan per hari yang mendaftar mencapai 25 ribu orang di seluruh wilayah. Hingga hari ini telah terdaftar dalam data BPJS Kesehatan untuk peserta peralihan 116. 122.065. Itu terdiri dari peserta Askes Sosial, Jamkesmas, TNI/Polri, Jamsostek serta peserta Kartu Jakarta Sehat (KJS) dan Jaminan Kesehatan Aceh (JKA). Sementara peserta yang mendaftar secara mandiri yang termasuk kelompok pekerja bukan penerima upah dan bukan pekerja sebanyak 162. 201 orang.
Kalau untuk peralihan Jamkesda hingga saat ini sejumlah 32 kabupaten/kota sudah terintegrasi sebanyak 3. 512. 248 peserta. Kabupaten/kota yang lain menyusul sedang prosesnya. Termasuk jumlah warga miskin yang masuk PBI. Kita mendapat data dari Kementerian Sosial. Setiap enam bulan sekali akan diupdate sesuai dengan perubahan yang ada. Kemensos memberikan itu pada kami.
Apa saja kendala di lapangan?
Saya ingin sedikit beri pandangan yang berbeda terhadap ada komentar bahwa sosialisasi tidak berhasil. Kalau dikatakan tidak berhasil, jelas suatu hal yang perlu kita clear-kan. Buktinya sekarang animo untuk daftar menjadi peserta itu luar biasa. Kami pun sampai buka tenda pendaftaran. Kami sampai merekrut alumni, kami minta tarik lagi, bantuannya dengan insentif yang layak, untuk membantu. Artinya kalau dikatakan tidak berhasil, kok banyak sekali yang mendaftar.
Namun kita paham bahwa Indonesia kan luas. Negara kepulauan, tidak semua orang punya televisi, tidak semua orang langganan media cetak. Mungkin saja ada titik-titik yang mereka belum tahu. Mungkin saja. Tapi kami pada berdasar pada fakta lapangan. Kemudian selama satu tahun ini kami pakai iklan di media elektronik. Kami pakai pihak ketiga, untuk memantau hasil sosialisasi kami. Ternyata animo masyarakat dengan sosialisasi ini meningkat. Sudah paham, tahu, lalu ingin mendaftar.
Bagaimana dengan daerah yang sudah menerapkan Jamkesda? Apakah data pemda langsung dimasukkan ke JKN? Apakah yang ditanggung Pemda juga nantinya harus membayar iuran?
Ada warga miskin, non-kuota Penerima Bantuan (PBI) di masing-masing daerah, itu lewat Jamkesda. Di Aceh namanya JKA, di Jakarta namanya KJS. Nah provinsi seperti Aceh dan DKI sudah komit bergabung. Pemdanya yang membiayai iurannya. Tinggal sistemnya disatukan.
Jadi kalau pun ada warga pemilik kartu Jamkesda tidak masuk PBI, iurannya untuk jadi peserta JKN tetap dibayarkan oleh Pemda. Ada 107 kabupaten/kota, dari situ sudah ada 32 kabupaten/kota yang berkomitmen kerjasama terintegrasi dengan JKN ini.
Bagaimana dengan pasien yang selama ini ditanggung Kartu Jakarta Sehat? Sebab, para peserta KJS selama ini gratis tanpa harus iuran? Apakah yang selama ini mendapat perlakuan Kelas III di KJS juga mendapat perlakuan yang sama saat JKN?
KJS kan masuk kategeori Jamkesda. Ini di DKI dan sudah terlibat sejak awal. Per 1 Januari 2014, KJS menyatu dengan JKN. Kami sudah katakan pada Gubernur DKI Joko Widodo, jika ada warga DKI yang sakit di luar Jakarta bisa ditanggung juga karena dalam satu kesatuan sistem.
Jadi apa yang dirasakan manfaatnya di KJS selama ini, otomatis sama dengan dengan di sistem nasionalnya. Memang kalau kita bicara mengenai mekanisme sistemnya, kami sudah mulai masuk kata sepakat bahwa setiap orang penduduk DKI yg menjadi peserta KJS itu harus punya kartu KJS.
Prinsip jaminan kesehatan itu kan dua. Peserta itu mendaftar, yang kedua membayar iuran. Yang tidak mampu membayar iuran dibayari oleh pemerintah. KJS ini kan ditanggung pemda iurannya. Rasanya tidak ada masalah kalau sudah ada kartu KJS. Kartu KJS adalah kartu JKN. Otomatis itu, jadi tidak ada masalah.
Apakah Presiden, pejabat negara dan anggota DPR RI juga sudah menjadi peserta JKN?
Jadi ada dua, penyelenggara negara itu saya kategorikan kelompok PNS, TNI/ Polri  dan non PNS, TNI Polri. Untuk yang kelompok pertama, itu mereka otomatis jadi peserta BPJS Kesehatan. Termasuk Presiden dan Ibu Negara karena mereka sesungguhnya memang masuk kelompok itu. Itu otomatis. Cukup dengan kartu Askes yang lama.
Kalau yang non PNS, TNI/ Polri ini harus mendaftar. DPR RI misalnya, sudah akan ketemu dengan Sekjen DPR. Kami minta ada pendaftaran kolektif anggota DPR, DPD juga. Mahkamah Agung juga undang kami. Mahkamah Agung kan juga ada yang PNS, ada yang bukan. Kalau yang PNSnya kan otomatis.
Kesan selama ini, pihak rumah sakit sering meremehkan pasien yang ditanggung Jamkesda ataupun KJS. Bagaimana mengubah agar pasien tetap dinomorsatukan?
