Karena sesungguhnya
sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada
kemudahan. Sebab itu, apabila telah selesai, maka kerjakanlah dengan
sungguh-sungguh.
QS
Alam Nasyrah [94]: 4-6
JAKARTA, 1997-1998. Tanda-tanda krisis ekonomi bakal
menerpa Republik Indonesia tampak nyata. Salah satunya sinyal terpuruknya nilai
tukar rupiah, dari sekitar Rp2.300 per dolar AS menghunjam ke level sekitar
Rp16.000 per dolar AS. Banyak perusahaan –terutama yang disokong dengan modal pinjaman
utang dalam bentuk dolar—jatuh pailit atau kebangkrutan. Setidaknya banyak
perusahaan dilanda krisis. Krisis ekonomi pun berbuntut ke krisis multidimensi
yang nyaris tiada berujung.
Ardju
Fahadaina yang di tahun 1996-1997 masih bekerja di Nike berusaha membaca peta krisis. Dia tidak tinggal diam. Menjelang
puncak krisis, saat nilai tukar masih pada kisaran Rp2.300 sampai Rp2.500 per
dolar AS, dia buru-buru menukar duit rupiah dengan dolar AS. Sampai-sampai
seorang kepala Bank Bapindo di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, berkomentar, “Mau
ada apa sih, kok Pak Ardju beli dolar
banyak-banyak.”
Benar saja.
Krisis ekonomi memuncak dengan ditandai lengsernya Presiden Soeharto dari
tampuk kekuasaan yang telah dipegangnya selama
lebih dari 30 tahun. Rupiah benar-benar terpuruk sampai pada titik
nadir, nilai dolar AS melambung tinggi. Nilai tukar menjadi Rp16.000 per dolar
AS. Banyak perusahaan yang jatuh pailit, tidak mampu lagi beroperasi dan gulung
tikar.
Di tengah
melambungnya nilai dolar, Ardju berhitung-hitung bahwa bilamana dolarnya
ditukar dengan rupiah akan berlipat-lipat jumlahnya. Dengan begitu, dia bisa
melakukan berbagai langkah, terutama untuk mengembangkan darah kewirausahaan
yang diturunkan oleh ibunya. Di tengah gelegak keinginan berwirausaha plus duit
di kantong yang lumayan tebal saat itu, 1997, Ardju lalu memutuskan keluar dari
Nike.
Mengakuisisi Perusahaan
SPPBE
Bahwa di
balik kesulitan ada kemudahan. Begitulah pesan kalam suci. Banyak orang
mengalami kesulitan ketika krisis moneter memuncak dan banyak pula perusahaan
yang gulung tikar. Agar jangan sampai perusahaan tutup operasional, banyak
pengusaha menawarkan pengalihan kepemilikan saham perusahaannya ke pemilik
modal. Dan Ardju Fahadaina ketiban tawaran sebuah perusahaan Stasiun Pengisian dan
Pengangkutan Bulk Epliji (SPPBE) yang berafiliasi dengan Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) PT Pertamina (Persero). Perusahaan bernama PT Masula Agung Garda Mas
yang memiliki wilayah usaha distribusi seluruh wilayah Propinsi Lampung.
“Jadi saya
tidak memilih mau berbisnis apa setelah keluar dari Nike. Saya punya uang dan kebetulan pula ada yang menawari ketika
kami bertemu di sebuah rumah makan sea food di kawasan Kuningan, Jakarta
Selatan. Saya tidak punya tujuan tertentu atau alasan khusus mengapa tiba-tiba
saya masuk ke bisnis SPPBE. Lalu saya nilai prospek bisnis ini lumayan bagus. Ditambah
spirit dan pesan ibu saya bahwa ‘kamu jangan menerima gaji saja, tapi mesti memberi
gaji, ibu kamu ini sudah bisa nggaji karyawan menjahit’. Diperkuat lagi dengan keyakinan dari junjungan
Nabi Muhammad saw yang menegaskan bahwa 9 dari 10 pintu rezeqi ada di
perniagaan. Lantas, saya tangkap saja penawaran itu,” Ardju berkisah dalam satu
kesempatan.
