Thursday, April 3, 2014

TIGA: Memasuki Bisnis Konvensional



Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sebab itu, apabila telah selesai, maka kerjakanlah dengan sungguh-sungguh.
QS Alam Nasyrah [94]: 4-6


JAKARTA, 1997-1998. Tanda-tanda krisis ekonomi bakal menerpa Republik Indonesia tampak nyata. Salah satunya sinyal terpuruknya nilai tukar rupiah, dari sekitar Rp2.300 per dolar AS menghunjam ke level sekitar Rp16.000 per dolar AS. Banyak perusahaan –terutama yang disokong dengan modal pinjaman utang dalam bentuk dolar—jatuh pailit atau kebangkrutan. Setidaknya banyak perusahaan dilanda krisis. Krisis ekonomi pun berbuntut ke krisis multidimensi yang nyaris tiada berujung.
Ardju Fahadaina yang di tahun 1996-1997 masih bekerja di Nike berusaha membaca peta krisis. Dia tidak tinggal diam. Menjelang puncak krisis, saat nilai tukar masih pada kisaran Rp2.300 sampai Rp2.500 per dolar AS, dia buru-buru menukar duit rupiah dengan dolar AS. Sampai-sampai seorang kepala Bank Bapindo di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, berkomentar, “Mau ada apa sih, kok Pak Ardju beli dolar banyak-banyak.”
Benar saja. Krisis ekonomi memuncak dengan ditandai lengsernya Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaan yang telah dipegangnya selama  lebih dari 30 tahun. Rupiah benar-benar terpuruk sampai pada titik nadir, nilai dolar AS melambung tinggi. Nilai tukar menjadi Rp16.000 per dolar AS. Banyak perusahaan yang jatuh pailit, tidak mampu lagi beroperasi dan gulung tikar.
Di tengah melambungnya nilai dolar, Ardju berhitung-hitung bahwa bilamana dolarnya ditukar dengan rupiah akan berlipat-lipat jumlahnya. Dengan begitu, dia bisa melakukan berbagai langkah, terutama untuk mengembangkan darah kewirausahaan yang diturunkan oleh ibunya. Di tengah gelegak keinginan berwirausaha plus duit di kantong yang lumayan tebal saat itu, 1997, Ardju lalu memutuskan keluar dari Nike.

Mengakuisisi Perusahaan SPPBE
Bahwa di balik kesulitan ada kemudahan. Begitulah pesan kalam suci. Banyak orang mengalami kesulitan ketika krisis moneter memuncak dan banyak pula perusahaan yang gulung tikar. Agar jangan sampai perusahaan tutup operasional, banyak pengusaha menawarkan pengalihan kepemilikan saham perusahaannya ke pemilik modal. Dan Ardju Fahadaina ketiban tawaran sebuah perusahaan Stasiun Pengisian dan Pengangkutan Bulk Epliji (SPPBE) yang berafiliasi dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Pertamina (Persero). Perusahaan bernama PT Masula Agung Garda Mas yang memiliki wilayah usaha distribusi seluruh wilayah Propinsi Lampung.
“Jadi saya tidak memilih mau berbisnis apa setelah keluar dari Nike. Saya punya uang dan kebetulan pula ada yang menawari ketika kami bertemu di sebuah rumah makan sea food di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Saya tidak punya tujuan tertentu atau alasan khusus mengapa tiba-tiba saya masuk ke bisnis SPPBE. Lalu saya nilai prospek bisnis ini lumayan bagus. Ditambah spirit dan pesan ibu saya bahwa ‘kamu jangan menerima gaji saja, tapi mesti memberi gaji, ibu kamu ini sudah bisa nggaji karyawan menjahit’.  Diperkuat lagi dengan keyakinan dari junjungan Nabi Muhammad saw yang menegaskan bahwa 9 dari 10 pintu rezeqi ada di perniagaan. Lantas, saya tangkap saja penawaran itu,” Ardju berkisah dalam satu kesempatan.
Dalam Al-Mughni ‘an Hamlil Asfar, Al-Hafizh Al-‘Iraqi pada hadits nomor 1576 membawakan hadits, “Hendaklah kalian berdagang karena berdagang merupakan sembilan dari sepuluh pintu rezeqi.”
