Monday, July 7, 2014

Orang Miskin Wajib Sekolah!


  • Oleh Agus Wibowo

  • Tahun ajaran baru 20- 14/2015 sudah dimulai. Setiap orang tua, terutama yang hendak menyekolahkan putra-putri mereka, sangat sibuk sekali. Mereka berusaha sekuat tenaga agar putra-putri mereka bisa diterima di sekolah negeri. Selain jaminan kualitas, biaya pendidikan di sekolah negeri jauh lebih terjangkau, ketimbang di sekolah swasta.
Bagi mereka yang kebetulan ekonominya terbatas (baca: orang miskin), memilih sekolah negeri juga bukan pekerjaan mudah. Ketika tertutup kesempatan masuk sekolah negeri, maka bisa dipastikan tertutup pula akses orang miskin merasakan empuk dan nyamannya bangku sekolah.
Jumlah orang miskin tidak sedikit di negeri ini. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin di Indonesia belum mengalami penurunan yang signifikan. Data terbaru dari BPS (2014) menemukan 28,55 juta penduduk Indonesia masuk kategori miskin.
Orang miskin di negeri ini lebih sering menjadi mainan, bahkan dagangan politik. Mereka hanya akan diperhatikan bahkan diagung-agungkan ketika proses politik berlangsung. Entah pemilihan umum legislatif, pemilihan presiden (pilpres), pemilihan bupati/wali kota, ataupun pemilihan lurah. Lihat saja bagaimana para calon presiden (capres) berlomba mengumbar janji-janji indah untuk menyejahterakan orang miskin.
Tetapi ketika sang kandidat sudah berhasil meraih kursi kekuasaan, dan proses politik berakhir, orang miskin kembali pada penderitaan mereka. Pendek kata , orang miskin kembali dilupakan hingga proses politik berulang lagi. Ironis sekali!
Akses pendidikan bagi orang miskin sampai dengan tahun ajaran 2013/2014 masih terbatas, terutama di tingkat dasar. Data yang dirilis Balitbang Kemendikbud dan dan Direktorat Jenderal Bimbaga Kemenag setahun lalu menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) masyarakat miskin untuk anak usia SD dan SLTP masih rendah, yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Fenomena demikian juga terjadi pada layanan pendidikan usia dini. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat agar orang miskin bisa sekolah.
Komersialisasi
Agar orang miskin bisa mengenyam bangku pendidikan, pemerintah bersama segenap pemangku kepentingan bersamasama memastikan tidak terjadi komersialisasi. Menurut Malik Fadjar (2008), ketika pendidikan telah menjadi ajang komersialisasi dan ”bisnis”, ia sejatinya telah kehilangan roh pedagogi. Pedagogi merupakan ilmu mengenai proses humanisasi atau memanusiakan manusia dengan landasan moral dan akal budi.
Kita mengenal pedagogi tradisional yang berpusat pada proses pembelajaran peserta didik. Pendidikan yang kental dengan bisnis dan komersialisasi telah menggerus habis roh pedagogis itu. Maka tidak heran jika ia tumpul dan menghadapi kekaburan konsep.
Ketika pendidikan sudah didapat dengan cara mahal, maka yang terlihat adalah paradigma mendapatkan materi agar dapat merebut peluang kerja yang bergaji tinggi.
Sementara persoalan mengenai hakikat manusia, akal budi dan humanisasi tidak dilakukan secara afektif, tetapi sekadar kognitif. Pendek kata, penyelenggaraan pendidikan yang kental bisnis dan komersialisasi, tidak bisa diharapkan bagi penopang kokoh dan tegaknya kualitas bangsa. Itu karena semua serbakapital/ materi; sekolah mahal, anak didik cepat ingin kembali modal! Persoalan pendidikan karakter, moral dan susila hanya nomor sekian.
Sebelum pendidikan kita benar-benar kehilangan roh pedagogis, maka paradigma komersialisasi dan bisnis dengan tujuan keuntungan kapital harus dibuang jauh-jauh. Segenap komponen bangsa harus bahumembahu menciptakan pendidikan yang terjangkau oleh segenap masyarakat, terutama masyarakat miskin.
Pemerintah sebagai pemegang kebijakan, harus segera menata sekaligus mengatur sistem pendidikan, agar tidak semakin mahal. Manajemen pendidikan harus dibuat efektif dan efisien, agar biaya yang dikeluarkan tidak semakin membengkak.
Harus Sekolah!
Pendidikan, kata Mochtar Buchori (1994), adalah pilar peradaban bangsa. Jika berharap bangsa ini bermartabat, maka pendidikan harus menjadi garda depan, serta prioritas utama. Penghalang orang miskin mengenyam bangku pendidikan selain komersialisasi adalah keterbatasan akses. Padahal, jauh hari Ki Hadjar Dewantara sudah memberikan contoh bagaimana agar pendidikan bisa diakses orang miskin. Melalui pawiyatan yang ia beri nama ”Taman Siswa”, Ki Hadjar Dewantara berharap agar pendidikan bisa dinikmati seluruh rakyat tanpa pandang bulu. Pendek kata, Ki Hadjar jauhjauh hari sudah punya ancangan mulia bahwa orang miskin harus sekolah.
Agar anak-anak orang miskin bisa terus sekolah, maka program kerja pemerintah yang pro orang miskin, seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS), program Keluarga Harapan (PKH), dan program Bidikmisi harus terus dilestarikan pemerintah sekarang ataupun yang akan datang. Program Bidikmisi, misalnya, sampai tahun 2013 ini sudah dinikmati lebih dari 149.- 180 mahasiswa yang tersebar pada 98 perguruan tinggi negeri dan 590 perguruan tinggi swasta.
Memasuki tahun kelima, program Bidikmisi diakui merupakan salah satu program terobosan paling konkret dari pemerintah era Presiden SBY yang diharapkan terus dilanjutkan presiden mendatang. Tentu saja koreksi dan evaluasi tetap diperlukan, sepanjang tujuan program ialah membantu mahasiswa kurang mampu agar bisa menggapai cita-cita mereka yang seolah mustahil karena ketiadaan biaya kuliah.
Sebagian besar peserta program Bidikmisi membuat testimoni yang mengharukan, karena bagi mereka, memperoleh kesempatan kuliah di perguruan tinggi merupakan anugerah tak terkira.
Harapan untuk memutus mata rantai kemiskinan benarbenar bisa dilakukan karena ratarata penerima beasiswa Bidikmisi memiliki motivasi yang lebih daripada mahasiswa biasanya. Modal itulah yang diharapkan akan mampu memberikan sumbangan terhadap masa depan Indonesia yang lebih baik.
Akhirnya, kita berharap pada tahun ajaran 2014/2015 ini semakin banyak anak bangsa dari golongan miskin yang mampu mengenyam bangku pendidikan. Melalui pendidikan, diharapkan orang miskin bisa menjalani konversi, baik konversi pengetahuan maupun status sosial. (24)
—Agus Wibowo, peneliti dan konsultan pendidikan, master pendidikan Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.

No comments:

Post a Comment