Indonesia Terpuruk
Pasca krisis
multidimensi yang melanda dunia pada tahun 1997, sampai kini, Indonesia belum
juga mampu keluar dari krisis. Banyak hal dan peristiwa yang mengakibatkan
krisis tersebut terus berlanjut. Beberapa hal yang dapat diungkapkan antara
lain:
Korupsi merajalela.
Transparency International Indonesia (TII) mencatat indeks persepsi korupsi di
Indonesia pada tahun 2010 tidak mengalami perubahan dan stagnan dibanding tahun
sebelumnya, yakni berada pada angka 2,8. Indeks persepsi korupsi di Indonesia
menduduki posisi 110 dari 178 jumlah negara yang disurvei oleh lembaga terkait.
Indeks persepsi
korupsi atau “Corruption Perception Index”
(CPI) merupakan pengukuran tingkat korupsi berdasarkan persepsi negara di
dunia. TII melakukan survei CPI berdasarkan indeks gabungan dari beberapa hasil
survei yang dilakukan organisasi yang menggabungkan data terkait persoalan
korupsi. Beberapa lembaga survei, antara lain, Africa Development Bank, Asian
Develompment Bank, Economist Intelligence Unit, Global Insight, World Economic
Forum dan World Bank. CPI menggabungkan data dari 13 survei yang dilakukan 10
organisasi di dunia dengan rentang indeks antara nol (0) yang berarti sangat
korup dan 10 yang berarti sangat bersih dari praktik korupsi.
Indonesia
menduduki posisi keempat dari 10 negara Asia Tenggara yang disurvei berdasarkan
indeks persepsi korupsi. Seperti Singapura meraih poin 9,3, Brunei Darussalam
(5,5), Malaysia (4,4) dan Thailand (3,5).
Kondisi ini boleh
dikatakan menggambarkan menjelaskan suatu tingkat korupsi yang sangat luar
biasa cakupannya, termasuk di kalangan aparatur negara serta pejabat negara.
Sebagai dampak dari praktik-praktik korupsi tersebut, Indonesia sampai kini
mengalami krisis berkepanjangan dan ditimpa bencana secara terus-menerus
silih-berganti. Negara-negara tetangga di ASEAN yang sempat terjerembab akibat
krisis moneter yang melanda dunia pada tahun 1997 telah mulai menunjukkan
perbaikan ekonominya. Namun, Indonesia justru semakin terperosok ke dalam
krisis yang berlarut-larut bahkan bertambah menjadi krisis moral dan akhlak.
Krisis dan bencana
berkepanjangan. Kondisi krisis diperparah lagi dengan munculnya berbagai
bencala alam di hampir semua wilayah Indonesia. Tahun 2010 lalu misalkan,
tercatat bencana banjir bandang di Wasior (Papua Barat) dan Gunung Merapi (Jawa
Tengah – Yogyakarta) meletus. Lalu gempa bumi di Sulawesi Barat, Sulawesi
Selatan, Jawa Barat, Kepulauan Mentawai, dan Sumatera Utara. Belum hilang dari
memori kita bencana tsunami di Aceh (Desember 2004) dan gempa bumi Sumatera Barat
(September 2009). Bencana gunung api meletus, banjir bandang, dan tsunami
semakin menambah penderitaan dan memperparah krisis serta menambah beban
keuangan negara semakin berat.
Patut diduga bahwa
akibat pembiayaan pembangunan dengan menggunakan sumber pembiayaan yang kental
aroma ribawi serta APBN yang kotor maka terjadilah berbagai bencana dan krisis
multidimensi. Sebagai resultante dari berbagai permasalahan tersebut, maka
kemiskinan di Indonesia semakin meningkat. Data dari ILO menunjukkan bahwa jumlah
warga masyarakat miskin meningkat dari 34,5 juta pada tahun 1996 menjadi 38,4
juta pada tahun 2002. Jumlah ini berkisar 18-24% dari jumlah penduduk dan
kebanyakan terjadi di sektor pertanian yang mencapai 57-70%. Tahun 2010 angka
kemiskinan boleh dikatakan relatif menurun ke jumlah 31,02 juta atau sekitar
13,03% dari jumlah penduduk. Dengan membandingkan kenaikan gaji buruh, besar
inflasi, dan garis kemiskinan BPS dibanding dengan garis kemiskinan Bank Dunia
dan juga negara-negara tetangga, jumlah kemiskinan di Indonesia sebenarnya
bertambah. Karena BPS memperkecil garis kemiskinan hingga cuma US$
0,75/hari/orang, maka kesannya jumlah rakyat Indonesia yang miskin cuma sedikit
atau menurun.
