Bilamana seseorang mengikuti pemimpin yang mencari nama besar, maka sang pemimpin lah yang akan diagungkan. Pemimpin tersebut akan dipuja dan akhirnya menggeser kedudukan Tuhan. Jikalau seseorang mengikuti pemimpin yang berhati seorang pelayan, Tuhan lah yang akan diagungkan. Pemimpin-pemimpin semacam ini akan berbicara tentang anak Tuhan, kuasa Tuhan, pekerjaan Tuhan, nama Tuhan, firman Tuhan, Tuhan ... Semuanya untuk kemuliaan Tuhan.
Charles
R. Swindoll, penulis buku "Improving Your Serve"
TATKALA Jopinus Ramli (JR) Saragih yang
akrab disapa Pak JR mulai mengemban amanah sebagai Bupati Simalungun pada akhir
2010, ternyata dia harus menghadapi dan menyelesaikan persoalan yang tidak
mudah diurai. Dia mesti menghadapi empat persoalan rumit yang melilit warga
masyarakat Kabupaten Simalungun. Keempat persoalan itu: orang Simalungun sulit
berbagi, mengalami gangguan perasaan, kebersamaan yang minim dan gagap
menghadapi era globalisasi.
Persoalan-persoalan
yang relatif rumit tersebut tentu tidak datang secara tiba-tiba. Setidaknya ada
akar historis yang jauh ke masa lalu. Satu kesaksian menarik datang dari
seorang pendeta asli Simalungun, yakni Pdt. Juandaha Raya Purba Dasoeha, STh.
Dalam suatu percakapan dengan Pendeta Juandaha, seorang Tokoh asli Simalungun,
yang sudah cukup lama berkecimpung di dunia politik, mengaku bahwa Simalungun
adalah bangsa yang besar.
Pendeta
Juandaha lagsung menukas, “Simalungun bukan besar tetapi kecil. Bahkan karena
demikian kecilnya, orang di luar Simalungun, tidak mengenal apa itu
Simalungun.”
Si
Tokoh langsung gusar dengan mengatakan bahwa pendeta asli Simalungun itu
sebagai pendeta tidak peduli pada keadaan Simalungun. Kata si Tokoh, Pendeta
Juandaha mestinya membesarkan kebanggaan Simalungun, bukan makin mengecilkan
Simalungun. “Ai, na sonaha do nasiam
pandita namaposo sonari on, lang dong be huidah parduli nasiam bani Simalungun
on?” gerutu si Tokoh.
Pendeta
Juandaha tersenyum simpul saja. Dia merasa berat mengatakan kepada si Tokoh
bahwa realitas Simalungun yang kecil itu tak dapat dipungkiri lagi. Hal ini, demikian
kata dia, terlihat pada kompleksitas permasalahan yang muncul di Tanah
Simalungun saat ini. Mulai dari jalan-jalan yang rusak sampai pembangunan yang
berorientasi pada kepentingan simbolik yang mengabaikan masalah perut sebagian
besar warga Simalungun yang hidup di tengah himpitan kemiskinan dan keterpurukan,
khususnya di huta-huta sana.
Dan
yang tidak kalah seru, begitu kata Pendeta Juandaha, saat ini ada inisiatif
orang-orang pendatang di Simalungun yang hendak membagi-bagi Kabupaten
Simalungun menjadi tiga Kabupaten, dengan menyisakan satu Kabupaten Simalungun
di enclave etnis Simalungun mulai
dari Kecamatan Raya, Purba, Silimakuta, Dolog Silou dan Raya Kahean, sedang
yang dua lagi diberi nama Kabupaten Nusantara dan Dano Toba yang rasanya cukup
nasionalis dan lintas etnis. Belum lagi, kabar-kabarnya (gan baritani), pejabat-pejabat dari etnis Simalungun banyak yang
digusur dari kursi kebesarannya di Kantor Bupati Simalungun dan serta merta
digantikan pejabat-pejabat dari etnis lain. Lantaran begitu nasionalisnya
Simalungun, sampai-sampai ada pejabat yang didatangkan dari luar Kabupaten
Simalungun.
Simalungun
seolah kehilangan kebanggaan dirinya. Seakan tidak eksis di tengah kemarakan
tuntutan otonomi dan kekhasan kultural lokal di era otonomi daerah dan
reformasi. Padahal, di masa silam, Simalungun punya kebanggaan melalui sejumlah
tokohnya antara lain Brigjen (Purn) Radjamin Purba, Tuan Madja Purba, Haji
Ulakma Sinaga, Pdt. J. Wismar Saragih, Guru Jason Saragih, Brigjen (Purn) T.S.
Mardjans Saragih, Brigjen (Purn) Lahiradja Munthe, Pdt. Jenus Purbasiboro, dr.
Djasamen Soembajak, Pangoeloe Balei Djaoedin Saragih dan tokoh-tokoh Comite Na
Ra Marpodah Simaloengoen (1928) yang tanpa pamrih memperjuangkan Simalungun
menjadi tuan di rumahnya sendiri.
Dalam
tesisnya, Prof. Dr. Bintan Regen Saragih –anak dari Pdt. Williamer Saragih yang
dibunuh PRRI di Sibuntuon tahun 1960-- menjelaskan bahwa minimal terdapat enam
penyebab kelambanan pergerakan kemajuan sosial-politik, religius dan ekonomis
orang Simalungun. Pertama, Perang
Dunia II, yang mengakibatkan kelambanan perkembangan ilmu pengetahuan/teknologi
dan minimnya informasi dan bantuan yang masuk ke wilayah Simalungun.
