Saturday, February 15, 2014

Istri Pertama Nabi Saw Setelah Khadijah

Siapa istri pertama Nabi Muhamad Saw setelah Khadijah wafat? Tersebutlah nama Saudah binti Zam'ah bin Qais sebagai wanita pertama yang dinikahi Rasulullah setelah Khadijah. Dia menjadi satu-satunya istri Rasulullah selama 3 tahun lebih sebelum kemudian Rasulullah tinggal bersama Aisyah.[1]
Aisyah bercerita, "Ketika Khadijah binti Khuwailid wafat, Khaulah binti Hakim datang dan bertanya pada Nabi, ‘Wahai Rasulullah, apakah engkau tidak mau menikah lagi?’ Nabi balik bertanya, ‘Dengan siapa?’ Khaulah kembali bertanya, ‘Engkau mau yang gadis atau yang janda?’ Jawab Nabi, ‘Kalau yang gadis siapa dan kalau yang janda siapa?’ Khaulah menjawab, ‘Kalau yang gadis itu Aisyah, putri orang yang paling engkau cintai (Abu Bakar). Sedangkan yang janda itu Saudah binti Zam'ah. Dia telah beriman kepadamu dan mengikuti agamamu’."[2]
Akhirnya Nabi melamar keduanya, Aisyah dan Saudah. Saat itu, Aisyah baru berumur 6 tahun. Sebab itu Rasulullah tinggal bersama Saudah selama tiga tahun sampai Aisyah mencapai usia 9 tahun.[3] Setelah usianya genap 9 tahun, Rasulullah kemudian tinggal bersama Aisyah.
Alasan beliau menikahi Saudah, padahal dia lebih tua daripada usia Nabi, lantaran Saudah adalah wanita mukmin yang ikut berhijrah. Suaminya meninggal dunia setelah kembali dari perjalanan hijrah kedua dari Habsyah, dan menyebabkan dia hidup sendiri. Andai dia kembali ke pangkuan keluarganya –setelah suaminya meninggal– pasti mereka akan memaksanya kembali pada kemusyrikan. Atau mereka akan menyiksanya dengan siksaan yang amat pedih untuk memaksanya keluar dari agama Islam. Dan karena itu, Nabi memilih menikahinya dan menanggung segala kebutuhan hidupnya. Ini merupakan bentuk kebaikan dan penghormatan yang  paling tinggi atas keimanan dan keikhlasannya yang tulus pada Allah SWT dan rasul-Nya.[4]
Demikianlah, selama tiga tahun, Saudah berada di rumah Nabi. Dia menjaga dan melayani Nabi. Begitupun Nabi, beliau menjaga dan melayaninya sampai beliau tinggal dengan Aisyah di Madinah. Saat itu, Saudah semakin tua dan keinginannya ikatan suami-istri telah berkurang. Maka dia memberikan jatah waktunya bersama Rasulullah untuk Aisyah. Aisyah meriwayatkan hal itu dan berkisah, "Aku tidak melihat wanita yang lebih aku cintai dari Saudah binti Zam'ah. Dia adalah wanita yang kuat dan baik sifatnya." Saudah berkata, "Wahai Rasulullah, aku berikan jatah waktuku untuk Aisyah." Lalu Rasulullah membagi jatah dua hari untuk Aisyah. Satu hari jatah untuk dirinya sendiri, dan satu hari lagi jatah buat Saudah.[5]
At-Tirmidzi meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia bertutur, "Saudah takut Nabi menceraikannya, maka dia berkata, Jangan kau ceraikan aku. Jadikan jatah hariku untuk Aisyah. Lalu Nabi melaksanakannya, dan turunlah sebuah ayat al-Qur’an: [6]
"Maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)." (QS An-Nisâ [4]:128)
Disebutkan dalam Thabaqat Ibnu Sa'ad, bahwa Saudah r.a. berkata kepada Nabi, "Aku tidak ada nafsu untuk ikatan pernikahan, tetapi aku amat senang kalau Allah SWT membangkitkanku pada hari kiamat kelak sebagai istrimu."[7]

Rasa Cemburu Istri-istri Nabi Saw
Dalam sebuah riwayat, Anas r.a. bercerita, "Ketika Nabi sedang berada di kediaman salah satu istrinya, tiba-tiba istrinya yang lain mengirimkan nampan berisi makanan. Istri beliau yang saat itu bersama Nabi memukul tangan pelayan yang membawa makanan itu. Nampan itu akhirnya jatuh dan pecah berserakan. Lalu Nabi mengumpulkan pecahan nampan dan makanan yang berserakan itu, seraya berkata, Kalian saling cemburu. Dan Nabi menahan pelayan itu agar tidak pulang dengan rasa kecewa. Beliau kemudian memberikan nampan milik istri di mana beliau sedang bersamanya kepada pelayan itu untuk diberikan kepada istri yang mengirimkan makanan tadi."[8]
Al-Hafizh Ibnu Hajar berpendapat bahwa istri yang memecahkan nampan itu adalah Aisyah r.a. dan yang istri yang mengirimkan makanan adalah Zainab binti Jahsy.[9]
Dalam riwayat lain, Aisyah r.a. berkata, "Aku tidak cemburu pada istri Rasulullah seperti aku cemburu pada Khadijah. Karena Rasulullah begitu sering menyebut dan memujinya."[10]