Selain kemiskinan,
angka pengangguran tidak banyak berubah. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan
penciptaan lapangan kerja tidak berjalan secara optimal dan keadaaan ini juga
diakibatkan oleh adanya kendala dalam pembiayaan investasi jangka panjang.
Indonesia tertinggal. Andrew Steer, Kepala Perwakilan Bank
Dunia untuk Indonesia, melalui Harian Bisnis Indonesia edisi tanggal 13 Juni
2004, menyebutkan: “Ada kesenjangan yang cukup lebar antara Indnesia dan
negara-negara tetangga di ASEAN, baik soal infrastruktur maupun sektor lainnya.
Kesenjangan pembiayaan dan ekses ekonomi sebagai penyebab utama lambannya
perkembangan infrastruktur di Indonesia.” Soal single identity number (SIN)
misalkan, Malaysia dan Singapura telah memilikinya sejak tahun 2002. Dengan
begitu, kedua negeri jiran tersebut mampu menerapkan sistem administrasi
kependudukan secara terpadu dan dapat memantau perkembangan penduduk secara
akurat. Kedua negeri tetangga itu pun mampu secara cepat keluar dari badai
krisis yang menghantam pada tahun 1997.
Rupiah tidak stabil. Mata uang rupiah telah beberapa kali mengalami
guncangan hebat sampai kemudian dilakukan devaluasi atau penurunan nilai uang
rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang menjadi patokan. Guncangan
paling hebat dirasakan sejak akhir 1997 sampai dengan awal 2002. Pada akhir
1997 nilai tukar rupiah masih sebesar Rp2.431 per US$ yang kemudian meluncur
jatuh sampai pada angka Rp14.950 per US$ pada akhir Juni 1998. Bahkan, pada
rentang waktu tersebut sempat muncul wacana yang sangat kuat untuk mengganti
sistem nilai tukar dari managed float menjadi fixed exchange rate atau bahkan
currency board system (CBS).
Gejolak mata uang
rupiah terjadi dalam skala yang cukup signifikan sebagai akibat melambungnya
harga bahan bakar minyak (BBM) di pasaran dunia. Akibat lebih jauh, defisit
anggaran pemerintah semakin meningkat lantaran beban subsidi BBM tiap tahun
yang terus meningkat. Nilai tukar mata uang rupiah sampai kini tetap sulit
mencapai nilai seperti sebelum tahun 1997. Nilai tukar rupiah berfluktuasi
sekitar Rp8.500 sampai Rp10.000 per US$.
APBN cambur-baur. Pemerintah selaku penyelenggara negara
dapat diibaratkan seperti halnya perusahaan. Dalam operasionalnya, suatu
perusahaan tidak hanya bertumpu pada satu rekening tapi menggunakan berbagai
rekening, sesuai dengan masing-masing jenis bisnisnya. Merujuk pada ekuivalensi
tadi maka semestinya Pemerintah juga tidak cuma menerapkan rekening tunggal
namun dapat menggunakan dua atau tiga rekening. Dengan hanya menggunakan
rekening tunggal, maka unsur halal-haram dan riba-nonriba dapat masuk ke dalam
sistem penerimaan APBN. Penggabungan penerimaan halal dengan yang masih
mengandung unsur haram dapat disetarakan dengan jenis makanan yang halal dan
haram dimasak dalam satu tungku yang sama. Akibatnya, unsur haram akan
tercampur ke dalam jenis makanan yang halal atau setidaknya sesuai dengan
peribahasa “karena nila setitik rusak susu sebelanga”. Jadilah, semuanya haram
untuk dimakan.
