Di tangan khalifah Umar, umat Islam memiliki banyak pasukan yang mampu menguasai
berbagai wilayah, termasuk Persia dan Romawi. Begitu
pula, mereka ini mampu mendatangkan ghanimah (harta rampasan perang) yang
melimpah baik dari penjuru Timur maupun Barat. Sehingga umat Islam pada masa ini mampu mencapai
kejayaan baik itu di bidang materi maupun non-materi. Akan tetapi bermula dari
kejayaan ini pula, di sana mulai timbul benih-benih konspirasi (fitnah) yang
mengatas-namakan kedaulatan umat Islam. Di sana-sini
terjadi perselisihan antar-umat Islam, antara satu kubu dan kubu lainnya.
Kondisi semacam ini pada akhirnya mengantarkan khalifah Umar bin Khattab terbunuh.
Bagaimana konspirasi ini dimulai? Siapa saja dalangnya?
Dalam catatan sejarah, konspirasi ini bermula ketika salah satu kubu Islam menunjuk
seorang budak yang bernama Abu Lu’luah untuk membunuh khalifah Umar. Lantas, siapa
sebenarnya Abu Lu’luah ini?
Ibnu ‘Abbas ketika bercerita tentang pembunuhan khalifah Umar berkata, “Umar
wafat karena ditikam tepat pada paru-parunya. Orang yang menikamnya adalah Abu
Lu’luah. Dia adalah seorang budak milik Mughirah bin Syu’bah yang telah masuk
ke dalam golongan orang Majusi.”[1]
Abu Rafi’ r.a. juga bercerita pada kami, “Abu Lu’luah adalah seorang budak milik
Mughirah bin Syu’bah. Dia bekerja di penggilingan tepung. Mughirah menggajinya dengan 4
dirham per hari.”
Abu Rafi’ melanjutkan ceritanya, “Ketika Abu Lu’luah bertemu dengan Umar,
ia mengadu padanya, ‘Wahai Amirul Mukminin, Mughirah terlalu memberatiku dalam
bekerja. Tolong nasehati dia supaya agak meringankan pekerjaanku.’ Umar kemudian
balik menasehatinya, ‘Bertakwalah kamu kepada Allah, dan berbuat baiklah kepada
tuanmu’.”
Setelah itu, beliau akhirnya melaksanakan apa yang diminta Abu Lu’luah. Umar
kemudian menemui Mughirah dan memintanya agar meringankan pekerjaan Abu Lu’luah. Akan
tetapi jawabannya tidak seperti yang diharapkan. Budak itu malah dimarahi
tuannya. Ia membentak Abu Lu’luah seraya berkata, “Carilah tuan lain yang lebih
adil selain aku!” Setelah dimarahi, Abu Lu’luah merasa dihina dan raut wajahnya
kelihatan sangat marah. Lalu ia berniat membunuh Umar. Budak itu
kemudian membuat pisau belati bermata dua. Ia mengasahnya dengan tajam serta
menaburinya racun. Setelah itu, ia mendatangi temannya yang bernama Harmazan
lalu bertanya padanya, “Bagaimana pendapat kamu tentang pisau belati bermata
dua ini?” Harmazan menjawab, “Kamu tidak akan menggunakan benda itu melainkan
untuk membunuh.”
