Sistem Jaminan Kesehatan Nasional mensyaratkan pemeriksaan berjenjang bagi peserta. Ini menuntut perubahan paradigma berobat. Karena belum terbiasa, banyak peserta merasa sistem rujukan menyusahkan. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan perlu menyiapkan masa transisi agar masyarakat siap.
”Di awal
pelaksanaan JKN, BPJS Kesehatan perlu lebih fleksibel,” kata Ketua Pusat Kajian
Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany di
Jakarta, Selasa (7/1/2014). Masa transisi ini bisa berlaku 3-6 bulan.
Selama masa
itu, rumah sakit seharusnya bisa menerima pasien tanpa surat rujukan.
Selanjutnya, keluarga pasien diminta mengurus surat rujukan. Dalam waktu bersamaan
dilakukan edukasi dan sosialisasi secara masif.
Fleksibilitas
aturan sistem rujukan memang akan membuat anggaran BPJS Kesehatan membengkak.
Namun, itu risiko atas lemahnya sosialisasi yang dilakukan BPJS Kesehatan.
Fleksibilitas ini untuk menjaga citra dan harapan masyarakat terhadap JKN agar
sistem yang baik ini tetap berjalan.
Hasbullah
menyarankan BPJS Kesehatan segera menambah jumlah personel yang ditempatkan di
rumah sakit maupun tempat pendaftaran untuk meredam kebingungan masyarakat.
Mereka harus dibekali kemampuan untuk menerjemahkan kebijakan besar yang
kompleks menjadi sederhana serta mudah dipahami pasien dan keluarga, tenaga
kesehatan, maupun rumah sakit.
Saran
serupa dikatakan pendiri Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan Universitas Gadjah
Mada, Laksono Trisnantoro. Masa transisi bukan berarti membelokkan aturan yang
dirancang untuk memperbaiki sistem kesehatan, tetapi agar tidak ada peserta
yang dirugikan.
Sistem
rujukan merupakan koreksi atas pola berobat masyarakat yang enggan ke fasilitas
kesehatan dasar dan langsung berobat ke rumah sakit. Akibatnya, rumah sakit
dengan kemampuan layanan spesialis dan subspesialis penuh pasien dengan
penyakit ringan.
Dalam JKN,
pengobatan berjenjang diterapkan secara ketat. Akibatnya, sebagian peserta
mengeluhkan tidak dilayani rumah sakit karena tidak memiliki surat rujukan dari
fasilitas kesehatan dasar.
Khawatir
Penolakan
ini sebenarnya merisaukan pengelola rumah sakit, sebagaimana dilaporkan dari
Jember. Para pengelola rumah sakit khawatir tidak menerima bayaran dari BPJS
Kesehatan jika menerima pasien tanpa surat rujukan. Di sisi lain, rumah sakit
tidak boleh menolak pasien yang datang berobat.
Hal itu
mengemuka dalam rapat dengar pendapat antara Komisi D DPRD Jember dengan Kepala
Cabang BPJS Kesehatan Jember dan Lumajang M Ismail Marzuki, Kepala Dinas
Kesehatan Jember Bambang Suwartono, serta Direktur RS dr Soebandi, Direktur RS
Kalisat, dan Direktur RS Balung, Selasa.
”Pasien
yang datang ke rumah sakit marah jika ditolak. Sebaliknya, jika diterima, kami
bisa tidak menerima bayaran,” kata Kunin, Direktur RS Kalisat.
Ismail
mengatakan, dalam situasi darurat, RS bukan mitra BPJS boleh menerima pasien
peserta BPJS. Setelah masa darurat diatasi, pasien dirujuk ke RS mitra BPJS.
”Rumah sakit yang menangani kami bayar,” katanya.
Lebih
efisien
Ketua
Komisi D DPRD Jember HM Ayub Junaidi berpendapat, menggabungkan jaminan
kesehatan bagi penduduk miskin ke JKN bisa lebih efisien.
Menurut
Bambang Suwartono, tahun lalu penduduk yang berobat memakai surat miskin ada
5.259 orang. Jika dijadikan peserta BPJS Kesehatan, hanya perlu biaya Rp 1,2
miliar per tahun. Sebagai pembanding, tahun 2013 Pemkab Jember menganggarkan Rp
10,5 miliar untuk pengobatan penduduk miskin dan tahun 2014 Rp 13 miliar.
Dari
Palembang dilaporkan. program JKN di Sumatera Selatan berlangsung di tengah
sejumlah masalah teknis. Salah satunya, banyak fasilitas kesehatan belum
memenuhi standar.
Kepala BPJS
Kesehatan Divisi Regional III Sumatera Bagian Selatan Hendaryo mengatakan, 60
persen fasilitas kesehatan di Sumatera Selatan belum memenuhi standar program
JKN.
Standar
yang dimaksud meliputi adanya dokter di puskesmas, ketersediaan alat,
kompetensi dokter, hingga izin operasional puskesmas. ”Evaluasi terus dilakukan
dan masih ada waktu tiga tahun untuk memenuhi standar,” katanya.
Kepala
Dinas Kesehatan Kota Palembang Anton Suwindro mengatakan, untuk meningkatkan
kesiapan puskesmas dalam menjalankan JKN akan diselenggarakan kelas penyegaran
singkat dengan pengajar dokter spesialis. Tujuannya, untuk meningkatkan
kompetensi para dokter umum.
”Ada 144
diagnosis yang harus ditangani di puskesmas. Dulu ini bisa dirujuk ke rumah
sakit,” katanya.
Kota
Palembang saat ini masih mengelola jamkesda bernama Jaminan Sosial Kesehatan
Semesta Sumsel secara terpisah. (health.kompas.com)
No comments:
Post a Comment