Tekad Ardju untuk menerima tawaran mengambil-alih saham (akuisisi) PT Masula Agung Garda Mas semakin menguat. Lantaran, di benaknya terus terngiang tekadnya kapan lagi dapat mewujudkan mimpi menjadi seorang entrepreneur sekaligus pemilik perusahaan. Dan duit di tangan memang cukup lah untuk mengakuisisi sebuah perusahaan sekelas PT Masula Agung Garda Mas. Apalagi dia berkongsi dengan kawannya. Ketika krisis moneter memuncak, Ardju merasa mendapat blessing in disguise.
Ardju tidak ingin lagi sekadar menjadi karyawan seperti pengalaman bekerja di Bata dan Nike. Dia ingin menjadi pemilik sehingga akan menjadi orang yang semakin lapang dalam memberikan manfaat kepada sesama manusia. Dengan begitu, dia mampu memanfaatkan berkah dari krisis moneter untuk meraih rahmah Allah SWT.
Dalam bukunya yang sangat terkenal Rich Dad Poor Dad, Robert Kiyosaki secara gamblang memberikan gambaran tentang kondisi yang cukup memprihatinkan bahwa orang lebih memilih bekerja untuk uang daripada uang yang bekerja untuk orang. Pada penjelasannya, dia menyebut adanya empat tipe orang dalam Cashflow Quadrant, yaitu Employee, Self-Employed, Business Owner dan Investor. Kuadran 1 atau orang yang bekerja untuk uang diisi oleh Employee dan Self-Employed. Sedangkan Kuadran 2 atau uang yang bekerja untuk orang diisi oleh Business Owner dan Investor. Menurut Kiyosaki, orang-orang yang berada di kuadran kedua lah yang mampu menjadi orang kaya. Jadi, kalau bukan menjadi Business Owner berarti harus menjadi Investor.
Melalui bahasa yang sedikit berbeda, psikolog Paul G. Stoltz berpendapat orang yang ingin kaya mesti menjadi pendaki sejati (the climbers). Mereka merupakan orang-orang yang seumur hidup membaktikan diri pada pendakian sampai puncak tertinggi. Mereka sampai pada puncak aktualisasi diri. Mereka merasa yakin pada sesuatu yang lebih besar daripada mereka sendiri. The climbers (pendaki) berkeyakinan bahwa segala hal bisa dan akan terlaksana. Climbers sejati memang langka, karena tidak semua orang mampu, mau dan berkesempatan. 
Dengan mengakuisisi perusahaan SPPBE, Ardju ingin menjadi Business Owner atau Investor. Katanya mengenang, “Begitu ada kesempatan waktu krismon memuncak, uang saya dalam bentuk US dolar dan dolar Singapura langsung saya tukarkan ke rupiah. Jadi banyak sekali. Kebetulan-kebetulan yang telah Allah SWT tentukan, ada yang menawarkan SPPBE di Lampung, distribusi untuk seluruh wilayah Propinsi Lampung. Waktu itu saya ambil alih bersama teman dengan nilai sekitar Rp5 miliar, termasuk di dalamnya utang-utang mereka ke bank. Waktu krismon itu perusahaan tersebut kena kredit macet, saya langsung lunasi semua utang perusahaan tersebut. Dan PT Masula Agung Garda Mas kemudian sepenuhnya kami ambil alih, sepenuhnya kami lah pemilik perusahaan tersebut.”
Jelas bukan hal mudah mengambil-alih sebuah perusahaan yang bergerak di bidang usaha pengisian dan pengangkutan elpiji. Karena, dalam puluhan tahun karir perjalanan Ardju tidak pernah bersentuhan dengan usaha semacam ini. Sepanjang karir perjalanan Ardju berada di titian dunia sepatu, dari Bata sampai Nike.