Dalam Al-Mughni ‘an Hamlil Asfar, Al-Hafizh
Al-‘Iraqi pada hadits nomor 1576 membawakan hadits, “Hendaklah kalian berdagang
karena berdagang merupakan sembilan dari sepuluh pintu rezeqi.”
Tekad Ardju
untuk menerima tawaran mengambil-alih saham (akuisisi) PT Masula Agung Garda
Mas semakin menguat. Lantaran, di benaknya terus terngiang tekadnya kapan lagi
dapat mewujudkan mimpi menjadi seorang entrepreneur sekaligus pemilik
perusahaan. Dan duit di tangan memang cukup lah untuk mengakuisisi sebuah
perusahaan sekelas PT Masula Agung Garda Mas. Apalagi dia berkongsi dengan
kawannya. Ketika krisis moneter memuncak, Ardju merasa mendapat blessing in disguise.
Ardju tidak
ingin lagi sekadar menjadi karyawan seperti pengalaman bekerja di Bata dan Nike. Dia ingin menjadi pemilik sehingga akan menjadi orang yang
semakin lapang dalam memberikan manfaat kepada sesama manusia. Dengan begitu,
dia mampu memanfaatkan berkah dari krisis moneter untuk meraih rahmah Allah
SWT.
Dalam bukunya
yang sangat terkenal Rich Dad Poor Dad,
Robert Kiyosaki secara gamblang memberikan gambaran tentang kondisi yang cukup
memprihatinkan bahwa orang lebih memilih bekerja untuk uang daripada uang yang
bekerja untuk orang. Pada penjelasannya, dia menyebut adanya empat tipe orang
dalam Cashflow Quadrant, yaitu Employee, Self-Employed, Business Owner
dan Investor. Kuadran 1 atau orang
yang bekerja untuk uang diisi oleh Employee
dan Self-Employed. Sedangkan Kuadran
2 atau uang yang bekerja untuk orang diisi oleh Business Owner dan Investor.
Menurut Kiyosaki, orang-orang yang berada di kuadran kedua lah yang mampu
menjadi orang kaya. Jadi, kalau bukan menjadi Business Owner berarti harus menjadi Investor.
Melalui
bahasa yang sedikit berbeda, psikolog Paul G. Stoltz berpendapat orang yang
ingin kaya mesti menjadi pendaki sejati (the
climbers). Mereka merupakan orang-orang yang seumur hidup membaktikan diri
pada pendakian sampai puncak tertinggi. Mereka sampai pada puncak aktualisasi
diri. Mereka merasa yakin pada sesuatu yang lebih besar daripada mereka
sendiri. The climbers (pendaki)
berkeyakinan bahwa segala hal bisa dan akan terlaksana. Climbers sejati memang langka, karena tidak semua orang mampu, mau
dan berkesempatan.
Dengan
mengakuisisi perusahaan SPPBE, Ardju ingin menjadi Business Owner atau Investor.
Katanya mengenang, “Begitu ada kesempatan waktu krismon memuncak, uang saya
dalam bentuk US dolar dan dolar Singapura langsung saya tukarkan ke rupiah. Jadi
banyak sekali. Kebetulan-kebetulan yang telah Allah SWT tentukan, ada yang
menawarkan SPPBE di Lampung, distribusi untuk seluruh wilayah Propinsi Lampung.
Waktu itu saya ambil alih bersama teman dengan nilai sekitar Rp5 miliar,
termasuk di dalamnya utang-utang mereka ke bank. Waktu krismon itu perusahaan
tersebut kena kredit macet, saya langsung lunasi semua utang perusahaan
tersebut. Dan PT Masula Agung Garda Mas kemudian sepenuhnya kami ambil alih,
sepenuhnya kami lah pemilik perusahaan tersebut.”
Jelas bukan
hal mudah mengambil-alih sebuah perusahaan yang bergerak di bidang usaha
pengisian dan pengangkutan elpiji. Karena, dalam puluhan tahun karir perjalanan
Ardju tidak pernah bersentuhan dengan usaha semacam ini. Sepanjang karir perjalanan
Ardju berada di titian dunia sepatu, dari Bata
sampai Nike.
