Sebelum Rasulullah diutus, putri tertuanya, Zainab, dinikahi Abu al-‘Ash bin Rabi’ yang merupakan putra bibinya, Halah binti Khaulah. Pada saat itu, Zainab masih berusia sepuluh tahun.
Setelah Muhamad diutus, suku Quraisy sudah mulai menampakkan
kebencian dan permusuhannya terhadap Rasulullah. Mereka mendatangi Abu al-‘Ash
seraya berkata, “Putuskan hubunganmu dengan putri Muhamad dan kami akan
menikahkanmu dengan perempuan-perempuan Quraisy sesuai dengan pilihanmu.”
Mendapat tekanan seperti itu, Abu al-‘Ash menyatakan, “Tidak,
demi Tuhan, saya tidak akan pernah melakukan pemutusan hubungan dengan sahabat-sahabatku.
Dan saya tidak berniat untuk menikahi
perempuan Quraisy manapun seperti yang Anda tawarkan.”
Pernikahan Abu al-‘Ash dengan Zainab berlangsung saat
Rasulullah masih berada di Makkah dan pernikahan keduanya belum mendapatkan
respon halal-haramnya dari Allah. Tetapi dengan masuknya Zainab dalam agama
Islam, hubungannya dengan Abu al-‘Ash sudah tidak mendapatkan posisi yang dibolehkan
dalam Islam. Namun kondisi ini tidak lantas membuat Rasulullah memaksa keduanya
agar berpisah. Zainab tetap memegang teguh keyakinan agama barunya, Islam. Sedang
suaminya Abu al-‘Ash tetap kafir dan hal ini berlanjut sampai Rasulullah hijrah
ke Madinah.
Ketika terjadi peristiwa perang
Badar, Abu al-‘Ash merupakan salah satu tawanan perang yang ditawan di kota
Madinah. Saat delegasi Makkah datang hendak menebus orang-orang kafir yang
ditawan, Zainab mengutus delegasi untuk memberikan kalung pemberian ibunya,
Khadijah, sebagai tebusan demi membebaskan Abu al-‘Ash dari tawanan kaum
Muslimin. Tatkala Rasulullah mengetahui peristiwa ini, Rasulullah menyobek
sebuah kertas lalu berkata, “Kalau kalian melihat Zainab melepaskan tawanan (Abu
al-‘Ash) maka turutilah. Dan kalian kembalikan kalung tebusan itu kepadanya.
Jika hal ini kalian anggap baik maka laksanakanlah.”
Lalu para sahabat berkata, “Baik, wahai Baginda Nabi."
Mereka kemudian melepaskan Abu al-‘Ash dan mengembalikan kalung yang akan
dijadikan sebagai tebusan kepada pemiliknya, Zainab.
Setelah itu, Nabi membuat sebuah perjanjian untuk memberi
jalan dan kesempatan bagi Zainab. Tetapi, Nabi Saw berusaha merahasiakannya
dengan menugaskan Zaid bin Haritsah dan seorang lagi dari kaum Anshar.
Nabi berpesan kepada keduanya, "Kalian tunggu Zainab di jantung kota
Ya'jaj. Jika melihat Zainab lewat, temani dia." Keduanya pun melaksanakan apa
yang diperintahkan Nabi.
Sewaktu Abu Al-‘Ash sampai di kota Makkah, dia menyarankan
Zainab agar pergi ke rumah orang-tuanya. Zainab pun menyetujuinya. Beberapa
waktu berselang, tiba-tiba saudara iparnya, Kinanah bin Rabi', datang dengan
membawa unta. Zainab kemudian mengendarainya dengan dituntun oleh iparnya di
siang hari. Saat itu Zainab menaikinya dalam keadaan tertutup.
Kaum Quraisy melihat dan membincangkan peristiwa itu.
