Ibrahim al-Saih bercerita bahwa ketika dia melakukan thawaf di Ka'bah, tiba-tiba dia melihat seorang jariyah bergelayutan di kain penutup Ka'bah sambil memohon, "Wahai kesendirianku setelah berdua, wahai kehinaanku setelah mulia, wahai kemiskinanku setelah kaya, wahai musibahku yang besar."
Lalu Ibrahim bertanya, "Musibah apa yang menimpamu?"
Jariyah menjawab, "Kehilangan hati dan terputus dari kekasih."
Ibrahim bertanya lagi, "Kenapa kau tidak merendahkan suaramu?"
Jariyah itu menjawab, "Wahai Syaikh, rumah ini rumahmu atau
rumah-Nya?"
Jawab Ibrahim, "Rumah-Nya."
Jariyah itu kembali bertanya, "Tanah suci ini milikmu atau
milik-Nya?"
Ibrahim menjawab, "Tanah suci-Nya."
Jariyah bertanya lagi, "Siapa yang membuat kita menziarahi tempat
ini?"
Ibrahim menjawab, "Dia."
Lalu jariyah itu berkata, "Maka biarkanlah kami bergelayut pada-Nya
sebagaimana Dia membuat kami menziarahi-Nya dan menunjukkan kami
pada-Nya." Kemudian jariyah mengangkat kedua tangannya memohon,
"Tuhanku, dengan cinta-Mu kepadaku, jangan Kau kembalikan hatiku
lagi."
Ibrahim bertanya, "Dari mana kau tahu kalau Dia mencintaimu?"
Jariyah itu menjawab, "Dengan pertolongan-Nya kepadaku, karena Dia
akan menyiapkan pasukan dalam memenuhi permintaanku, menafkahkan harta dan
menyiapkan hamba sahaya, lalu mengeluarkan aku dari negeri syirik dan
memasukkan aku ke negeri tauhid. Dia mengenalkan aku pada-Nya, menunjukkan aku
taufiq-Nya dan aku merasa ada di hadapan-Nya."
Siapa yang Bakhil?
Izzah, sahabat Katsir, datang menemui Ummu al-Banin binti Abdul Aziz bin
Marwan, saudari Umar bin Abdul Aziz. Ummu al-Banin bertanya, "Wahai Izzah,
apa makna ucapan Katsir ini:
Aku tahu semua yang memiliki utang telah
membayar utangnya
Sedangkan Izzah menunda-nuda dan membuat susah
orang yang memberi utang
Utang apa yang dia sebutkan?"
Izzah berjawab, "Maafkan aku."
Ummu al-Banin meminta, "Kau harus memberitahuku."
Lalu Izzah menjelaskan, "Aku menjanjikannya satu ciuman. Dia mendatangiku,
lalu aku merasa tidak senang dan aku tidak memenuhi janjiku padanya."
Ummu al-Banin mengatakan, "Tunaikanlah janjimu padanya, biar aku yang
menanggung dosanya." Setelah itu, Ummu al-Banin bertaubat dan meminta
ampun pada Allah SWT. Lalu dia membebaskan 40 orang budak karena kata-katanya
itu. Jika diingatkan dengan kejadian itu, dia menangis sampai
kerudungnya basah. Dia berkata, "Kalau saja lidah ini kelu ketika aku
mengatakannya!" Dia begitu giat melakukan ibadah dan dia tidak mau tidur.
Dia menghidupkan malam dan setiap hari Jum'at dia pergi berjuang di jalan Allah
dengan naik kuda. Dia berkumpul dengan wanita-wanita yang ahli ibadah dan
berbicara dengan mereka.
Dia
berkata, "Aku suka kata-kata kalian. Jika aku selesai mengerjakan shalat,
aku bergurau tentang kalian." Dia pernah berkata, "Orang yang paling
bakhil adalah orang yang bakhil pada dirinya sendiri dengan surga." Dia
juga pernah berkata, "Setiap manusia dijadikan memiliki satu kegemaran
pada sesuatu dan kegemaranku adalah memberi dan berbagi. Demi Allah, memberi,
menyambung silaturrahim dan berhubungan dengan Allah lebih
aku sukai daripada makanan yang lezat saat lapar dan minuman yang
dingin saat haus. Bukankah kebaikan diperoleh dengan usaha?" Dia berada
pada jalan yang indah sampai wafat, semoga Allah SWT merahmatinya.[1]
Taubat di Dekat
Ka’bah
Terkisah dari Wuhaib bin al-Ward, satu ketika, seorang wanita melakukan
thawaf dan berdoa, "Ya Allah, kelezatan telah
lenyap dan yang tinggal hanya kelelahan. Ya Allah, Maha Suci dan Maha Agung
Engkau dan Engkau-lah yang paling mengasihi. Ya Allah, Engkau tidak punya
siksaan selain neraka."
Teman yang mendampinginya berujar, "Saudariku, hari ini kau memasuki
rumah Tuhanmu."
Wanita itu menjawab, "Demi Allah, aku tidak melihat kedua kaki ini
pantas untuk thawaf mengelilingi rumah Tuhanku. Lalu bagaimana aku melihat
keduanya pantas aku langkahkan ke rumah Tuhanku sedangkan aku tahu di mana
keduanya pernah melangkah dan akan ke mana keduanya melangkah?"[2]
No comments:
Post a Comment