Abu Rafi’ lalu melanjutkan ceritanya, “Abu Lu’luah kemudian menikam Umar
dengan pisau belati tersebut. Sesaat sebelum menikamnya, ia mendatangi khalifah Umar saat shalat Subuh. Ia persis berdiri di belakang beliau.” Biasanya, jika iqamah
telah dikumandangkan, khalifah Umar berkata pada makmumnya, “Luruskanlah
barisan kalian!” Dan seperti biasanya, ia mengatakan ungkapan ini pada umat
Islam yang akan mengikutinya dalam shalat jamaah. “Ketika Umar baru memulai
takbir, tiba-tiba Abu Lu’luah menikamkan pisau belatinya tepat pada paru-paru
beliau dengan sekali tikaman. Tikaman itu, selain mengenai paru-paru, juga melukai dada khalifah Umar. Beliau
tersentak dan langsung terjatuh. Tak hanya khalifah Umar saja yang terluka, Abu
Lu’luah juga melukai 13 sahabat yang ikut menunaikan shalat. Yang tujuh ikut terjatuh dan sakit. Sisanya selamat. Beliau
kemudian dibawa dan dilarikan ke rumahnya. Saat itu, umat Islam benar-benar
sangat marah dengan peristiwa ini. Sampai menjelang pagi, kemarahan itu masih
berkobar. Umar lalu memanggil Abdurrahman bin ‘Auf untuk menggantinya mengimami
shalat Subuh. Akhirnya Abdurrahman menjadi imam dan membaca
surat-surat pendek pada setiap rakaatnya.”
Selepas Abdurrahman bin ‘Auf dan umat Islam menyelesaikan shalat Subuh, mereka langsung menjenguk Umar. Lalu
Umar meminta minuman agar ia bisa melihat seberapa parah lukanya. Abdurrahman
bin ‘Auf lantas memberinya
segelas air anggur. Tak disangka, setelah Umar meminumnya, air tersebut keluar
melalui sobekan luka pada tubuh beliau. Dan air yang keluar tadi tidak bisa
dikenali, apakah itu warna air anggur ataukah warna darah luka. Umar kemudian
meminta air susu, lalu meminumnya. Sama saja, air susu itu juga keluar dari
sobekan luka di tubuh khalifah Umar. Melihat kejadian itu, Abdurrahman bin ‘Auf
menasehati Umar, “Tenangkan dirimu wahai Amirul Mukminin!”
Umar menjawab, “Jika peristiwa ini merupakan konspirasi pembunuhan, maka
aku telah dibunuh.” Para sahabat di sekeliling Umar mencoba menghibur dengan
memuji-mujinya. Mereka mengatakan, “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan
wahai Amirul Mukminin.” Kemudian mereka pergi. Lalu datang sekelompok sahabat
lagi. Mereka juga melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan para sahabat
sebelumnya. Umar menjawab, “Aku bersumpah demi apa yang mereka katakan. Aku
senang jika mati dalam kedamaian. Aku merasa tidak terbebani.”
Ibnu Abbas yang ketika itu berada di samping Umar kemudian membacakannya
beberapa ayat al-Qur’an. Setelah selesai membaca beberapa ayat al-Qur’an, ia lantas
berkata pada Umar, “Sungguh Rasulullah wafat tidak dalam keadaan damai. Aku
telah lama bersama Rasulullah. Aku menemaninya selayaknya seorang sahabat
menemani. Aku benar-benar selalu bersamanya sampai beliau wafat. Engkau juga
pernah menemani beliau wahai Amirul Mukminin. Engkau sekarang yang memegang
kendali kondisi umat Islam (pemerintahan) ini. Engkau telah
memegang pemerintahan ini dengan baik seperti yang Rasulullah Saw dan
keluarganya lakukan. Engkau benar-benar
melaksanakan perintah-Nya wahai Amirul Mukminin.” Umar mendengarkan secara seksama
apa yang disampaikan putra Abbas ini.
Lalu
Umar meminta Ibn Abbas supaya mengulang apa yang dikatakannya tadi. Maka ia memenuhi
permintaan khalifah Umar. Umar lantas
berkata, “Aku bersumpah demi apa yang engkau katakan tadi wahai Ibnu Abbas. Jika
aku punya emas yang menghampar, saat ini juga aku akan menebus kegentingan yang
terjadi di pagi buta ini dengan emas tersebut. Karena aku tidak punya emas itu,
untuk mengatasi kegentingan ini, aku akan mengajukan enam nama sahabat supaya mereka bermusyawarah –memilih di antara mereka sendiri– untuk
mencari penggantiku. Para sahabat itu adalah Utsman bin Affan, Ali bin Abi
Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awam, Abdurrahman bin ‘Auf
dan Sa’ad bin Abi Waqqas. Dan satu lagi, aku tambahkan Abdullah bin Umar
sebagai penengah di antara mereka. Adapun di antara mereka yang menonjol untuk menggantikanku ada tiga orang.” Setelah itu, khalifah Umar meminta Suhaib untuk mengimami shalat
bersama umat Islam.[2]
Dalam
riwayat lain, para sahabat mengatakan, “Tenanglah wahai Amirul Mukminin.” Umar lalu menjawab, “Jika kejadian ini menimbulkan masalah, maka aku
benar-benar telah dibunuh.”