Mereka berusaha mengejar sampai ke Desa Dzi Tuwa. Orang yang pertama kali
sampai di desa itu adalah Hubar bin al-Aswad yang kemudian menarik-narik Zainab
yang sedang berada di atas unta dalam keadaan tertutup. Saat itu Zainab sedang hamil
tua. Kinanah, yang mengantarnya, membantu agar unta yang ditumpanginya mau
berhenti sejenak seraya berkata, "Demi Allah, siapapun yang mendekat akan
saya panah." Hubar pun menjauh dan meninggalkan tempat itu.
Namun, selang beberapa saat, datanglah Abu Sufyan bersama
segerombolan orang Quraisy mengingatkan apa yang dilakukan Kinanah. “Berhenti, saya
mau bicara. Kamu salah, keluar dari kota Makkah di siang bolong dengan membantu
perempuan buron. Kamu sendiri tahu apa yang baru saja menimpa kami di
peperangan. Tak ada seorang pun yang boleh menyerahkan diri kepada Muhamad.
Saya bersumpah bahwa kami tidak membutuhkan Zainab. Pulanglah dulu, nanti kalau
orang-orang sudah tenang, kita kembalikan Zainab di waktu malam hari secara
sembunyi-sembunyi," ujar Abu Sufyan.
Abu Sufyan menepati janjinya dan Zainab pun dititipkan kepada
Zaid dan seorang Anshar yang telah menunggu di kota Ya'jaj hingga siap diserahkan
kepada Rasulullah.
Sebelum terjadinya pembebasan atau penaklukan kota Makkah,
Abu al-‘Ash biasa melakukan perjalanan ke Negeri Syiria untuk berdagang.
Sebagaimana lazimnya pedagang kala itu, dia membawakan harta milik dirinya sendiri
dan harta orang-orang Quraisy. Ketika hendak kembali ke Makkah, di tengah
perjalanan dia bertemu dengan sejumlah pasukan Muslim. Dalam posisi demikian, Abu
al-‘Ash tidak bisa melarikan diri. Para pasukan Muslim menahan dia dan
mengambil barang-barang yang dia bawa.
Pada suatu malam, Abu al-‘Ash mendekat ke daerah di mana
pasukan itu berkumpul dan membawa harta miliknya. Dia berhasil masuk dan
bertemu Zainab. Perjumpaannya dengan Zainab dimanfaatkan oleh Abu al-‘Ash untuk
melakukan transaksi dagang. Ketika Rasulullah keluar untuk melaksanakan shalat Subuh
secara berjama’ah, pada takbir pertama Zainab yang berada di shaf perempuan
tiba-tiba berteriak lantas berkata, “Sungguh tadi malam saya telah melaksanakan
transaksi dagang dengan Abu al-‘Ash.”
Saat Rasulullah mengucap salam tanda shalat sudah
selesai, Nabi membalikkan badannya dan menghadap ke arah sahabat lalu beliau bertanya,
“Wahai para sahabatku, apakah kalian mendengar apa yang saya dengar barusan
mengenai ucapan Zainab? Sungguh demi diri saya sendiri, saya benar-benar tidak
tahu mengenai persoalan itu kecuali mendengar barusan ini; bahwa Abu al-‘Ash
telah melaksanakan transaksi dagang dengan orang-orang Muslim.”
Setelah Rasululullah keluar dari masjid, beliau mengunjungi
rumah anaknya, Zainab. Setiabnya di
rumah Zainab, beliau berpesan, “Wahai putriku, hormati dia (Abu al-‘Ash) dan
jangan sampai dia menemuimu. Sesungguhnya kamu tidak halal baginya.”
Kemudian Rasulullah mengutus seorang delegasi kepada
pasukan yang telah menyandera harta Abu al-‘Ash dengan menyampaikan pesan, “Laki-laki
ini (Abu al-‘Ash) sesunguhnya berada di pihak kami, dan kalian telah mengambil
hartanya. Sebab itu, bila kalian menganggap baik untuk dikembalikan, maka kembalikanlah
dan kami sangat senang dengan hal itu. Tetapi jika kalian tetap menahan
hartanya, maka status harta itu adalah harta ghanimah (rampasan perang) yang
akan bermanfaat buat kalian dan kalian lebih berhak soal itu.”