Banyak pengusaha sukses mengambil-alih atau mendirikan perusahaan baru karena memang berangkat dari pengalaman panjang bidang yang digelutinya. Sekadar contoh Bhakty Kasry, pengusaha yang sukses membesarkan kelompok usaha Pandu Siwi Group yang dia ‘lahirkan’ pada tahun 1992.  Setelah sekitar satu dekade berjalan, Pandu Siwi beranak-pinak antara lain PT Indah Jaya Express, PT Pandu Bella Transindo, PT Pandu As Shofa dan PT Pandu Ellin Sejahtera. Semuanya bergerak di logistik dan biro perjalanan. Kesuksesan itu tidak terlepas dari pengalaman Bhakty Kasry bekerja selama 11 tahun di multinasional logistik dan distribusi DHL.
Sebab itulah, Ardju tidak ngotot akan mengelola sendiri perusahaan yang baru saja diambil-alih. Ardju merasa tidak memiliki kompetensi dan skill untuk menjalankan roda usaha PT Masula Agung Garda Mas yang punya hak usaha pendistribusian elpiji di wilayah Propinsi Lampung. Dia tidak ingin perusahaan yang baru saja diakuisisinya justru semakin terpuruk.
Ardju teringat pada hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari. Bahwa Rasulullah saw bersabda: “Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi.” Ada seorang sahabat bertanya: “Bagaimana maksud amanat disia-siakan?” Rasulullah menjawab: “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu.”
Berangkat dari keyakinan pada pesan Rasulullah Muhammad saw tersebut, selain tetap mempertahankan karyawan yang masih layak dipekerjakan, Ardju kemudian merekrut sumber daya manusia yang mumpuni dan kompeten di bidang pengisian dan pendistribusian elpiji. Juga tenaga-tenaga yang menguasai medan pengangkutan elpiji dari wilayah Sumatera Selatan sampai Lampung.
“Alhamdulillah kami bisa mempekerjakan orang yang tangguh dan mumpuni di situ. Perlahan namun pasti PT Masula Agung Garda Mas mampu keluar dari krisis serta berkembang baik dan memperoleh penilaian bagus dari Pertamina. Jadi kayak golden boy. Berkat kinerja yang baik di Lampung, lantas Pertamina memberi hak usaha pengisian dan pengangkutan elpiji untuk wilayah Propinsi Jambi. Keuntungan dari Lampung kami gunakan untuk investasi membangun SPPBE baru di Jambi. Tidak hanya merambah Jambi, juga ke daerah yang lain. Sampai kemudian memiliki pom bahan bakar lepas pantai di Yogya. Terakhir kami punya tiga pom bahan bakar di situ untuk melayani kapal di wilayah selatan Yogya,” terang Ardju Fahadaina.  
Dalam usahanya kembali menggerakkan roda usaha PT Masula Agung Garda Mas, Ardju merasa nyaris tidak mengalami kesulitan. Yang penting, katanya, bagaimana menjaga kekompakan tim. Manajemen perusahaan menempatkan orang yang betul-betul menguasai bidangnya untuk mengemban amanah direktur dan manager. Permasalahan tetap ada namun Ardju dan mitranya mampu menyelesaikan secara apik dan elegan. Misalkan ketika akuisisi berlangsung, perusahaan berjalan dengan mesin-mesin yang sudah cukup berumur dan tidak lama berselang harus diganti.
Dari sisi sumber daya manusia di lapangan, Ardju tidak mengalami banyak kesukaran. Proses akuisisi terjadi di zaman krisis moneter, masa di mana secara psikologi tenaga kerja dihantui kekhawatiran kalau-kalau bakal menganggur bilamana sewaktu-waktu perusahaan tutup. Masa di mana pemutusan hubungan kerja (PHK) demikian marak. Nah, tatkala Ardju melakukan take over PT Masula Agung Garda Mas, karyawan yang berada di level lapangan merasa tenang-tenang karena ada semacam jaminan mereka akan masih bisa bekerja.
Jadi, pada jangka pendek, tidak ada problematika peralatan dan sumber daya manusia di tingkat lapangan. Namun, Ardju tidak hendak menganggap tiada persoalan di sini.