Abu
Rafi’ menambahkan kisahnya bahwa Suhaib tiba-tiba bicara dengan nada yang keras
seraya berkata di hadapan para sahabat, “Oh! Oh! Oh!” Mendengar suara Suhaib yang begitu keras, salah satu sahabat menegurnya,
“Pelankan suaramu wahai Suhaib! Bukankah telah sampai padamu sabda Rasulullah
yang berbunyi, ‘Mereka yang sering mengeraskan
suaranya, Allah akan mengadzabnya dalam kubur’.”[3]
Mengeraskan suara juga bisa dinisbatkan dengan menangis mengerang-erang.
Abu
Rafi’ melanjutkan, “Suatu ketika, Umar bin Khattab bermimpi mengendarai kudanya
memasuki kota Madinah seraya melarang para pasukan mencambukku. Karena mimpi
tersebut, beliau kemudian mengirimkan surat kepada para jendral pasukan Islam agar tidak mencambukku.”
Ibnu
Umar menguatkan riwayat Abu Rafi’ dengan berkata, “Khalifah Umar r.a. pernah
menulis surat untuk para jendral pasukan Islam yang berbunyi, ‘Janganlah sekali-kali
engkau paksa kami untuk menyakiti orang lain dengan menggunakan silet’.”
Ketika ditikam Abu Lu’luah, beliau bertanya, “Siapakah orang yang menikamku
tadi?“
Mereka menjawab, “Ia adalah budak milik Mughirah bin Syu’bah.”
Lalu beliau berkata, “Bukankah telah aku katakan pada kalian, janganlah
sekali-kali kalian menyebabkan salah seorang pun menyakiti kami, karena merekalah
yang akan mengalahkanku.”[4]
Sebelumnya, khalifah Umar pernah merasakan kekhawatiran dari cara memandang
Abu Lu’luah padanya. Akan tetapi semua ketentuan hanyalah milik Allah.
Ibnu Umar juga menceritakan bahwa ayahnya, khalifah Umar bin Khattab, pernah
masuk rumahnya dan meminta tolong Abu Lu’luah supaya membetulkan kunci pintu
rumah yang rusak. Karena selain ahli dalam menggiling gandum, dia
juga ahli ilmu pertukangan dan memahat. Abu Lu’luah lalu berkata pada khalifah Umar,
“Wahai Amirul Mukmini! Mintakan untukku supaya Mughirah melepaskanku dari
perbudakan.”
Umar menjawab, “Sungguh kamu termasuk seorang pekerja keras. Bersabarlah
dan bertakwalah kepada Allah,” Lalu khalifah Umar berkata, “Apakah
kamu akan membuatkanku gigi geraham palsu untukku?”
“Ya, aku akan membuatkan engkau gigi geraham supaya engkau dapat ngobrol nyaman
dengan orang-orang,” jawab Abu Lu’luah.
Ayah lalu berkata padaku, “Aku merasa ada keburukan yang akan menghampiri dan
mengancamku, wahai anakku.”
Beliau melanjutkan, “Jika dia (Abu Lu’luah) hendak membunuh orang lain dengan
keji, maka aku akan membunuhnya dengan benda tajam ini.”
Beliau
juga memberitahuku dengan berkata, “Pandangan mata Abu Lu’luah seperti memberi isyarat
bahwa dia benar-benar ingin membunuhku.”
Tidak lama setelah kejadian itu, khalifah Umar pun ditikam Abu Lu’luah.
