Thursday, June 5, 2014

Kompensasi Kunci Keberlangsungan BPJS

Anggota keluarga peserta PPU yang dijamin maksimal lima orang.

Kehadiran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sebenarnya dimaksudkan untuk mereformasi sistem layanan sosial di Indonesia. Reformasi itu dapat dilihat pada sistem penyelenggaraan, penyelenggara sebagai badan hukum publik, sistem pelayanan berbasis rujukan, dan sistem pembayaran.

Penyelenggaraan BPJS bersifat nirlaba dan dijalankan untuk sebesar-sebesarnya untuk kepentingan peserta. Tetapi tujuan mulia ini harus ditopang kerjasama yang saling menguntungkan antara BPJS dengan pengelola pelayanan kesehatan.

Ketua DPN Apindo Bidang Jaminan Sosial, Timoer Sutanto, berpendapat jika kompensasi yang diterima pengelola pelayanan kesehatan seperti rumah sakit kurang, pelayanan yang diberikan pun akan buruk. Jika kondisi semacam ini terus terjadi, Timoer mengkhawatirkan nasib program BPJS ke depan. “Sustainability­-nya akan terganggu,” kata anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) itu dalam diskusi panel hukumonline‘Kewajiban Pemberi Kerja Pasca Dibentuknya BPJS Kesehatan’ di Jakarta, Rabu (04/6).

Ia juga mengkhawatirkan jika pengelola pelayanan kesehatan mendapat banyak tekanan dari BPJS. Misalnya memaksa rumah sakit untuk terus melayani padahal pembayaran ke rumah sakit tersendat. Menurut Timoer, tekanan yang terlalu banyak bisa melahirkan persoalan baru, dan pada akhirnya merugikan peserta jaminan sosial.

Pada dasarnya ada tiga jenis kepesertaan dalam program jaminan kesehatan, yaitu Pekerja Penerima Upah (PPU), Pekerja Bukan Penerima Upah dan Bukan Pekerja (PBPU-BP), serta Penerima Bantuan Iuran (PBI). Purnawan Basundoro, Direktur Hukum Komunikasi dan Hubungan Antarlembaga BJPS Kesehatan, menjelasan iuran untuk PBI ditanggung oleh pemerintah,  sedangkan PPU dibayar oleh pemberi kerja dan pekerja, PBPU-BP dibayar oleh peserta bersangkutan.

Berkaitan dengan jumlah peserta PPU, Purnawarman menjelaskan anggota keluarga yang dijamin maksimal lima orang. Untuk peserta yang bukan PBI Jaminan Kesehatan, dapat mengikutsertakan anggota keluarga yang lain, seperti anak keempat dan seterusnya, ayah, ibu, dan mertua.

Pembayaran iuran sangat menentukan kunci keberhasilan kerjasama antara BPJS Kesehatan dengan pengelola layanan kesehatan. Berkaitan dengan fasilitas kesehatan, salah satu yang muncul di lapangan adalah sistem rujukan. Selain memperpanjang birokrasi pelayanan kesehatan karena harus ke puskesmas, masalah lain yang muncul adalah ketidaksiapan fasilitas kesehatan melakukan diagnosis. Dokter yang bertugas di puskesmas belum tentu memiliki kemampuan mendiagnosis semua penyakit. Kalau puskesmas tidak bisa mendiagnosis penyakit, apakah peserta bisa langsung ke rumah sakit mendapatkan pelayanan? Sejauh ini, sepengetahuan Timoer, peserta masih diperkenankan. (sumber: http://www.hukumonline.com)

No comments:

Post a Comment