Prinsipnya, karena tidak ada perubahan apapun dari Jamkesda atau KJS, manfaat yang didapatkan peserta JKN justru meningkat. Semuanya lebih komprehensif. Semua ditanggung selama sesuai dua persyaratan. Sesuai indikasi medik dan mengikuti prosedur. Semua dilayani meski dengan kelas yang berbeda. Sama juga, Jamkesmas itu apa yang sudah didapat, ya dilanjut saja. Kartu lamanya ada di kami. Master datanya ada di kami. Tidak ada pergantian hanya namanya saja, tetap mendapat pelayanan.
Tentu akan terus dilakukan evaluasi juga. Untuk evaluasi dan peningkatan lebih lanjut, kami membentuk Satgas bersama BPJS Kesehatan dan lima organisasi profesi. Ini jaminan kesehatan gotong royong. Yang sehat membantu sakit.
Apakah semua penyakit berat peserta di-cover oleh JKN?
Seluruhnya. Seluruh kebutuhan kesehatan itu ditanggung selama sesuai indikasi. Kalau dia indikasi sakit karena kosmetik, ya enggak ditanggung. Sakit karena kosmetik, tidak sesuai prosedur, berobat dengan tradisional, bencana alam itu tidak ditanggung. Kebutuhan dasar kesehatan yang dilayani.
Bagaimana dengan perusahaan peserta asuransi komersil, apakah harus mengeluarkan lagi untuk mengikutkan pekerjanya pada JKN?
Prinsipnya, Undang-undang SJSN memerintah seluruh warga negara wajib menjadi peserta JKN. Yang tidak mampu, iurannya dibayar pemerintah. Itu prinsip. Jadi perusahaan manapun juga wajib turut serta.
Nah di luar itu UU juga menyatakan kalau ingin menaikkan kelas perawatan, itu boleh ikut asuransi kesehatan tambahan (komersil) atau reimburse. Bayar sendiri. On top dari perawatan yang ada itu bisa masuk di sini. Inilah kemudian perusahaan-perusahaan itu dapat melakukan koordinasi manfaat namanya COB, connection of benefit.
Nah di situ kemudian diatur,  misalnya satu perusahaan mengikuti asuransi komersil, X life, preminya Rp 200 ribu per orang, tinggal di bagi dua. Rp 59.500 didaftar ke BPJS Kesehatan, sisanya on top itu masuk di yang asuransi lain.
Kami sudah punya MoU dengan asuransi umum Indonesia. MoU dengan asuransi-asuransi jiwa Indonesia yang mengatur koordinasi manfaat ini. Malahan asuransi komersial ini akan tumbuh berkembang lebih cepat. Keuntungannya apa? Keuntungannya bahwa asuransi komersial itu tidak perlu lagi memverifikasi. Verifikasi lewat sistem yang ada di INA-CBGs (Indonesia Case Based Groups (INA CBGs) di program JKN. Sistem pengelompokan untuk standarisasi tarif dan penyakit. Dicek oke, tarifnya sekian.
Misalnya perusahaan asuransi menanggung seorang pasien di rumah sakit tertentu, kemudian ingin kelas perawatannya meningkat, dihitung dengan INA-CBGs, sisanya dibayarkan oleh asuransi.
Untuk komposisi iuran, karyawan penerima upah (membayar iuran) sebesar 4,5 persen dari gaji karyawan per bulan hingga 30 Juni 2015. Akan meningkat menjadi 5 persen pada 1 Juli 2015. Pembagiannya, pengusaha diminta membayarkan iuran karyawannya sebesar 4 persen, sedangkan pekerjanya 0,5 persen.
Kerjasamanya tidak ribet, karena sudah ada MoU dengan payung asuransinya. Tinggal dicek teknisnya. Kami sudah mulai ini masuk. Kami berharap perusahaan juga segera bergabung.
Apa keuntungan BPJS Kesehatan yang bisa ditawarkan pada masyarakat?
Saya tidak ingin membandingkan BPJS Kesehatan dengan yang komersil. Kalau membandingkan dianggap mematikan asuransi komersial. Kami ini komplemen saling melengkapi. Bahwasanya masyarakat harus memiliki jaminan kesehatan itu, Undang-Undang yang memerintahkan. UU menyatakan bahwa semua pelayanan kesehatan itu dijamin selama sesuai indikasi medis dan prosedur.
Kemudian karena ini sifatnya asuransi sosial, tidak ada restriksi (pembatasan). Misalnya kalau mau daftar harus ada batasan umur, enggak ada itu. Tidak ada berdasarkan riwayat perjalanan penyakitnya. Tidak ada batasan umur, demografinya, batasan sehat atau tidak. Ini membedakan dengan asuransi komersial. Asuransi komersial kan pasti menghitung nih.
Tapi ini namanya gotong royong, jadi kita bersama-sama jadi manfaatnya besar, iurannya terjangkau, yang tidak mampu dibiayai. Tentu asuransi komersial punya komplemen yang saling melengkapi dengan kita. Misalnya masyarakat ada yang di kelas I, tapi ingin kelas perawatan yang lebih, bisa pakai kelas tambahan. Sifatnya complementary.
Harapan untuk BPJS Kesehatan?
Pertama, kami tentu minta dukungan masyarakat. Bahwa jaminan pelayanan kesehatan ini mesti dibangun dengan prinsip gotong royong. Semua terlibat sehingga program ini jadi program besar dan kesejahteraan rakyat terjamin.
Kedua, kami juga ingin saran dan kritik terus diberikan. Di lapangan seperti apa. Bukan opini ya, kami perlukan kritik dan saran untuk evaluasi dan perbaikan.(flo/fat/jpnn)

No comments:

Post a Comment