* DUA
Paulus
mengatakan, ”Kami ingin bertingkah laku jujur dalam segala perkara.” (Ibrani 13:18)
PEKERJA
keras, kreatif dan rajin membantu orang tua memperkuat denyut ekonomi keluarga.
Kuat dalam keinginan, cerdas dalam melangkah, cermat mengantisipasi dan
senantiasa fokus pada apa yang telah dimulainya. Demikianlah sedikit karakter
yang telah tertanam kuat dalam diri seorang Marukan Hendrik dalam menapaki titian
kehidupan –baik keseharian maupun karir profesional.
Karakter tersebut
terbentuk tak terlepas dari peran ayahnya yang seorang petani di Desa Bayat, Kecamatan
Belantikan Raya, Kabupaten Lamandau. Di masa kecil Marukan, Desa Bayat hanya
sebuah desa nun jauh di wilayah pedalaman Kawedanan Bulik, Kabupaten
Kotawaringin Barat. Untuk ke ibukota kabupaten (Pangkalan Bun) membutuhkan
waktu 3-4 hari dengan perahu klotok. Ayah Marukan adalah seorang petani yang
ulet dan rajin mengembangkan keterbatasan sumber daya alam yang ada di
hadapannya. Ayahnya tidak terpaku pada keterbatasan yang kadang membelenggu
ruang gerak seorang petani.
Sedikit tentang Desa
Bayat, data terakhir tahun 2012, sekitar
80 persen penduduknya hidup sebagai petani, terutama petani padi. Warga desa
yang berada pada ketinggian 88 meter di atas permukaan laut (mdl) dan
kemiringan tanah 15-25 derajat itu masih menggunakan kayu bakar untuk memasak
dan belum memiliki penerangan umum yang memadai. Di sini baru terdapat satu
unit Taman Kanak-kanak, 3 SD negeri, satu SMP dan satu SMA. Dan terdapat dua
masjid serta tiga gereja (2 gereja Kristen dan 1 gereja Katolik).
Kembali ke perjalanan
hidup seorang Marukan Hendrik. Ringkas cerita, di akhir 1960-an, ketika Marukan
masih duduk di kelas empat SD Negeri Bayat, ayahnya mengajarkan kiat berladang
yang baik dan menuai hasil optimal, lebih dari sekadar membantu kegiatan orang tua
di ladang. Lebih dari semata-mata membuat pagar ladang dan membabat rumput. Lebih
dari sekadar ikut memanen padi. Ayahnya memberikan kebebasan penuh kepada
Marukan untuk mengelola ladang secara mandiri, tidak seperti kebanyakan
anak-anak seusianya di masa itu yang hanya sebatas membantu orang tua berladang.
Saat masih duduk di kelas
empat SD itu, Marukan diserahi ladang seluas kira-kira 25x100 meter persegi. Dalam
usia kanak-kanak, mengolah ladang seluas itu tentulah bukan pekerjaan mudah.
Tapi, Marukan mampu, bahkan sampai dua tahun berturut-turut. Dia mampu menebar
benih padi secara pas pada luasan lahan yang tepat. Sampai pula dia berhasil
memanen hasil padinya dua kali. Panen yang sarat manfaat dan arti bagi
kehidupan Marukan di usia masih kanak-kanak. Manfaat dan arti kehidupan yang bagaimana?
Marukan bercerita:
“Waktu panen
pertama, saya bisa beli ranjang. Saya beli ranjang besi. Di masa itu, ranjang
besi menjadi tolok ukur orang kaya di desa saya. Selain itu, saya juga dapat
beli lampu petromaks, dulu mereknya King,
Swan atau Solar. Kemudian pada panen
kedua, duduk di kelas lima, saya bisa panen padi lalu dijual buat beli mesin
jahit mereka Butterfly.
Dapat dibayangkan bagaimana
pengalaman saya umur segitu kan, sudah membantu orang tua dan juga menghasilkan
duit. Masuk kelas 6 SD, tahun 1971, saya tidak lagi berladang. Karena saya fokus
menghadapi ujian akhir sekolah. Kalau masih harus berladang, pikirannya saya
agak buyar. Sementara itu saya punya tekad melanjutkan sekolah ke jenjang yang
lebih tinggi lagi. Sebenarnya antara keinginan dan kondisi itu sangat
dilematis. Satu sisi ada keinginan kuat melanjutkan sekolah. Di sisi lain, saya
merasa khawatir karena harus keluar kampung halaman, khawatir nanti tinggal dengan
siapa di tempat lain, makan bagaimana, dan kekhawatiran bagaimana ongkos
sehari-hari.”