Kedua, Revolusi Sosial, 3 Maret 1946,
yang meluluh-lantakkan kebesaran Simalungun dengan pembunuhan kaum
elitis-intelektual dan birokrat dan aristokrat Simalungun pertama. Terbentuknya
NST (Negara Sumatera Timur) dengan raja Tanah Jawa Tuan Kaliamsyah Sinaga dan
Tuan Djomat Purba sebagai wali negara dan kepala kepolisian NST yang menegaskan
realitas historis sifat provinsialisme orang Simalungun yang konon kurang
berkenan di hati orang republik, sehingga Simalungun dicap bukan nasionalis
sejati dan terkesan separatis.
Ketiga, peristiwa PRRI 1959-1961 yang mengakibatkan
pembangunan golongan menengah di Simalungun stagnan. Keempat, peristiwa G 30-S/PKI 1965 yang melumpuhkan kehidupan
politik, ekonomi, sosial dan budaya (termasuk keagamaan) di seluruh Indonesia, tak
terkecuali Simalungun. Kelima, kelambanan
orang Simalungun menyikapi aliran Kharismatik dan aliran-aliran fundamentalisme
Kristen yang berkembang subur saat ini yang lebih mengedepankan pertumbuhan
iman dan mengabaikan kepedulian pada masalah-masalah krusial di tengah-tengah
masyarakat. Semboyan Kristen yes, partai
Kristen no, makin menjauhkan orang Kristen dari ruang-ruang politik di
negeri ini, sehingga dikhwatirkan ke-Kristen-an akan menjadi penonton di tengah
percaturan politik di Indonesia.
Dan,
keenam, kelambanan orang Simalungun
menghadapi derasnya arus globalisasi dan teknologi informasi. Lihat saja di tanoh hasusuranta Simalungun sekarang
ini, semakin banyak anak dan pemuda Simalungun yang lalai pada kewajibannya
menuntut ilmu dan menyerap teknologi sebagai bagian amal-ibadahnya. Penyebabnya,
antara lain sikap tidak peduli, ekonomi yang seret, dan orang tua yang lebih
menganggap niombah sebagai aset
tenaga kerja yang murah ketimbang diarahkan pada hal-hal yang bersifat
membangun integritas dan masa depan yang lebih baik, bukan saja pada
keluarganya tetapi pada segenap orang Simalungun.
Jelas
bukanlah hal mudah untuk mencari solusi dari keenam persoalan tersebut. Tapi,
bila persoalan-persoalan tersebut dibiarkan begitu saja, boleh jadi Simalungun
semakin tenggelam, tertinggal jauh dari wilayah lain. Sebagai Bupati Simalungan
2010-2015, JR Saragih ingin terus-menerus berkubang dalam persoalan. Dia
berusaha menjadi gembala bagi rakyat Simalungun keluar dari sejumlah akar
permasalahan.
A. Yang
Berhati Gembala
Ya,
JR Saragih bertekad menjadi pemimpin yang berhati gembala selama memimpin
rakyat dan wilayah Kabupaten Simalungun.
Sebagai penganut Kristen taat, JR Saragih mengimani benar firman Tuhan: "Domba-domba-Ku
mendengarkan suara-Ku dan Aku mengenal mereka dan mereka mengikut Aku"
(Yohanes 10 : 27).
Sebagai
pemimpin berhati gembala, segenap tindakan dan kebijakan Pak JR senantiasa mendasarkan
diri kuasa Tuhan, pekerjaan Tuhan, nama Tuhan, firman Tuhan, dan semuanya untuk
kemuliaan Tuhan.
Dalam
bingkai memuliakan Tuhan, sebagai seorang pemimpin berhati gembala, JR Saragih
memegang prinsip-prinsip berikut:
Pertama, berjalan di depan rakyat (dalam
bahasa iman: domba) dan menyediakan jalan bahkan membuat jalan tersebut jelas
dan aman walaupun mungkin di sana ada kesulitan, tantangan, dan perjuangan.
Kedua, senantiasa lapang meminta tuntunan
Tuhan. JR Saragih berusaha membawa pergumulan dalam doa dan memohon tuntunan
agar Tuhan memberikan kepadanya petunjuk yang dibutuhkannya.
Ketiga, JR Saragih sedapat mungkin bisa
dipakai oleh Tuhan untuk melindungi rakyat (gembala). Bahkan, saat sebagai tampil
pemimpin yang melakukan firman Tuhan, dia berupaya membantu rakyat (dan
sekaligus umat) yang dipimpinnya untuk membuat pilihan-pilihan yang tepat dan
yang penting sampai kemudian mendapat keyakinan bahwa ada Tuhan sebagai Gembala
Yang Baik yang berjanji untuk melindungi, memimpin umat ke tempat yang hijau
dan air yang tenang dan yang berjanji untuk memulihkan jiwa umat dan tetap
memimpin umat sekalipun melalui bayang-bayang maut.
Keempat, JR Saragih berusaha mengenal dan
memperhatikan rakyat (dan juga umat) dengan kasih Kristus karena Kristus sudah
memberikan hidup-Nya bagi dirinya selaku pemimpin pilihan rakyat Kabupaten
Simalungun.