Banyak
pengusaha sukses mengambil-alih atau mendirikan perusahaan baru karena memang
berangkat dari pengalaman panjang bidang yang digelutinya. Sekadar contoh
Bhakty Kasry, pengusaha yang sukses membesarkan kelompok usaha Pandu Siwi Group
yang dia ‘lahirkan’ pada tahun 1992. Setelah sekitar satu dekade berjalan, Pandu
Siwi beranak-pinak antara lain PT Indah Jaya Express, PT Pandu Bella Transindo,
PT Pandu As Shofa dan PT Pandu Ellin Sejahtera. Semuanya bergerak di logistik
dan biro perjalanan. Kesuksesan itu tidak terlepas dari pengalaman Bhakty Kasry
bekerja selama 11 tahun di multinasional logistik dan distribusi DHL.
Sebab
itulah, Ardju tidak ngotot akan mengelola sendiri perusahaan yang baru saja
diambil-alih. Ardju merasa tidak memiliki kompetensi dan skill untuk
menjalankan roda usaha PT Masula Agung Garda Mas yang punya hak usaha
pendistribusian elpiji di wilayah Propinsi Lampung. Dia tidak ingin perusahaan
yang baru saja diakuisisinya justru semakin terpuruk.
Ardju
teringat pada hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari. Bahwa Rasulullah saw
bersabda: “Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi.” Ada
seorang sahabat bertanya: “Bagaimana maksud amanat disia-siakan?” Rasulullah
menjawab: “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah
kehancuran itu.”
Berangkat
dari keyakinan pada pesan Rasulullah Muhammad saw tersebut, selain tetap mempertahankan
karyawan yang masih layak dipekerjakan, Ardju kemudian merekrut sumber daya
manusia yang mumpuni dan kompeten di bidang pengisian dan pendistribusian
elpiji. Juga tenaga-tenaga yang menguasai medan pengangkutan elpiji dari
wilayah Sumatera Selatan sampai Lampung.
“Alhamdulillah
kami bisa mempekerjakan orang yang tangguh dan mumpuni di situ. Perlahan namun
pasti PT Masula Agung Garda Mas mampu keluar dari krisis serta berkembang baik
dan memperoleh penilaian bagus dari Pertamina. Jadi kayak golden boy. Berkat
kinerja yang baik di Lampung, lantas Pertamina memberi hak usaha pengisian dan
pengangkutan elpiji untuk wilayah Propinsi Jambi. Keuntungan dari Lampung kami
gunakan untuk investasi membangun SPPBE baru di Jambi. Tidak hanya merambah
Jambi, juga ke daerah yang lain. Sampai kemudian memiliki pom bahan bakar lepas
pantai di Yogya. Terakhir kami punya tiga pom bahan bakar di situ untuk
melayani kapal di wilayah selatan Yogya,” terang Ardju Fahadaina.
Dalam
usahanya kembali menggerakkan roda usaha PT Masula Agung Garda Mas, Ardju
merasa nyaris tidak mengalami kesulitan. Yang penting, katanya, bagaimana
menjaga kekompakan tim. Manajemen perusahaan menempatkan orang yang betul-betul
menguasai bidangnya untuk mengemban amanah direktur dan manager. Permasalahan
tetap ada namun Ardju dan mitranya mampu menyelesaikan secara apik dan elegan.
Misalkan ketika akuisisi berlangsung, perusahaan berjalan dengan mesin-mesin
yang sudah cukup berumur dan tidak lama berselang harus diganti.
Dari sisi
sumber daya manusia di lapangan, Ardju tidak mengalami banyak kesukaran. Proses
akuisisi terjadi di zaman krisis moneter, masa di mana secara psikologi tenaga
kerja dihantui kekhawatiran kalau-kalau bakal menganggur bilamana sewaktu-waktu
perusahaan tutup. Masa di mana pemutusan hubungan kerja (PHK) demikian marak. Nah,
tatkala Ardju melakukan take over PT
Masula Agung Garda Mas, karyawan yang berada di level lapangan merasa tenang-tenang
karena ada semacam jaminan mereka akan masih bisa bekerja.
Jadi, pada
jangka pendek, tidak ada problematika peralatan dan sumber daya manusia di
tingkat lapangan. Namun, Ardju tidak hendak menganggap tiada persoalan di sini.