Pesan Rasulullah melalui utusannya ini langsung
ditanggapi oleh pasukan Muslimin yang menyatakan, “Katakanlah kepada Rasulullah
bahwa kami akan mengembalikan harta yang kami tahan kepada pemiliknya.”
Seketika itu pula pasukan Muslimin mengembalikan harta tersebut kepada Abu al-‘Ash
tanpa berkurang sedikit pun. Setelah harta itu dikembalikan, Abu al-‘Ash
membawanya ke Makkah dan memberikan kepada semua pemiliknya dari orang-orang
Quraisy. Tuntas pengembalian itu, dia lalu bertanya, “Wahai orang-orang Quraisy,
adakah harta yang kalian titipkan kepadaku yang belum kalian ambil?”
Lalu orang-orang Quraisy menjawab, “Tidak, kami semua
sudah mengambil harta yang kami titipkan dan semoga Tuhan membalasmu dengan
kebaikan. Sungguh kami selalu menemukanmu dalam kondisi mulia dan amanah.”
Kemudian, dengan
tenang, Abu al-‘Ash berkata lagi, “Sesungguhnya saya telah bersaksi bahwa tiada
Tuhan selain Allah dan Muhamad adalah hamba dan utusan-Nya. Demi Allah tidak
ada yang menyebabkan saya memeluk Islam selain karena saya merasa khawatir
bahwa kalian akan menuduhku memakan harta kalian, terlebih saat harta kalian masih
ditawan oleh pasukan Muslim. Dan, saat harta itu Allah kembalikan kepada saya
dan saya mengembalikannya kepada kalian secara utuh, jelas tidak ada alasan
bagiku untuk tidak masuk Islam." Setelah Abu al-‘Ash menyatakan diri masuk
Islam, dia kemudian hijrah ke Madinah bergabung dengan Rasulullah dan para
sahabat.
Menurut Ibnu Abbas, Abu al-‘Ash tiba di Madinah sudah dalam
keadaan Muslim. Melihat keadaan ini, selanjutnya, Rasulullah mengembalikan
Zainab kepada Abu al-‘Ash tanpa ada pernikahan ulang di antara mereka berdua,
meski telah berpisah selama enam tahun, lantaran alasan perbedaan agama.[1]
Setelah Zainab kembali menjadi istri Abu al-‘Ash, dia hidup
bahagia bersama suaminya hingga tahun kedelapan Hijriyah dan dia meninggal saat
Rasulullah masih hidup. Zainab sendiri merupakan putri yang sangat disayangi
dan dikasihi Rasulullah.
Selepas Zainab meninggal, Abu al-‘Ash terus mengukir
cintanya dalam dada sampai dia sendiri dipanggil oleh Sang Maha Pemberi cinta,
tepatnya pada bulan Dzul Hijjah tahun keduabelas Hijriyah, yaitu pada masa Khalifah
Abu Bakar al-Shidiq.
Dalam salah satu perjalanannya ke Syam, Abu al-‘Ash
pernah menulis dan mendeklamasikan sebuah syair yang dipersembahkan untuk istri
tercintanya, Zainab:
Saya teringat istriku, Zainab, tatkala menaiki unta
Saya minta seseorang seteguk minuman di tanah haram
Putri al-Amîn, Nabi Saw, semoga Allah membalasmu
Setiap generasi akan memuji sesuai pengetahuannya
[1]Lihatl Musnad Imam Ahmad, Vol I, hal.
217, Sunan Abi Daud, hal. 2240, Al-Turmudzi, hal. 1143, Sunan Ibnu Majah, hal. 2009, al-Hakim, hal. 337, Thabaqât Ibnu Saad, Vol. VIII, hal. 21,
Irwail Ghalil lil al-Bani, Vol. VI, hal. 340.
No comments:
Post a Comment