Sekali
lagi JR Saragih berupaya menjadi gembala bagi rakyat dan umat di Kabupaten
Simalungun. Dalam Perjanjian Lama
terdapat istilah ‘domba tak bergembala’ yang kerap digunakan untuk menampilkan
wajah kesengsaraan umat Tuhan yang ditinggalkan oleh pemimpinnya. Berulang kali
Allah mengingatkan raja-raja yang berkuasa akan keadaan umat yang lemah dan
mudah tersesat lantaran tidak diurus secara baik-baik, diterlantarkan, dan
diperlakukan secara tidak adil.
Dalam
kerangka perutusan gembala-domba dan iman Kristen, setelah diutus berdua-dua,
rasul-rasul kembali kepada Yesus dan melaporkan semua yang mereka kerjakan dan
ajarkan, barangkali disertai pula rasa puas dan bangga. Lalu, apakah Yesus
segera mengagumi dan memuji keberhasilan mereka? Tunggu dulu! Sepertinya masih
ada yang ingin ditunjukkan dan diajarkan oleh Yesus. Semula mereka diajak
menyingkir ke tempat sunyi untuk beristirahat, namun batal lantaran terlanjur
dikejar banyak orang dari seluruh kota hingga mereka pun tak sempat makan.
Para
pemimpin kadang dikecam gara-gara kerap menjual janji palsu, mengaku mau
menjadi abdi Allah dan sesama, ternyata mengabdi pada diri sendiri dengan
meninggalkan Allah dan sesamanya.
Yesus
mengajarkan sebaliknya: kalau mau jadi pemimpin, milikilah hati seorang gembala
yang berani menanggalkan kepentingan diri sendiri demi mendahulukan kebutuhan
banyak orang (umat). Leave no man behind!
Apakah kehausan dan kelaparan banyak orang membuat hati pemimpin tergerak oleh
belas kasihan? Sosok JR Saragih berusaha memahami dan memperkaya kepekaan batin
dengan sentuhan belas kasih.
Selain
itu, JR Saragih berupaya pula membumikan makna filosofis gembala selama
memimpin rakyat dan wilayah Kabupaten Simalungun. Salah satu makna filosofis
yang cukup penting bahwa gembala akan sangat mengenal satu per satu makhluk
yang menjadi kepunyaannya atau yang
digembalakannya. Gembala akan hafal yang mana makhluk (ternak) kepunyaannya dan
yang bukan kepunyaannya. Apabila salah satu ternaknya hilang, dia akan mencari
ternaknya sampai ditemukan. Tidak ada satupun ternak yang luput dari
perhatiannya. Inilah peran yang acapkali tidak bisa dilakukan oleh mereka yang
selama ini memperoleh amanat memimpin –terutama memimpin organisasi pemerintahan
atau perusahaan (sekuler). Sebab itulah, mereka lebih sering disebut pemimpin
atau manajer, bukan gembala.
Seorang
pemimpin tidak harus mengenal secara mendalam anak buah atau karyawannya satu
per satu. Kendati begitu, seorang pemimpin harus memberikan contoh yang baik
bagi semua. Pemimpin harus tahu peran dan tanggung-jawab pekerjaan bawahannya. Pemimpin
juga harus memberikan penghargaan (rewards)
kepada karyawan yang berprestasi dan memberikan sanksi (punishment) kepada karyawan yang bersalah. Parameter keberhasilan
seorang pemimpin dapat diukur dari bagaimana atau sejauh mana tujuan organisasi
dapat tercapai secara baik. Perusahaan dan atau rezim pemerintahan daerah mempunyai
visi dan misi, kemudian disederhanakan secara jangka pendek dalam bentuk
sasaran (goal), lalu diformulasikan
ke dalam perencanaan strategis, akhirnya disosialisasikan kepada karyawan atau
pegawai masing-masing divisi atau unit kerja. Selain pencapaian terukur, pada sebuah
perusahaan juga mengatur hal-hal yang tidak terukur yakni nilai-nilai
perusahaan (values). Institusi akan
menjaga aset-aset yang dimiliki dari perilaku moral hazard, menciptakan lingkungan kerja yang kondusif, kode etik
dan perilaku (code of conduct), di mana
semua itu ada di dalam nilai-nilai (values)
perusahaan/institusi.
Tatkala
sepenuhnya seorang pemimpin secara tegas berpegang teguh pada prinsip-prinsip tersebut,
bagaimana seorang pemimpin menempatkan hati nurani yang lazimnya sara nilai
kebenaran dan ruhaniah? Apakah pemimpin masih punya hati nurani? Padahal ada
beberapa hal yang harus diputuskan dengan hati nurani.
Seorang
pemimpin adalah manusia biasa yang mempunyai fungsi utama menjalankan roda
perusahaan atau pemerintahan. Peran pemimpin tidak bisa disamakan dengan peran
gembala, karena gembala menjalankan peran yang lebih mulia.
Contoh
sederhana, suatu waktu JR Saragih merogoh koceknya sebesar Rp100 juta untuk
membantu pembangunan Gereja Katolik Kristus Raja di Kecamatan Tanah Jawa. Sementara,
pembangunan gereja itu diperkirakan menelan biaya tidak kurang dari Rp4 miliar.
Bukannya dia tidak punya hati nurani bilamana hanya membantu sebagian kecil
dari keseluruhan ongkos pembangunan sebuah bangunan tempat beribadah. Justru di
situlah, nuraninya berbicara.