A. Ke Pangkalan Bun Merenda Asa
Marukan bertekad kuat
untuk melanjutkan sekolah ke jenjang sekolah lanjutan pertama. Namun, waktu itu
belum ada SMP di Desa Bayat. Bahkan di ibukota kecamatan saja masih dalam
rintisan, belum terlihat jelas kiprah sebuah sekolah setingkat SMP. Sebab itu,
Marukan mencari sekolah SMP di ibukota Kabupaten Kotawaringin Barat, Pangkalan
Bun. Dengan menggenggam restu kedua orang-tuanya, Marukan berangkat ke
Pangkalan Bun guna merenda asa yang lebih berpengharapan di masa depan. Berkat
prestasi yang lumayan bagus saat lulus dari SD Negeri Bayat, dia tidak
mengalami kesulitan saat mendaftar dan langsung diterima sebagai siswa baru di
SMP Negeri 1 Pangkalan Bun.
“Akhirnya, saya berangkat
ke Pangkalan Bun. Setelah lulus ujian SD tahun 1971, saya mendaftar dan
diterima masuk kelas 1-B SMP Negeri 1 Pangkalan Bun,” tutur Marukan mengenang
langkah pertamanya keluar dari Desa Bayat mencari pengharapan yang lebih menjanjikan.
Rasanya mustahil bila
Marukan mesti ulang-alik setiap hari dari Desa Bayat ke Pangkalan Bun yang di
awal 1970-an itu harus ditempuh berhari-hari dengan menumpang perahu klotok. Setelah
semua urusan administrasi pendaftaran siswa baru di SMP Negeri 1 Pangkalan Bun
selesai, Marukan mencari kerabatnya yang mukim di Pangkalan Bun. Sampai lah
ketemu rumah salah seorang kerabatnya. Dia pun meminta izin menumpang di sana.
Namun, keadaan keluarga
yang ditumpangi Marukan dapat dikata tidaklah cukup mampu sebagaimana keadaan
warga Pangkalan Bun ketika itu pada umumnya. Cukup setahun saja dia tinggal di
rumah salah seorang kerabat.
Memasuki tahun kedua
sekolah di SMP Negeri 1 Pangkalan Bun, dia pamit pada kerabatnya untuk mencari
tempat tumpangan yang lain. Dia sempat beberapa kali berpindah. “Saya waktu itu
tinggal di tempat orang karena tidak ada tempat tinggal lagi. Hampir tidak ada
yang bisa diharapkan karena kondisi Pangkalan Bun termasuk parah juga,” ujar
Marukan.
Lantaran ikut orang lain,
Marukan harus berjuang agar tetap dapat bersekolah dan makan sehari-hari. Dia
mesti berjuang setiap hari demi ½ piring nasi dengan lauk ikan kering yang
digoreng atau dibakar. Dia benar-benar harus berjuang agar ketika berangkat
sekolah dalam keadaan perut terisi sehingga dapat berkonsentrasi menerima
pelajaran hari itu. Dan, berkat perjuangan yang cukup keras, saban pagi dia
memperoleh setengah piring nasi berlauk ikan kering. Ternyata sarapan bukanlah
sesuatu yang gratis.
Lantas perjuangan macam
apa yang dilakukan oleh Marukan yang beranjak remaja waktu itu? Sungguh tidak
mudah. Setiap hari dia bangun jam empat pagi, sebelum pemilik rumah bangun.
Lantas dia menyapu lantai, mencuci piring, merebus air, memberi makan ternak, dan
mengangkut air dari sumur ke rumah yang jaraknya cukup jauh. Terkadang pula mencangkul
di ladang milik tuan rumah. Pekerjaan itu belum berhenti di situ. Di sela-sela mandi
pagi, dia mencuci pakaian keluarga yang ditumpanginya. Baru kemudian dia
sarapan pagi dan bersiap pergi ke sekolah. Begitulah rutinitas saban hari
Marukan. Terkadang usai sarapan belum bisa serta merta melenggang ke sekolah, karena
diserahi tugas momong anak sang tuan rumah. Dan di saat momong, si anak tuan
rumah kadang kencing atau buang air besar diam-diam dan mengotori pakaian
sekolah Marukan. Karenanya itu pula, dia kerap terlambat tiba di sekolah.