Amru bin Maimun berkata, “Ketika aku datang, khalifah Umar sedang bersama
Hudzaifah dan Utsman bin Hanif. Beliau berkata, ‘Apakah kalian berdua takut dengan ketidak-cocokan akan tanah yang kalian bawa?’ Utsman menjawab, ‘Jika engkau mau, maka aku akan
ambilkan tanahku, wahai Amirul Mukminin.’ Hudzaifah pun tak mau kalah saing
dengan berkata, ‘Aku telah membawa tanah yang cocok
sesuai dengan perintahmu wahai Amirul Mukminin.’
Kemudian beliau berkata, ‘Lihatlah! Sungguh kalian berdua
telah membawa tanah yang tidak sesuai.’ Beliau lalu berkata, ‘Sungguh jika Allah menyelamatkanku, maka aku akan panggil
janda-janda kota Iraq. Mereka tidak akan membutuhkan seorang pun selamanya
kecuali aku.’ Janda-janda itu tidak pada datang melainkan hanya
empat orang saja hingga khalifah Umar terluka akibat ditusuk Abu Lu’luah. Sudah
menjadi kebiasaan Sayyidina Umar jika masuk masjid beliau
berdiri di antara barisan shalat dan berkata,
“Luruskan barisan kalian!” Jika telah lurus, maka beliau akan maju sebagai Imam
dan mulai bertakbir.
Ada
riwayat lain yang menuturkan, “Ketika baru saja bertakbir
untuk mengimami shalat, beliau ditusuk di tempat pengimaman. Aku mendengar
beliau berkata, ‘Aku telah dibunuh oleh anjing, aku
telah dimakan oleh anjing’.” “Aku tidak benar-benar tahu, perkataan mana yang beliau
ucapkan saat itu,” kata Abdullah bin Umar.
Ibn
Umar berkata, “Tidak ada jarak antara aku dan ayah kecuali Ibn Abbas. Beliau
menarik tangan Abdurrahman bin ‘Auf lalu memeganginya. Tiba-tiba ada pisau
belati bermata dua yang mengarah ke ayahku. Mereka yang berada di sebelah kanan
ataupun kiri juga terkena sabetannya karena mencoba menghalangi pisau
itu agar tidak mengenai ayahku. Akhirnya pisau belati beracun itu melukai 13
orang dan sembilan di antaranya meninggal dunia.”
Ibn Umar berkata lagi, “Tiba-tiba saja ayahku melihat seseorang yang
melemparinya baju supaya dipakai. Beliau mengira bahwa baju itu minta diambil supaya
dapat dipakai dirinya. Beliau pun berkata, ‘Kami telah melaksanakan shalat Subuh.’ Pada saat itu, umat Islam di sekitar
masjid tidak mengetahui perkara yang sebenarnya terjadi. Yang janggal adalah hilangnya
suara Sayyidina Umar yang biasanya mengajak mereka
untuk mengucap سبحان الله sebanyak 2 kali. Ketika mereka
pergi, Ibn Abbas adalah orang pertama yang melihatku bersama ayah. Umar lalu
berkata pada Ibn Abbas, ‘Carilah siapa yang mencoba membunuhku!’”
Tak
berselang lama, Ibnu Abbas kemudian datang kepada kami dengan berkata, “Yang
mencoba membunuh engkau adalah seorang budak milik Mughirah si pemilik pabrik
gandum wahai Amirul Mukminin. Budak itu juga ahli pertukangan. Kemudian khalifah
Umar mengatakan, ‘Segala puji bagi Allah yang tidak menjadikan kematianku ini
di tangan orang yang mengaku Islam. Semoga suatu saat Allah membalasnya. Aku akan
memerintahkan untuk membunuh budak itu dengan cara yang baik. Ibn Abbas lalu berkata,
‘Jika keputusanmu demikian, maka akan kami kerjakan.’ Dan beliau juga berkata, ‘Setelah ini, dia tidak akan mengatakan apa yang pernah dia katakan.