JR
Saragih menggunakan hati nuraninya saat memberikan bantuan pembangunan
seperlunya, dengan harapan si penanggung-jawab pembangunan punya solusi buat
memobilisasi dana umat. Bilamana si penanggung-jawab terus merengek kepada sang
pemimpin, maka secara tegas Pak JR menolaknya. Jikalau dinilai, siapa yang
tidak berhati nurani? Apakah sang pemimpin atau si penanggung-jawab pembangunan
rumah ibadah? Warga masyarakat berhak menilai sepenuhnya bagaimana seorang JR Saragih
menggunakan hati nuraninya.
Hati
nurani mewarnai kebijakan dan tindak strategis seorang pemimpin bukan untuk
tujuan pembenaran secara terus-menerus, disalah-gunakan dengan pemberian excuse, dan yang terpenting tetap memegang
teguh prinsip-prinsip integritas. Sebagaimana
kata-kata suci Mazmur 78:72: “Ia menggembalakan mereka dengan ketulusan
hatinya, dan menuntun mereka dengan kecakapan tangannya.”
Dari
sini kita memperoleh pembelajaran yang bermanfaat, siapa tahu kelak pembaca
sekalian bisa menjadi pemimpin berhati gembala dan gembala berhati pemimpin.
B. Kesetiaan
dan Ketulusan Hati
Sebagai
sosok pemimpin berhatigembala, Pak JR berusaha memegang empat prinsip
kepemimpinan gembala yang telah banyak diadopsi oleh tren teori kepemimpinan
secara umum. Keempat prinsip tersebut meliputi:
Pertama,
kebaikan. Memimpin
dengan kebaikan harus berpola kepada kebaikan hati Allah. Dalam teologi, kata
kebaikan (goodness atau chrēstotēs dalam bahasa Yunani) diidentikkan dengan
kemurahan Allah (di bawah pembahasan Allah Mahakasih). Teolog Albert Barnes
memberikan makna kata
ini sebagai kindness yaitu kebaikan
hati, keramahan, perbuatan baik, dan kasih sayang. Allah Mahabaik, di mana Dia
penuh dengan belas kasih, baik hati, anugerah, dan mementingkan kepentingan
orang lain (altruisme). Sehingga
Allah yang penuh dengan kebaikan berarti Allah yang mengasihi umat-Nya, Allah
yang lemah lembut, baik hati dan selalu memberikan anugerah baik dalam Perjanjian Lama sampai dengan Perjanjian Baru. Kasih setia Allah
dicurahkan kepada umat-Nya, Israel, meskipun mereka terus berbuat dosa. Ketika
Allah harus menghukum Israel gara-gara kebebalan hati mereka yang terus
menyembah berhala, maka Dia tetap mengasihi mereka, dan setelah mereka bertobat,
Allah tetap mengasihi dan memulihkan keadaan mereka, yang walaupun kebaikan
Allah tidak pernah boleh dipisahkan dengan keadilan Allah.
Pemahaman
teologi ini sangat menolong Pak JR dalam mengaplikasikan kebaikan dalam
kepemimpinannya di Kabupaten Simalungun. Sifat moral Allah yang mahabaik
menantang dirinya agar senantiasa memiliki kebaikan moral dan semangat
alturisme dalam karakternya.
Prinsip
yang kedua adalah ketulusan hati. Bahwa ketulusan hati
berbicara tentang integritas seorang pemimpin. Raja Daud dikatakan bahwa “Ia
menggembalakan umat Israel dengan ketulusan hatinya, dan menuntun (memimpin)
mereka dengan kecakapan tangannya” (Mazmur 78:72). Itu sebabnya memiliki
kompetensi dalam kepemimpinan saja tidaklah cukup, dibutuhkan pula ketulusan
hati.
Ketulusan
hati tercermin dalam integritas kehidupan seorang pemimpin. Rendahnya
integritas telah menjadi masalah kepemimpinan pada umumnya. Dalam sebuah survai
terhadap sekitar 1300 pimpinan perusahaan dan pejabat di pemerintahan di
Amerika, John Maxwell menanyakan kualitas apakah yang paling penting dimiliki supaya
sukses menjadi pemimpin. Jawabannya menarik, secara mayoritas (71%) mereka
memilih jawaban sebagai yang terpenting: integritas.
Arti
kata integritas adalah keadaan yang sempurna, di mana perkataan dan perbuatan
menyatu dalam diri seseorang. Seseorang yang memiliki integritas tidak
berpura-pura, tidak ada yang disembunyikan, dan tidak ada yang perlu ditakuti.
Kehidupan seorang pemimpin adalah seperti surat Kristus yang terbuka (II Kor
3:2).
Integritas
sebagai karakter bukan dilahirkan, tetapi dikembangkan secara satu lepas satu
di dalam kehidupan kita melalui kehidupan yang mau belajar, keberanian untuk
dibentuk Roh Kudus. Itu sebabnya Pak JR berkeyakinan bahwa karakter yang baik
akan jauh lebih berharga dan dipuji manusia daripada bakat atau karunia yang
terhebat sekalipun. Kegagalan sebagai pemimpin bukan terletak kepada strategi
dan kemampuannya dalam memimpin, tetapi kepada ketiadaan integritas pada diri
pemimpin.