Kadang,
orang mengakuisisi sebuah perusahaan hanya ingin mengambil sumber daya manusia
yang kompeten di bidangnya. Lalu, ketika sepuluh atau 15 tahun berselang
terjadi kesenjangan kemampuan antara karyawan baru dan karyawan lama yang
segera memasuki masa pensiun. Upaya regenerasi sedikit terabaikan dan cukup
signifikan mempengaruhi kinerja perusahaan. Misalkan ketika MedcoEnergi
mengakuisisi sebuah sumur tua Stanvac
di Sumatera Selatan dengan merogoh kocek 88 juta dolar AS. Tujuan MedcoEnergi
bukan membeli sumur tua yang semakin menurun produksinya. Tapi, kata mantan CFO
Medco Energi Sugiharto, untuk membeli 460 tenaga kerja di Stanvac yang memiliki
pengalaman rata-rata 20 tahun di bidangnya. Mereka memiliki knowledge base dan kultur kerja yang
sangat bagus. MedcoEnergi pun tetap
memperhatikan proses regenerasi pada saatnya. Dan kini Medco mampu tampil
sebagai salah satu perusahaan swasta nasional yang mendunia.
Ardju
Fahadaina tidak berpikir terlalu jauh seperti MedcoEnergi yang bergerak di hulu
eksplorasi dan eksploitasi migas. Ujarnya, “Pekerjaan SPPBE ini simpel, tidak
butuh teknologi canggih semacam eksplorasi gas atau minyak bumi. Kami hanya
butuh sopir dan kenek yang mengoperasikan truk pengangkut elpiji dari Palembang
ke Lampung. Kemudian tiba di Lampung, elpiji itu dimasukkan ke tangki-tangki
baru kemudian ke tabung-tabung gas elpiji siap didistribusikan ke konsumen. Tidak
ada teknologi canggih di operasional ini. Cukup dengan mesin-mesin sederhana
buat pengisian. Peralatan mulai truk, tangki, mesin pengisian, sampai seal, sudah
tersedia semua di pasar. Tidak terlalu membutuhkan tenaga kerja dengan skill
tinggi. Berbeda dengan di hulu yang memang memerlukan orang-orang yang memiliki
kompetensi tinggi di bidang eksplorasi dan eksploitasi migas. Ini kan di hilir,
seperti stasiun pompa bensin saja.”
Ardju
bercerita perusahaan SPPBE yang dimilikinya hanya menghadapi permasalahan kebijakan
(policy) Pertamina dan infrastruktur
di Lampung saja. Mengenai problematika plus penyelesaiannya, Ardju lebih lanjut
bertutur:
“Ketika
awal-awal kami mengelola PT Masula Agung Garda Mas, jalan raya antara Palembang
dan Lampung rusak berat. Di tengah upaya mengejar target agar tidak terlambat
sampai di Lampung, tidak sedikit truk kami terguling. Bahkan, sampai tidak ada asuransi
yang bersedia menjamin karena tingginya angka klaim. Kami memang tidak boleh
terlambat. Bila terlambat maka gubernur akan komplain. Untuk menyiasati
keadaan, kami membeli banyak tangki penyimpan elpiji. Itulah kesulitan yang
kami hadapi.
Selain
itu kami juga menghadapi fee dari
Pertamina yang tidak naik-naik. Padahal kami mesti harus membeli truk. Akhirnya
kami selalu minus Rp30 juta tiap bulan. Sampai-sampai sempat muncul pemikiran mengurangi
timbangan gas, misalkan kemasan 12 kg dikurangi menjadi 11 kg. Kami ambil
untung dari situ saja. Alhamdulillah saya masih ingat soal akhlak buruk mengurangi
timbangan. Kami tidak sampai mengurangi timbangan, nanti tdak berkah. Kami kemudian
berusaha mengambil langkah-langkah efisiensi. Akhirnya fee dari Pertamina naik. Perusahaan di Lampung pun terus berkembang
dan memberikan keuntungan. Dan Pertamina lalu memberi hak usaha di Jambi. Hasil
keuntungan di Lampung kami manfaatkan buat mengawali usaha di Jambi. Termasuk pula
untuk membuka di Banten. Kami membangun pipa-pipa untuk menyalurkan elpiji ke pabrik-pabrik
di kawasan industri Cilegon.
