Program bantuan sosial dari
pemerintah, semisal Bantuan Langsung Tunai (BLT) cenderung
dipolitisasi. Bantuan itu juga tidak mendidik karena mengajarkan
masyarakat meminta-minta tanpa berusaha.
Hal itu merupakan poin yang dikemukakan dalam diskusi buku
'Perlindungan Sosial dan Klientelisme' karya Mulyadi Sumarto yang
digelar di Kampus Fisipol UGM, Bulaksumur, Yogyakarta, Senin (26/5)
siang.
Hadir dalam diskusi tersebut penulis buku, guru besar Australia
National University Edward Aspinall, Direktur Eksekutif Lembaga Survei
Indonesia, Kuskrido Ambardi, dan mantan Wali Kota Blitar, Djarot Saiful
Hidayat.
Mulyadi Sumarto, mengatakan, pembagian BLT menjelang Pemilihan
Presiden 2009 dikenai makna politik cukup besar oleh calon presiden.
Baik suara pro maupun kontra menjadi senjata mendongkrak popularitas.
Ketika kritik terhadap BLT mulai menghilang dari media massa, maka
keriuhan di tingkat elit politik muncul untuk memperebutkan siapa yang
berhak memegang klaim terhadap program tersebut.
Alhasil, tiga calon presiden saat itu yaitu Megawati Soekarnoputri,
Susilo Bambang Yudhoyono, dan Jusuf Kalla, sama-sama menyampaikan klaim
atas program bantuan sosial kompensasi kenaikan harga BBM tersebut.
Mulyadi menjelaskan, sebenarnya saat itu pembagian BLT tidak
benar-benar diperlukan. Bantuan tersebut justru kontraproduktif ketika
kemudian ada pihak berusaha mengklaimnya.
Menurut Kuskrido Ambardi, di balik bantuan sosial terdapat desakan
ekonomi dan kultural yang mengimpit masyarakat dan menggiring pilihan
politik mereka. Meskipun demikian, masih perlu penelitian tersendiri
mengenai dampak pada tingkat individual tersebut.
Ia mengatakan, sebenarnya bantuan sosial merupakan hal yang wajar dan
juga diterapkan di berbagai negara lain, bahkan di negara maju
sekalipun. Mirip di Indonesia, program serupa di negara lain juga
diselimuti permasalahan etis.
Menurut Kuskrido, tidak mudah menghilangkan efek politik dari program
bantuan sosial pemerintah. Ada beberapa cara yang bisa ditempuh untuk
menguranginya, misalnya pemilihan waktu yang tepat sehingga program
bantuan tidak dieksekusi mengikuti siklus pemilu. "Tapi tetap saja
sangat sulit menghilangkan efek politik tersebut," kata Kuskrido.
Sementara itu, Djarot Saiful Hidayat, mengatakan, fenomena money
politic pada Pemilu 2014 saat ini tak bisa dilepaskan begitu saja dari
apa yang terjadi pada gelaran serupa pada 2009. Ia mengatakan, bukan hal
baru bagaimana kemiskinan dipelihara, kemudian dibeli saat ada
kepentingan yang diperjuangkan pelaku politik pragmatis.
Mantan wali kota yang menolak program BLT itu mengatakan, bukan
berarti program populis menjadi hal tabu. "Program populis sifatnya
harus mendidik, jangan membuat malas, apalagi jika berlatarbelakang
motif politik," kata dia. (Tribunjogja.com)
No comments:
Post a Comment