Ketiga, kecakapan. Memimpin dengan kecakapan berarti memiliki kompetensi,
kemampuan serta keahlian. Menurut Dr. Yakob Tomatala, kompetensi meliputi
banyak hal yaitu meliputi kompetensi karakter, pengetahuan, dan keahlian. Dua
hal dari kompetensi keahlian yang menolong menguatkan kepemimpinan gembala kita
adalah kecakapan hubungan antar manusia (relationship)
dan kecakapan keahlian teknis.
Kecakapan
yang berkenaan dengan “hubungan antar manusia” disebut juga “keterampilan atau
kecakapan sosial”. Seorang pemimpin yang baik tidak hanya menyadari bahwa ia
membutuhkan orang lain, namun ia juga penuh tanggung jawab berupaya membina
hubungan baik dengan orang lain yang menjamin kerjasama yang baik dan
keberhasilan kerja. Hubungan baik dengan orang lain harus dimulai oleh
pemimpin. Ia harus memiliki tekad untuk menyukainya, menghidupinya dengan
melaksanakannya penuh tanggung jawab. Prinsip kepemimpinan Tuhan Yesus tetap
berlaku di sini, yaitu: “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang
perbuat kepadamu, perbuatlah demikian pula kepada mereka” (Matius 7:12).
Tekanan utama yang diberikan di sini adalah bahwa apa saja yang dilakukan oleh
seorang pemimpin, mencerminkan apa saja yang akan, nanti dan telah diperbuat
orang kepadanya. Apabila pemimpin menghendaki dan membina hubungan baik dengan
siapa saja, ia akan pula menerima kebaikan dari tindakannya.
Lalu,
kecakapan yang berkaitan dengan “hubungan pelaksanaan tugas” di mana seseorang
yang disebut ahli itu tahu dan dapat melakukan tugasnya secara baik dan benar.
Keterampilan atau keahlian atau kecakapan tugas berkaitan erat dengan hal-hal
praktis yang bersifat teknis, sehingga dapat juga disebut keahlian
teknis/praktis. Keahlian ini berkaitan erat dengan “bagaimana melaksanakan
tugas”, yang harus dilaksanakan secara baik. Pemimpin harus memiliki keahlian
khas, khususnya yang berkenaan dengan kecakapan memimpin.
Pak
JR senantiasa berusaha menambah relasi dengan sesama dan tim kerja serta
mengasah kemampuan teknis dalam pelaksanaan tugas sebagai orang nomor satu
Kabupaten Simalungun. Dia tidak pernah berhenti belajar baik dalam bentuk
formal ataupun informal. Pembelajaran yang terus-menerus akan menghasilkan
kecakapan yang lebih banyak lagi. Pembelajaran tidak berfokus kepada gelar,
namun kepada pemenuhan salah satu kunci sukses pemimpin-gembala yaitu cakap,
yang meliputi cakap mengajar, cakap berelasi, dan cakap memimpin.
Dan
keempat, kesetiaan dalam kebenaran. Kata kesetiaan adalah penting dalam
kosakata teologi Kristen dan juga pemimpin-gembala. Setidaknya dalam Perjajian Lama dan Perjanjian Baru, pemimpin dituntut Tuhan untuk mencintai kesetiaan
(love mercy) selain adil dan hidup
dengan rendah hati di hadapan Allah (Mikha 6: 8). Kesetiaan harus ditunjukkan
di samping kasih sayang kepada masing-masing sebab Tuhan akan menjadi Allah
mereka dalam kesetiaan dan kebenaran (Zakaria 7:9 dan 8:8).
Minimal
terdapat tiga sebab mengapa kesetiaan itu penting. Pertama, kesetiaan adalah yang terpenting dalam hukum Taurat
(Matius 23:23); kedua, kesetiaan
salah satu buah Roh Kudus yang harus ada dalam kehidupan kita (Galatia 5:22); ketiga, kesetiaan merupakan salah satu
yang harus dikejar di samping keadilan, kasih dan damai (II Timotius 2:22).
Pak
JR Saragih sangat memahami betapa pentingnya kesetiaan, dan kesetiaan tidak
boleh dihilangkan dalam kamus pemimpin-gembala. Sebab, tanpa kesetiaan, seorang
pemimpim tidak berhak menuntut loyalitas yang sama kepada pengikutnya. Inilah
yang menjadi kunci keberhasilan pemimpin-gembala.
C. Menerapkan
Etos Kerja Keras dan Disiplin Sepenuh Hati
Sekali
lagi ihwal bantuan atau sumbangan Rp100 juta buat memantik uluran tangan
dermawan pembangunan Gereja Katolik Kristus Raja di Kecamatan Tanah Jawa. Pak
JR sengaja tidak membantu total biaya pembangunan supaya banyak pihak yang
terpantik untuk berpartisipasi aktif bagi pembangunan sebuah rumah ibadah. Kalau
berkehendak, bisa saja Pak JR membantu keseluruhan pembiayaan dengan
menggabungkan bantuan pribadi dan kedinasan. Tapi, kehendak itu tidak dia realisasikan.
Intinya, dia tidak ingin memanjakan rakyatnya menjadi sangat tergantung kepada
pemerintah atau siapa saja yang suka berderma.