Dia juga tidak akan mengerjakan shalat. Dan pastinya dia tidak akan beribadah
seperti ibadah yang kalian laksanakan’.”
Ibn Abbas
berkata, “Mereka yang hadir berkata pada khalifah Umar, ‘Sudah, tak apa-apa wahai
Amirul Mukminin.’ Setelah itu khalifah Umar meminta segelas air anggur untuk
diminum. Malangnya air tersebut keluar lagi dari
lukanya saat diminum. Kemudian beliau meminta air susu dan meminumnya. Sama
juga yang terjadi, air susu tersebut juga keluar lagi dari lukanya. Beliau yakin
kematiannya telah dekat. Maka beliau berkata kepada putranya, Abdullah bin Umar,
‘Hitunglah berapa utangku selama ini wahai putraku!’ Ibnu Umar menjawab, ‘86
ribu’. Sayyidina Umar bilang kepada putranya, ‘Jika harta dalam keluarga kita
cukup, maka bayarkanlah utangku dari harta itu. Jika tidak cukup, maka keluarga
Bani ‘Adi bin Ka’ab yang akan menambal utangku. Jika tidak cukup lagi, maka
orang-orang Quraisy yang akan melunasinya. Pesanku, jangan sekali-kali kamu
kasihkan tanggunganku ini ke orang lain untuk melunasinya. Kerjakanlah semua
itu wahai Abdullah! Lalu pergilah ke rumah Ummul Mukminin, Aisyah. Sampaikan salamku
padanya dan katakanlah, ‘Apakah diperbolehkan Umar bin Khattab dengan tanpa menggunakan
kata ‘Amirul Mukminin’ dikuburkan bersama kedua sahabatnya yaitu Nabi Muhamad Saw
dan Abu Bakar al-Sidiq?’”
Ibn Abbas melanjutkan, “Kemudian Ibn Umar mendatangi Sayyidah Aisyah yang sedang duduk dan menangis.
Sebelum masuk, ia mengucapkan salam dan berkata, ‘Apakah Umar bin Khattab boleh
dikuburkan bersama kedua sahabatnya?’ Ia menjawab, ‘Sungguh, sebenarnya
aku juga ingin dikuburkan bersama mereka. Akan tetapi aku akan menarik
keinginanku itu saat ini juga.’ Ketika permintaan khalifah
Umar diterima, Ibn Umar kembali. Mereka yang ada di sekitar beliau menyambut
putranya dengan berkata, ‘Ini Abdullah telah kembali.’ Khalifah Umar berkata, ‘Angkatlah aku!’ Beliau kemudian disandarkan.
Beliau langsung bertanya pada putranya, ‘Bagaimana hasilnya?’ Ibn Umar menjawab,
‘Seperti yang engkau inginkan wahai ayah, engkau telah mendapatkan izin.’ ‘Segala
puji bagi Allah’, kata Umar. ‘Apa lagi yang lebih penting dari perkara ini.
Jika nanti aku mati, maka bawalah aku.’ Lalu ucapkan salam dan katakanlah, ‘Umar
telah diberi izin untuk dikuburkan bersama kedua sahabatnya.’ Jika mereka
mengizinkan, maka masukkanlah aku ke dalam liang kubur berdampingan dengan
keduanya. Jika tiba-tiba mereka menolakku, maka kuburkanlah aku bersama kuburan
orang-orang Muslim lainnya.’
Tak
berselang lama, Hafsah putri Sayyidina Umar yang menjadi istri
Rasulullah datang bersama beberapa sahabat dari golongan perempuan (shahabiyat).
Saat kami melihat mereka datang, kami langsung berdiri mempersilakan mereka
masuk dan sebagian dari kami ada yang keluar. Hafsah kemudian masuk seraya
menangis di pangkuan ayahnya sekitar satu jam hingga kami mendengar tangisannya
dari luar. Para sahabiyat itu lalu berkata, ‘Berwasiatlah wahai Amirul Mukminin
supaya ada yang menggantikan posisimu sebagai khalifah!’