Penerimaan negara
yang bersifat haram bisa berasal dari penerimaan pajak atau cukai atas
perdagangan minuman keras, peternakan babi dan sejenisnya. Selain itu masih
terdapat penerimaan lain yang berada dalam kategori subhat (meragukan halal
atau haram), misalkan cukai rokok yang cukup besar nilainya dalam APBN.
Percampuran ketiga jenis pendapatan negara/daerah beserta konsekuensinya dapat
mengakibatkan APBN tidak bersih, tidak sehat dan tidak benar.
Kebijakan Pemerintah berstandar ganda. Selama ini, selaku regulator dan pemberi
kerja bagi aparatur negara, Pemerintah telah memberlakukan sistem yang berbeda
antara program kesejahteraan bagi para pekerja swasta (termasuk BUMN) dan para
aparatur negara. Hal ini tercermin pada berbagai indikator, antara lain: pertama, Pemerintah menetapkan dana
pensiun dan THT untuk pegawai swasta dan BUMN dengan sistem pendanaan sendiri
atau funded system. Sementara untuk PNS diberlakukan dengan sistem pay as you
go (sepenuhnya dibiayai APBN) dan bahkan dengan current cost financing system
yang sebenarnya tidak dikenal dalam sistem dana pensiun di negara mana pun.
Kedua, Gaji dan penghasilan PNS dipotong sebesar 10% untuk Dana
Pensiun, THT dan dana kesehatan tapi Pemerintah selaku pemberi kerja tidak
pernah mengiur. Padahal, Pemerintah menetapkan kebijakan untuk perusahaan
swasta dan BUMN bahwa pemberi kerja harus mengiur. Akibatnya, THT yang diterima
PNS menjadi sangat kecil.
Dan ketiga, Pemerintah selalu menekankan
bahwa setiap perusahaan selaku pemberi kerja harus membayar kewajiban berupa
past service liability dari setiap kewajiban menyetor iuran yang belum
ditunaikan, tapi sampai saat ini kewajiban Pemerintah atas past service
liability PNS untuk program pensiun belum pernah diakui dan tidak pernah
dibayar.
Kerancuan perundang-undangan. Dalam persoalan kesejahteraan
(terutamaPNS) ternyata selama ini telah terjadi tarik-menarik antara satu
lembaga dan lembaga yang lain sebagaimana diperlihatkan dari adanya berbagai
undang-undang yang mengaturnya. Namun dalam pelaksanaannya tidak pernah
dituntaskan. Tercatat antara lain UU Nomor 11 Tahun 1969 Tentang Dana Pensiun;
UU Nomor 11 Tahun 1992 Tentang Dana Pensiun; UU Nomor 2 Tahun 1992 Tentang
Usaha Perasuransian; UU Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan UU Nomor 8 Tahun
1974 Tentang Pokok-pokok Kepegawaian; UU Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional; PP Nomor 25 Tahun 1981 Tentang Asuransi Sosial PNS;
dan PP Nomor 26 Tahun 1981 Tentang Taspen sebagai Persero. Dalam UU dan PP tadi
terdapat berbagai variasi program kesejahteraan. Yang paling lengkap adalah UU
Nomor 43 Tahun 1999 (mengatur program dana pensiun, THT, kesehatan, perumahan
dan pendidikan) dan UU Nomor 40 Tahun 2004 (pensiun, THT, kesehatan, kecelakaan
kerja dan kematian).
Kerancuan sistem kesejahteraan. Selaku regulator, Pemerintah telah
mengeluarkan kebijakan yang melindungi para pekerja agar setiap pekerja
Indonesia senantiasa dapat hidup layak dengan memberikan jaminan sosial berupa
Pensiun dan Tunjangan Hari Tua (THT). Kepada setiap perusahaan selaku pemberi
kerja dituntut oleh Pemerintah untuk membentuk Dana Pensiun dan THT dengan
memberikan kontribusi berupa iuran pemberi kerja yang bersama-sama dengan iuran
para pekerjanya dijadikan sebagai dana untuk membiayai program kesejahteraan
para pekerja di hari tua atau pada saat memasuki masa tidak produktif lagi.
