Sudah harmonisasi. Tinggal finalisasi. Khawatir terbit pada detik-detik terakhir menjelang 1 Juli 2015.
BPJS Ketenagakerjaan (BPJSTK) akan beroperasi secara penuh pada 1 Juli
2015 dengan menggelar empat program yakni Jaminan Kecelakaan Kerja
(JKK), Jaminan Kematian (JKm), Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan
Pensiun (JP). Untuk menjalankan program-program itu, dibutuhkan sejumlah
peraturan teknis.
Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan, Elvyn G Masassya, menjelaskan Pemerintah sedang menyusun sejumlah peraturan pelaksana. Elvyn mengatakan proses penyusunannya sudah masuk tahap finalisasi.
Untuk program JKK dan JKm akan diatur dalam 1 PP. Kemudian, program JP dan JHT masing-masing 1 PP. Berkaitan dengan operasional BPJSTK, saat ini juga sedang dilakukan revisi PP No. 99 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. “Untuk bisa beroperasi penuh pada 1 Juli 2015, saat ini dalam tahap finalisasi 3 RPP dan 1 revisi PP,” katanya dalam diskusi yang digelar BPJSTK di Bandung, Kamis (29/1).
Mengenai RPP JKK dan JKm, Elvyn mengatakan sudah diharmonisasi Kemenaker, Kemenkeu, Kemenkumham dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) serta melibatkan BPJSTK. RPP itu antara lain membahas program JKK yang mengarah pada pemulihan peserta untuk kembali bekerja (return to work).
Ketika program JKK dan JKm berjalan, manfaat yang diterima bukan saja kepada peserta tapi juga anaknya. Sebab, dalam program itu melekat layanan tambahan berupa beasiswa yang otomatis diberikan kepada anak peserta. Beasiswa itu diberikan jika peserta bersangkutan meninggal akibat kecelakaan kerja atau mengalami kematian. Elvyn menjelaskan manfaat tambahan itu tidak ada dalam program JKK dan JKm yang sebelumnya digelar PT Jamsostek.
Besaran iuran JKK, dikatakan Elvyn, dalam RPP itu tercantum 0,3 persen dari upah dan iuran JKm sebesar 0,24-1,74 persen. Selain pekerja penerima upah, program JKK dan JKm juga menyasar pekerja bukan penerima upah. Dengan besaran iuran tidak menggunakan presentase tapi nominal sekitar Rp6.000-6.500 untuk satu orang setiap bulan.
Terkait program JHT, Elvyn menjelaskan, terjadi perubahan manfaat peserta. Dalam RPP JHT, setiap peserta diberi akses untuk mendapat pinjaman uang muka perumahan dan pinjaman biaya perumahan atau dikenal dengan KPR. Bunganya pun lebih rendah, tidak seperti yang ada di pasar.
Setelah 10 tahun, peserta bisa mengalokasikan saldonya untuk menambah biaya kepemilikan rumah. Misalnya, seorang peserta mau membeli rumah, dia bisa mengambil beberapa persen saldo JHT untuk menambah dana yang digunakan untuk membeli rumah. Besaran prosentase yang boleh dialokasikan masih dalam finalisasi dalam RPP yakni antara 10-30 persen dari JHT.
Namun, untuk program Jaminan Pensiun, besaran iurannya masih jadi perdebatan. Dalam pembahasan RPP terakhir disepakati jumlah iurannya 8 persen yakni 5 persen dibayar pemberi kerja dan 3 persen pekerja. “Untuk (RPP,-red) program JP itu sudah selesai pembahasan substansinya, tinggal besaran iurannya,” ujarnya.
Kemudian, mengenai revisi PP No. 99 Tahun 2013, Elvyn menyebut ada beberapa hal yang jadi fokus tim penyusun. Diantaranya, alokasi dana investasi ke sektor properti yang saat ini 5 persen direvisi jadi 10-30 persen. Itu penting direvisi karena tahun ini BPJS TK punya program baru yakni menyediakan perumahan untuk pekerja.
Revisi PP No. 99 Tahun 2013 itu diperlukan guna menunjang program pembangunan perumahan bagi pekerja itu agar terlaksana. Jenis perumahan yang akan dibangun yakni rumah susun sederhana sewa (rusunawa), rumah susun sederhana milik sendiri (rusunami) dan landed house. Pembangunannya, sebagian ada yang ditangani BPJSTK secara langsung dan sisanya bekerjasama dengan pihak lain.
Direktur Pelayanan dan Pengaduan BPJSTK, Achmad Riadi, mengatakan dalam beroperasi secara penuh pada 1 Juli 2015 BPJSTK akan bekerjasama dengan sejumlah pihak termasuk BPJS Kesehatan. Koordinasi yang dilakukan dengan BPJS Kesehatan diantaranya untuk memberi pelayanan yang cepat kepada peserta ketika terjadi kecelakaan kerja.
Ketika terjadi kecelakaan kerja, Riadi melanjutkan, harus segera dibawa ke RS terdekat. Jika yang bersangkutan bukan peserta JKK BPJSTK maka ditangani oleh BPJS Kesehatan. Tapi kalau yang mengalami kecelakaan kerja itu peserta JKK maka BPJSTK turun tangan. “Kami akan memberikan pelayanan secara cepat untuk melayani peserta,” ucapnya.
Terpisah, koordinator advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, khawatir berbagai peraturan pelaksana BPJS Ketenagakerjaan baru diterbitkan pemerintah saat detik akhir menjelang 1 Juli 2015. Padahal, berbagai peraturan yang mengatur program yang diselenggarakan BPJSTK itu penting untuk dikeluarkan jauh-jauh hari agar masyarakat bisa memberikan masukan.
