Saturday, February 8, 2014

Perlu Upaya Bersama Sempurnakan Pelaksanaan BPJS


Pembenahan terus dilakukan. Termasuk menyusun regulasi penunjang.

Indonesia tergolong negara yang cepat dalam membangun sistem Jamsos. Menurut Wakil Menteri Kesehatan, Ali Gufron Mukti, German butuh waktu seratus tahun membangun sistem tersebut. Indonesia berupaya mencapai universal health coverage (UHC) lewat BPJS Kesehatan dalam waktu lima tahun sebagaimana peta jalan yang sudah disepakati.

Jika sudah mencapai UHC, Ali melanjutkan, BPJS merupakan sistem Jamsos dengan peserta terbesar di dunia karena mencakup seluruh rakyat Indonesia yang jumlahnya lebih dari 200 juta orang. Oleh karenanya, sekarang kesuksesan implementasi BPJS ditunggu WHO. Walau begitu Indonesia harus belajar dari berbagai negara yang sudah lebih dulu membangun Jamsos.

Ali mengakui masih terdapat kelemahan dalam implementasi BPJS, khususnya Kesehatan. Menurutnya, membangun BPJS tidak mudah karena sangat rumit dan menyangkut banyak hal. Misalnya, untuk menerbitkan satu Peraturan Pemerintah (PP) tentang zat adiktif tembakau, dibutuhkan waktu satu tahun. Sedangkan untuk melaksanakan BPJS, pemerintah dituntut menerbitkan paling sedikit delapan peraturan pelaksana seperti PP dan Perpres.

Untuk mengejar target itu, Ali mengklaim pemerintah melakukan pembahasan secara rutin. Akibatnya, ada beberapa peraturan pelaksana yang dirasa masih perlu dibenahi ketika diterbitkan. Misalnya, pada awal diterbitkannya Perpres Jaminan Kesehatan (Jamkes), masyarakat menuntut agar regulasi itu direvisi. Padahal peraturan itu baru diterbitkan dan belum dijalankan.

Begitu pula dengan Permenkes No. 69 Tahun 2013 tentang Tarif Pelayanan Kesehatan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), menurut Ali baru diterbitkan sepekan sudah ada tuntutan untuk diubah. Walau mengaku tidak mudah untuk membuat sebuah regulasi, Kemenkes telah menindaklanjuti usulan perubahan itu dengan menerbitkan Surat Edaran (SE) Menkes No. 31 dan 32 Tahun 2014. Tapi regulasi yang baru diterbitkan itu belum sampai ke dinas kesehatan dan Rumah Sakit (RS) di seluruh Indonesia.

Namun Ali menekankan apapun kelemahan yang ada dalam pelaksanaan BPJS Kesehatan, semua pihak harus bahu-membahu untuk memperbaikinya. Ia pun mengatakan Kemenkes terbuka untuk mengakomodir masukan dari para pemangku kepentingan guna membangun implementasi BPJS Kesehatan yang lebih baik. "Jadi intinya lobang-lobang BPJS kita tutup bareng-bareng," katanya dalam acara bertema "Silaturahmi Jamsos" yang digelar Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS) di Jakarta, Selasa (4/2).

Selain itu Ali mengimbau kepada pemangku kepentingan untuk terus mengawal pelaksanaan BPJS. Sebab, secara keorganisasian ada perubahan yang signifikan dari lembaga sebelumnya yaitu PT Askes dan PT Jamsostek sebagai BUMN ke BPJS yang berbadan hukum publik. Dengan perubahan itu maka lembaga yang tadinya berorientasi profit menjadi non profit. Namun, bukan berarti BPJS tidak bisa mendapat surplus. Hal itu dibolehkan asal keuntungan yang diperoleh dikembalikan lagi kepada peserta untuk meningkatkan kualitas pelayanan.