JR
Saragih bukan tipe pemimpin yang menuruti saja apa yang menjadi suara atau
aspirasi rakyatnya sampai mereka terlena dan diam tanpa mau bekerja. Dia ingin
menancapkan satu nilai bahwa setiap manusia harus punya spirit berusaha,
berusaha dan berusaha penuh etos kerja keras guna mencapai hasil maksimal. Dalam
perjalanan hidupnya, JR Saragih dikenal sebagai sosok pekerja keras tanpa
pamrih. Berkat kerja kerasnya, sebelum memangku jabatan Bupati Simalungun
(2010-2015), dia telah memetik hasil jerih-payahnya berupa antara lain tiga
rumah sakit beraset Rp400 miliar dengan sekitar 300 orang karyawan.
Dia
bertekad warga masyarakat yang dipimpinnya juga menjunjung tinggi spirit dan
etos kerja keras membangun Simalungun guna mengejar ketertinggalannya
dibandingkan daerah-daerah lain di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini.
Sudah barang tentu tidak cuma berkisah heroik bahwa dirinya telah bekerja keras
dan menorehkan hasil-hasil material yang lebih dari cukup untuk menjalani
kehidupan. Dia memberikan pula contoh nyata bekerja keras dalam memimpin rakyat-masyarakat
Simalungun.
Nilai
kerja keras sarat keteladanan sepenuh hati. Demikian lah filosofi kepemimpinan
yang ingin ditancapkan oleh seorang JR Saragih. Ya, keteladanan! Sebuah kata yang
begitu mudah diucap namun sulit dilakukan. Padahal, dari keteladanan inilah
seorang pemimpin dinilai integritasnya. Pemimpin sejati selalu memberi contoh nyata
dalam memimpin.
Cendekiawan,
guru dan Bapak Bangsa Ki Hadjar Dewantara mengajarkan ilmu kepemimpinan dalam
pernyataan bahasa Jawa: “Ing Ngarsa Sung
Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani”. Nasihat yang
sederhana, tapi demikian kuat. Terdapat tiga tugas pokok seorang pemimpin,
yaitu: memberi teladan (exampling),
memberi inspirasi (inspiring), dan
memotivasi (motivating).
Kita
perlu menggaris-bawahi betapa pentingnya keteladan yang baik sebagai faktor
yang menentukan apabila kita ingin mengubah keadaan masyarakat Indonesia, tak
terkecuali masyarakat Simalungun, yang dewasa ini masih berada dalam krisis
multi-dimensi. Memang, keteladanan telah menjadi barang langka dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bangsa kita tengah dilanda sakit parah.
Kondisi ini harus cepat diperbaiki jika kita menginginkan bangsa dan negeri ini
tetap eksis dan berkembang maju.
Contoh
sederhana di tingkat lokal Simalungun adalah bagaimana upaya JR Saragih
meramaikan atau menghidupkan nadi Raya sebagai ibukota Kabupaten Simalungun. Ketika
hampir semua aparaturnya enggan berkantor di Raya, dia memberikan teladan
langsung melalui inisiatif tinggal menetap di Raya. Dia ingin membangun Raya
sebagai kota baru yang menjadi pusat aktivitas pemerintahan, ekonomi dan
pendidikan bagi warga Kabupaten Simalungun. Dengan menetap di Raya, dia berharap
dapat memanfaatkan secara maksimal waktu kerja. Bahkan, dia menyediakan 24 jam
waktu yang dimilikinya untuk kepentingan warga masyarakat.
Tatkala
dirinya meluangkan sepanjang 24 jam waktunya untuk mengabdi, lalu apakah
aparaturnya juga langsung mengikutinya. Pak JR tidak banyak berharap agar
aparatur di bawah kepemimpinnya mengikuti apa yang dilakukan sepanjang waktu
memimpin Kabupaten Simalungun. Dia berusaha mencari solusi agar segenap aparatur
Pemerintah Kabupaten Simalungun pun bersedia bekerja sepanjang 24 jam. Tentu
tidak lantas semua aparaturnya dipaksa bekerja selama 24 jam setiap hari. Jelas
akan menyalahi tata aturan kerja aparatur pemerintahan yang selama ini sudah
dipatok delapan jam per hari.
Berangkat
dari pengalamannya bergaul dengan kalangan pelaku usaha sektor industri selama
dia bertugas sebagai prajurit TNI di wilayah Purwakarta, Jawa Barat, JR Saragih
terinspirasi menghidupkan ritme kerja aparaturnya sepanjang 24 jam. Inspirasinya
dari irama kerja karyawan perusahaan-perusahaan industri di Purwakarta dan
perawat Puskesmas-Puskesmas yang ada di wilayah ini yang biasa bekerja terbagi
ke dalam tiga shift. Produktivitas mereka terus dipacu untuk memenuhi keinginan
pasar dan warga masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan selama 24 jam.
Tapi,
apakah pemerintahan semacam Pemerintah Kabupaten Simalungun sudah saatnya
bekerja penuh sepanjang 24 jam? Manusiawikah memacu mereka agar bekerja keras dengan
irama dan ritme seperti itu? Bupati JR Saragih tak ingin memaksakan kebijakan
supaya aparaturnya bekerja seperti dirinya.
Berselang
tak seberapa lama setelah dilantik sebagai Bupati Simalungun pada bulan Oktober
2010, Pak JR langsung tanggap melihat dari dekat bagaimana sebenarnya potensi
kualitas dan kuantitas aparatur di lingkungan Pemerintah Kabupaten Simalungun.