Perusahaan
membesar sampai terbentuk holding company
PT Inti Alasindo Holding Company. Saya sebagai presiden komisaris dan mitra
saya sebagai direktur utama. Semula mengambil head office di Menara Sudirman kemudian membeli lagi ruangan di
Menara Asia. Bidang usahanya juga cukup banyak mulai dari trading, shipping agent, sampai pompa bensin
lepas pantai. Karyawan pun bertambah banyak. Di Lampung saja tercatat sekitar
250 orang karyawan. Kami sempat rutin menyelenggarakan family gathering.
Sejak
dari 1998 sampai 2008, aset berkembang dari Rp5 miliar menjadi sekitar Rp350
miliar. Saya stop beli peralatan lagi. Kemudian mitra saya mengambil-alih sebagian
saham, semula saham saya 50%, di tahun 2008 tinggal 20%.”
Prahara dalam Keluarga
Di tengah
usaha yang terus membuahkan kemajuan dan perkembangan ujian kehidupan pun
menyambangi Ardju Fahadaina dan keluarganya. Orang kerap menganggap ujian itu
hanya berupa kekurangan harta, penyakit dan rasa was-was akan kehilangan. Bagi
Ardju, kelimpahan harta dan kemajuan perusahaan juga merupakan ujian dalam
menapaki kehidupan dan amanah dari Allah SWT.
Setelah
beberapa tahun berjalan, Ardju yang sedari awal merekrut sumber daya manusia
yang kompeten mulai menghadapi kerikil-kerikil tajam yang sewaktu-waktu bisa
membuat terpeleset. Salah satunya aroma kekurang-jujuran dalam pengelolaan
perusahaan yang hanya memberikan keuntungan secara tidak proporsional. Sepintas
ada praktik gratifikasi. Memang belum sampai menggelincirkan perusahaan. Namun,
menurutnya, apabila dibiarkan secara terus-menerus bisa saja berpotensi merobohkan
pilar-pilar perusahaan.
Untuk itu,
dalam satu kesempatan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Ardju mengusulkan
dilakukannya audit internal perusahaan. Tapi, sampai RUPS tahun berikutnya,
usulan audit internal itu tidak juga dilakukan. Kekurang-jujuran tidak hanya
berhenti di situ. Terlihat pula adanya perlakuan yang kurang proporsional,
misalkan seorang karyawan berlatar-pendidikan S-1 Akuntansi diberi gaji dengan
standar gaji seorang karyawan berstatus sopir.
Arju pun
tidak mau berhenti untuk mengejar tekad perusahaan harus berjalan dalam
pengelolaan yang baik dan benar. Dalam bahasa bisnis, perusahaan mesti berjalan
pada koridor tata kelola yang baik --good
corporate governance (GCG). Dalam bahasa religi, Ardju ingin dikelola
dengan membagikan sebagian harta perusahaan kepada yang berhak menerima. Terutama
berupa pembagian zakat. Juga pembagian lain seperti infak dan sedekah. Sekali waktu
perusahaan pernah mengeluarkan zakat. “Direksi yang membagi, saya kebagian Rp200
juta kemudian saya bagi ke mana-mana. Setelah itu saya tidak mendengar lagi,” ujar lelaki
yang sejak kecil telah menerapkan prinsip pengeluran zakat, infak dan sedekah
(ZIS) setiap kali memperoleh rezeqi ini.
Sampai pada
suatu waktu, keluarga Ardju ditimpa prahara. Cucunya yang belum genap berumur
dua tahun terus-menerus menangis. Bukan tangis biasa yang menimpa si cucu.
Bahkan, salah seorang kerabatnya sampai berpesan jangan anggap enteng tangis si
cucu. Ada sesuatu di balik tangis cucu yang belum bisa banyak bicara itu.
Kerabat ini bernasehat bahwa harus ada orang mampu menangani tangis si cucu
agar tidak berkepanjangan. Pendek cerita, sampai satu saat, si cucu susah
makan, sulit tidur dan sukar pula buang air besar. Mau tak mau Ardju harus
meminta bantuan seorang kawan. Di tengah malam buta, kawan ini diundang ke
rumah Ardju di kawasan Bintaro, Tangerang Selatan. Sang kawan mampu
menyelesaikan secara baik-baik tangis si cucu.
