Saturday, February 15, 2014

Mimpi Warsiyem


sekadar fiksi
 
DARI detik ke menit. Menit ke jam. Jam ke hari. Hari pun merambat pekan lalu bulan. Hampir setahu waktu berlalu.
Siang itu Warsiyem menghitung-hitung sisa hasil penjualan nasi pecel di pojok terminal bus kota. Hanya rupiah demi rupiah –setelah dipotong uang jago, iuran tempat usaha, uang pangkalan, dan retribusi daerah. Ya, benar-benar rupiah demi rupiah untuk mencapai jumlah yang diminta perawat rumah bersalin ketika ia meninggalkan orok yang belum 48 jam dilahirkan hampir setahun silam tergolek pucat di ruang perawatan khusus bayi kuning.
Demikian pula Samino, suami Warsiyem. Dia harus mengais-ngais rupiah demi rupiah dari sisa mengasong koran dan majalah di perempatan Perintis Kemerdekaan. Kadang, bahkan, dia tidak mampu menyisihkan sisa jualan koran dan majalah gara-gara lari tunggang langgang menghindari orang-orang ketenteraman kota. Koran dan majalah yang dijualnya dirampas tanpa sisa. Balik pun tidak.
“Yem, maafkan Kang Mino. Kang Mino tidak bisa menafkahi kamu dengan layak. Cuma ini yang bisa Kang Mino berikan,” ucap Samino tatkala sampai di petak kontrakannya yang lebih layak disebut gubuk reyot di pinggiran Kali Sunter sembari menyodorkan beberapa lembar ribuan rupiah di malam yang sebentar lagi bergulir ke dinihari itu.
“Tak mengapa, Kang Mino. Yang penting kita tetap sehat, saya tetap bisa berjualan nasi pecel di pojok terminal bus kota dan Kang Mino kuat berlari-lari kecil menyodorkan koran dan majalah kepada penumpang buskota yang menunggu lampu mereah menjadi hijau,” ucap Warsiyem.
Samino memang tak bisa berharap banyak mengadu untung di kota sebesar Jakarta ini. SD saja, dia tidak tamat. Bisa mengasong koran, majalah atau minuman mineral pun sudah lebih dari sekadar nasib baik. Sekali waktu dia jadi kuli bangunan kala sedang ada yang membutuhkan tenaganya. Mau bertani di desa asal, rasanya tak mungkin lagi. Sawah-sawah di desanya sudah ditumbuhi bangunan gudang, pabrik tekstil, kandang bus antarkota antarprovinsi. Tiada lagi yang tersisa buat menghidupi dirinya di desa. Cangkul saja sudah digadaikan buat ongkos ke Jakarta.
Dan Warsiyem tak pula bisa berharap banyak. Ia hanya sempat melewatkan dua kelas di sekolah dasar di desanya yang teramat tandus di lereng gunung kapur. Ia cuma mewarisi keterampilan membuat nasi pecel dari ibunya yang dulu memang kondang di desanya.
Pecel Mbok Jami, begitu kuli-kuli penggali kapur di desa asal Warsiyem mengenalnya. Tapi, kini kapur-kapur itu telah habis terkikis. Tiada terasa lagi denyut kehidupan si penggali batu kapur. Sebab itu, Warsiyem lari ke Jakarta dengan bekal alakadarnya, membawa warisan keterampilan jualan nasi pecel Mbok Jami yang jelas-jelas jauh kalah populer dibandingkan Mbok Berek atau Nyonya Suharti yang kondang berkat ayam goreng yang gurih-renyah, atau Pak Sadi yang dikenal lantaran Soto Ambengan.
Satu hal yang tak dipunyai Mbok Jami dan juga Warsiyem, mereka tidak mampu menangkap selera makan orang-orang berduit di Jakarta. Karena itu, ia sekadar jualan nasi pecel di pojok terminal bus kota yang terkadang mesti main kucing-kucingan dengan orang-orang ketenteraman kota.
“Yem, sekali lagi, maafkan Kang Mino. Sampai-sampai Kang Mino tidak bisa membawa pulang Trisno yang kamu lahirkan setahun lalu. Anak kita itu sudah bisa apa, ya? Rasanya aku inign menggendong dan mengajaknya jalan-jalan ke Taman Mini,” Samino menerawang.
