Friday, May 24, 2013

KJS bisa menjadi barometer Pelaksanaan BPJS



Program Kartu Jakarta Sehat (KJS) bisa menjadi pilot project dari pelaksanaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Sukses atau gagal KJS bisa menjadi contoh implementasi BPJS Kesehatan pada 1 Januari 2014.

Pemerintah pusat harus bisa memperbaiki kekurangan dari program unggulan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dan wakilnya, Basuki Tjahaja Purnama. Agar tak terantuk batu kedua kalinya, pemerintah pusat juga harus bergegas.
Mundurnya 16 rumah sakit swasta yang menjadi mitra  KJS bisa menjadi bukti program ini belum 100% sempurna. Pemerintah pusat bisa mencontoh langkah Jokowi yang terbilang cepat tanggapan atas masalah ini.

"Jika rumah sakit punya masalah dalam kerjasama ini, silakan datang dan diselesaikan baik-baik. Jangan langsung mundur," tandas Jokowi kepada KONTAN, Rabu (22/5/2013). Toh, tak ada masalah yang tak bisa diselesaikan.
Menurut mantan walikota Solo ini, persoalan KJS tidak bisa diputuskan sendiri karena melibatkan Kementerian Kesehatan (Kemkes). Maklum, kata Jokowi, sukses tidaknya KJS bisa menjadi rujukan penyelenggaraan BPJS Kesehatan.

Jokowi memastikan program KJS tetap akan jalan, meski ada aksi mundur sebagian rumah sakit.  Bahkan dalam waktu dekat.  DKI akan membagikan 1,7 juta KJS tahap kedua. "Kami maju terus, sistem KJS akan diperbaiki,"  ujarnya.
Sekadar mengingatkan, dalam menjalankan program KJS, Pemprov DKI Jakarta menggelontorkan dana Rp 1,2 triliun dari APBD 2013. Dana ini untuk menanggung  biaya premi kesehatan Rp 23.000 per bulan bagi 4,7 juta warga miskin di Jakarta.

Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki T. Purnama mengatakan,  dana sebesar itu memang belum memadai, masih dibutuhkan dana sekitar Rp 2,5 triliun hingga Rp 3 triliun agar optimal. Lewat penambahan anggaran, premi KJS dari semula cuma Rp 23.000 bisa dinaik menjadi Rp 50.000 per orang per bulan.

Dari sinilah, pemerintah pusat harus berkaca. Pasalnya, premi yang diusulkan pemerintah pusat lebih kecil dari Rp 15.000 per orang per bulan. Dengan begitu, total dana yang disiapkan untuk 86,4 juta peserta BPJS sebesar Rp 16,7 triliun.Sedangkan, untuk dana cadangan BPJS Kesehatan disiapkan bujet sebesar Rp 2,7 triliun.

Rendahnya iuran jaminan kesehatan ini kelak bisa membuat rumah sakit swasta memprotes, laiknya protes KJS.  Rumah sakit merugi lantaran biaya layanan mereka membengkak. Berlakunya  Indonesia-Case Base Groups (INA-CBG's) juga membuat klaim dari rumah sakit yang dibayarkan PT Askes hanya rata-rata 30% sampai 50% dari yang diajukan rumah sakit.
Ihwalnya, rumah sakit masih menggunakan penghitungan tarif berdasarkan  per layanan kesehatan alias fee for service. Sedangkan, INA-CBG's menerapkan sistem paket atau borongan.

Kepala Dinas Kesehatan Pemprov DKI Jakarta Dien Emmawati menjelaskan INA-CBG's yang akan digunakan BPJS dan kini diuji coba di KJS ditentukan oleh rumah sakit. "INA-CBG's dibuat oleh rumah sakit dan Kemkes tapi ditolak juga oleh rumah sakit sehingga harus dibahas lagi," paparnya.

Hanya, Dien berharap penyedia layanan kesehatan tidak mencari untung terlalu besar. "Kami akan perbaiki sistemnya. Jika mereka tetap merasa tidak nyaman dengan sistem ini, kami tak bisa memaksa," tandasnya.

Wakil Ketua Komisi E DPRD DKI Jakarta Igo Ilham mendesak Pemprov DKI  segera  melakukan evaluasi komprehensif terkait kisruh KJS. Persoalan menyangkut KJS ini memang cukup rumit. "Selain klaim dari rumah sakit, ada masalah lain seperti tidak adanya upaya menyadarkan masyarakat agar mindset kesehatan tidak kuratif melainkan preventif," terangnya.  Bagaimana dengan BPJS ke depan?

No comments:

Post a Comment