Dengan adanya UU Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun dan UU Nomor 2 Tahun
1992 tentang Jamsostek maka kewajiban ini telah ditaati oleh semua perusahaan.
Ironinya, sistem kesejahteraan untuk pekerja pemerintah atau aparatur negara
–baik PNS maupun anggota TNI/Polri—sampai saat ini masih ditanggung mereka
sendiri. Kebijakan pemerintah ini tentu sangat merugikan para aparatur negara
selaku pekerja pemerintah dan menimbulkan ketidak-adilan.
PNS mensubsidi pasar. Sewaktu dipanggil Kepala Negara (saat
itu) Ibu Megawati Soekarnoputri pada tanggal 10 November 2003 sekitar pukul 10.00
WIB, di hadapan Menteri Koordinator Perekonomian Prof. DR Dorodjatun
Kuntjorojakti, Menteri Keuangan DR Boediono dan Menteri Sekretaris Negara Bambang Kesowo SH.LLM, antara lain, saya
telah menyampaikan bahwa eselon I hanya digaji Rp3,5 juta, sebuah jumlah yang
tentu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup di Jakarta. Seharusnya
berkisar Rp15 juta sampai Rp25 juta. Perbedaan antara nilai seharusnya dan
Rp3,5 juta merupakan nilai subsidi eselon I kepada pasar. Adapun yang menikmati
pelayanan eselon I ini termasuk para konglomerat dan pengusaha lainnya. Nilai
subsidi kepada pasar seluruh PNS diperkirakan berjumlah Rp75 triliun. Bila
dalam APBN 2004 dinyatakan defisit Rp24 triliun, maka defisit yang sesungguhnya
adalah sebesar Rp24 triliun + Rp74 triliun = Rp99 triliun. Ketika saya
menghadap Presiden Susilo Yudhoyono pada tanggal 4 November 2004, maka masalah
kesejahteraan PNS dan para pensiunan telah menjadi perhatian yang serius dari
beliau. Dengan begitu tinggal bergantung kepada kalkulasi pemerintah dan DPR
untuk mengurangi subsidi tersebut dengan cara mendekatkan penghasilan PNS
dengan pasar.
Sampai kini
kemauan untuk mendekatkan penghasilan PNS dengan pasar boleh dikatakan masih
jauh dari harapan. Gaji PNS golongan IV-e misalkan, hanya berkisar Rp4 juta.
Bila seorang PNS golongan IV-e memiliki jabatan struktural eselon satu maka ia
masih memperoleh tunjangan struktural Rp5,5 juta. Dan mengacu pada APBN 2011,
gaji terendah TNI/Polri Rp2.625.000, PNS Rp2.000.000, dan Guru Rp2.654.000.
Tampak jelas masih jauh dari harapan untuk menggapai kesejahteraan di
tengah-tengah harga-harga kebutuhan pokok yang terus melambung.
Nasehat IMF dan Konsultan Asing yang salah. Akibat krisis ekonomi dan moneter yang
sangat hebat sejak tahun 1997, Presiden Soeharto (waktu itu) setuju meminta
bantuan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund, IMF). Melalui
perjanjian yang disepakati, IMF setuju memberikan paket pinjaman bersyarat
senilai US$36 miliar selama 1997-2003. Sesuai dengan surat kesanggupan atau letter
of intent yang ditanda-tangani, Indonesia harus menjalani reformasi dan
pembatasan-pembatasan yang ketat, mulai dari penutupan bank, penjualan aset
BUMN sampai menaikkan suku bunga. Ternyata banyak nasehat IMF --yang di
dalamnya diperkuat banyak konsultan asing—yang salah arah.
