Dikisahkan dari Ali bin Abu Thalib bahwa Fatimah merasa sakit disebabkan kelelahan yang luar biasa. Lalu dia mendengar kabar bahwa Rasulullah telah mendapatkan tawanan. Karena itu, dia menyambangi Rasulullah untuk meminta seorang pembantu. Namun, dia tidak bertemu beliau. Akhirnya, dia menitip pesan kepada Aisyah. Setelah Rasulullah datang, Aisyah menyampaikan pesan tersebut kepada beliau.
Kemudian Rasulullah mendatangi Fatimah dan Aisyah,
sementara keduanya berada di tempat tidur. Keduanya berniat bangun. Namun,
Rasulullah berkata, “Tetaplah di tempat kalian berdua.” Sampai Aisyah mendapati
kain jubah beliau di atas dadanya. Beliau berkata, “Tidakkah saya tunjukkan
kepada kalian berdua hal yang lebih bagus dari apa yang kalian berdua minta?
Ketika kalian berdua hendak tidur, bacalah takbir sebanyak tiga puluh tiga
kali, bacalah Alhamdulillah sebanyak tiga puluh tiga kali dan bacalah tasbih
sebanyak tiga puluh tiga kali, semua itu lebih baik dari pada apa yang kalian
berdua minta.”[1]
Dalam riwayat lain dari Ali bin Abu Thalib, sesungguhnya
Rasulullah mengatakan kepada mereka berdua, “Demi Allah, saya tidak akan memberikan
apa yang kalian minta dan meninggalkan Ahlu al-Shufah[2]
kelaparan, karena saya tidak menemukan biaya untuk saya nafkahkan kepada
mereka. Tetapi, saya akan menjual harta rampasan perang dan menafkahkan uangnya
buat mereka.”[3]
Ajari
Saya Wahai Rasulullah
Diceritakan
dari Ummu Anas (orang tua Imran bin Abi Anas), “Saya pernah mengunjungi
Rasulullah. Kemudian saya mendo’akan sang baginda, semoga Allah menempatkanmu
di bagian teratas dari surga dan saya bersamamu.” Sejenak berlalu, Ummu Anas bertanya,
“Wahai Rasulullah, ajari saya amalan yang bagus untuk kemudian saya kerjakan.”
Rasulullah
menjawab, “Kerjakanlah shalat, karena mengerjakannya merupakan jihad teragung;
hindari maksiat, karena menghindarinya sungguh merupakan hijrah yang utama; dan
perbanyaklah berdzikir kepada Allah, hingga kamu menjumpai-Nya, karena
berdzikir merupakan amalan yang paling Allah cintai.”[4]
Dalam kisah
lain dari Ummu Anas[5] diceritakan
bahwa dia memohon, “Wahai Rasulullah berilah saya wasiat."
Rasulullah
pun menjawab, “Hindari maksiat, karena menghindarinya merupakan hijrah yang
utama, jagalah shalat fardlu, karena menjaganya merupakan jihad yang utama dan
perbanyaklah berdzikir kepada Allah, karena sesungguhnya tidak ada sebuah
amalan yang lebih Allah cintai selain memperbanyak berdzikir.”[6]
Shalat yang Baik
Bagi Kaum Perempuan
Ummu Humaid
pernah mendatangi istri Abu Humaid al-Sa’idi untuk mengajak berkunjung
kepada Rasulullah. Kemudian dia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya
sangat senang shalat bersamamu.”
Jawab Rasulullah,
“Saya tahu bahwa kamu senang shalat bersama saya, tapi shalat di rumahmu lebih
baik daripada shalat di kamarmu, sementara shalat di kamarmu lebih baik
daripada shalat di suraumu, shalat di suraumu juga lebih baik daripada shalat
di masjid kaummu dan shalat di masjid kaummu (kaum perempuan) lebih baik
daripada shalat di masjidku.”
Kemudian Ummu Humaid dibangunkan masjid di bagian
dalam dari rumahnya. Dia shalat di masjid tersebut, hingga menghadap Allah SWT.[7]
[1]al-Bukhari (3113).
[2]Orang-orang fakir dari kalangan
Muhajirin yang bertempat tinggal di Shufah (tenda tertutup) yang terletak di
masjid Rasulullah Saw.
[3]Musnad Ahmad (1/79,106-107).
[4]Diriwayatkan oleh at-Thabrani
dalam al-Kabir dan al-Ausath. At-Thabrani berkata bahwa Ummu Anas
ini bukan ibu Anas bin Malik. Diriwayatkan dari jalur Muhammad bin Ismail
al-Anshari dari Yunus bin Imran bin Ubu Anas. Keduanya telah disebutkan Ibnu
Abi Hatim. Ibnu Hatim tidak memperinci rawinya, sementara
sebagian rawinya terpercaya. Lihat Majma’al- Zawâid (10/75).
[5]Al-Haitsami berkata, “Perempuan
ini adalah ibu dari Anas bin Malik.”
[6]Diriwayatkan oleh al-Thabrani
dalam kitab “Al-Kabir”. Dalam riwayat tersebut terdapat Ishaq bin
Ibrahim bin Nathas tetapi periwayatannya adalah lemah (dzaif). Lihat Majma’
al-Zawâ’id, (10/75).
[7]Diriwayatkan oleh Imam Ahmad
(6/371). Semua periwayatnya shahih, selain Abdullah bin Suwaid
al-Anshari. Namun Ibnu Hibban menganggapnya shahih. Lihat Majma’ Zawâid,
(2/33-34).
No comments:
Post a Comment