Gak usah lah mengkhayal, Kang Mino, tapi, sepertinya Kang Mino betul juga. Aku pun ingin cepat-cepat melihat Trisno, barangkali sekarang dia sudah bisa berjalan satu atau dua langkah. Ah, begitu lucunya anak kita, Kang Mino. Aku ingin mengajaknya pulang kampung,” Warsiyem ikut terlarut.
“Bagaimana kalau besok pagi kita ke rumah bersalin itu? Kita tebus dengan melampirkan surat keterangan miskin yang kita beli Rp20.000 di kelurahan. Kasih saja semampu kita,” ucap Samino yang masih tampak kelelahan. Sebelum pulang, dia sempat main kucing-kucingan dengan orang-orang ketenteraman kota di perempatan Perintis Kemerdekaan.
“Aku cuma punya simpanan Rp20.000. Itu tabunganku sejak kita tinggalkan Trisno di rumah bersalin. Apakah perawat di rumah bersalin itu mau menerima uang Rp20.000, Kang Mino?” tutur Warsiyem sedikit pasrah.
“Oh, ya Kang Mino ada Rp15.000. Mudah-mudahan mereka mau menerimanya,” Samino tak kalah pasrah.
“Waktu itu, mereka minta berapa ya?” Warsiyem bercoba mengingat-ingat.
“Berapa ya?” gumam Samino ikut membuka ingatan sekitar setahun lampau.
“Kalau tidak keliru, satu juta rupiah,” Warsiyem belum ingat benar.
“Itu terlalu kecil rasanya, seingat Kang Mino sekitar Rp10 juta. Jumlah itu sudah termasuk ongkos perawatan selama sepuluh hari dan biaya pembuatan saluran pembuangan air besar yang tak dipunyai anak kita sejak lahir,” Samino mereka ulang ingatannya.
“Ooo iya Kang Mino. Sepuluh juta dua ratus lima puluh ribu rupiah,” Warsiyem baru ingat.
“Tapi, ada gak uang sebesar itu?” Samino menarik nafas dalam-dalam.
Warsiyem pun ikut menarik nafas dalam-dalam, tatapan matanya kosong, tak tahu harus berbuat apa lagi. Selalu begitu kala ia ingat Trisno, anaknya yang terpaksa ditinggalkan di rumah bersalin lantaran tidak mampu membayar biaya kelahiran dan perawatan.
Tak lama berselang, kedua laki-bini itu terlelap di atas tikar lusuh di atas ubin teraso lembab di rumah petak kontrakannya yang setengah tembok di pinggiran Kali Sunter.
***
Pagi menepi. Samino dan Warsiyem bangun. Hari ini Warsiyem tidak jualan nasi pecel, Samino tak mengasong. Mereka bersiap mengambil Trisno dari rumah bersalin.
“Kang Mino, ayo kita berangkat ke rumah sakit bersalin,” ajak Warsiyem.
“Kang Mino ragu, apakah dengan uang Rp35.000 itu bisa buat membawa pulang Trisno? Kang Mino khawatir mamti ditolak perawat lagi,” ujar Samino.
“Ah, Kang Mino kan sudah menyiapkan surat miskin. Masa, mereka tidak percaya,” Warsiyem berusaha meyakinkan.
Samino pun tak bisa lagi menolak ajakan isterinya. Mereka lalu berjalan menuju ujung gang, tempat biasa warga menunggu bus kota. Pagi itu warga yang hendak berangkat kerja sudah menyemut di ujung gang. Nyaris tiada tegur sapa warga pada Warsiyem dan Samino. Maklum, keduanya biasa keluar rumah jauh sebelum sang mentari menampakkan wajahnya. Sementara mereka pulang, para tetangga telah nyenyak dalam mimpi. Demikian terasing.
“Yem, kita naik apa ke rumah bersalin itu?” Samino bertanya.
“Aku juga gak tahu, Kang Mino. Coba kita tanyakan saja ke orang-orang yang sedang menunggu bus kota di sini,” kata Warsiyem.
“Bang, kalau mau ke rumah bersalin Ani, saya mesti naik bus nomor berapa, ya?” tanya Warsiyem kepada seorang anak muda yang wajahnya khas orang Sumatera Utara.
“Naik saja bus kota nomor 13, bilang ke keneknya minta turun di rumah bersalin yang ibu maksud,” jawab lelaki berseragam orang ketenteraman kota itu sambil tergesa-gesa masuk bus kota yang baru berhenti.