Dia mendapati fakta bahwa jumlah aparatur yang ada di lingkungan pemerintahan
kabupaten ini relatif terlalu banyak. Misalkan aparatur eselon II mencapai 120
orang sementara kursi jabatan yang layak diisi oleh mereka cuma 40 unit.
Di
benak Pak JR, banyak di antara aparatur yang berstatus PNS tersebut datang ke
kantor tanpa tahu apa pekerjaan yang harus dilakukan. “Ya, ngapain kalau datang ke kantor hanya buat ngerumpi? Agar optimal
dan efektif memanfaatkan waktu kerja, mereka saya tata dan terapkan sistem
kerja shift,” terang Pak JR sekali waktu.
Terkhusus
pada unit-unit kerja yang berhubungan secara langsung dengan pelayanan
masyarakat (baik kesehatan maupun non-kesehatan), Pak JR mengatur jam kerja
dalam tiga shift. Dengan model seperti ini, para aparatur pemerintah kabupaten
ini dapat memperoleh libur dua hari –Sabtu dan Minggu—dalam sepekan dan warga
masyarakat memperoleh pelayanan yang optimal. “Saya berharap waktu libur dua
hari itu bisa dimanfaatkan buat kegiatan produktif, kalau mereka suka beternak
maka dalam waktu dua hari dapat serius merawat ternak sehingga dapat memperoleh
penghasilan tambahan. Selain itu, bila mereka kepala keluarga maka mereka juga
dapat mencurahkan kasih sayang ke isteri dan anak-anaknya. Selama ini mereka
kan kerepotan membagi waktu karena harus berangkat pagi pulang sudah sore
hari,” tutur Pak JR yang menghabiskan masa kecilnya di Raya ini.
Melalui
pembagian waktu kerja ke dalam tiga shift tadi, demikian terang Pak JR,
pemerintah kabupaten bisa menginstruksikan para camat untuk membuka pelayanan
kepada warga masyarakat sampai pukul 22.00 WIB. Lalu, mengapa kantor kecamatan mesti
buka sampai mendekati tengah malam tersebut? Alasannya sederhana saja, wilayah
kecamatan di Kabupaten Simalungun relatif luas sehingga warga yang ingin pergi atau
ada urusan ke kecamatan memakan waktu relatif lama. “Bisa jadi warga masyarakat
sampai di kantor kecamatan sudah sore hari atau bahkan menjelang malam. Kasihan
mereka sudah jauh-jauh datang sementara aparatur yang berwenang dan bertugas di
kantor kecamatan sudah tidak ada di tempat. Di saat kantor kecamatan bisa buka
sampai malam hari, warga masyarakat punya kesempatan lebih baik untuk mengurus
surat-surat atau dokumen sipil di kantor kecamatan. Dengan begitu warga
masyarakat bisa pulang penuh senyum karena segala urusannya bisa selesai pada
hari itu pula,” papar Pak JR.
Lalu,
pada sisi pelayanan kesehatan yang optimal, terang JR Saragih lebih lanjut,
warga masyarakat dapat memperoleh pelayanan sesuai kebutuhan dan kondisi yang
dihadapinya. Warga masyarakat pun merasakan adanya peningkatan derajat
kesehatan. Hal ini terlihat dalam penurunan, antara lain, angka kematian bayi,
kasus malaria klinis, berat bayi lahir rendah, balita gizi buruk, dan pneumonia
balita. Juga peningkatan jumlah balita berat badan naik. Memang, masih terdapat
kasus-kasus kesehatan yang agak memprihatinkan, di antaranya kenaikan angka
penderita TB+, penderita HIV/AIDS, dan penderita penyakit kusta.
Bupati
JR Saragih merasa dirinya harus mengambil hati warga masyarakat dengan
memberikan pelayanan secara optimal. Sebab, selama ini, warga sudah apatis
terhadap kinerja aparatur pemerintah kabupaten beserta segenap jajarannya.
Pendek kata, dia berusaha menanamkan nilai perja keras dan disiplin agar citra
kinerja aparatur terus membaik.
Pak
JR meyakini bahwa tidak ada sukses yang dapat diraih tanpa disiplin diri dan
semangat kerja yang tinggi. Tuhan sudah menyediakan berkat-berkat-Nya untuk
kita semua, tinggal kita yang "menggali berkat" tersebut dengan
semangat dan disiplin kerja yang tinggi. “Ajarlah kami menghitung hari-hari
kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana.” (Mazmur 90:12). “Dan
pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat.” (Efesus 5:16)
D. Pemimpin
Baru, Asa Baru
Dengan
mengusung nilai-nilai pemimpin berhati gembala melalui kerja keras dan disiplin,
Pak JR ingin menebar asa baru bagi rakyat Simalungun yang lebih berpengharapan
dan menyatu dalam kekuatan kebersamaan. Kekuatan kebersamaan yang bersumber
dari segenap jajaran aparatur Pemerintah Kabupaten Simalungun penuh disiplin yang
terus digugah dan diberdayakan. Dia paham bahwa dirinya bukanlah “pemain biola
tunggal”. Ibarat permainan musik, dia sebagai seorang “konduktor” yang harus mampu
menyamakan nada dasar agar para musisi yang tergabung dalam orkestra mampu
merancakkan irama dan meneduhkan kalbu. Dan, “sang konduktor” sangat menentukan
arah dan keterpaduan irama orkestra, pengorganisasian peran, harmonisasi dan
kualitas orkestra. Lalu, para musisi menentukan kesuksesan pagelaran orkestra.