Sepulang sekolah, perjuangan
mesti berlanjut. Sampai di rumah, Marukan langsung makan siang. Pekerjaan menyapu
lantai pun telah menunggu. Tuntas menyapu lantai, dia berangkat ke hutan
mencari kayu bakar. Ibarat sekali dayung dua-tiga pulau terlampaui, di hutan,
dia tidak sekadar mencari kayu bakar. Dia sekaligus kita cari sayur (kelakai)
dan memancing ikan di lokasi semacam empang yang kadang ada di tengah hutan.
Kayu bakar yang didapat
pun tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan sang tuan rumah yang
ditumpanginya. Muncul pikiran kreatif Marukan mencari celah buat mencari uang
jajan. Dia berikan kayu bakar seperlunya sesuai kebutuhan sehari-hari sang tuan
rumah lalu sisanya dijual kepada warga yang memerlukan.
“Selain untuk kayu bakar
di rumah, sebagian saya jual untuk membeli buku dan pulpen. Kadang kalau banyak
bisa buat beli kaos dan celana. Untuk menambah uang saku, saya kadang juga
bekerja di toko material milik orang Cina. Di sana saya bekerja menggunting
sirap, atap yang terbuat dari kulit kayu. Saya renceng agar bagus. Dulu upahnya
Rp5 untuk 1000 untaian. Setelah merenceng 2.000 sampai 3.000 sirap atau setara
upah Rp10 atau Rp15, orang Cina itu menawari es lilin. Ya saya ambil, satu es
lilin harganya Rp5. Jadi hasil kerja itu habis buat beli es lilin saja. Syukurlah,
kalau beli sendiri kan tidak mampu. Pada masa itu es lilin sangat populer,”
tutur Marukan ihwal kesehariannya masa SMP di Pangkalan Bun.
Acapkali di ujung senja dia
baru sampai di rumah. Di rumah sudah menunggu pekerjaan mencuci piring, memasak
air, dan menanak nasi. Sampai datangnya waktu makan malam tiba. Begitulah
romantika sehari-hari Marukan selama menapaki bangku sekolah SMP.
Lantas kapan Marukan
belajar mengulang pelajaran yang telah lewat atau mempersiapkan pelajaran esok
hari? Dia mengaku sangat mudah menyerap materi pelajaran di sekolah dan
mengulang sekilas di rumah. Itu pula yang membuatnya tetap bersemangat bersekolah
di ibukota Kabupaten Kotawaringin Barat tersebut.
Dia mengangggap pekerjaan
sehari-hari di rumah yang ditumpanginya bukan sebuah beban. Dia sudah terbiasa dan
rajin bekerja (berladang membantu orang tua) sejak dini di kampung halamannya
Desa Bayat. Kendati aktif bekerja di masa berada di kampung halaman, prestasi
Marukan selama SD bagus-bagus. Prestasi bagus itu pun berlanjut ketika menapaki
bangku SMP di Pangkalan Bun.
“Yang luar biasa dapat
saya ceritakan, baca buku sekali saja saya langsung ingat alur cerita. Kalau
kemudian dua kali baca, saya sampai ingat titik-koma yang ada di dalam naskah
buku itu. Daya ingat saya termasuk luar biasa. Sampai sekarang daya ingat saya
masih belum terlalu rusak. Nah, itu yang membuat saya terus bersemangat dan
tidak terganggu oleh pekerjaan-pekerjaan rumah tangga di tempat yang saya
tumpangi,” Marukan berkisah.
B.
Masuk
SMA Negeri Pangkalan Bun Menikmati Pengalaman Asrama
Tak terasa tiga tahun sudah Marukan remaja
mengarungi kehidupan di Pangkalan Bun. Tahun ajaran 1974, dia lulus dari SMP
Negeri 1 Pangkalan Bun dengan nilai memuaskan. Memasuki tahun ajaran 1975, dia
mendaftarkan diri dan diterima sebagai siswa baru di SMA yang menjadi favorit
para lulusan SMP di Kabupaten Kotawaringin Barat, yakni SMA Negeri 1 Pangkalan
Bun.
Memasuki bangku sekolah SMA,
Marukan tidak lagi tinggal menumpang di rumah kerabat atau keluarga yang
bersedia ditumpangi. Marukan remaja ketika itu rupanya sempat bersentuhan
dengan seorang pastur Katolik yang tengah aktif menyebarkan agama. Sang pastur
asal Polandia itu tertarik pada pribadi dan keaktifan Marukan di sela-sela
sekolahnya. Sampai kemudian, dari penganut Kaharingan, dia jadi memeluk Katolik
Roma.