Kadang, orang mengakuisisi sebuah perusahaan hanya ingin mengambil sumber daya manusia yang kompeten di bidangnya. Lalu, ketika sepuluh atau 15 tahun berselang terjadi kesenjangan kemampuan antara karyawan baru dan karyawan lama yang segera memasuki masa pensiun. Upaya regenerasi sedikit terabaikan dan cukup signifikan mempengaruhi kinerja perusahaan. Misalkan ketika MedcoEnergi mengakuisisi sebuah sumur tua Stanvac di Sumatera Selatan dengan merogoh kocek 88 juta dolar AS. Tujuan MedcoEnergi bukan membeli sumur tua yang semakin menurun produksinya. Tapi, kata mantan CFO Medco Energi Sugiharto, untuk membeli 460 tenaga kerja di Stanvac yang memiliki pengalaman rata-rata 20 tahun di bidangnya. Mereka memiliki knowledge base dan kultur kerja yang sangat bagus.  MedcoEnergi pun tetap memperhatikan proses regenerasi pada saatnya. Dan kini Medco mampu tampil sebagai salah satu perusahaan swasta nasional yang mendunia.
Ardju Fahadaina tidak berpikir terlalu jauh seperti MedcoEnergi yang bergerak di hulu eksplorasi dan eksploitasi migas. Ujarnya, “Pekerjaan SPPBE ini simpel, tidak butuh teknologi canggih semacam eksplorasi gas atau minyak bumi. Kami hanya butuh sopir dan kenek yang mengoperasikan truk pengangkut elpiji dari Palembang ke Lampung. Kemudian tiba di Lampung, elpiji itu dimasukkan ke tangki-tangki baru kemudian ke tabung-tabung gas elpiji siap didistribusikan ke konsumen. Tidak ada teknologi canggih di operasional ini. Cukup dengan mesin-mesin sederhana buat pengisian. Peralatan mulai truk, tangki, mesin pengisian, sampai seal, sudah tersedia semua di pasar. Tidak terlalu membutuhkan tenaga kerja dengan skill tinggi. Berbeda dengan di hulu yang memang memerlukan orang-orang yang memiliki kompetensi tinggi di bidang eksplorasi dan eksploitasi migas. Ini kan di hilir, seperti stasiun pompa bensin saja.”
Ardju bercerita perusahaan SPPBE yang dimilikinya hanya menghadapi permasalahan kebijakan (policy) Pertamina dan infrastruktur di Lampung saja. Mengenai problematika plus penyelesaiannya, Ardju lebih lanjut bertutur:
“Ketika awal-awal kami mengelola PT Masula Agung Garda Mas, jalan raya antara Palembang dan Lampung rusak berat. Di tengah upaya mengejar target agar tidak terlambat sampai di Lampung, tidak sedikit truk kami terguling. Bahkan, sampai tidak ada asuransi yang bersedia menjamin karena tingginya angka klaim. Kami memang tidak boleh terlambat. Bila terlambat maka gubernur akan komplain. Untuk menyiasati keadaan, kami membeli banyak tangki penyimpan elpiji. Itulah kesulitan yang kami hadapi.
Selain itu kami juga menghadapi fee dari Pertamina yang tidak naik-naik. Padahal kami mesti harus membeli truk. Akhirnya kami selalu minus Rp30 juta tiap bulan. Sampai-sampai sempat muncul pemikiran mengurangi timbangan gas, misalkan kemasan 12 kg dikurangi menjadi 11 kg. Kami ambil untung dari situ saja. Alhamdulillah saya masih ingat soal akhlak buruk mengurangi timbangan. Kami tidak sampai mengurangi timbangan, nanti tdak berkah. Kami kemudian berusaha mengambil langkah-langkah efisiensi. Akhirnya fee dari Pertamina naik. Perusahaan di Lampung pun terus berkembang dan memberikan keuntungan. Dan Pertamina lalu memberi hak usaha di Jambi. Hasil keuntungan di Lampung kami manfaatkan buat mengawali usaha di Jambi. Termasuk pula untuk membuka di Banten. Kami membangun pipa-pipa untuk menyalurkan elpiji ke pabrik-pabrik di kawasan industri Cilegon.