Dalam pemberitaan
surat kabar Kompas dan koran Tempo (edisi tanggal 14 November 2003),
Asisten Direktur IMF untuk Asia Pasifik Charles Adams menyatakan, “Kami
mengakui telah melakukan kesalahan selama menangani krisis di Asia. Tidak semua
orang sependapat dalam hal apa pastinya kesalahan-kesalahan itu.” Pada koran
Tempo edisi 24 Juni 2004, Lembaga Pengawas Independen IMF (The Independent Evaluation Office) dalam laporannya menyebutkan
bahwa IMF telah gagal memahami problem utama krisis yang dihadapi Indonesia
pada 1997. IMF juga telah melakukan kesalahan dengan memberikan nasehat dan
jalan keluar yang kurang tepat bagi Indonesia untuk mengatasi krisis
ekonominya.
Dengan melihat
fakta-realita yang telah saya paparkan tadi, Indonesia pun menjadi negara yang
tidak bersih, tidak sehat dan tidak benar. Indonesia terus terpuruk.
Keterpurukan yang sulit diperkirakan kapan dapat diakhiri itu tidak terlepas
dari kesalahan kebijakan di masa lalu.
Kesalahan Masa Lalu
Tidak memikirkan
dan mewujudkan SIN. Sejak Republik Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus
1945 sampai sekarang (hampir 66 tahun), Pemerintah belum pernah mewujudkan
adanya single identity number (SIN) bagi setiap penduduk. SIN merupakan sebuah
nomor identitas unik yang terintegrasi dengan gabungan data dari berbagai macam
instansi pemerintahan dan swasta. SIN dapat digunakan di berbagai instansi yang
dirancang bisa menggantikan semua macam nomor identitas. SIN sangatlah penting
untuk menghitung jumlah pasti penduduk. Dengan berbekal SIN akan secara mudah
dihitung berapa jumlah pasti penduduk, jumlah pensiunan dan jumlah PNS. Tanpa
SIN akan sulit menentukan jumlah penduduk yang tepat benar, jumlah PNS dan
perencanaan kependudukan yang akurat.
Tidak memahami Jaminan Sosial Nasional dan
Amandemen UUD 1945. Sejak
mula Indonesia merdeka, Indonesia memiliki Undang-Undang Dasar (UUD) yang
dikenal sebagai UUD 1945. Sejak masa merdeka sampai sekarang, UUD 1945 telah
mengalami empat kali perubahan seiring dengan dilakukannya amandemen. Masing-masing:
amandemen pertama disahkan pada 19 Oktober 1999, amandemen kedua pada 18
Agustus 2000, amandemen ketiga pada 10 November 2001 dan amandemen keempat pada
10 Agustus 2002.
Baru pada
amandemen keempat, UUD Indonesia secara tegas mengakomodasi sistem jaminan
sosial. Secara sederhana memang telah diakomodasi pada amandemen kedua dengan
rumusan: “Setiap orang berhak atas Jaminan Sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.” (Bab X
pasal 28H-3 amandemen kedua)
Lalu, dari
amandemen keempat Bab XIV pasal 34-2 tertulis, “Negara mengembangkan sistem
Jaminan Sosial Nasional bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang
lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.” Masih di Bab ini,
pasal 34-3 menyebutkan, “Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas
pelayanan kesehatan dan pelayanan umum yang layak.”
Pada pasal 32-4
tadi, negara mengembangkan sistem Jaminan Sosial untuk seluruh rakyat.
Pertanyaannya, rakyat yang mana? Dalam pemahaman rakyat, ada yang warganegara
Indonesia dan ada pula yang bukan warganegara Indonesia atau warganegara asing.
Apakah kedua-duanya dicakup oleh sistem
Jaminan Sosial?
Setiap orang yang
menjadi penduduk Indonesia terdiri dari warganegara dan orang yang mempunyai
profesi. Dengan demikian Jaminan Sosial harus mencakup warganegara dan profesi
yang terdiri dari PNS, TNI/Polri, pegawai BUMN dan pegawai swasta. Selama ini,
nyaris tidak ada pemikiran dan peraturan yang mengakomodasi sistem Jaminan
Sosial yang paripurna semacam ini.