Serta merta, Marukan
remaja ditarik ke lingkungan gereja Katolik di Pangkalan Bun. Bahkan, dia
lantas ditampung di lingkungan gereja. Dapat dikatakan boleh tinggal pada sebuah
asrama di lingkungan gereja dan di bawah asuhan seorang pastur.
“Di SMA itulah, saya
masuk Katolik dan saya dibina oleh seorang pastur. Meski di gereja tapi tidak
membuat saya menganggur. Ceritanya di bawah bimbingan orang Barat itu kami
didisiplinkan, bangun pagi, ibadah, dan menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan atau
aktivitas di lingkungan gereja. Kemudian berangkat sekolah dan baru pulang sore
hari. Di sore hari, kami juga ditugasi menyelesaikan pekerjaan dan mengikuti
aktivitas rutin peribadatan di gereja,” tutur Marukan. Kendati hidup dalam
disiplin asrama gereja Katolik, dia tetap mampu menyalurkan bakat berusaha
mencari-cari tambahan uang saku.
Waktu SMA tersebut,
Marukan tinggal di asrama pelajar asal pedalaman yang berlokasi di pinggir Sungai
Arut. Di asrama itu, menurutnya, kehidupan semakin sulit karena suasana
Pangkalan Bun tidak jauh berbeda dibandingkan ketika dirinya masih SMP. Selama
di SMP, dia hanya merasa sulit bekerja, sedangkan makan (pagi, siang dan malam)
dijamin keluarga yang ditumpanginya. Di asrama, terkadang dia sampai kehabisan
beras. Orang-tuanya di Desa Bayat jarang mengirim beras. Kalaupun mengirim akan
memakan waktu relatif lama. “Saya pernah sampai dua hari nggak makan. Sampai-sampai harus meminta atau menunggu penghuni
kamar sebelah yang membawa makanan berbagi ke saya,” ujar Marukan penuh
keharuan mengenang masa-masa SMA yang sulit dilupakan di Pangkalan Bun.
Di bawah bimbingan
pastur, Marukan tidak hanya belajar soal kedisiplinan diri dan menjalankan
kewajiban yang diajarkan agamanya. Secara langsung dia juga berlajar Bahasa
Inggris dari sang pastur yang berasal dari daratan Eropa. Berkat intensitas
berlajar Bahasa Inggris secara langsung dari sumbernya, dia jadi mahir dan
menjadi modal penting berprestasi.
Kendati dalam masa-masa sulit,
Marukan memang cukup berprestasi di SMA. Hal ini tercermin pada perhatian sang
pastur pembimbing selama di asrama yang menyarankannya kuliah setelah lulus
dari SMA Negeri 1 Pangkalan Bun tahun 1977. Sang Pastur menyarankan agar
dirinya melanjutkan kuliah di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
C.
Ajaran
Kejujuran dari Seorang Pastur
Selain belajar ihwal
disiplin dan Bahasa Inggris, pelajaran penting yang diterima Marukan dari sang
pastur adalah sikap dan nilai kejujuran. Satu cerita, setelah sang pastur
menyarankan agar dia melanjutkan kuliah di Banjarmasin memberi bekal Rp2.500
untuk ongkos naik kapal ke ibukota Provinsi Kalimantan Selatan tersebut.
“Waktu saya mau ke Banjarmasin,
pastur memberi uang Rp2.500. beliau berkata ‘Kamu saya dukung melanjutkan
sekolah, ini surat pengantar untuk asrama dan ini surat bea siswa’. Pastur juga
menekankan saya agar naik kapal saja, ongkosnya murah, Rp2500,” kata Marukan.
Namun Marukan tidak
seketika itu langsung berangkat ke Banjarmasin. Dia menyempatkan diri pulang
menemui kedua orang-tuanya di Desa Bayat. Dia berpamitan pada kedua
orang-tuanya karena mau melanjutkan kuliah ke Banjarmasin. Karena kedua orang-tuanya
tidak memiliki cukup uang, mereka lalu menjual sapi yang diatas-namakan Marukan.
Waktu itu, seekor sapi atas nama Marukan laku dijual seharga Rp175.000. Dan
uang hasil penjualan sapi tersebut menjadi bekal tambahan Marukan menempuh
perjalanan ke Banjarmasin.