Pada kesempatan yang sama koordinator advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden SBY lamban dalam menindaklanjuti amanat UU SJSN. Ujungnya ketika mendapat desakan yang masif dari serikat pekerja, barulah UU BPJS diterbitkan pada 2011. RUU BPJS pun menurut Timboel merupakan inisiatif DPR, bukan pemerintah.

Pasca UU BPJS diterbitkan, lagi-lagi Timboel melihat pemerintah lambat dalam membuat peraturan pelaksana BPJS. Padahal UU SJSN mengamanatkan untuk peraturan pelaksana BPJS Kesehatan paling lambat diterbitkan setahun setelah UU BPJS diterbitkan. Akibatnya, ketika peraturan pelaksana BPJS Kesehatan diterbitkan, muncul berbagai masalah. "Ujungnya regulasi itu menimbulkan masalah di lapangan. Itu juga kurang sosialisasi di lapangan," ucapnya.

Dari berbagai advokasi yang dilakukan, Timboel menemukan banyak persoalan yang dihadapi peserta BPJS Kesehatan. Misalnya, peserta yang membutuhkan amputasi kaki mendapat kesulitan ketika dirujuk ke Rumah Sakit (RS) yang tingkatannya lebih tinggi. Sebab, dalam surat rujukan tidak ada cap stempel BPJS Kesehatan.

Kemudian, Timboel menandaskan, peserta BPJS Kesehatan yang awalnya peserta Jaminan Pemeliharaan Kerja (JPK) Jamsostek, harus membayar sejumlah uang dan kartu identitasnya ditahan RS ketika mengantarkan istrinya melahirkan. Pihak RS beralasan BPJS Kesehatan hanya membayar biaya persalinan sebesar Rp600 ribu. Padahal, biaya yang dibutuhkan sesungguhnya lebih dari itu.

Timboel melihat penyebab utama persoalan itu adalah mekanisme pembayaran yang digunakan BPJS Kesehatan kepada fasilitas kesehatan menggunakan kapitasi dan INA-CBGs. Sistem itu diatur lewat Permenkes No. 69 Tahun 2013. Oleh karenanya Timboel mendesak agar regulasi itu segera direvisi. "Permenkes No. 69 Tahun 2013 itu harus direvisi, sehingga tidak menurunkan kualitas pelayanan terhadap peserta," usulnya.

Senada, Relawan Jokowi-Ahok yang selama ini mengadvokasi peserta KJS, Yus Kristin, mengatakan peserta KJS mengalami kendala ketika beralih ke BPJS Kesehatan. Misalnya, jika ingin mendapat pelayanan kesehatan, selama ini warga Jakarta hanya perlu menyambangi fasilitas kesehatan dengan membawa KTP Jakarta dan Kartu Keluarga (KK). Tapi sekarang, hal tersebut tidak dapat dilakukan lagi karena warga harus menjadi peserta BPJS Kesehatan terlebih dulu.

Bagi warga Jakarta yang belum punya kartu KJS, maka harus mendaftar ke Puskesmas kemudian menyambangi kantor BPJS Kesehatan terdekat. Mekanisme itu membuat warga harus bolak-balik dari Puskesmas ke kantor BPJS Kesehatan. Kristin mengusulkan agar pendaftaran bisa dilakukan di Puskesmas agar masyarakat tidak kerepotan.

Belum lagi masih banyak peserta KJS yang ditolak RS umum dan swasta. Kemudian peserta KJS harus membayar obat-obat tertentu ketika berobat jalan. Menurut pihak fasilitas kesehatan yang bersangkutan obat tersebut tidak dicakup BPJS Kesehatan. Atas dasar itu Kristin mengajak Kemenkes dan pihak terkait lainnya untuk duduk bersama menuntaskan persoalan tersebut. "Di lapangan itu masih banyak masalah lainnya (yang dihadapi peserta KJS,-red)," pungkasnya. (www.hukumonline.com)

No comments:

Post a Comment