Khalifah
Umar menjawab, ‘Aku tidak menemukan sahabat-sahabat yang lebih baik dari mereka
ini. Saat Rasulullah wafat, mereka termasuk golongan orang yang ridha atas
wafatnya. Mereka ini adalah Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Zubair bin
Awwam, Thalhah, Sa’ad bin Abi Waqas dan Abdurrahman bin ‘Auf.’ Beliau
menambahi, ‘Dan jadikanlah Abdullah Ibn ‘Umar sebagai saksi kalian. Ia tidak
berhak untuk dipilih dalam musyawarah itu. Ia cukup sebagai penengah saja. Jika
kekhalifahan ini jatuh ke tangan Sa’ad, maka ia yang akan menjadi khalifah. Dan
jika tidak, saling musyawarahlah kalian untuk memilih siapa yang cocok memegang
tampuk kekuasaan. Sungguh aku tidak akan membicarakan kekurangannya dan tidak
akan berkhianat kepadanya.’ [5]
‘Amru
bin Maimun r.a. berkata, “Aku mendengar Umar saat dia ditusuk sempat mengucap
ayat suci al-Qur’an:[6]
وَكَانَ أَمْرُ
اللهِ قَدَرًا مَقْدُوْرًا
“Dan
ketetapan Allah itu merupakan suatu ketetapan yang pasti berlaku.” (QS Al-Ahzab
[33]: 38 ).
Ibnu Abbas berkata, “Di waktu Subuh saat Umar terkena
musibah, aku adalah salah satu orang yang membawa beliau pulang ke rumahnya. Ia
kemudian tersadar dan berkata, ‘Siapa yang menusukku tadi?’ Aku menjawab, ‘Abu
Lu’luah wahai khalifah Umar. Ia adalah seorang budak milik Mughirah bin
Syu’bah.’ Lantas beliau menasehatiku, ‘Berbuat baiklah engkau kepada semua
sahabat. Aku tidak ingin Abu Lu’luah dimasukkan sebagai tawanan dari golongan mereka
yang kafir. Jika aku melakukan itu, maka suatu saat kalian akan memberontak
kepadaku’.”
Sayyidina Umar selalu melarang siapa saja yang datang menjenguknya
dengan ratapan, tangisan ataupun sejenisnya.
Miqdam bin Ma’di Karb bercerita bahwa ia juga datang
menjenguk Sayyidina Umar. Ketika keluar, ia berpapasan dengan Sayyidah Hafsah. Sebelum melangkah jauh, ia
mendengar Ummul Mukminin berkata pada Sayyidina Umar, “Wahai Amirul Mukminin, wahai sahabat
Rasulullah, wahai khalifah Rasulullah! Mendengar suara putrinya, beliau
langsung berkata padanya, ‘Dudukkanlah aku wahai putriku!’ Lalu beliau melanjutkan
perkataannya, ‘Putriku, aku ingin engkau menangisiku setelah
pertemuan kita ini. Sungguh air mata dari kedua matamu itu bukan milikku lagi. Sungguh
tidak akan ada mayat yang terbujur kaku dengan diratapi kepergiannya oleh
keluarga, melainkan malaikat akan menguatkannya’.”[7]
Dalam
riwayat lain, Sayyidina Umar berkata, “Aku melarang
kalian meratapiku setelah pertemuan ini.” Ketika salah seorang memuji beliau,
ada seorang sahabat lagi yang menangis karena rasa takutnya kepada Allah. Hal
ini merupakan salah satu keutamaan yang dimiliki Sayyidina
Umar bin Khattab. Sesudah itu Ibn Abbas berkata, “Setelah Umar ditusuk, Hafsah
masuk ke dalam menemui Umar. Lalu Ibn Abbas berkata lagi, ‘Apakah manusiawi orang
yang telah berbuat seperti ini kepadamu wahai Amirul Mukminin? Sungguh Allah
telah memberimu hidup dalam pelbagai masa, melindungimu dari kemunafikan, serta
meluaskan rezekimu.’ Umar lalu membalasnya, ‘Apakah ada kekuasaan yang memalingkanku
wahai Ibn Abbas?’ Ibn Abbas membalas, ‘Pemimpin lain pun demikian.’ Lalu Umar berkata,
‘Aku bersumpah demi Dzat yang memegang jiwaku ini, sungguh aku rela keluar dari