Perusahaan membesar sampai terbentuk holding company PT Inti Alasindo Holding Company. Saya sebagai presiden komisaris dan mitra saya sebagai direktur utama. Semula mengambil head office di Menara Sudirman kemudian membeli lagi ruangan di Menara Asia. Bidang usahanya juga cukup banyak mulai dari trading, shipping agent, sampai pompa bensin lepas pantai. Karyawan pun bertambah banyak. Di Lampung saja tercatat sekitar 250 orang karyawan. Kami sempat rutin menyelenggarakan family gathering.
Sejak dari 1998 sampai 2008, aset berkembang dari Rp5 miliar menjadi sekitar Rp350 miliar. Saya stop beli peralatan lagi. Kemudian mitra saya mengambil-alih sebagian saham, semula saham saya 50%, di tahun 2008 tinggal 20%.”

Prahara dalam Keluarga
Di tengah usaha yang terus membuahkan kemajuan dan perkembangan ujian kehidupan pun menyambangi Ardju Fahadaina dan keluarganya. Orang kerap menganggap ujian itu hanya berupa kekurangan harta, penyakit dan rasa was-was akan kehilangan. Bagi Ardju, kelimpahan harta dan kemajuan perusahaan juga merupakan ujian dalam menapaki kehidupan dan amanah dari Allah SWT.  
Setelah beberapa tahun berjalan, Ardju yang sedari awal merekrut sumber daya manusia yang kompeten mulai menghadapi kerikil-kerikil tajam yang sewaktu-waktu bisa membuat terpeleset. Salah satunya aroma kekurang-jujuran dalam pengelolaan perusahaan yang hanya memberikan keuntungan secara tidak proporsional. Sepintas ada praktik gratifikasi. Memang belum sampai menggelincirkan perusahaan. Namun, menurutnya, apabila dibiarkan secara terus-menerus bisa saja berpotensi merobohkan pilar-pilar perusahaan.
Untuk itu, dalam satu kesempatan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Ardju mengusulkan dilakukannya audit internal perusahaan. Tapi, sampai RUPS tahun berikutnya, usulan audit internal itu tidak juga dilakukan. Kekurang-jujuran tidak hanya berhenti di situ. Terlihat pula adanya perlakuan yang kurang proporsional, misalkan seorang karyawan berlatar-pendidikan S-1 Akuntansi diberi gaji dengan standar gaji seorang karyawan berstatus sopir.
Arju pun tidak mau berhenti untuk mengejar tekad perusahaan harus berjalan dalam pengelolaan yang baik dan benar. Dalam bahasa bisnis, perusahaan mesti berjalan pada koridor tata kelola yang baik --good corporate governance (GCG). Dalam bahasa religi, Ardju ingin dikelola dengan membagikan sebagian harta perusahaan kepada yang berhak menerima. Terutama berupa pembagian zakat. Juga pembagian lain seperti infak dan sedekah. Sekali waktu perusahaan pernah mengeluarkan zakat. “Direksi yang membagi, saya kebagian Rp200 juta kemudian saya bagi ke mana-mana. Setelah  itu saya tidak mendengar lagi,” ujar lelaki yang sejak kecil telah menerapkan prinsip pengeluran zakat, infak dan sedekah (ZIS) setiap kali memperoleh rezeqi ini.
Sampai pada suatu waktu, keluarga Ardju ditimpa prahara. Cucunya yang belum genap berumur dua tahun terus-menerus menangis. Bukan tangis biasa yang menimpa si cucu. Bahkan, salah seorang kerabatnya sampai berpesan jangan anggap enteng tangis si cucu. Ada sesuatu di balik tangis cucu yang belum bisa banyak bicara itu. Kerabat ini bernasehat bahwa harus ada orang mampu menangani tangis si cucu agar tidak berkepanjangan. Pendek cerita, sampai satu saat, si cucu susah makan, sulit tidur dan sukar pula buang air besar. Mau tak mau Ardju harus meminta bantuan seorang kawan. Di tengah malam buta, kawan ini diundang ke rumah Ardju di kawasan Bintaro, Tangerang Selatan. Sang kawan mampu menyelesaikan secara baik-baik tangis si cucu.