Syahdan. Tatkala hendak
berangkat ke Banjarmasin melalui pelabuhan di Pangkalan Bun rupanya suaca
tengah kurang bersahabat. Ombak di Laut Jawa sedang tinggi. Marukan lantas
mengurungkan niatnya menumpang kapal ke Banjarmasin. Dengan duit hasil
penjualan sapi, Marukan kemudian membeli tiket pesawat terbang menuju
Banjarmasin.
Marukan tidak
memberi-tahukan ke pastur tentang kepergiannya ke Banjarmasin naik pesawat
terbang. Apa daya, pastur pun tahu kalau dirinya naik pesawat terbang ke
Banjarmasin. Sontak, sang pastur memarahi Marukan.
Lantas Marukan sedikit
berbohong. Bahwa dia bisa naik pesawat terbang ke Banjarmasin setelah menerima
uang dari Kepala SMA Negeri 1 Pangkalan Bun sebagai apresiasi atas prestasi
yang diraihnya saat kelulusan. Tiba di Keuskupan Banjarmasin bertemu pastur di
sana, dia tidak memberitahukan ihwal dirinya naik pesawat dari Pangkalan Bun.
Setelah agak lama
menunggu, Marukan disambut langsung seorang pastur di keuskupan tersebut. Dengan
ramah, pastur menerima kedatangan Marukan, bahkan menyebut-nyebut nama Marukan
seolah telah lama kenal. Lalu dia pun menyerahkan surat pengantar dari pastur
di Pangkalan Bun. Apa yang terjadi kemudian sungguh di luar dugaan Marukan. Dia
langsung tidak boleh tinggal di asrama khusus orang-orang tidak mampu yang ada
di lingkungan keuskupan. Dia disuruh menginap di hotel atau tinggal kos
berbayar.
Marukan berkisah tentang
pengalamannya yang teramat pahit secara agak mendalam:
“Sampai di
keuskupan Banjarmasin, saya menunggu agak lama. Uskup sendiri yang membukakan
pintu dan menerima kedatangan saya. Uskup langsung bertanya, ‘Marukan ya?’ Ya,
uskup. Senang sekali rasanya Uskup langsung tahu nama saya. Namun apa yang saya
dapatkan kemudian, Uskup langsung mengucap: ‘Marukan, kamu anak orang kaya,
tidak berhak tinggal di sini, tinggal di hotel saja’. Rupanya Uskup Banjarmasin
sudah dapat kabar dari Pastur Pangkalan Bun yang mengatakan bahwa saya orangnya
tidak jujur, berbohong, pura-pura miskin. Pastur Pangkalan Bun menelepon agar
Uskup membatalkan izin tinggal Marukan di Keuskupan karena dinilai sebagai
orang yang tidak baik. Saya menangis luar biasa. Memang kemudian saya dibukakan
pintu masuk ke Keuskupan namun hanya boleh tidur satu malam, besoknya harus
pindah. Saya disuruh makan tapi nggak
bisa makan karena sudah tahu apa yang akan terjadi besok.
Saya langsung
tidur saja dan esok harinya saya sengaja telat bangun. Ternyata tepat jam enam
pagi, pintu kamar saya sudah diketuk Uskup. ‘Marukan bangun, ini sudah jam enam,
segera pindah dari sini, cari tempat lain. Bersyukur saya dikasih nomor telepon
seorang kawan yang sudah lebih dulu bersekolah di Banjarmasin. Saya telepon kawan
tersebut dan kebetulan nyambung. Saya minta tolong jemput di Keuskupan. Akhirnya
saya dijemput juga. Di Banjarmasin kemudian ditampung di kerabat kawan saya
tersebut. Sampai waktunya kemudian saya mendaftar di Universitas Lambungmangkurat.”
Setelah agak lama berada
di Banjarmasin, barulah Marukan tahu bahwa, sesaat dirinya berangkat ke
Banjarmasin, pastur pembimbingnya di Pangkalan Bun langsung mengecek dan menghubungi
Kepala SMA Negeri 1 Pangkalan Bun yang dikatakannya memberi uang sebagai
apresiasi atas prestasi kelulusan. Lantaran memang tidak memberikan uang,
Kepala SMA Negeri 1 berterus-terang bahwa dirinya tidak memberikan uang sepeser
pun kepada Marukan. Pastur lalu berkesimpulan Marukan sudah tidak jujur alias
berbohong. Sontak pastur Pangkalan Bun menelepon Uskup Banjarmasin untuk
memberitahukan apa-apa yang telah dilakukan oleh Marukan terhadap dirinya. Rupanya
Marukan tidak tahu apa yang dilakukan pastur pembimbingnya yang menyelidik
ihwal dari mana dia memperoleh ongkos naik pesawat terbang.
