GUBERNUR
DKI Jakarta Joko Widodo alias Jokowi tengah menghadapi ujian untuk mewujudkan
salah satu janji kampanyenya, yakni merealisasikan kartu Jakarta sehat (KJS).
Kemudahan jaminan kesehatan bagi warga miskin tersebut adalah salah satu contoh
bagaimana sebuah daerah otonom semestinya dikelola.
KJS
tentu adalah sebuah pertaruhan. Bukan hanya pertaruhan bagi seorang Jokowi dan
Jakarta. KJS juga akan menjadi barometer bagi daerah lain di pelosok nusantara.
Jika DKI yang memiliki pendapatan daerah triliunan rupiah saja gagal menjamin
kesehatan warganya, tentu daerah lain dengan kapasitas fiskal minim semakin
sulit memperhatikan kebutuhan dasar publik tersebut.
Belum
genap setahun memimpin ibu kota, Jokowi sudah membagikan KJS. Sebagaimana
sebuah program baru, masalah tentu menjadi hal yang tak mungkin absen. Ini
membuat DPRD setempat ingin mengajukan hak interpelasi kepada gubernur.
Interpelasi itu tentu menjadi hak lembaga legislatif yang tak perlu
dibesar-besarkan. Namun, jika menganggap program KJS harus dihentikan karena
banyaknya masalah, tentu hal tersebut merupakan pendapat yang terburu-buru.
Pembagian
KJS membuat banyak rumah sakit yang ditunjuk kewalahan menerima pasien. Banyak
warga kelas menengah, yang biasanya mudah mendapatkan layanan rumah sakit,
mengalami kesulitan karena membeludaknya pasien. Di masa tertentu, tak jarang
ada yang sulit mendapatkan kamar kosong.
Ini
tentu memprihatinkan. Sebab, ternyata, kapasitas rumah sakit di DKI sekalipun
masih belum mampu menampung kebutuhan kesehatan masyarakat. Warga miskin yang
dirujuk ke rumah sakit tentunya tidak mungkin berpura-pura sakit. Mereka adalah
orang-orang yang selama ini menderita sakit, namun tidak punya uang untuk
berobat. Timbul pertanyaan, jika selama ini belum ada KJS, bagaimana nasib
mereka?
Soal
kapasitas rumah sakit dan hal teknis lain memang harus segera diselesaikan.
Tetapi, program semacam KJS harus tetap dijalankan. Pada 2014, secara nasional
sudah harus ada jaminan kesehatan melalui BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial). Jika masalah masalah seperti di DKI tidak bisa dituntaskan, sulit
berharap BPJS bisa dijalankan secara nasional.
Pada
2010, Presiden Amerika Serikat Barack Obama telah mempertaruhkan fiskal
negerinya untuk mengegolkan jaminan kesehatan bagi warga miskin. Obama
ditentang oleh banyak warga kaya raya yang di sana adalah mayoritas. Sebab,
bagi si kaya, program itu akan meninggikan pajak mereka. Dalam konteks lain,
program Jokowi juga tidak akan membuat nyaman kelas menengah di Jakarta yang menjadi
kesulitan mendapatkan layanan rumah sakit karena membeludaknya pasien.
Yang
dilakukan Obama dan Jokowi mungkin memang tak sebanding. Namun, intinya,
pembelaan terhadap warga miskin harus menjadi prioritas yang tidak hanya manis
dalam kampanye saja. (*)
No comments:
Post a Comment