Oleh: Agus Widjanarko
KOMPAS.com - Kabar gembira bagi kita semua, tentu terutama bagi warga miskin, rentan miskin, ataupun tidak mampu. Memenuhi janji saat kampanye, pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla mewujudkan salah satu agenda prioritasnya dalam Nawacita.
Kartu Indonesia Sehat (KIS) diluncurkan secara resmi pada awal November 2014. Dibandingkan dengan Kartu Indonesia Pintar (KIP) ataupun Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), KIS tampak lebih banyak mendapatkan sorotan dan menjadi ajang perdebatan. Ini terjadi karena sesungguhnya berdasarkan Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS), sejak Januari 2014 Indonesia telah memberlakukan BPJS Kesehatan yang merupakan program jaminan kesehatan bagi seluruh penduduk Indonesia.
KIS dan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola BPJS Kesehatan nyaris mempunyai semangat yang seirama dalam pembiayaan dan penjaminan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin. Pembiayaan keduanya juga bersumber dari APBN dalam mata anggaran kegiatan Belanja Bantuan Sosial. Hanya saja, secara legalitas formal, BPJS Kesehatan justru berjalan dengan payung hukum yang lebih kuat, yakni undang-undang.
Mengacu pada Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) dan UU BPJS, jelas bahwa jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas dengan tujuan menjamin peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan.
Manfaat peserta tentu tidak hanya sebatas menerima pelayanan kesehatan tingkat pertama yang biasanya dilayani puskesmas atau fasilitas pelayanan dasar milik swasta yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, tetapi juga dapat diberikan pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan di berbagai rumah sakit sesuai dengan sistem dan jenjang rujukannya. Karena itu, tidak jarang ditemui pasien RS Cipto Mangunkusumo yang berasal dari pedalaman Kalimantan Barat, atau pasien RS Sutomo yang dirujuk dari pulau-pulau Nusa Tenggara Barat.
Jaminan kesehatan yang diselenggarakan secara nasional ini juga dimaksudkan untuk mewujudkan kendali mutu dan kendali biaya dalam pelayanan kesehatan, memperkuat layanan kesehatan primer dan sistem rujukannya, serta mengutamakan upaya promotif preventif dalam pelayanan kesehatan untuk menekan kejadian penyakit sehingga orang yang berobat berkurang dan pembiayaan kesehatan menjadi lebih efisien.
Beberapa penyempurnaan
Penjelasan resmi dari Kementerian Kesehatan (Kompas, 3/11) menegaskan bahwa KIS akan menyempurnakan JKN. Penyempurnaan pertama dalam hal penambahan jumlah cakupan Penerima Bantuan Iuran (PBI). Setidaknya hingga akhir tahun ini akan menambah 4,4 juta jiwa, selain dari keluarga miskin, juga dari kelompok gelandangan, anak telantar, difabel, dan warga miskin yang selama ini belum tercakup oleh BPJS Kesehatan.
Di samping itu, yang kedua, KIS akan secara otomatis mencakup penyediaan pelayanan dan perawatan bagi bayi yang baru lahir dari keluarga miskin, sebuah jaminan yang tidak dapat serta-merta diperoleh dalam BPJS Kesehatan. Manfaat KIS juga akan ditambahkan sehingga peserta tidak hanya mendapatkan layanan pengobatan ketika sakit, tetapi juga penyediaan upaya promotif preventif, penapisan dan deteksi dini terhadap berbagai penyakit.
Mencermati penyempurnaan-penyempurnaan yang diketengahkan program KIS, mengingatkan kita semua pada jaminan sosial kesehatan yang digulirkan pada era pemerintahan SBY, yaitu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Peserta Jamkesmas teridentifikasi dari kartu yang dimilikinya. Namun, pelayanan juga diberikan kepada penduduk dengan kriteria tertentu, walaupun mereka tidak memegang Kartu Jamkesmas.
Peserta nonkartu tersebut adalah para gelandangan, pengemis, anak dan orang telantar, serta masyarakat miskin penghuni panti sosial, lembaga pemasyarakatan, dan rumah tahanan. Selain itu adalah bagi peserta Program Keluarga Harapan (PKH)—yang saat ini barangkali dijelmakan menjadi KKS—bayi dan anak yang lahir dari kedua orangtua atau salah satu orangtuanya peserta Jamkesmas, korban bencana pasca tanggap darurat, sasaran jaminan persalinan, penderita talasemia mayor, serta penderita kejadian ikutan pasca imunisasi.
Mengembalikan muatan layanan Jamkesmas
Dengan mengklaim KIS mempunyai layanan kesehatan lebih dibandingkan JKN yang dikelola BPJS Kesehatan, sejatinya KIS bisa jadi didorong untuk mengembalikan muatan-muatan layanan Jamkesmas yang sempat "dihilangkan" ketika melebur dalam sistem BPJS Kesehatan. Dalam beberapa kasus, Jamkesmas adalah bantuan sosial yang sangat didambakan oleh pesertanya, bahkan mampu memantik kecemburuan peserta Askes dari kalangan pegawai negeri sipil karena pelayanannya yang lebih komprehensif.
Oleh karena itu, kebijakan untuk tidak menempatkan KIS sebagai sesuatu yang baru dan beda terhadap BPJS Kesehatan merupakan langkah yang tepat. KIS memang lebih baik melengkapi kekurangan dan kelemahan layanan yang disediakan BPJS Kesehatan. Nama KIS tampaknya akan tertera pada kartu JKN, menggantikan dan atau ditambahkan pada tulisan BPJS Kesehatan. Pada akhirnya, meminjam dan mengadaptasi ungkapan khas, kita bisa berujar: apalah arti sebuah kartu….
Agus Widjanarko
Penanggung Jawab Persakmi Kota Pasuruan; Alumnus S-2 Kesehatan Masyarakat UGM
Penanggung Jawab Persakmi Kota Pasuruan; Alumnus S-2 Kesehatan Masyarakat UGM
No comments:
Post a Comment