Nilai kejujuran menjadi
demikian penting ditanamkan oleh sang pastur kepada anak bimbingannya.
Sebagaimana tercermin dari pengalaman Marukan yang telah berbohong menerima
hadiah dari Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Pangkalan Bun. Memang kebohongan yang
dilakukan Marukan tidak merugikan sang pastur. Tapi, sekali berbohong akan
ditutup kebohongan pula. “Saya benar-benar terkesan dengan ajaran kejujuran
yang ditanamkan oleh pastur yang membimbing saya di Pangkalan Bun. Ajaran nilai
kejujuran dari pastur itu terus melekat sampai sekarang. Dan, itu saya terapkan
juga dalam memimpin Kabupaten Lamandau sekarang ini,” ujar Marukan Hendrik yang
kini menapaki periode kedua (2013-2018) memimpin Kabupaten Lamandau.
D.
Kejujuran
sebagai Modal Utama dan Prasasti Kehidupan
Biasanya, jujur cenderung
hanya diartikan sebatas mengatakan apa yang sebenarnya. Dengan kata lain tidak
berkata bohong. Padahal kejujuran mempunyai banyak aspek.
Kejujuran adalah perkataan
yang tidak membutuhkan penegasan. Sebagaimana tersurat dalam, “Jika Ya, hendaklah kamu katakan Ya. Jika Tidak, hendaklah kamu katakan Tidak.
Apa yang lebih daripada itu berasal dari si jahat.” (Matius 5:3-7)
Jujurlah
dalam segala hal. Orang tua selalu senang melihat anak
mereka belajar pentingnya kejujuran sebagai pondasi kehidupan. Demikian pula
Bapak surgawi kita, ”Allah kebenaran”. (Mazmur 31:5) Sewaktu mengamati kita
bertumbuh ke kematangan rohani, Ia senang melihat kita berupaya jujur. Karena
kita ingin menyenangkan Dia dan tetap berada dalam kasih-Nya, perasaan kita
sama seperti yang dinyatakan rasul Paulus, ”Kami ingin bertingkah laku jujur
dalam segala perkara.” (Ibrani 13:18) Tapi, terkadang kita mungkin merasa
sangat sulit untuk jujur dalam beberapa bidang kehidupan.
Jujur
kepada diri sendiri. Kesulitan pertama adalah belajar jujur
kepada diri sendiri. Sebagai manusia yang tidak sempurna, kita mudah sekali
menipu diri. Misalnya, Yesus memberi tahu orang Kristen di Laodikia bahwa
mereka telah membohongi diri dengan berpikir bahwa mereka kaya, padahal
kenyataannya mereka ”miskin, buta, dan telanjang” secara rohani—keadaan yang
sungguh menyedihkan. (Penyingkapan 3:17) Dengan menipu diri, situasi mereka
justru semakin berbahaya.
Kita mungkin juga
mengingat peringatan sang murid Yakobus, ”Jika seseorang menganggap dirinya
orang yang beribadat namun tidak mengekang lidahnya, tetapi terus menipu hatinya,
bentuk ibadat orang ini sia-sia.” (Yakobus 1:26) Jika kita berpikir bahwa
ibadat kita akan tetap diperkenan Yehuwa sekalipun kita menggunakan lidah
dengan tidak sepatutnya, maka kita sebenarnya menipu hati kita. Ibadat kita
kepada Yehuwa akan sia-sia, sama sekali tidak berguna.
Dalam ayat-ayat yang lain,
Yakobus menyamakan kebenaran firman Allah dengan sebuah cermin. Ia menasihati
kita agar meneliti hukum Allah yang sempurna dan membuat penyesuaian yang
dibutuhkan. (Yakobus 1:23-25) Alkitab dapat menuntun kita untuk jujur kepada
diri sendiri dan melihat apa yang perlu kita lakukan untuk memperbaiki diri.
(Ratapan 3:40; Hagai 1:5) Kita juga bisa berdoa kepada Yehuwa dan meminta-Nya
memeriksa kita, membantu kita melihat apakah ada kesalahan serius, lalu
mengakuinya dan memperbaiki diri. (Mazmur 139:23, 24)
Ketidakjujuran adalah
kelemahan yang tidak kentara. Dan pandangan kita tentang hal itu harus sama
dengan pandangan Bapak surgawi. Amsal 3:32 berkata, ”Orang yang belat-belit
memuakkan bagi Yehuwa, tetapi Ia akrab dengan orang-orang yang lurus hati.”