kekuasaan itu seperti aku memasukinya. Sehingga aku tidak akan menerima upah sedikit
pun dan dosa yang menumpuk darinya. Ketahuilah! Aku tidak memiliki utang ataupun piutang.”[8]
Musawwar
bin Makhramah bercerita, “Ketika sesaat
Sayyidina Umar ditusuk, beliau berkata, ‘Aku bersumpah, jika aku memiliki emas yang menghampar, aku akan menghadiahkan
semuanya kepada orang lain. Supaya aku terjauh dari adzab Allah sebelum aku
melihat-Nya nanti’.”[9]
Setelah
beliau ditusuk, lukanya terus-menerus mengeluarkan darah. Riwayat
ini sesuai dengan apa yang diriwayatkan Musawwar. Dia berkata, “Setelah ditusuk,
beliau tak sadarkan diri beberapa saat. Setelah sadar, beliau kemudian berkata,
‘Semoga kalian tidak memisahkan diri dari suatu amalan saleh selagi
kalian masih hidup.’ Ibn Abbas lalu berkata, ‘Apakah itu shalat wahai Amirul Mukminin?! Jika betul, maka aku
telah berhati-hati dalam melaksanakannya.’ Maka beliau berkata, ‘Betul, amal shaleh itu memang shalat. Setelah ini, berilah
perhatian kepada orang-orang Islam yang meninggalkan shalat.’ Kemudian beliau menunaikan shalat Subuh
meski darah masih mengucur melalui lukanya.”[10]
Detik-detik Khalifah Umar al-Faruq Saat Menjelang Wafat
Sungguh
berat detik-detik terakhir umat manusia ketika menghadapi kematian!
Kira-kira,
bagaimana detik-detik itu dilewati oleh sang khalifah Umar bin Khattab
al-Faruq?
Mengenai
hal ini Ibn Abbas bertutur, “Aku masuk menemui Umar setelah peristiwa
penusukan. Aku bertanya padanya, ‘Apakah orang sepertimu akan masuk surga wahai
Amirul Mukminin? Engkau telah memeluk Islam sejak orang-orang masih menolak
kedatangannya. Engkau juga berjihad bersama Rasulullah Saw saat mereka masih enggan
melaksanakannya. Di tambah lagi saat Rasulullah Saw wafat, beliau ridha
terhadapmu. Dan tidak ada seorangpun yang berselisih ketika engkau memimpin. Akhirnya
engkau mati dalam keadaan syahid seperti yang engkau harapkan.’ Umar lalu menjawab, ‘Apakah aku telah berjanji kepada
seseorang wahai Ibn Abbas? Jika iya, aku akan tunaikan janji itu kepadanya sekarang
juga. Demi Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia, bila seluruh emas dan gandum di dunia ini menjadi milikku, maka aku
akan menghadiahkan semua itu kepadanya. Sesungguhnya orang mulia adalah mereka
yang memuliakan orang lain’.”[11]
Abdullah
bin Umar juga mengatakan, “Saat ayah
sakit, beliau meletakkan kepalanya di pahaku hingga ajal menjemputnya. Beliau
berkata padaku, ‘Letakkan pipiku ke tanah!’ Kemudian aku bertanya padanya, ‘Apa
bedanya engkau letakkan pipimu di atas tanah dan di atas pahaku wahai ayah?’ Beliau
lalu menjawab, ‘Kamu sudah lama tidak memiliki ibu. Letakkan pipiku di atas
tanah!’ Aku berkata pada beliau, ‘Bukankah meletakkan pipimu di atas pahaku dan
tanah sama rasanya?’ Beliau menyuruh lagi, ‘Letakkan pipiku di atas tanah!’ Aku
kemudian letakkan pipi ayahku ke tanah. Setelah itu aku mendengarnya berkata, ‘Celakalah
aku dan ibuku jika Allah tidak merahmatiku. Celakalah aku dan ibuku jika Allah
tidak mengampuni dosa-dosaku.’[12]
Beliau tetap mengucapkan kata-kata itu hingga menghembuskan nafasnya yang
terakhir.”