Keesokan
harinya, sebagaimana biasa, Ardju pergi ngantor. Tiba di kantor ternyata
ruangan kosong. Semua direksi sedang tidak berada di tempat. Memang ketika itu
usai libur panjang. Wajar saja bila banyak karyawan datang telat. Pada siang
harinya terdengar kabar salah seorang direktur perusahaan Ardju meninggal dunia
usai berolah-raga.
Tak ingin
keluarganya terus dirundung prahara tangis si cucu yang telah berjalan tahunan,
kemudian Ardju memutuskan melepaskan 20% sahamnya di PT Inti Alasindo Holding
Company. “Direktur utama saya cukup pintar memimpin perusahaan ini, berkembang
dari Rp5 miliar menjadi sekitar Rp350 miliar. Kalau saya lepas 20% saham yang
saya miliki berarti saya bakal menerima Rp70 miliar. Saya langsung tanda tangan
pelepasan 20% saham namun hanya dibayar Rp30 miliar. Saya tanda tangan saja
karena kasihan sama cucu. Setelah tanda tangan, tidak ada lagi gangguan tangisan
cucu,” ujar Ardju mengenang peristiwa tak terlupakan di tahun 2008 itu.
Aneh tapi
nyata. Setelah Ardju menanda-tangani pelepasan 20% sahamnya di PT Inti Alasindo
Holding Company, tangis si cucu kembali normal, wajahnya penuh keceriaan, dan
tak ada lagi tangis penuh misteri.
Ardju
berusaha mengambil hikmah di balik prahara yang menimpa keluarganya. Bila dulu
dia demikian sulit menerapkan syariat ZIS di perusahaan lama, maka dia ingin
membangun usaha baru yang bertumpu pada penyaluran ZIS yang syar’i.
Meninggalkan Apa yang
Telah Dibesarkan
Tatkala
hendak menanda-tangani pelepasan 20% sahamnya di PT Inti Alasindo Holding
Company, batin Ardju sempat bergejolak. Ada perang batin. Betapa tidak,
perusahaanya sudah demikian besar, menguasai distribusi elpiji di dua propinsi,
keuntungan terus membesar, dan gurita usaha semakin kuat. Betul-betul kondisi
yang sangat nyaman. Gaji besar, memperoleh deviden tiap tahun, kantor berlokasi
di kawasan bisnis elit Jakarta, dan sudah barang tentu bisa melakukan apa saja
yang dikehendaki.
Tapi, gambaran
kelimpahan harta beserta rasa nyaman yang menyelimuitnya sirna begitu saja
bilamana Ardju merenung bahwa perusahaan itu tidak berjalan di rel yang syar’i
dan cucunya bertahun-tahun dirundung tangis yang nyaris tiada habis. Sirna
begitu saja manakala dia melihat ketidak-wajaran pada sejumlah mitranya dalam
meraup kelimpahan materi. Di mata Ardju, perolehan materi itu jauh di luar
pemasukan gaji yang sebenarnya sudah bisa dipakai hidup di atas rata-rata
rakyat kebanyakan. Semua semakin menguatkan tekad Ardju untuk meninggalkan
perusahaan yang telah dibesarkannya.
“Melihat
semua kenyataan itu, rasanya tidak ada masalah meninggalkan perusahaan yang
saya benahi dan besarkan selama sekitar 10 tahun itu. Waktu tanda tangan pelepasan
saham itu saya benar-benar ikhlas. Sebelum sampai pada putusan itu, saya berdoa
dan shalat istikharah. Ya Allah, kalau
ini memang baik untuk saya dan keluarga maka permudahkan. Dan uang segitu
banyak mestinya bisa saya manfaatkan untuk kebaikan lebih banyak lagi. Mohon
ampunan-Mu ya Allah dan karunia hamba rezeqi yang halalan toyiban. Ya Allah bimbinganlah hamba untuk
membelanjakan uang ini di jalan-Mu. Saya menyadari uang di tangan ini kan
amanah, tidak bisa sembarangan dihabiskan. Itulah yang membuat saya ikhlas.