Yehuwa dapat membantu kita memiliki perasaan yang sama dengan perasaan-Nya dan
melihat diri sendiri seperti Ia melihat kita. Ingatlah perkataan Paulus, ”Kami
ingin bertingkah laku jujur.” Kita tidak dapat menjadi sempurna sekarang,
tetapi kita dengan tulus ingin dan sungguh-sungguh berupaya jujur.
Kejujuran
dalam keluarga. Kejujuran hendaknya menjadi ciri khas
keluarga Kristen. Karena itu, suami dan istri harus terbuka dan jujur kepada
satu sama lain. Dalam perkawinan Kristen tidak boleh ada perbuatan najis yang
menyakiti hati seperti menggoda lawan jenis, memupuk hubungan gelap melalui
Internet, atau menggunakan pornografi dalam bentuk apa pun. Ada orang Kristen
yang sudah menikah yang melakukan perbuatan salah seperti itu dan
menyembunyikannya dari teman hidupnya. Dengan berbuat demikian ia tidak jujur.
Perhatikan kata-kata Raja Daud yang setia, ”Aku tidak duduk dengan orang-orang
yang tidak benar; dan dengan orang yang menyembunyikan siapa diri mereka, aku
tidak bergaul.” (Mazmur 26:4) Jika kita sudah menikah, jangan sekali-kali
melakukan sesuatu yang bisa membuat kita tergoda untuk menyembunyikan keadaan kita
yang sesungguhnya dari teman hidup.
Kejujuran
dalam sidang. Pergaulan dengan rekan-rekan Kristen memberi
kita banyak kesempatan untuk mengembangkan kejujuran. Kita perlu berhati-hati
dalam menggunakan karunia berbicara, khususnya di antara saudara-saudari rohani
kita. Obrolan ringan bisa dengan begitu mudah berubah menjadi gosip yang
berbahaya, bahkan fitnah. Kalau kita meneruskan cerita yang sumbernya tidak
jelas, kita mungkin membantu menyebarkan dusta, sehingga jauh lebih baik untuk
menahan bibir kita. (Amsal 10:19)
Sebaliknya, kita mungkin
mengetahui sesuatu itu benar, tapi tidak berarti bahwa hal itu layak
dibicarakan. Contohnya, masalah itu mungkin bukan urusan kita atau mungkin
tidak pengasih untuk membicarakannya. (1 Tesalonika 4:11) Ada orang yang
menganggap bahwa ucapan yang kasar sama dengan kejujuran, tapi kata-kata kita
hendaknya selalu menyenangkan dan pengasih. (Kolose 4:6)
Sangatlah penting untuk
jujur kepada mereka yang mengambil pimpinan di sidang. Orang yang melakukan
perbuatan salah yang serius akan memperparah problemnya kalau ia mencoba
menutup-nutupi dosanya dan berdusta kepada para penatua sidang sewaktu ia
ditanya. Orang seperti itu bahkan mulai bermuka dua, berpura-pura melayani
Yehuwa padahal terus melakukan dosa serius. Malah, haluan tersebut menjadi pola
hidup seseorang. (Mazmur 12:2) Yang lain lagi, tidak memberitahukan seluruh
fakta kepada para penatua tapi menyembunyikan fakta-fakta penting. (Kisah
5:1-11) Orang berlaku tidak jujur sering kali karena mempercayai dusta yang
disebarkan oleh setan.
Yang juga penting adalah
jujur kepada organisasi Yehuwa pada waktu kita menjawab pertanyaan secara
tertulis. Misalnya, apabila melaporkan kegiatan kita dalam pelayanan, kita
tidak akan memalsukan fakta. Demikian pula, ketika mengisi formulir permohonan
untuk hak istimewa dinas tertentu, kita sama sekali tidak boleh memberikan
gambaran yang tidak benar tentang keadaan kesehatan kita yang sesungguhnya atau
aspek lain dari kehidupan kita. (Amsal 6:16-19)
Pun kita perlu jujur
kepada rekan-rekan seiman dalam soal bisnis. Kadang-kadang, saudara dan saudari
Kristen mungkin melakukan bisnis bersama. Mereka hendaknya berhati-hati,
memisahkan hal itu dari ibadat yang mereka lakukan di Balai Kerajaan atau dalam
pelayanan. Kegiatan bisnis bisa berupa hubungan antara majikan dan karyawan.
