Tuesday, February 11, 2014

Keislaman Ibu Abu Hurairah


Sebagai seorang Muslim, Abu Hurairah merasa sedih ketika melihat ibunya[1] masih dalam keadaan kafir. Abu Hurairah bertutur, “Suatu hari saya mengajak ibu saya agar memeluk agama Islam. Tapi beliau tidak mau. Beliau malah menolak ajakanku dengan ucapan yang jelek terhadap Rasulullah. Kemudian saya menemui Rasulullah sambil menangis seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya mengajak ibu masuk Islam, tapi dia tidak mau menurutiku, malah dia menolak ajakanku dengan mengucapkan sesuatu yang tak pantas tentangmu yang aku benci. Doakanlah agar ibuku diberi hidayah oleh Allah’.”
Rasulullah pun berdo’a, “Ya Allah, berilah hidayah kepada ibu Abu Hurairah.”   Mendengar  doa Rasulullah,  Abu Hurairah begitu girang dan gembira. Dia langsung pamit pulang untuk menemui ibunya, ketika sampai di depan pintu, ternyata pintu itu tertutup. Rupanya ibu Abu Hurairah mendengar langkah kaki putranya. Ibunya lalu berkata, “Tetap di tempatmu, wahai Abu Hurairah.”
Dari luar Abu Hurairah mendengar suara gemercik air. Ternyata ibunya sedang mandi, kemudian memakai baju dan kerudungnya. Beliau membuka pintu dan berkata, “Wahai Abu Hurairah, aku bersaksi tiada Tuhan yang pantas disembah selain Allah dan bahwa Muhamad adalah Rasul-Nya.” Akhirnya ibu Hurairah masuk Islam berkat doa Rasulullah.
Abu Hurairah datang lagi ke Rasulullah dan mengabarkan peristiwa itu. Mendengar kabar itu Rasulullah langsung memanjatkan pujian kepada Allah dan mengucap, “Sungguh alangkah baik-nya itu.”

Wanita yang Mendapat Sebutan "Syahidah" dalam Keadaan Hidup
Suatu hari, Ummu Waraqah binti Abdillah bin Harits bin Naufal al-Anshariyah menjumpai Rasulullah. Saat itu Nabi hendak berangkat menuju perang Badar, Ummu Waraqah mengajukan permintaan dengan mengatakan, “Wahai Rasulullah, izinkan aku ikut berperang bersamamu. Aku akan mengobati tentara yang terluka dan sakit. Aku berharap Allah menganugerahiku mati syahid.”
Rasulullah menasehati, “Tetaplah di rumah, karena Allah akan memberimu mati syahid.” Sejak itu Ummu Waraqah dikenal dengan sebutan “al-Syahidah”.
Suatu waktu Ummu Waraqah meminta izin kepada Rasulullah untuk mengangkat tukang adzan di rumahnya, dan Rasul pun mengizinkannya. Ummu Waraqah mempunyai dua budak, pria dan perempuan, yang dijanjikan kebebasannya setelah dia meninggal. Pada suatu malam, kedua budak itu membekap wajah Ummu Waraqah dengan kain hingga beliau meninggal, lalu mereka melarikan diri.
Umar bin Khattab yang dikenal sangat tegas berdiri di tengah-tengah umat seraya menegaskan, “Wahai saudara-saudaraku, sesungguhnya Nabi Muhamad sekarang pergi ke rumah Ummu Waraqah. Tahukah kalian bahwa Ummu Waraqah dibunuh oleh dua orang hamba sahayanya dan mereka melarikan diri. Pergilah kalian semua ke rumah Ummu Waraqah dan siapa saja memperoleh informasi tentang keberadaan dua orang pembunuh itu, hendaklah kalian menangkap dan membawa orang itu kepadaku.”
Setelah keduanya tertangkap, Umar memerintahkan untuk menghukum dua orang budak tadi dengan hukuman pancung. Dan mereka berdua merupakan orang pertama yang dipancung di Madinah.

Cinta Karena Allah SWT dan Rasul-Nya
Ummu Kultsum binti ‘Uqbah bin Abi Mu’aith[2] masuk Islam dan membaiat dirinya di depan Nabi Saw. Dia baru bisa ikut hijrah pada tahun ke-7 Hijriyah. Dia hijrah ke Madinah seorang diri setelah terjadinya perdamaian Hudaibiah.[3] Setelah itu, kedua saudaranya (Imarah dan Walid) ikut menyusul. Keduanya sampai di Madinah dua hari setelah Ummu Kultsum, dan keduanya meminta kepada Rasulullah untuk mentaati perjanjian damai dan mengembalikan tawanan di Madinah, ”Wahai Muhamad, tepatilah syarat kami!”
Ummu Kultsum mengadu kepada Rasulullah, ”Wahai Rasulullah, saya adalah seorang perempuan lemah. Saya takut akan terjadi fitnah dalam agamaku sedangkan aku tidak bisa sabar.”
Setelah itu Allah menurunkan al-Qur’an surat “Al-Mumtahanah”. Dengan turunnya ayat tersebut, Rasulullah tidak bersedia menyerahkan Ummu Kultsum kepada kedua saudaranya.
Ibnu Sa’ad berkata, “Ummu Kultsum adalah perempuan pertama yang hijrah ke Madinah setelah Rasulullah. Saya tidak pernah melihat seorang perempuan keturunan Quraisy pun yang keadaannya seperti dia tapi bisa nekat hijrah. Suami pertama Ummu Kultsum adalah Zaid, kemudian Zubair, terus Abdurrahman bin Auf, lalu yang terakhir Amr bin Ash. Beliau meninggal di masa pemerintahan khalifah Ali bin Abu Thalib.


[1]Umaimah binti Shabah atau Shafiah.
[2]Ummu Kultsum adalah saudara seibu dengan Utsman bin Affan.
[3]Syarat yang disepakati dalam perdamaian Hudaibiah adalah, “Jika ada seseorang dari keturunan Quraisy ikut agama Muhamad tanpa seizin walinya, maka hendaklah dikembalikan kepada walinya.” 

No comments:

Post a Comment