Saya ikhlas, tapi keluarga memang belum tentu ikhlas. Yang berat di situ. Bagaimana
upaya saya mengajak istri dan anak-anak merasa ikhlas menghadapi putusan yang
tidak mudah ini,” ujar Ardju panjang-lebar mengingat-ingat keputusannya yang
cukup menguras energi dan kebesaran hatinya.
Ardju lalu
berusaha memberikan pemahaman dan pengertian kepada istri dan anak-anaknya agar
semua benar-benar ikhlas dan lapang untuk mendaki kembali area pendakian yang
lain. Mengingat Ardju sebagai kepala keluarga, semua bisa menerima keputusannya
secara ikhlas. Terlebih lagi, mereka sempat dibuat repot dengan tangis cucu
yang di luar akal sehat manusia. Namun hati kecil mereka siapa yang tahu.
Ujar Ardju,
“Mereka pasti ada sedikit ganjalan. Bukan soal ikhlas atau tidak ikhlas. Tapi mereka
lebih merasa kasihan mengapa di usia sekarang ini saya harus berjibaku membangun
usaha, saya mesti turun tangan, dan turun lapangan. Sementara dengan perusahaan
sebelumnya, istilah kata, saya hanya duduk manis, melihat laporan keuangan,
uang di tangan juga banyak. Saya yakin, terutama anak-anak, bukan karena kenyamanan
mereka berkurang atau hilang, mungkin lebih pada rasa kasihan, semakin tua kok bertambah
susah, penuh perjuangan lagi.”
Lantaran
itulah, ketika Ardju resmi menarik sahamnya dari PT Inti Alasindo Holding
Company, salah satu anaknya yang sempat bekerja di sana tidak serta merta harus
keluar. Apalagi, pembayaran 20% saham yang dilepasnya dilakukan secara
mencicil. Selama belum lunas, secara de
facto Ardju masih ‘memiliki’ hak mengawasi perusahaan dan itu
diejawantahkan dengan salah satu anaknya untuk tetap bekerja di sana. Setelah
semuanya lunas, barulah salah anaknya resmi keluar dari perusahaan.
Memang, aku
Ardju, selama masa cicilan itu, kendati anaknya masih bekerja di sana namun
kondisinya sudah tidak nyaman, tidak kondusif. Ya sudah tidak nyaman di sana, dia
tidak diberi wewenang apapun dalam menjalankan roda perusahaan.
“Kini saya
semakin ikhlas. Alhamdulillah penuh rasa syukur. Dulu ketika berkantor di
kawasan Jalan Sudirman, begitu buka gordyn
ruang kerja, yang terlihat adalah Jakarta dengan segenap kesemrawutannya
kendati berlimpah harta. Sekarang di pabrik pengolahan air di Desa Cinagara,
Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor, yang tampak adalah hijaunya alam. Ternyata
nikmatnya berbeda. Dengan melihat sawah, mata terasa lebih sejuk, meskipun dari
sisi materi jauh berkurang. Ada kepuasan batin. Di situ saya bisa memahami
bagaimana cara bersyukur. Bukan hanya bersyukur harta yang banyak, juga ada
nikmat lain yang perlu disyukuri,” tutur Ardju penuh rasa syukur dan ikhlas.
Berkat
syukur dan ikhlas, Ardju meyakini, dirinya akan senantiasa diselimuti jiwa yang
tenang, rohani yang kuat, amal yang berkesinambungan, mengubah yang mubah dan
tradisi menjadi ibadah, tetap memperoleh pahala walau belum menyempurnakan
amal, peneguhan dan pertolongan tatkala menghadapi krisis, dan mampu menata
kehidupan menjadi lebih baik.
Pengalaman
meninggalkan perusahaan dengan segenap kemapanan dan kemewahannya menjadikan
Ardju semakin memahami bahwa dunia ini tidak semata-mata urusan harta. Hidup
ini bukan cuma demi sepotong roti. Harta hanyalah titipan yang harus
dipertanggung-jawabkan nanti di hadapan Allah SWT. Melalui keputusannya yang
senantiasa bersandar pada keistaqamahan kepada Allah, Ardju meyakini bahwa Allah
akan memberikan jalan yang lebih baik untuk mengisi ruang batinnya. Inilah
jalan untuk memenuhi kebutuhan dan memperkaya ruang batin. ***
No comments:
Post a Comment