Keesokan harinya, sebagaimana biasa, Ardju pergi ngantor. Tiba di kantor ternyata ruangan kosong. Semua direksi sedang tidak berada di tempat. Memang ketika itu usai libur panjang. Wajar saja bila banyak karyawan datang telat. Pada siang harinya terdengar kabar salah seorang direktur perusahaan Ardju meninggal dunia usai berolah-raga.
Tak ingin keluarganya terus dirundung prahara tangis si cucu yang telah berjalan tahunan, kemudian Ardju memutuskan melepaskan 20% sahamnya di PT Inti Alasindo Holding Company. “Direktur utama saya cukup pintar memimpin perusahaan ini, berkembang dari Rp5 miliar menjadi sekitar Rp350 miliar. Kalau saya lepas 20% saham yang saya miliki berarti saya bakal menerima Rp70 miliar. Saya langsung tanda tangan pelepasan 20% saham namun hanya dibayar Rp30 miliar. Saya tanda tangan saja karena kasihan sama cucu. Setelah tanda tangan, tidak ada lagi gangguan tangisan cucu,” ujar Ardju mengenang peristiwa tak terlupakan di tahun 2008 itu.
Aneh tapi nyata. Setelah Ardju menanda-tangani pelepasan 20% sahamnya di PT Inti Alasindo Holding Company, tangis si cucu kembali normal, wajahnya penuh keceriaan, dan tak ada lagi tangis penuh misteri.
Ardju berusaha mengambil hikmah di balik prahara yang menimpa keluarganya. Bila dulu dia demikian sulit menerapkan syariat ZIS di perusahaan lama, maka dia ingin membangun usaha baru yang bertumpu pada penyaluran ZIS yang syar’i.

Meninggalkan Apa yang Telah Dibesarkan
Tatkala hendak menanda-tangani pelepasan 20% sahamnya di PT Inti Alasindo Holding Company, batin Ardju sempat bergejolak. Ada perang batin. Betapa tidak, perusahaanya sudah demikian besar, menguasai distribusi elpiji di dua propinsi, keuntungan terus membesar, dan gurita usaha semakin kuat. Betul-betul kondisi yang sangat nyaman. Gaji besar, memperoleh deviden tiap tahun, kantor berlokasi di kawasan bisnis elit Jakarta, dan sudah barang tentu bisa melakukan apa saja yang dikehendaki.
Tapi, gambaran kelimpahan harta beserta rasa nyaman yang menyelimuitnya sirna begitu saja bilamana Ardju merenung bahwa perusahaan itu tidak berjalan di rel yang syar’i dan cucunya bertahun-tahun dirundung tangis yang nyaris tiada habis. Sirna begitu saja manakala dia melihat ketidak-wajaran pada sejumlah mitranya dalam meraup kelimpahan materi. Di mata Ardju, perolehan materi itu jauh di luar pemasukan gaji yang sebenarnya sudah bisa dipakai hidup di atas rata-rata rakyat kebanyakan. Semua semakin menguatkan tekad Ardju untuk meninggalkan perusahaan yang telah dibesarkannya.
“Melihat semua kenyataan itu, rasanya tidak ada masalah meninggalkan perusahaan yang saya benahi dan besarkan selama sekitar 10 tahun itu. Waktu tanda tangan pelepasan saham itu saya benar-benar ikhlas. Sebelum sampai pada putusan itu, saya berdoa dan shalat istikharah. Ya Allah, kalau ini memang baik untuk saya dan keluarga maka permudahkan. Dan uang segitu banyak mestinya bisa saya manfaatkan untuk kebaikan lebih banyak lagi. Mohon ampunan-Mu ya Allah dan karunia hamba rezeqi yang halalan toyiban. Ya Allah bimbinganlah hamba untuk membelanjakan uang ini di jalan-Mu. Saya menyadari uang di tangan ini kan amanah, tidak bisa sembarangan dihabiskan. Itulah yang membuat saya ikhlas. Saya ikhlas, tapi keluarga memang belum tentu ikhlas. Yang berat di situ. Bagaimana upaya saya mengajak istri dan anak-anak merasa ikhlas menghadapi putusan yang tidak mudah ini,” ujar Ardju panjang-lebar mengingat-ingat keputusannya yang cukup menguras energi dan kebesaran hatinya.
