Pembenahan terus dilakukan. Termasuk menyusun regulasi penunjang.
Indonesia
tergolong negara yang cepat dalam membangun sistem Jamsos. Menurut Wakil
Menteri Kesehatan, Ali Gufron Mukti, German butuh waktu seratus tahun membangun
sistem tersebut. Indonesia berupaya mencapai universal health coverage (UHC)
lewat BPJS Kesehatan dalam waktu lima tahun sebagaimana peta jalan yang sudah
disepakati.
Jika sudah
mencapai UHC, Ali melanjutkan, BPJS merupakan sistem Jamsos dengan peserta
terbesar di dunia karena mencakup seluruh rakyat Indonesia yang jumlahnya lebih
dari 200 juta orang. Oleh karenanya, sekarang kesuksesan implementasi BPJS
ditunggu WHO. Walau begitu Indonesia harus belajar dari berbagai negara yang
sudah lebih dulu membangun Jamsos.
Ali mengakui masih
terdapat kelemahan dalam implementasi BPJS, khususnya Kesehatan. Menurutnya,
membangun BPJS tidak mudah karena sangat rumit dan menyangkut banyak hal.
Misalnya, untuk menerbitkan satu Peraturan Pemerintah (PP) tentang zat adiktif
tembakau, dibutuhkan waktu satu tahun. Sedangkan untuk melaksanakan BPJS,
pemerintah dituntut menerbitkan paling sedikit delapan peraturan pelaksana
seperti PP dan Perpres.
Untuk mengejar
target itu, Ali mengklaim pemerintah melakukan pembahasan secara rutin.
Akibatnya, ada beberapa peraturan pelaksana yang dirasa masih perlu dibenahi
ketika diterbitkan. Misalnya, pada awal diterbitkannya Perpres Jaminan Kesehatan
(Jamkes), masyarakat menuntut agar regulasi itu direvisi. Padahal peraturan itu
baru diterbitkan dan belum dijalankan.
Begitu pula dengan
Permenkes No. 69 Tahun 2013 tentang Tarif Pelayanan Kesehatan Program Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN), menurut Ali baru diterbitkan sepekan sudah ada
tuntutan untuk diubah. Walau mengaku tidak mudah untuk membuat sebuah regulasi,
Kemenkes telah menindaklanjuti usulan perubahan itu dengan menerbitkan Surat
Edaran (SE) Menkes No. 31 dan 32 Tahun 2014. Tapi regulasi yang baru
diterbitkan itu belum sampai ke dinas kesehatan dan Rumah Sakit (RS) di seluruh
Indonesia.
Namun Ali
menekankan apapun kelemahan yang ada dalam pelaksanaan BPJS Kesehatan, semua
pihak harus bahu-membahu untuk memperbaikinya. Ia pun mengatakan Kemenkes
terbuka untuk mengakomodir masukan dari para pemangku kepentingan guna
membangun implementasi BPJS Kesehatan yang lebih baik. "Jadi intinya
lobang-lobang BPJS kita tutup bareng-bareng," katanya dalam acara bertema
"Silaturahmi Jamsos" yang digelar Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS)
di Jakarta, Selasa (4/2).
Selain itu Ali
mengimbau kepada pemangku kepentingan untuk terus mengawal pelaksanaan BPJS.
Sebab, secara keorganisasian ada perubahan yang signifikan dari lembaga
sebelumnya yaitu PT Askes dan PT Jamsostek sebagai BUMN ke BPJS yang berbadan
hukum publik. Dengan perubahan itu maka lembaga yang tadinya berorientasi
profit menjadi non profit. Namun, bukan berarti BPJS tidak bisa mendapat
surplus. Hal itu dibolehkan asal keuntungan yang diperoleh dikembalikan lagi
kepada peserta untuk meningkatkan kualitas pelayanan.
Pada kesempatan
yang sama koordinator advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, pemerintahan di
bawah kepemimpinan Presiden SBY lamban dalam menindaklanjuti amanat UU SJSN.