“Terima kasih, Bang,” Warsiyem berucap tanpa ekspresi.
Warsiyem langsung menarik lengan Samino ke bibir jalan. Bus kota nomor 13 sudah mendekat. Orang-orang berebut naik. Samino dan Warsiyem hanya kebagian menempel di pintu belakang.
“Bagaimana wajah anak kita sekarang ya, Kang Mino?” Warisyem bertanya lirih pada suaminya.
“Ya, barangkali sudah bisa berjalan. Sudahlah tak usah banyak ngobrol, nanti kita terlempar dari bus, sopirnya mengerem seenaknya begini,” Samino mengingatkan. Rupanya Warsiyem hampir terjerembab saat bus kota berhenti di halte tak jauh dari pospol dekat kantor pengadilan.
Mereka pun diam. Berjaga-jaga bila tiba-tiba sopir bus kota yang mereka tumpangi mengerem mendadak karena ada penumpang yang minta turun di depan gang menuju rumahnya. Mereka pun memasang telinga, kalau-kalau si kenek berteriak, “Rumah sakit ...rumah sakit, yang sakit turun, yang sakit turun...”
Tak berapa berselang si kenek berteriak, “Rumah sakit ...rumah sakit...” warsiyem dan Samino bersiap-siap turun dari bus kota lalu melangkah kaki mereka ke trotoar di depan rumah bersalin.
“Itu rumah bersalinnya, Kang Mino,” ucap Warsiyem sembari menunjuk sebuah bangunan tua bercat putih namun tetap menjadi dambaan pasien tak berduit itu.
“Ayolah kita bergegas,” Samino menarik lengan isterinya.
Dengan langkah terburu-buru, mereka langsung menuju tempat perawat yang dulu menyuruh pulang dan meninggalkan Trisno di ruang perawatan khusus bayi kuning. Benar saja, mereka bertemu dengan perawat yang dulu. Si perawat meminta Warsiyem dan Samino menunggu. Agak lama memang, sampai-sampai Warsiyem terlelap di ruang tunggu yang sejuk semilir angin cemara.
***
“IBU masih ingat saya?” ucap Warsiyem.
“Anda siapa? Apa perlunya ke sini?” tanya perawat berumur 20-an tahun itu.
“Saya Warsiyem, Suster,” jawab Warsiyem dengan mimik gemetar.
“Warsiyem, Warsiyem siapa? Rasanya saya belum pernah kenal,” datar perawat itu berucap.
“Ya, saya Warsiyem yang Suster suruh pulang karena tidak mampu membayar biaya operasi dan perawatan bayi selama 10 hari di rumah bersalin ini sekitar setahun lalu,” jelas Warsiyem.
“Oo ya, baru aku ingat, kamu yang melahirkan anak tanpa anus itu, ya,” tutur perawat sedikit nyinyir. “Terus, sekarang mau apa?” tanyanya kemudian.
“Saya mau membayar ongkos operasi dan biaya perawatan bayi itu, agar dia bisa segera bisa saya ajak pulang,” pinta Warsiyem diiyakan Samino.
“Bagaimana sih kalian? Pulang tidak pamit, tak ada kejelasan kabarnya, eh sekarang mau ambil bayi itu,” perawat itu setengah memarahi.
“Lho, kan saya sudah katakan akan balik lagi setelah cukup uang,” tutur Warsiyem.
“Bayimu sudah meninggal 15 hari setelah kalian pulang. Sudah kami kuburkan di pekuburan orang-orang tak bernama. Cari saja di sana,” perawat itu berbicara ketus.
“Kalian tidak manusiawi, kalian telah membunuh bayiku, kalian lebih kejam daripada ibukota,” Warisyem berteriak sekeras-kerasnya.
“Lho, lho, ada apa Yem? Kamu mengigau, ya? Bangun-bangun, jadi gak pagi ini kita ke rumah bersalin mengambil Trisno?” Samino berusaha membangunkan Warsiyem.
“Trisno mati, Kang Mino. Trisno dibunuh perawat itu,” Warsiyem dalam igauan.
“Yem ...Yem ...bangun. Ayo kita pulang, tak ada gunanya lagi kita ke sini membawa surat miskin, tetap saja kita harus membayar mahal,” ajak Samino. ***

Bekasi-Sragen, medio 2012    
    

No comments:

Post a Comment