[1]Hadits hasan, HR Imam Tabrani dalam ‘al-Mu’jam al-Kabîr’ hlm. 77,
yang juga disebutkan oleh Imam al-Dzahabi dalam ‘Târîkh Islâm’, Juz IV,
hlm. 281.
[2]Hadits hasan, Abu Ya’la dalam ‘Musnad’ no. 2731, Ibn Asakir dalam ‘Târîkh
Dimasyq’ no. 352 bab 52, Ibn al-Atsir dalam ‘Asad al-Ghâbah’, Juz
IV, hlm. 177.
[3]Hadits shahih, HR Imam Muslim dalam ‘Shahîh Muslim’
no. 927, Ibn Sa’ad dalam ‘Tabaqât Kubrâ’, Juz III, hlm. 361-362, Ibn
Syabbah dalam ‘Asad al-Ghâbah’ no. 907, Juz III.
[5]Hadits
shahih, HR Imam Bukhari dalam ‘Shahîh Bukhâri’ no. 3700,
Ibnu Abi Syaibah dalam ‘Mushannif’, Juz VIII, hlm. 576-577, Ibn Syabbah
dalam ‘Târîkh al-Madînah’, Juz III, hlm. 899, Ibn Sa’ad dalam ‘Tabaqât
Kubrâ’, Juz III, hlm. 337-341, Ibn al-Atsir dalam ‘Asad al-Ghâbah’,
Juz IV, hlm. 175, Ibn Asakir dalam ‘Târîkh Dimasyq’ hlm. 355 bab 52.
[6]Hadits shahih, HR Ibn Sa’ad dalam ‘Tabaqât Kubrâ’ hlm.
349, Juz III, Ibn Syabbah dalam ‘Târîkh al-Madînah’ hlm. 900, Juz III,
Ibn Asakir dalam ‘Târîkh Dimasyq’ hlm. 358 bab 52.
[7]Hadits shahih, HR Ibn Syabbah dalam ‘Târîkh al-Madînah’
hlm. 906, Juz III, Ibn Sa’ad dalam ‘Tabaqât Kubrâ’ hlm. 371, Juz III,
Ibn al-Jauzi dalam ‘Manâqib Umar’ hlm.
225.
[8]Hadits shahih, HR Ibn
Sa’ad dalam ‘Tabaqât Kubrâ’, Juz III, hlm. 351, Ibn Syabbah dalam ‘Târîkh
al-Madînah’, Juz III, hlm. 916, Abu Na’im dalam ‘Hilyat al-Auliyâ’,
Juz I, hlm. 52, Ibn ‘Asyakir dalam ‘Târîkh Dimasyq’, bab 52, hlm. 363.
[10]Hadits shahih, HR Ibn Sa’ad dalam ‘Tabaqât Kubrâ’, Juz
III, hlm. 350, Ibn ‘Asyakir dalam ‘Târîkh Dimasyq’, bab 52, hlm. 359, dan Ibnu Abi Syaibah dalam ‘Mushannif’,
Juz VIII, hlm. 579.
[11]Hadits shahih, HR Ibn Syabbah dalam‘Târîkh al-Madînah’,
Juz III, hlm. 914, Imam Baihaki dalam ‘al-Kubra’, Juz X, hlm. 97.
[12]Hadits shahih, HR Ibn al-Mubarak dalam ‘al-Zuhd’ hlm.
80, dan Ibn Sa’ad dalam ‘Tabaqât Kubrâ’, Juz III, hlm. 360.
No comments:
Post a Comment