Ujungnya ketika mendapat desakan yang masif dari serikat pekerja, barulah UU
BPJS diterbitkan pada 2011. RUU BPJS pun menurut Timboel merupakan inisiatif
DPR, bukan pemerintah.
Pasca UU BPJS
diterbitkan, lagi-lagi Timboel melihat pemerintah lambat dalam membuat
peraturan pelaksana BPJS. Padahal UU SJSN mengamanatkan untuk peraturan
pelaksana BPJS Kesehatan paling lambat diterbitkan setahun setelah UU BPJS
diterbitkan. Akibatnya, ketika peraturan pelaksana BPJS Kesehatan diterbitkan,
muncul berbagai masalah. "Ujungnya regulasi itu menimbulkan masalah di
lapangan. Itu juga kurang sosialisasi di lapangan," ucapnya.
Dari berbagai
advokasi yang dilakukan, Timboel menemukan banyak persoalan yang dihadapi
peserta BPJS Kesehatan. Misalnya, peserta yang membutuhkan amputasi kaki
mendapat kesulitan ketika dirujuk ke Rumah Sakit (RS) yang tingkatannya lebih
tinggi. Sebab, dalam surat rujukan tidak ada cap stempel BPJS Kesehatan.
Kemudian, Timboel
menandaskan, peserta BPJS Kesehatan yang awalnya peserta Jaminan Pemeliharaan
Kerja (JPK) Jamsostek, harus membayar sejumlah uang dan kartu identitasnya
ditahan RS ketika mengantarkan istrinya melahirkan. Pihak RS beralasan BPJS
Kesehatan hanya membayar biaya persalinan sebesar Rp600 ribu. Padahal, biaya
yang dibutuhkan sesungguhnya lebih dari itu.
Timboel melihat
penyebab utama persoalan itu adalah mekanisme pembayaran yang digunakan BPJS
Kesehatan kepada fasilitas kesehatan menggunakan kapitasi dan INA-CBGs. Sistem
itu diatur lewat Permenkes No. 69 Tahun 2013. Oleh karenanya Timboel mendesak
agar regulasi itu segera direvisi. "Permenkes No. 69 Tahun 2013 itu harus
direvisi, sehingga tidak menurunkan kualitas pelayanan terhadap peserta,"
usulnya.
Senada, Relawan
Jokowi-Ahok yang selama ini mengadvokasi peserta KJS, Yus Kristin, mengatakan
peserta KJS mengalami kendala ketika beralih ke BPJS Kesehatan. Misalnya, jika
ingin mendapat pelayanan kesehatan, selama ini warga Jakarta hanya perlu
menyambangi fasilitas kesehatan dengan membawa KTP Jakarta dan Kartu Keluarga
(KK). Tapi sekarang, hal tersebut tidak dapat dilakukan lagi karena warga harus
menjadi peserta BPJS Kesehatan terlebih dulu.
Bagi warga Jakarta
yang belum punya kartu KJS, maka harus mendaftar ke Puskesmas kemudian
menyambangi kantor BPJS Kesehatan terdekat. Mekanisme itu membuat warga harus
bolak-balik dari Puskesmas ke kantor BPJS Kesehatan. Kristin mengusulkan agar
pendaftaran bisa dilakukan di Puskesmas agar masyarakat tidak kerepotan.
Belum lagi masih
banyak peserta KJS yang ditolak RS umum dan swasta. Kemudian peserta KJS harus
membayar obat-obat tertentu ketika berobat jalan. Menurut pihak fasilitas
kesehatan yang bersangkutan obat tersebut tidak dicakup BPJS Kesehatan. Atas
dasar itu Kristin mengajak Kemenkes dan pihak terkait lainnya untuk duduk
bersama menuntaskan persoalan tersebut. "Di lapangan itu masih banyak
masalah lainnya (yang dihadapi peserta KJS,-red)," pungkasnya.
(www.hukumonline.com)
No comments:
Post a Comment