Jika kita mempekerjakan seorang saudara atau saudari, kita tentu akan
memperlakukan mereka secara jujur, membayar gaji mereka tepat waktu, sesuai
dengan kesepakatan, dan disertai uang tunjangan yang telah diatur atau dituntut
oleh hukum. (1 Timotius 5:18; Yakobus 5:1-4) Sebaliknya, bila kita menjadi
karyawan seorang saudara atau saudari, kita akan bekerja sebaik mungkin
sehingga layak menerima gaji kita. (2 Tesalonika 3:10) Kita tidak mengharapkan
perlakuan istimewa karena hubungan rohani kita, seolah-olah majikan kita wajib
memberi kita waktu bebas kerja, tunjangan, atau keuntungan lain yang tidak
diberikan kepada karyawan lain. (Efesus 6:5-8)
Kejujuran
di lingkup sekuler. Kejujuran seorang Kristen tidak terbatas
pada lingkup sidang. Paulus mengatakan, ”Kami ingin bertingkah laku jujur dalam
segala perkara.” (Ibrani 13:18) Berkenaan dengan masalah bisnis, Pencipta kita
sangat berminat akan kejujuran. Dalam buku Amsal saja, ada empat ayat yang
menyebutkan tentang timbangan yang tidak benar. (Amsal 11:1; 16:11; 20:10, 23)
Pada zaman dulu, timbangan dan anak timbangan lazim digunakan dalam transaksi
bisnis untuk menimbang barang yang dibeli dan uang yang digunakan untuk
membelinya. Pedagang yang tidak jujur menggunakan dua macam anak timbangan dan
timbangan yang tidak akurat untuk menipu dan mencurangi pelanggan mereka. Yehuwa
membenci perbuatan seperti itu. Agar tetap berada dalam kasih-Nya, kita dengan
tegas menjauhi segala macam ketidak-jujuran dalam bisnis.
Karena Setan adalah
penguasa dunia ini, kita tidak heran bahwa ketidak-jujuran ada di mana-mana.
Setiap hari kita bisa menghadapi godaan untuk tidak jujur. Pada waktu menulis
riwayat hidup untuk melamar pekerjaan, orang umumnya berdusta dan
membesar-besarkan fakta, mengarang-ngarang surat rekomendasi dan
melebih-lebihkan pengalaman mereka. Sewaktu mengisi formulir imigrasi, pajak,
asuransi, dan formulir lain yang serupa, mereka umumnya memberikan jawaban yang
tidak benar demi mendapatkan apa yang diinginkan. Dan, ketika berurusan dengan para
pejabat yang korup, orang sering memberikan uang suap untuk memperoleh apa yang
diinginkan. Kita mengantisipasi perilaku semacam itu di dunia yang penuh dengan
’pencinta diri sendiri, pencinta uang, dan orang yang tidak mengasihi
kebaikan’. (2 Timotius 3:1-5)
Orang Kristen sejati
bertekad untuk tidak melakukan hal-hal itu. Yang adakalanya mempersulit orang
untuk jujur ialah bahwa orang yang tidak jujur tampaknya sukses dan bahkan maju
di dunia dewasa ini. (Mazmur 73:1-8) Sementara itu, orang Kristen barangkali
menderita kemiskinan karena ingin tetap jujur ”dalam segala perkara”. Apakah
pengorbanan tersebut ada gunanya? Tentu.
Dalam kehidupan, tidak
ada hal yang bisa dianggap lebih berharga daripada reputasi sebagai orang yang
jujur dan dapat dipercaya. Dan, coba pikir—siapa pun dapat membangun reputasi
seperti itu. Hal ini tidak bergantung pada bakat, kekayaan, penampilan, latar
belakang sosial, atau faktor lain apa pun di luar kendali Saudara. Meskipun
demikian, banyak orang gagal memperoleh harta berupa reputasi yang baik. Hal
itu sesuatu yang langka. (Mikha 7:2)
Kejujuran benar-benar
merupakan pondasi kehidupan yang amat berharga. Dan Marukan Hendrik sangat
menjunjung tinggi prinsip dan nilai kejujuran dalam menapaki titian kehidupannya,
baik dalam diri sendiri, dalam keluarga, dalam pelayanan rohani maupun dalam
urusan pelayanan pemerintahan (duniawi). Dia meyakini benar kejujuran adalah
modal utama kehidupan yang harus terus dirawat agar memperoleh reputasi
terbaik. (*)
No comments:
Post a Comment