Persaingan di Antara Para Istri Nabi Saw
Razinah, seorang budak Rasulullah, menceritakan bahwa Saudah al-Yamaniyah mendatangi Aisyah r.a. Saat itu, Hafshah binti Umar sedang bersamanya. Saudah datang dengan dandanan yang bagus, dia mengenakan gaun dan pakaian yang indah. Hafshah berkata kepada Aisyah, "Wahai Ummul Mukminin, Rasulullah akan datang dan wanita ini begitu mencolok!" Dalam riwayat lain dikatakan, “Rasulullah datang dan kami berdua belum bersolek dan wanita ini amat mencolok mata!”
Lantas Ummul Mukminin bernasehat, "Bertakwalah kepada Allah, wahai Hafshah."
Jawab Hafshah, "Aku akan hancurkan perhiasan wanita ini."
Menanggapi hal itu, Saudah berkata, "Apa yang kalian ucapkan?"
Lalu Hafshah berkata kepadanya, "Hai Saudah, Dajjal  telah keluar."
Saudah terperanjat dan gemetar ketakutan. Kemudian dia bertanya, "Di mana aku harus bersembunyi?" Hafshah menjawab, "Bersembunyilah di dalam kemah dari pelepah kurma itu."
Spontan Saudah pergi bersembunyi dalam kemah itu yang ternyata di dalamnya ada kotoran dan sarang laba-laba. Ketika Rasulullah datang, mereka berdua sedang tertawa terpingkal-pingkal sampai tidak bisa bicara. Rasulullah pun bertanya, "Kenapa kalian berdua tertawa?"
Mereka berdua lantas menunjuk ke arah kemah. Selanjutnya, Rasulullah beranjak ke sana dan beliau mendapati Saudah tengah gemetar ketakutan. Kemudian Rasulullah menanyainya, "Kenapa engkau, wahai Saudah?"
Saudah menjawab, "Apakah Dajjal telah datang?"
Nabi menjawab, "Dia belum keluar, tetapi suatu saat pasti akan keluar." Lalu Nabi mengeluarkannya dari kemah itu dan membersihkan debu serta sarang laba-laba dari tubuhnya.[11]
Kisah ini menerangkan bagaimana persaingan antara para istri Nabi dalam berhias untuk menarik hati Rasulullah. Dan mereka merasa takut bila istri yang lain terlihat lebih bagus (cantik) daripada dandanan mereka. Dan ini merupakan pelajaran buat para istri yang cerdas agar berhias dan selalu menjaga kebersihan diri untuk suaminya bukan buat yang lain. Istri dan wanita Muslimah ketika berada di dalam rumah seyogianya tampil cantik, bersih, dan menawan demi sang suami. Ini akan menjaga kelanggengan dan keharmonisan rumah tangga dan rasa cinta suami-istri.

Ummu Habibah
Nama aslinya adalah Ramlah binti Abu Sufyan. Dia dilahirkan 17 tahun sebelum Muhammad diutus menjadi Nabi. Sebelumnya dia dinikahi oleh Ubaidillah bin Jahsy dan dikaruniai anak yang diberi nama Habibah. Lalu keduanya masuk Islam dan hijrah ke Habsyah. Tetapi setiba di Habsyah, suaminya Ubaidillah bin Jahsy beralih memeluk agama Kristen dan keluar dari Islam. Karena itu, Ummu Habibah kemudian menceraikannya. Ubaidillah tinggal di Habsyah hingga dia meninggal di sana dalam keadaan Kristen.
Ummu Habibah tetap setia pada Islam. Lalu Nabi mengirim utusan ke Habsyah untuk meminangnya. Kemudian Raja Najasyi menikahkannya untuk Nabi dengan mas kawin sebesar 4.000 dirham. Dia juga mengirim Syurahbil bin Hasanah buat menemaninya kembali ke Madinah menemui Rasulullah.[12]
Tatkala Abu Sufyan datang ke Madinah dan Nabi ingin menyerang Makkah, Abu Sufyan berbicara kepada Nabi agar menambah waktu berdamai, namun beliau menolaknya. Lalu Abu Sufyan mendatangi putrinya, Ummu Habibah. Ketika dia beranjak untuk duduk di atas tempat tidur Nabi, Ummu Habibah mendorongnya ke bawah. Abu Sufyan berkata, "Anakku, aku ingin berbaring di tempat tidur ini." Maka Ummu Habibah berkata, "Ini adalah tempat tidur Rasulullah dan kau adalah orang yang kotor."[13]


[1]Siyar a'lâm an-Nubala' (3/513).
[2]Hadits selengkapnya pada Musnad Ahmad (6/210, 211), Al-Thabrani (23/23). Lihat juga, Majma' al-Zawâid (9/225-227, 246).
[3]Lihat: Shahih al-Bukari (3894-3896), Siar A'lâm al-Nubala' (3/442, 443).
[4]Muhammad Ali al-Shabuni,  Syubhât wa Abâthil Haula Ta'addud Zaujâtt al-Rasûl Saw., hal. 38
[5]Shahih Muslim (1463).
[6]Sunan al-Tirmidzi (3040) dengan sanad hasan.
[7]Sanadnya dhaif. HR Ibnu Sa'ad, Al-Thabaqât al-Kubra, (8/54) secara Mursal, lihat juga,  Al-Ishâbah (4/338)
[8]Al-Bukhari (2481, 5225), Abu Dawud (3567), aL-Nasa'I (7/70), Ibnu Majah (2334), Al-Darimi (2598), Ahmad (3/105, 263).
[9]Ibn Hajar al-Asqâlani, Fath l-Bâr fi Sharh Shahih al-Bukhari, (5/149), (9/236).
[10]Al-Bukhari (5229).
[11]Majma' aL-Zawâid, (4/316).
[12]Sunan Abu Dawud (2107), Al-Nasa'i (6/119).
[13]Al-Mustadrak al-Hakim (4/20-23), Ibn Sa'ad, al-Thabaqât al-Kubra, (8/97-100), Al-Isti'âb, (4/303-307).

No comments:

Post a Comment