Aisyah bercerita, "Ketika Khadijah binti Khuwailid wafat, Khaulah
binti Hakim datang dan bertanya pada Nabi, ‘Wahai Rasulullah, apakah engkau
tidak mau menikah lagi?’ Nabi balik bertanya, ‘Dengan siapa?’ Khaulah kembali
bertanya, ‘Engkau mau yang gadis atau yang janda?’ Jawab Nabi, ‘Kalau yang
gadis siapa dan kalau yang janda siapa?’ Khaulah menjawab, ‘Kalau yang gadis
itu Aisyah, putri orang yang paling engkau cintai (Abu Bakar). Sedangkan yang
janda itu Saudah binti Zam'ah. Dia telah beriman kepadamu dan mengikuti agamamu’."[2]
Akhirnya
Nabi melamar keduanya, Aisyah dan Saudah. Saat itu, Aisyah baru berumur 6 tahun. Sebab itu Rasulullah tinggal bersama Saudah selama tiga tahun sampai Aisyah mencapai usia 9 tahun.[3] Setelah usianya genap 9 tahun, Rasulullah
kemudian tinggal bersama Aisyah.
Alasan beliau menikahi Saudah, padahal dia lebih tua daripada usia Nabi, lantaran Saudah adalah wanita mukmin
yang ikut berhijrah. Suaminya meninggal dunia setelah kembali dari perjalanan hijrah
kedua dari Habsyah, dan menyebabkan dia hidup sendiri. Andai dia
kembali ke pangkuan keluarganya –setelah suaminya meninggal– pasti mereka akan
memaksanya kembali pada kemusyrikan. Atau mereka akan menyiksanya dengan
siksaan yang amat pedih untuk memaksanya keluar dari agama Islam. Dan karena itu, Nabi memilih menikahinya dan menanggung
segala kebutuhan hidupnya. Ini merupakan bentuk kebaikan dan penghormatan yang paling tinggi atas keimanan dan keikhlasannya
yang tulus pada Allah SWT dan rasul-Nya.[4]
Demikianlah, selama tiga tahun, Saudah berada di rumah Nabi. Dia menjaga
dan melayani Nabi. Begitupun Nabi, beliau menjaga dan melayaninya sampai beliau
tinggal dengan Aisyah di Madinah. Saat itu, Saudah semakin tua dan keinginannya
ikatan suami-istri telah berkurang. Maka dia memberikan jatah waktunya bersama
Rasulullah untuk Aisyah. Aisyah meriwayatkan hal itu dan berkisah, "Aku tidak melihat wanita yang lebih aku cintai dari Saudah
binti Zam'ah. Dia adalah wanita yang kuat dan baik sifatnya." Saudah berkata,
"Wahai Rasulullah, aku berikan jatah waktuku untuk Aisyah." Lalu Rasulullah membagi jatah dua hari untuk Aisyah. Satu hari jatah
untuk dirinya sendiri, dan satu hari lagi jatah buat Saudah.[5]
At-Tirmidzi meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia bertutur, "Saudah takut Nabi menceraikannya, maka dia berkata, ‘Jangan kau ceraikan aku. Jadikan jatah hariku untuk Aisyah.’ Lalu Nabi melaksanakannya, dan turunlah sebuah ayat al-Qur’an: [6]
"Maka
tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya dan
perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)." (QS An-Nisâ [4]:128)
Disebutkan
dalam Thabaqat Ibnu Sa'ad, bahwa Saudah r.a. berkata kepada Nabi, "Aku
tidak ada nafsu untuk ikatan pernikahan, tetapi aku amat senang kalau Allah SWT membangkitkanku pada hari kiamat kelak sebagai istrimu."[7]
Rasa Cemburu Istri-istri Nabi Saw
Dalam
sebuah riwayat, Anas r.a. bercerita, "Ketika Nabi sedang berada
di kediaman salah satu istrinya, tiba-tiba istrinya yang lain mengirimkan
nampan berisi makanan. Istri beliau yang saat itu bersama Nabi memukul tangan
pelayan yang membawa makanan itu. Nampan itu akhirnya jatuh dan pecah berserakan.
Lalu Nabi mengumpulkan pecahan nampan dan makanan yang berserakan itu, seraya berkata,
‘Kalian saling cemburu.’ Dan Nabi menahan pelayan itu agar tidak pulang dengan
rasa kecewa. Beliau kemudian memberikan nampan milik
istri di mana beliau sedang bersamanya kepada
pelayan itu untuk diberikan kepada istri yang mengirimkan
makanan tadi."[8]
Al-Hafizh
Ibnu Hajar berpendapat bahwa istri yang memecahkan nampan itu adalah Aisyah r.a. dan yang istri yang mengirimkan makanan adalah Zainab
binti Jahsy.[9]
Dalam riwayat lain, Aisyah r.a. berkata, "Aku tidak cemburu
pada istri Rasulullah seperti aku cemburu pada Khadijah. Karena Rasulullah begitu
sering menyebut dan memujinya."[10]
Persaingan di Antara Para Istri Nabi Saw
Razinah,
seorang budak Rasulullah, menceritakan bahwa Saudah al-Yamaniyah mendatangi Aisyah r.a. Saat itu, Hafshah
binti Umar sedang bersamanya. Saudah datang dengan dandanan yang bagus, dia
mengenakan gaun dan pakaian yang indah. Hafshah berkata kepada Aisyah, "Wahai
Ummul Mukminin, Rasulullah akan datang dan wanita ini begitu mencolok!" Dalam
riwayat lain dikatakan, “Rasulullah datang dan kami berdua belum bersolek dan
wanita ini amat mencolok mata!”
