Saturday, September 20, 2014

Menggantung Asa pada JKN

ANGGA BHAGYA NUGRAHA
Warga antre menunggu dibukanya loket pendaftaran BPJS Kesehatan di Rumah Sakit Tarakan, Jakarta Pusat, Senin (7/7/2014).

Bersama  ketiga temannya, Ody mendatangi Kantor Cabang Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan Jakarta Barat untuk mengecek posisi nomor antrean pendaftaran Jaminan Kesehatan Nasional yang diambilnya pagi hari, Kamis (18/9). 
Meskipun telah memiliki jaminan kesehatan dari tempat dia bekerja, pria berusia 32 tahun itu memutuskan tetap mendaftar sebagai peserta mandiri. "Saya baru mau ajukan.Semoga bisa selesai hari ini,” ujar Ody. 
Keputusannya mendaftar sebagai peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan itu untuk mengantisipasi jika ia sakit. Lagi pula, premi sebagai peserta mandiri dinilai tak terlalu mahal dibandingkan dengan asuransi yang dimilikinya saat ini. Pria yang bekerja di perusahaan alih daya dengan penghasilan Rp 5 juta per bulan itu memilih layanan kelas I dengan premi Rp 59.500 per bulan. ”Saya tak merasa rugi. Siapa tahu saya pindah kerja, sudah ada jaminan kesehatan dari BPJS,” katanya.
Sementara itu, Endro (45), mantan pegawai perusahaan telekomunikasi, menjadi peserta JKN sejak Mei 2014. Menurut Nesti (36), istrinya, Endro sebelumnya menjadi peserta program sebuah perusahaan asuransi swasta. ”Setelah suami terdiagnosis menderita kanker kolorektal, dokter menyarankan kami ikut BPJS,” ujarnya.

Nesti menuturkan, ia dan suaminya mengikuti saran dokter karena persyaratan untuk klaim lebih mudah dibandingkan dengan asuransi komersial. Permohonan klaim asuransi, misalnya, tak dikabulkan jika pemohon menderita penyakit terkait kebiasaan merokok. Peserta asuransi komersial juga harus menjalani serangkaian tes kesehatan. ”Kalau di BPJS, setelah terdaftar, bisa langsung digunakan,” ucapnya.

Tingginya minat terhadap JKN juga terjadi di sejumlah daerah. Marli (27), karyawan perusahaan tambang batubara, mendaftarkan orangtuanya sebagai peserta JKN di Kantor Cabang BPJS Kesehatan Balikpapan. Ia pernah ikut asuransi umum, tetapi klaim asuransi tak kunjung turun saat berobat ke rumah sakit. ”Rasanya lebih asyik ketimbang asuransi umum. Apalagi, ini milik pemerintah, jelas terjamin,” kata Marli.

Sementara itu, Wongkar (52), karyawan swasta yang bermukim di Makassar, Sulawesi Selatan, mendaftarkan dirinya dan tiga anggota keluarga sebagai peserta JKN meski telah memperoleh jaminan kesehatan dari tempat kerjanya. Alasannya, jaminan kesehatan dari kantornya ada batasan maksimal yang bisa diganti. Itu pun hanya berlaku untuk dirinya, tidak untuk berobat jalan anggota keluarga.

Kelas menengah

Sejak diimplementasikan 1 Januari 2014, minat masyarakat mendaftar sebagai peserta JKN masih tinggi. Layanan jaminan kesehatan nasional itu tak hanya dimanfaatkan masyarakat kurang mampu, tetapi kini juga dilirik kalangan masyarakat menengah sebagai jaminan kesehatan agar tak jatuh miskin jika sakit.

Hal itu terlihat dari panjangnya antrean calon peserta, terutama peserta mandiri, yang mendaftar sebagai peserta JKN di kantor-kantor cabang BPJS di Tanah Air. Kantor Cabang BPJS Kesehatan Makassar, misalnya, setiap hari selalu dipenuhi warga yang mendaftar sejak pagi. Tak jarang mereka kehabisan nomor antrean sehingga harus datang hari berikutnya karena antrean dibatasi hanya untuk 350 orang.

”Saya datang pukul 08.00, antrean sudah nomor 200-an,” ujar Junaedi (31), warga Kecamatan Panakukang. Pria yang bekerja sebagai karyawan hotel itu hendak mendaftarkan ibunya menjadi peserta kelas II dengan premi Rp 42.500 per bulan. Ia menyatakan tertarik mendaftarkan ibunya karena menilai JKN bermanfaat jika ibunya sewaktu-waktu sakit.

Tingginya animo masyarakat mendaftar hingga kini tak diduga Kepala Departemen Pemasaran dan Kepesertaan BPJS Kesehatan Divisi Regional Sulawesi Selatan Adi Siswadi. Semula, ia menduga antrean calon peserta hanya terjadi dalam tiga bulan pertama program JKN.

Melampaui target

Data BPJS Kesehatan menunjukkan, secara nasional jumlah peserta BPJS Kesehatan saat ini 127 juta orang. Jumlah itu melampaui target tahun 2014 yang sebesar 121,6 juta orang. Menurut Kepala BPJS Kesehatan Fachmi Idris, untuk mengurangi antrean di kantor cabang, warga bisa mendaftar melalui internet di laman BPJS Kesehatan. Namun, tak semua orang mengerti cara itu.

Setelah menjadi peserta, setiap peserta berhak mendapat pelayanan kesehatan di tempat pelayanan kesehatan tingkat pertama, seperti puskesmas, hingga rumah sakit (RS) rujukan secara berjenjang. Ada 1.586 RS rujukan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.

Peserta penerima bantuan iuran dalam JKN adalah masyarakat tak mampu yang preminya dibayari pemerintah. Selain itu, ada peserta mandiri yang terdiri dari pekerja penerima upah, pekerja bukan penerima upah, dan bukan pekerja.

Ada tiga kelas yang bisa dipilih peserta mandiri, yakni kelas III dengan premi Rp 25.500 per bulan, kelas II dengan premi Rp 42.500 per bulan, dan kelas I dengan premi Rp 59.500 per bulan.

Kepala Departemen Humas BPJS Kesehatan Irfan Humaidi menjelaskan, BPJS Kesehatan memiliki skema koordinasi manfaat (COB) dengan asuransi swasta. Dengan skema itu, peserta BPJS Kesehatan yang memiliki polis asuransi kesehatan lain bisa mengombinasikan pemakaiannya untuk mendapat layanan kesehatan optimal.

Tingginya minat terhadap JKN mencerminkan tingginya harapan untuk mendapat layanan kesehatan yang baik. Namun, ada sejumlah masalah terkait JKN. Salah satunya, sebagian RS swasta belum mau bergabung dalam JKN karena tarif layanan yang bisa diklaim terlalu rendah. Padahal, daya tampung RS pemerintah terbatas. Akibatnya, mutu layanan pun belum memuaskan. (http://health.kompas.com/)

No comments:

Post a Comment