Sunday, March 23, 2014
Pontianak Bukan Hanya Pisang Goreng
Pontianak adalah ibu kota propinsi Kalimantan Barat. Pontianak dialiri Sungai Kapuas yang membelah kota. Sejarah kota ini diawali dengan kedatangan rombongan Syarif Abdurrachman Alkadrie dari Saudi Arabia di persimpangan 3 sungai Landak, sungai Kapuas Kecil, dan sungai Kapuas pada tahun 1771. Di tempat tersebut, rombongan ini mendirikan rumah. Tiga tahun kemudian Syarif Abdurrahman Alkadrie dinobatkan sebagai Sultan Pontianak Pertama, ditandai dengan berdirinya Mesjid Raya Sultan Abdurrahman Alkadrie dan istana Kadariah, yang sekarang terletak di Kelurahan Dalam Bugis, Kecamatan Pontianak Timur. Istana Kadariah yang kami lihat petang itu dibangun tahun 1774 (artinya sudah berumur 227 tahun), dan kami pun tak boleh terlalu keras mengkritik bangunan yang kurang terawat. Banyak bagian yang nyaris roboh atau lepas. Istana tersebut juga perlu dilabur dan diperbaiki. Namun yang paling menyedihkan, halaman istana menyempit karena terdesak bangunan-bangunan baru di sekitarnya.
Tujuan utama kami di Pontianak adalah mencari makanan asli Melayu. Perkiraan kami di ibu kota propinsi mestinya terdapat restoran Melayu asli yang memenuhi syarat. Di restoran Randayan yang bersebelahan dengan rumah makan Taman Dangau, kami dapatkan yang kami cari. Sebelum makan siang terhidang, segelas air jeruk Pontianak murni membasuh leher kami yang kehausan. Tak lama kemudian tercium bau masakan yang membuat kami tambah lapar. Menunya pilihan teman asal Pontianak, yang sesuai kaidah 4 sehat 5 sempurna. Udang bakar, ikan goreng, sup ikan patin asam pedas, tumis pakis, dan sambal jeruk lengkap dengan lalapannya. Ia juga memesankan untuk kami air sepang, yaitu teh dari rebusan kayu sepang. Air sepang ini berkhasiat melarutkan lemak dan menurunkan kolesterol. Rasanya? Good knows …
Pontianak adalah salah satu dari sedikit kota di dunia yang dilewati garis khatulistiwa atau ekuator, yang membelah bumi secara horisontal menjadi belahan utara dan selatan. Bila matahari berada tepat di atas khatulistiwa (terjadi 2 kali dalam setahun, yakni antara tanggal 21-23 Maret, dan 21-23 September), saat itu disebut kulminasi, maka bayangan benda atau manusia yang berada di garis khatulistiwa akan lenyap untuk beberapa detik.
Titik tempat matahari berkulminasi ini terletak di Siantan, 3 km dari pusat kota. Titik yang ditemukan oleh ahli geografi Belanda pada tahun 1928, kini berupa kubah yang didalamnya tersimpan tugu ekuator yang orisinal, terbuat dari kayu ulin karya arsitek Silaban. Melihat tugu yang baru, lebih besar dan berada dalam kubah, saya jadi ingin tahu, apakah titik kulminasi yang dicari orang itu masih bisa tertangkap. Kira-kira 15 meter ke arah sungai dari kubah tersebut terdapat titik kulminasi lain yang konon diukur dengan cara lebih akurat, yaitu dengan pemotretan satelit.
Semula masyarakat menduga bahan tanah gambut tidak dapat ditanami. Pendapat ini telah berubah, berkat penelitian yang dilakukan oleh Aloe Vera Center, Pusat Pengkajian dan Pengembangan Lidah Buaya Nasional. Setelah dibersihkan dari sisa-sia kayu, lalu ditambahkan kapur dan dikurangi kadar airnya, lahan gambut ini sangat cocok untuk tanaman lidah buaya (aloe vera). Lidah buaya adalah tanaman yang berdaya jual tinggi karena banyak sekali manfaatnya. Ternyata, yang dikatakan nenek moyang kita tentang khasiat lidah buaya, sudah bisa dijelaskan secara ilmiah. Bahkan berbagai khasiat baru ditemukan. Lidah buaya kini bisa diproses menjadi tepung atau gel, dibuat minuman segar mirip nata de coco, bahkan jadi obat penggelora seks bagi pria dan wanita. Sayang kami hanya meminumnya segelas, --gelora seks baru timbul kalau gel lidah buaya diminum setiap hari!
Lahan gambut ternyata baik juga untuk dijadikan kolam penangkaran ikan arwana. Ikan danau yang dulunya tidak mempunyai nilai jual, karena permintaan pasar yang tinggi, kini menjadi komoditi hangat. Ikan ini sekarang menjadi primadonanya ikan hias, karena konon bisa membawa rezeki dan peruntungan pada pemiliknya. Orang Cina Singapura, Hong Kong dan Taiwan sangat mempercayai mitos ini, sehingga banyak orang Singapura menanamkan investasinya dalam penangkaran ikan arwana. Pusat perdagangan ikan arwana ada di Singapura dan Hong Kong. Diperkirakan di Pontianak saja ada 1000 peternak arwana, baik yang tradisional maupun yang lebih modern. Harganya bisa mencapai jutaan rupiah, dan ikan ini diperjual-belikan sejak berumur 4-6 bulan.
Mungkin juga karena ditanam di lahan gambut, pisang goreng Pontianak jadi istimewa rasanya. Padahal cara menggorengnya sama saja dengan pisang goreng kita. Tetapi setelah saya perhatikan, pisang yang belum digoreng memang beda. Pisang kepok itu berwarna kuning, cukup tua, dan matang di pohon. Irisannya pun tebal-tebal, jadi ketika digigit, terasa kelezatan pisang, bukan rasa tepung goreng.
Tetapi yang dijagokan oleh kawan dari Pontianak adalah kopi, yang menurut dia lebih mantap dari kopi Starbuck atau kopi Ily. Pukul tujuh pagi kami sudah ‘digiring’ ke jalan Merapi menuju kedai kopi milik A Siang, yang paling banyak pengunjungnya. Di Kalimantan Barat memang bayak perkebunan kopi, dan kopi A Siang terbuat dari biji kopi asli Kalimantan Barat yang dia olah sendiri. Ia tidak mencampurkan gula. Kopi kental yang sudah disaring dan dijerang dalam teko tembaga, dituang ke dalam gelas dan cangkir yang sudah dipanaskan dan diberi susu kental manis. Berapa takarannya? Feeling A Sianglah yang menentukan, bahkan pada kopi yang tidak terlalu manis yang saya pesan. Mengikuti peminum kopi lain yang ada di warung itu kami juga memesan bubur ayam. Kombinasi yang belum pernah kami coba, tapi ternyata oke juga.
Kami masih punya waktu beberapa jam lagi sebelum menuju bandara. Kami melihat-lihat toko cendera mata dan mencari makanan yang belum kami coba. Kembang tahu kami icipi lagi (ketagihan!). Kembang tahu Pontianak ini dihidangkan dengan kuah susu kedelai dan pemanisnya adalah kacang kedelai tumbuk yang dicampur gula karamel. Beberapa jenis jajanan dari tepung ketan dan kuetiauw goreng (keistimewaannya pakai irisan babat rebus), kami coba dan komentari. Sampai kami heran sendiri pada kapasitas perut kami. Yang jelas, dalam pesawat, kami terlelap karena kekenyangan. Menurunkan berat badan adalah proyek kami selanjutnya. (Widarti Gunawan/www.pesona.co.id)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment