Abu Iyash al-Qaththan bertutur, "Dahulu di kota Basrah ada seorang wanita yang ahli ibadah yang dipanggil Mumibah. Dia mempunyai seorang putri yang ibadahnya melebihi dirinya. Ketika al-Hasan al-Basri melihat anak itu, dia kagum pada ibadahnya, padahal usianya masih sangat belia.”
Pada suatu hari, al-Hasan sedang duduk, lalu ada orang yang datang dan
bertanya, "Tahukah engkau, jariyah itu sedang sekarat?" Al-Hasan
segera berlari dan mendatanginya ketika anak itu menangis. Al-Hasan bertanya,
"Kenapa kamu menangis?" Anak itu menjawab, "Wahai Abu Said,
tanah telah menelan masa mudaku sedangkan aku belum kenyang mentaati Tuhanku.
Lihatlah ibuku, dia berkata pada ayahku, ‘Galilah untuk putriku sebuah kuburan
yang luas dan kafani dia dengan kafan yang bagus. Demi Allah, kalau aku bersiap
pergi ke Makkah, aku menangis begitu lama, lalu bagaimana aku akan pergi ke kegelapan
kuburan dan kesepiannya, tempat yang gelap dan banyak cacing?’"
Beberapa Berita Rabi’ah al-Adawiyah
Diceritakan Abdullah bin Isa, "Aku mendatangi Rabi'ah al-Adawiyah di
rumahnya lalu aku melihat di wajahnya ada cahaya. Dia banyak
menangis dan seorang membacakan ayat al-Quran yang di dalamnya menyebut neraka,
kemudian dia terjatuh."
Abdullah datang menemuinya saat dia sedang duduk di atas potongan tanah
kering, lalu seorang berbicara dengannya tentang sesuatu dan Abdullah mendengar tetesan air matanya di atas tanah kering itu seperti keringat,
kemudian dia sempoyongan dan berteriak, lalu mereka
bangun dan keluar.
Masma'
bin Ashim dan Riyah al-Qisi berkata, "Kami menyaksikan Rabi'ah, dia diberi
40 dinar oleh seseorang.” Orang itu berkata, "Belilah
keperluanmu dengan uang ini." Rabi’ah menangis
kemudian mengangkat kepalanya ke langit dan mengucap,
"Dia tahu aku malu pada-Nya untuk meminta dunia kepada-Nya padahal Dia
memilikinya. Lalu bagaimana aku mau mengambil dunia dari orang yang tidak
memilikinya?"
Dari
Muhamad bin Amr, dia berkata, "Aku mendatangi Rabi'ah dan dia sudah tua
sekitar 80 tahun, dia seperti tempat air dari kulit nyaris jatuh. Di rumahnya
aku melihat tikar panjang dan kayu sangkutan pakaian dari kayu Persia yang
panjangnya dari tanah sekitar dua lengan. Tirai rumahnya dari kulit atau
mungkin dari tanah kering, bejana, cangkir, permadani dari bulu yang merupakan
tempat tidur sekaligus tempat shalatnya. Di atas gantungan bajunya ada kain
kafan. Jika dia mengingat kematian, dia akan berguncang dan gemetar. Dan jika
dia melewati satu kaum, mereka tahu dia ahli ibadah."
Seorang berkata kepadanya, "Berdoalah." Lalu dia menempel di dinding dan berkata, "Siapa aku? Semoga Allah merahmatimu. Taati Tuhanmu dan berdoalah kepada-Nya karena Dia menjawab doa orang-orang yang terdesak."
Seorang berkata kepadanya, "Berdoalah." Lalu dia menempel di dinding dan berkata, "Siapa aku? Semoga Allah merahmatimu. Taati Tuhanmu dan berdoalah kepada-Nya karena Dia menjawab doa orang-orang yang terdesak."
Sajaf
bin Manzhur bercerita, "Aku mendatangi Rabi'ah dan
dia sedang bersujud. Ketika dia merasakan kedatanganku, dia mengangkat kepala
dan tempat sujudnya seperti air yang bergerak yang memancar dari air matanya.
Lalu dia memberi salam dan menghampiriku. Dia bertanya, ‘Anakku, ada keperluan apa?’ Aku berkata, ‘Aku datang untuk memberi salam kepadamu.’ Dia menangis dan berkata, ‘Semoga Allah menolongmu.’ Lalu dia berdoa dengan beberapa doa kemudian melaksanakan shalat
dan aku kembali."
Diceritakan al-Abbas bin al-Walid bahwa Rabi'ah berkata,
"Aku meminta ampun pada Allah dari sedikitnya kejujuranku dalam ucapanku, astaghfirullah."
Azhar
bin Marwan mengisahkan bahwa Riyah al-Qisi,
Shalih bin Abdul Jalil dan Kilab mendatangi Rabi'ah. Mereka menyebut dunia dan
mulai mencelanya, lalu Rabi'ah berkata, "Aku melihat dunia dengan empat
arahnya dalam hati kalian." Mereka bertanya,
"Dari mana kau menyangka kami seperti itu?" Rabi'ah menjawab, "Kalian melihat sesuatu yang paling dekat dari hati kalian
lalu kalian membicarakannya."
Abu
Ja'far al-Madini meriwayatkan dari seorang Syaikh dari Quraisy, Rabi'ah
ditanya, "Apakah kau tahu satu amal yang kau lihat diterima darimu?"
Dia menjawab, "Jika aku tahu, maka rasa takutku akan mengembalikannya
padaku."
Dituturkan oleh Ja'far bin Sulaiman, Sufyan al-Tsauri mengajak ke Rabi’ah sang pendidik
yang dirinya tidak dapat tenang kalau berpisah dengannya. Ketika mereka mendatanginya, Sufyan mengangkat tangannya dan
berkata, "Ya Allah, aku meminta keselamatan pada-Mu."
Lalu Rabi'ah menangis. Sufyan bertanya, "Apa yang membuatmu menangis?"
Dia menjawab, "Kau membuatku menangis." Sufyan kembali bertanya,
"Bagaimana bisa?" Rabi'ah berkata, "Tidakkah kau tahu bahwa
keselamatan dari dunia adalah meninggalkan semua yang ada di dalamnya, lalu bagaimana
bisa, sedangkan kau berlumuran dengannya?"
Al-Tsauri berkata di hadapan Rabi'ah, "Alangkah sedihnya." Lalu
Rabi'ah berkata, "Jangan dusta. Katakanlah, alangkah sedikitnya rasa
sedih. Kalau kau bersedih hidup tidak akan membuatmu senang."
Ja'far bin Sulaiman menceritakan bahwa dirinya mendengar Rabi'ah berkata
kepada Sufyan, "Kau hanyalah hari-hari yang ditentukan. Jika pergi satu
hari, maka pergi sebagianmu dan nyaris sebagianmu pergi, lalu akan pergi
seluruhnya dan kau tahu itu, maka beramallah."
Dari Ubais bin Marhum al-Aththar, dia berkata, "Abdah binti Abi
Syawwal –seorang wanita ahli ibadah dan membantu Rabi'ah– bercerita kepadaku, Rabi'ah
melakukan shalat semalam penuh dan jika terbit fajar, dia tidur sebentar di
Mushallanya sampai fajar menyingsing. Aku mendengarnya berkata ketika dia
melompat dari tempat tidurnya dan dia bersedih, ‘Wahai nafsu, berapa lama kau
tidur? Sampai kapan kau bangun? Barangkali kau tidur dan tidak bangun lagi
sampai terdengar teriakan hari kiamat’.”
Beberapa Berita Ajridah
Raja' bin Muslim al-Abdi bercerita, "Kami dalam satu rumah bersama
Ajridah yang buta. Dia menghidupkan malam dengan shalat. Dia melakukan qiyamullail
dari permulaan malam sampai waktu sahur.” Dia berseru dengan suaranya yang
lirih, "Kepada-Mu orang-orang yang ahli ibadah memutus gelapnya malam
dengan takbir sampai gelapnya waktu sahur. Mereka berlomba mendapat rahmat-Mu
dan ampunan-Mu. Pada-Mu Tuhanku, bukan pada selain-Mu, aku memohon Engkau
menjadikanku termasuk rombongan pertama yang datang menghadapmu. Engkau
mengangkat derajatku dalam golongan orang-orang yang dekat dengan-Mu dan Engkau
masukkan aku bersama hamba-hamba-Mu yang salih. Engkau-lah yang Maha Pemurah,
Maha Penyayang dan Maha Agung, Wahai Yang Maha Pemurah." Kemudian dia jatuh sujud dan terus menangis dan berdoa dalam sujudnya
sampai terbit fajar. Itulah yang dia lakukan selama 30 tahun.
Abdurrahman bin Amr al-Bahili berkisah, Dalal binti
Abi al-Mudil bercerita kepada dirinya, "Ibuku,
Aminah binti Ya'la bin Suhail bercerita kepadaku, dia berkata, ‘Ajridah yang buta mendatangi kami dan tinggal
bersama kami satu-dua hari’.” Dia berkata, “Jika malam datang, dia memakai pakaiannya, bercadar lalu berdiri di mihrab
dan shalat sampai waktu sahur. Kemudian dia duduk dan berdoa sampai terbit
fajar." Aku berkata kepadanya, atau beberapa penghuni rumah berkata
kepadanya, "Kalau kau tidur sedikit saja pada malam hari." Dia
menangis dan berkata, "Mengingat mati tidak membiarkan aku tidur."
Dari Ja'far bin
Sulaiman, dia berkata, beberapa orang wanita –ibuku atau lainnya dari
keluargaku – bercerita kepadaku, "Aku
melihat Ajridah pada hari raya dan dia memakai jubah, cadar dan penutup kepala
dari bulu domba. Aku melihatnya tinggal tulang dan kulit. Aku mendengar mereka
menyebut tentang Ajridah bahwa dia berpuasa selama 60 tahun."
No comments:
Post a Comment