Selain amandemen
UUD 1945 tersebut, muncul pula pemberlakuan UU Nomor 13 Tahun 1998 Tentang
Kesejahteraan Lanjut Usia. UU ini menegaskan bahwa kesejahteraan adalah suatu
tata kehidupan dan penghidupan baik material maupun spiritual yang diliputi
oleh rasa keselamatan, kesusilaan dan ketenteraman lahir-batin yang
memungkinkan setiap warganegara memenuhi kebutuhan jasmani, rohani dan sosial
secara sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat dengan menjunjung
tinggi kewajiban dan hak asasi manusia yang sesuai dengan falsafah Pancasila.
Dari beberapa amandemen UUD dan penetapan UU tadi kemudian muncul
istilah-istilah perlindungan sosial, bantuan sosial, kesejahteraan sosial,
jaminan sosial, sistem jaminan sosial, dana pensiun, asuransi sosial dan
asuransi.
Lalu mengenai
penyelenggaraan Jaminan Sosial, kita masih relatif terbatas. Kita memang telah
memiliki PT Taspen yang menyelenggarakan dana pensiun dan THT para PNS.
Kemudian ada PT Asabri yang mengurus dana pensiun dan THT para anggota
TNI/Polri. Dan PT Jamsostek yang mengelola dana pensiun dan THT para karyawan
swasta. Kita belum memiliki lembaga yang mengurus jaminan sosial dasar dan
sektor informal sebagaimana diamanatkan oleh UU Nomor 40 Tahun 2004 Tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional pasal 5 ayat 4 harus dibentuk BUMN tersendiri.
Dana Pensiun dan THT aparatur negara tidak
sesuai dengan best practices. Dalam sistem dana pensiun, Pemerintah
menekankan perlunya setiap perusahaan menerapkan sistem pendanaan penuh melalui
pembayaran iuran yang ditanggung bersama pekerja dan pemberi kerja. Namun,
untuk PNS, Pemerintah justru tidak menerapkan sistem pendanaan penuh tersebut.
Bahkan, sistem pay as you go yang saat ini diberlakukan juga tidak murni lagi,
karena dana hasil akumulasi iuran pensiun dari peserta yang sekarang dikelola
PT Taspen (Persero) telah pula digunakan untuk membayar sebagian beban
pembayaran pensiun PNS atau dikenal dengan istilah current cost financing.
Penerapan sistem
pay as you go terhadap alokasi beban Pemerintah dalam APBN untuk biaya
pembayaran pensiun yang semakin membesar. Hal ini dapat berakibat terjadinya
suatu kondisi ketidak-seimbangan di mana biaya rutin yang harus ditanggung
Pemerintah guna membayar pegawai yang sudah pensiun akan melebihi jumlah yang
mesti dibayar buat pegawai yang masih aktif.
Pemerintah pun tidak iur. Akibatnya, tabungan nasional jangka
panjang menjadi rendah. Tabungan nasional yang rendah menyebabkan cadangan keuangan
nasional (national reserve fund) Indonesia rendah pula. Dengan pengelolaan dana
pensiun (dan dana jaminan sosial umumnya) yang tidak sesuai dengan best
practices maka kemiskinan dan pengangguran meningkat lantaran lapangan kerja
yang tersedia terbatas. Secara makro, Indonesia senantiasa terjerat utang luar
negeri.
Sebagaimana dalam
penerapan program dana pensiun bagi PNS, sistem Tabungan Hari Tua (THT) bagi
PNS juga belum dilaksanakan berdasarkan pola contribution sharing dari pekerja
dan pemberi kerja. Dalam sistem THT, hanya PNS sendiri yang menanggung
pembiayaannya, yaitu sebesar 3,25% yang dipotong dari penghasilan per bulan.
Sedangkan Pemerintah belum memberi kontribusi apapun. Akibatnya, THT yang
diterima para pensiunan PNS menjadi kecil.
Ada hal lain yang
bermasalah dalam pengelolaan dana pensiun ini yaitu terkait dengan para PNS
yang berhenti sebelum waktu pensiun atau diberhentikan secara tidak hormat,
ternyata, iuran pensiunnya tidak dikembalikan sedangkan iuran THT-nya
dikembalikan berdasarkan nilai tunai asuransinya. Di Malaysia, bagi mereka yang
berhenti tidak karena pensiun, iuran peserta dan hasil pengembangannya
dibayarkan kembali kepada peserta sementara iuran pemberi kerja dan
pengembangannya tetap diakumulasikan kepada Dana Pensiun. Baru pada tahun 2008,
melalui Permenkeu Nomor 71 Tahun 2008, para PNS yang berhenti sebelum waktunya
pensiun memperoleh hak pensiun. Masih soal dana pensiun, penempatan uang dana
pensiun ternyata dikenai pajak dan dividen. Ini tidak sesuai dengan best practices
dan baru pada tahun 2003 dibebaskan dari pajak.
Tax ratio rendah. Para pakar dan analis kerapkali
menyatakan bahwa tax ratio (kemampuan suatu negara mengumpulkan dan mengelola
pajak) Indonesia masih sangat rendah, hanya 12,8%. Sementara itu Malaysia dan
Singapura mampu mencapai di atas 20%. Menurut Dosen STAN Gunawan Setiyaji,
dalam tulisannya berjudul “Ruwetnya Urusan Tax Ratio”, banyak permasalahan yang
dihadapi dalam penghitungan tax ratio, baik mengenai faktor pembilang maupun
unsur pajak mana saja yang harus diperhitungkan. Misalkan adanya pemberian
fasilitas keringanan pajak oleh anggota DPR dan perhitungan PDB yang bisa
mengarah ke politis. Banyak hal yang dapat dibenahi oleh Pemerintah, namun
kesemuanya akan menjadi sia-sia bila DPR yang berkolaborasi dengan Pemerintah
dalam menyusun ketentuan perundang-undangan perpajakan kurang mengerti dan
memahami urgensi harmonisasi kebijakan dengan kebutuhan pendapatan negara dalam
penguatan APBN.
Kinerja Indonesia Selama 65 Tahun
Keterpurukan
Indonesia dan sejumlah kesalahan kebijakan di masa lalu telah berdampak
terhadap kinerja perekonomian Indonesia yang lemah. Hal ini tampak pada Produk
Domestik Bruto (PDB) yang rendah, tax ratio rendah (12,8%), cadangan keuangan
nasional yang rendah (sekitar 160 triliun), jaminan sosial kurang dari Rp1 juta
per kapita, dan belum mampu memanfaatkan tabungan haji umat. Selain itu, rasio
Anggaran Pendidikan terhadap PDB juga
rendah, rasio Anggaran Pendidikan terhadap APBN pun rendah (kurang dari 20%),
dan daya saing global Indonesia terendah baik ekonomi maupun bisnis. Keadaan
tersebut dapat digambarkan dalam dua tabel berikut:
Negara Penduduk PDB
Tax ratio Dana Jamsosnas Tabungan Haji
Juta $/cap %
Tr rp /cap (jt rp) Tr rp
Singapura 4 jt 29.663 22,44 650 / 168 na
Malaysia 24 jt 10.882 21,17 800 /33,3 75,0
Thailand 64 jt 8.677
17,28 153 /2,3 ----
Philipina 83 jt 5.137 13,68 63 /0,758 ----
Indonesia 220 jt 3.843 12,8 150 /0,680 ----
(diolah dari
berbagai sumber tahun 2003)
Negara Penduduk PDB
A.Dik/PDB A. Dik/APBN Daya Saing Global
Juta $/cap % % ec. business
Singapura 4 jt 29.663 na 19 4 6
Malaysia 24 jt 10.882 5,2 23 32 39
Thailand 64 jt 8.677 5,0 22 10 55
Philipina 83 jt 5.137 3,4 20 65 46
Indonesia 220 jt 3.843 1,4
9 49 73
(diolah dari
berbagai sumber tahun 2004)
_____________________
(ditulis oleh
Achmad Subianto, Ketua Umum Komunitas Jamsosnas Indonesia/KJI)
Tulisan disampaikan
dalam “Seminar Sistem Jaminan Sosial Nasional” yang diselenggarakan oleh
Komunitas Jamsosnas Indonesia di Ballroom Hotel Shangrila Jakarta, 2 Mei 2011
No comments:
Post a Comment