“Peraturan pelaksana itu jadi tugas pemerintah untuk segera diterbitkan. Kami khawatir seperti pelaksanaan BPJS Kesehatan, peraturan itu baru diterbitkan saat injury time,” pungkasnya. (www.hukumonline.com)
Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan, Elvyn G Masassya, menjelaskan Pemerintah sedang menyusun sejumlah peraturan pelaksana. Elvyn mengatakan proses penyusunannya sudah masuk tahap finalisasi.
Untuk program JKK dan JKm akan diatur dalam 1 PP. Kemudian, program JP dan JHT masing-masing 1 PP. Berkaitan dengan operasional BPJSTK, saat ini juga sedang dilakukan revisi PP No. 99 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. “Untuk bisa beroperasi penuh pada 1 Juli 2015, saat ini dalam tahap finalisasi 3 RPP dan 1 revisi PP,” katanya dalam diskusi yang digelar BPJSTK di Bandung, Kamis (29/1).
Mengenai RPP JKK dan JKm, Elvyn mengatakan sudah diharmonisasi Kemenaker, Kemenkeu, Kemenkumham dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) serta melibatkan BPJSTK. RPP itu antara lain membahas program JKK yang mengarah pada pemulihan peserta untuk kembali bekerja (return to work).
Ketika program JKK dan JKm berjalan, manfaat yang diterima bukan saja kepada peserta tapi juga anaknya. Sebab, dalam program itu melekat layanan tambahan berupa beasiswa yang otomatis diberikan kepada anak peserta. Beasiswa itu diberikan jika peserta bersangkutan meninggal akibat kecelakaan kerja atau mengalami kematian. Elvyn menjelaskan manfaat tambahan itu tidak ada dalam program JKK dan JKm yang sebelumnya digelar PT Jamsostek.
Besaran iuran JKK, dikatakan Elvyn, dalam RPP itu tercantum 0,3 persen dari upah dan iuran JKm sebesar 0,24-1,74 persen. Selain pekerja penerima upah, program JKK dan JKm juga menyasar pekerja bukan penerima upah. Dengan besaran iuran tidak menggunakan presentase tapi nominal sekitar Rp6.000-6.500 untuk satu orang setiap bulan.
Terkait program JHT, Elvyn menjelaskan, terjadi perubahan manfaat peserta. Dalam RPP JHT, setiap peserta diberi akses untuk mendapat pinjaman uang muka perumahan dan pinjaman biaya perumahan atau dikenal dengan KPR. Bunganya pun lebih rendah, tidak seperti yang ada di pasar.
Setelah 10 tahun, peserta bisa mengalokasikan saldonya untuk menambah biaya kepemilikan rumah. Misalnya, seorang peserta mau membeli rumah, dia bisa mengambil beberapa persen saldo JHT untuk menambah dana yang digunakan untuk membeli rumah. Besaran prosentase yang boleh dialokasikan masih dalam finalisasi dalam RPP yakni antara 10-30 persen dari JHT.
Namun, untuk program Jaminan Pensiun, besaran iurannya masih jadi perdebatan. Dalam pembahasan RPP terakhir disepakati jumlah iurannya 8 persen yakni 5 persen dibayar pemberi kerja dan 3 persen pekerja. “Untuk (RPP,-red) program JP itu sudah selesai pembahasan substansinya, tinggal besaran iurannya,” ujarnya.
Kemudian, mengenai revisi PP No. 99 Tahun 2013, Elvyn menyebut ada beberapa hal yang jadi fokus tim penyusun. Diantaranya, alokasi dana investasi ke sektor properti yang saat ini 5 persen direvisi jadi 10-30 persen. Itu penting direvisi karena tahun ini BPJS TK punya program baru yakni menyediakan perumahan untuk pekerja.
Revisi PP No. 99 Tahun 2013 itu diperlukan guna menunjang program pembangunan perumahan bagi pekerja itu agar terlaksana. Jenis perumahan yang akan dibangun yakni rumah susun sederhana sewa (rusunawa), rumah susun sederhana milik sendiri (rusunami) dan landed house. Pembangunannya, sebagian ada yang ditangani BPJSTK secara langsung dan sisanya bekerjasama dengan pihak lain.
Direktur Pelayanan dan Pengaduan BPJSTK, Achmad Riadi, mengatakan dalam beroperasi secara penuh pada 1 Juli 2015 BPJSTK akan bekerjasama dengan sejumlah pihak termasuk BPJS Kesehatan. Koordinasi yang dilakukan dengan BPJS Kesehatan diantaranya untuk memberi pelayanan yang cepat kepada peserta ketika terjadi kecelakaan kerja.
Ketika terjadi kecelakaan kerja, Riadi melanjutkan, harus segera dibawa ke RS terdekat. Jika yang bersangkutan bukan peserta JKK BPJSTK maka ditangani oleh BPJS Kesehatan. Tapi kalau yang mengalami kecelakaan kerja itu peserta JKK maka BPJSTK turun tangan. “Kami akan memberikan pelayanan secara cepat untuk melayani peserta,” ucapnya.
Terpisah, koordinator advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, khawatir berbagai peraturan pelaksana BPJS Ketenagakerjaan baru diterbitkan pemerintah saat detik akhir menjelang 1 Juli 2015. Padahal, berbagai peraturan yang mengatur program yang diselenggarakan BPJSTK itu penting untuk dikeluarkan jauh-jauh hari agar masyarakat bisa memberikan masukan.
“Peraturan pelaksana itu jadi tugas pemerintah untuk segera diterbitkan. Kami khawatir seperti pelaksanaan BPJS Kesehatan, peraturan itu baru diterbitkan saat injury time,” pungkasnya. (www.hukumonline.com)
No comments:
Post a Comment