Ardju lalu berusaha memberikan pemahaman dan pengertian kepada istri dan anak-anaknya agar semua benar-benar ikhlas dan lapang untuk mendaki kembali area pendakian yang lain. Mengingat Ardju sebagai kepala keluarga, semua bisa menerima keputusannya secara ikhlas. Terlebih lagi, mereka sempat dibuat repot dengan tangis cucu yang di luar akal sehat manusia. Namun hati kecil mereka siapa yang tahu.
Ujar Ardju, “Mereka pasti ada sedikit ganjalan. Bukan soal ikhlas atau tidak ikhlas. Tapi mereka lebih merasa kasihan mengapa di usia sekarang ini saya harus berjibaku membangun usaha, saya mesti turun tangan, dan turun lapangan. Sementara dengan perusahaan sebelumnya, istilah kata, saya hanya duduk manis, melihat laporan keuangan, uang di tangan juga banyak. Saya yakin, terutama anak-anak, bukan karena kenyamanan mereka berkurang atau hilang, mungkin lebih pada rasa kasihan, semakin tua kok bertambah susah, penuh perjuangan lagi.”
Lantaran itulah, ketika Ardju resmi menarik sahamnya dari PT Inti Alasindo Holding Company, salah satu anaknya yang sempat bekerja di sana tidak serta merta harus keluar. Apalagi, pembayaran 20% saham yang dilepasnya dilakukan secara mencicil. Selama belum lunas, secara de facto Ardju masih ‘memiliki’ hak mengawasi perusahaan dan itu diejawantahkan dengan salah satu anaknya untuk tetap bekerja di sana. Setelah semuanya lunas, barulah salah anaknya resmi keluar dari perusahaan.
Memang, aku Ardju, selama masa cicilan itu, kendati anaknya masih bekerja di sana namun kondisinya sudah tidak nyaman, tidak kondusif. Ya sudah tidak nyaman di sana, dia tidak diberi wewenang apapun dalam menjalankan roda perusahaan.
“Kini saya semakin ikhlas. Alhamdulillah penuh rasa syukur. Dulu ketika berkantor di kawasan Jalan Sudirman, begitu buka gordyn ruang kerja, yang terlihat adalah Jakarta dengan segenap kesemrawutannya kendati berlimpah harta. Sekarang di pabrik pengolahan air di Desa Cinagara, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor, yang tampak adalah hijaunya alam. Ternyata nikmatnya berbeda. Dengan melihat sawah, mata terasa lebih sejuk, meskipun dari sisi materi jauh berkurang. Ada kepuasan batin. Di situ saya bisa memahami bagaimana cara bersyukur. Bukan hanya bersyukur harta yang banyak, juga ada nikmat lain yang perlu disyukuri,” tutur Ardju penuh rasa syukur dan ikhlas.
Berkat syukur dan ikhlas, Ardju meyakini, dirinya akan senantiasa diselimuti jiwa yang tenang, rohani yang kuat, amal yang berkesinambungan, mengubah yang mubah dan tradisi menjadi ibadah, tetap memperoleh pahala walau belum menyempurnakan amal, peneguhan dan pertolongan tatkala menghadapi krisis, dan mampu menata kehidupan menjadi lebih baik.
Pengalaman meninggalkan perusahaan dengan segenap kemapanan dan kemewahannya menjadikan Ardju semakin memahami bahwa dunia ini tidak semata-mata urusan harta. Hidup ini bukan cuma demi sepotong roti. Harta hanyalah titipan yang harus dipertanggung-jawabkan nanti di hadapan Allah SWT. Melalui keputusannya yang senantiasa bersandar pada keistaqamahan kepada Allah, Ardju meyakini bahwa Allah akan memberikan jalan yang lebih baik untuk mengisi ruang batinnya. Inilah jalan untuk memenuhi kebutuhan dan memperkaya ruang batin. ***


No comments:

Post a Comment