Bagai
penampilan sebuah orkestra, dalam hal meretas asa baru kemajuan rakyat-masyarakat
Simalungun, sangat ditentukan oleh “sang pemimpin” yang visioner dengan
strategi dan program-program implementatif, yang didukung oleh team work yang solid. Ditopang oleh
manajemen yang sistemik sebagai operatornya, nilai-nilai utama dan kultur
pemerintahan yang baik sebagai jiwanya, serta kaidah-kaidah pengelolaan
pemerintahan yang baik (good governance)
sebagai kerangka dan landasannya.
Dan
sebagaimana telah kita saksikan akhir-akhir ini, Kabupaten Simalungun telah mengalami
banyak kemajuan dan membawa asa yang berpengharapan. Secara ekonomi misalkan,
petani mulai merasakan kemudahan dalam memasarkan hasil-hasil produksinya,
pelajar tidak mengalami kesulitan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, dan investor mulai
melirik daerah Simalungun yang amat potensial sumber daya alam. Banyak orang
paham, kemajuan penuh harapan ini tidak lepas dari model kepemimpinan dengan
hati gembala yang diterapkan oleh Pak JR. Kendati begitu, dia tidak lantas memonopoli
keberhasilan itu semata-mata datang dari dirinya.
Dia
justru berusaha menunjukkan karakter dan jati diri seorang pemimpin yang bijak
dan rendah hati. Dia selalu menegaskan bahwa tanpa kontribusi dan kerja sama
tim segenap aparatur dan raktay-masyarakat Kabupaten Simalungun asa baru
tersebut tidak akan pernah muncul. Dia tetap berupaya menjaga kebersihan hati,
kerendahan hati dan senantiasa mengatakan bahwa dirinya cuma seorang gembala
yang selalu melayani domba-dombanya.
Kondisi
Kabupaten Simalungun yang relatif bagus penuh harapan sekarang ini sangat
berkait dengan kerja keras segenap aparatur dan dukungan penuh warga
masyarakat. Segenap aparatur telah mencurahkan seluruh daya upaya melalui
spirit dan kebersamaan yang solid. Arti kata, demikian penuturan Pak JR
Saragih, membaiknya kondisi masyarakat Simalungun juga lantaran banyaknya hati,
tangan dan pikiran yang turut berperan-serta. Pun berkat kehadiran pemimpin
berhati gembala pada skala yang lebih
kecil, bahkan pemimpin berhati gembala di tingkat kelurahan atau desa.
Tentu
bukan hal aneh bilamana JR Saragih menunjukkan karakter pemimpin berhati
gembala yang lebih melayani domba-dombanya. Maklum, jauh sebelum dipercaya
rakyat Simalungun mengemban kursi Bupati Simalungun periode 2010-2015, dia
sudah berselimutkan sukses dalam karir dan bisnis. Juga di masa kecil, hatinya sudah
sangat terasah oleh keadaan kehidupan yang serba tidak mudah. Sebab itu,
tatkala dia berada di kursi Bupati, Pak JR tidak banyak berpikir soal kalkulasi
bagaimana mengembalikan modal yang telah dikeluarkan untuk ‘membeli’ suara
rakyat. Yang dia pikirkan adalah bagaimana melayani dan mendharma-baktikan
segenap pikiran dan tenaganya buat rakyat-masyarakat Kabupaten Simalungun.
Begitulah
sosok kepemimpinan Bupati JR Saragih. Dia bukan sekadar pemimpin yang visioner
sarat keteladanan, namun juga tampil sebagai sosok gembala yang tulus hati
melayani domba-dombanya. Tidak hanya menjadi gembala bagi orang-orang yang
dipimpinnya, tapi sekaligus pula sebagai motivator, inspirator dan integrator.
Ada inspirasi dan kenyamanan di dalam perasaan atas kedekatan hubungan dengan
orang-orang yang dipimpinnya. Pantaslah bila segenap aparatur pemerintahan dan
rakyat Kabupaten Simalungun memberi rasa hormat yang tinggi atas kompetensi,
reputasi dan prestasi kepemimpinan Pak JR.
Ada
satu kebiasaan yang diterapkan dalam interaksi dan komunikasi dengan bawahan,
bahkan dengan rakyat yang dipimpinnya, yang sedikit unik. Dia menganggap
bawahan ataupun warga masyarakat sebagai keluarga besar dirinya. Dengan begitu
nyaris tak ada sekat antara Pak JR, bawahan dan rakyat yang digembalakannya.
Kepada bawahan dia bisa bertegur sapa secara egaliter melalui sapaan-sapaan
yang teramat cair dan karib-akrab.
Pak
JR benar-benar bukan pemimpin hanya mencari nama besar. Kalau cuma mencari nama
besar, dia merasa khawatir apratur dan rakyat akan mengagung-agungkannya. Dia
khawatir pula dirinya menggeser kedudukan Tuhan. Sebab itulah, dia terus
membumikan sosok pemimpin yang berhati gembala (seorang pelayan) dengan harapan
Tuhan lah yang akan diagungkan. Dengan demikian dia akan secara mudah berbicara
tentang iman, kuasa Tuhan, pekerjaan Tuhan, nama Tuhan, firman Tuhan, Tuhan ...
Semuanya untuk kemuliaan Tuhan. ***
No comments:
Post a Comment