Lantas Ummul Mukminin bernasehat, "Bertakwalah kepada Allah, wahai Hafshah."
Jawab Hafshah, "Aku akan hancurkan perhiasan wanita ini."
Menanggapi
hal itu, Saudah berkata, "Apa yang kalian ucapkan?"
Lalu
Hafshah berkata kepadanya, "Hai Saudah, Dajjal telah keluar."
Saudah
terperanjat dan gemetar ketakutan. Kemudian dia bertanya, "Di mana aku harus bersembunyi?" Hafshah menjawab, "Bersembunyilah
di dalam kemah dari pelepah kurma itu."
Spontan Saudah pergi bersembunyi dalam kemah itu yang ternyata di dalamnya
ada kotoran dan sarang laba-laba. Ketika Rasulullah datang, mereka berdua
sedang tertawa terpingkal-pingkal sampai tidak bisa bicara. Rasulullah pun bertanya,
"Kenapa kalian berdua tertawa?"
Mereka berdua lantas menunjuk ke arah kemah. Selanjutnya, Rasulullah
beranjak ke sana dan beliau mendapati Saudah tengah gemetar ketakutan. Kemudian
Rasulullah menanyainya, "Kenapa
engkau, wahai Saudah?"
Saudah
menjawab, "Apakah Dajjal telah datang?"
Nabi menjawab, "Dia belum keluar, tetapi suatu saat pasti akan keluar."
Lalu Nabi mengeluarkannya dari kemah itu dan membersihkan debu serta sarang
laba-laba dari tubuhnya.[11]
Kisah ini menerangkan bagaimana persaingan antara para istri Nabi dalam
berhias untuk menarik hati Rasulullah. Dan mereka merasa takut bila istri yang
lain terlihat lebih bagus (cantik) daripada dandanan mereka. Dan ini merupakan
pelajaran buat para istri yang cerdas agar berhias dan selalu menjaga
kebersihan diri untuk suaminya bukan buat yang lain. Istri dan wanita Muslimah ketika
berada di dalam rumah seyogianya tampil cantik, bersih, dan menawan demi sang
suami. Ini akan menjaga kelanggengan dan keharmonisan rumah tangga dan rasa
cinta suami-istri.
Ummu Habibah
Nama
aslinya adalah Ramlah binti Abu Sufyan. Dia dilahirkan 17 tahun sebelum Muhammad diutus menjadi Nabi. Sebelumnya dia dinikahi oleh Ubaidillah bin Jahsy
dan dikaruniai anak yang diberi nama Habibah. Lalu keduanya masuk Islam dan
hijrah ke Habsyah. Tetapi setiba di Habsyah, suaminya Ubaidillah bin Jahsy beralih memeluk agama Kristen dan
keluar dari Islam. Karena itu, Ummu
Habibah kemudian menceraikannya. Ubaidillah tinggal di Habsyah hingga dia meninggal
di sana dalam keadaan Kristen.
Ummu
Habibah tetap setia pada Islam. Lalu Nabi mengirim utusan ke Habsyah untuk
meminangnya. Kemudian Raja Najasyi menikahkannya untuk Nabi dengan mas kawin
sebesar 4.000 dirham. Dia juga mengirim Syurahbil bin Hasanah buat menemaninya kembali ke Madinah menemui Rasulullah.[12]
Tatkala Abu Sufyan datang ke Madinah dan Nabi
ingin menyerang Makkah, Abu Sufyan berbicara kepada Nabi agar menambah waktu berdamai, namun beliau menolaknya. Lalu Abu Sufyan mendatangi
putrinya, Ummu Habibah. Ketika dia beranjak untuk duduk di atas tempat tidur Nabi,
Ummu Habibah mendorongnya ke bawah. Abu Sufyan berkata, "Anakku, aku ingin
berbaring di tempat tidur ini." Maka Ummu Habibah berkata, "Ini
adalah tempat tidur Rasulullah dan kau adalah orang yang kotor."[13]
[2]Hadits
selengkapnya pada Musnad Ahmad (6/210, 211), Al-Thabrani (23/23). Lihat juga, Majma'
al-Zawâid (9/225-227, 246).
[3]Lihat:
Shahih al-Bukari (3894-3896), Siar A'lâm al-Nubala'
(3/442, 443).
[4]Muhammad
Ali al-Shabuni, Syubhât wa Abâthil Haula
Ta'addud Zaujâtt al-Rasûl Saw., hal. 38
[7]Sanadnya dhaif. HR Ibnu Sa'ad, Al-Thabaqât al-Kubra, (8/54) secara
Mursal, lihat juga, Al-Ishâbah
(4/338)
[8]Al-Bukhari (2481, 5225), Abu Dawud (3567), aL-Nasa'I (7/70), Ibnu Majah
(2334), Al-Darimi (2598), Ahmad (3/105, 263).
[9]Ibn Hajar al-Asqâlani, Fath l-Bâr fi Sharh Shahih
al-Bukhari, (5/149), (9/236).
[13]Al-Mustadrak
al-Hakim (4/20-23), Ibn Sa'ad, al-Thabaqât al-Kubra, (8/97-100), Al-Isti'âb,
(4/303-307).
No comments:
Post a Comment