Oleh KHUDORI
Anggota Pokja Ahli Dewan
Ketahanan Pangan Pusat, Penggiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI),
Penulis Buku ”Ironi Negeri Beras”
HARGA
bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi akan naik pertengahan bulan ini. Harga
premium naik Rp2.000 per liter menjadi Rp6.500 per liter, sedangkan harga solar
naik Rp1.000 perliter menjadi Rp5.500 per liter.
Menurut
kalkulasi pemerintah, penaikan harga BBM itu akan membuat inflasi melonjak
menjadi 7,2 persen, melampaui target 4,9 persen. Bagi warga miskin, inflasi
merupakan momok menakutkan. Sedikit saja terjadi lonjakan harga, baik barang
maupun jasa, daya beli mereka anjlok. Kemiskinan bisa membengkak. Itulah
sebabnya, banyak ekonom menyebut inflasi sebagai “perampok uang rakyat”.
Tanpa intervensi, menurut kalkulasi
pemerintah, angka kemiskinan pada 2013 meningkat jadi 11,85–12,10 persen.
Padahal, target yang disepakati pemerintah dan DPR pada APBN 2013 adalah
9,5–10,5 persen. Per September 2012 warga miskin berjumlah 28,594 juta (11,66
persen). Untuk mencegah kemiskinan membengkak, pemerintah merancang kompensasi
penaikan harga BBM bersubsidi buat warga miskin. Jumlah kompensasi mencapai
Rp30 triliun. Dengan kompensasi, pemerintah yakin target kemiskinan tercapai.
Ada
lima program kompensasi yang disiapkan pemerintah. Pertama, program
infrastruktur dasar di 2.450 desa dari 8.230 desa dengan tingkat kemiskinan di
atas 50 persen. Dengan tambahan alokasi Rp6 triliun, total anggaran program ini
menjadi Rp17,7 triliun. Kedua, Beras untuk Rakyat Miskin (Raskin) untuk 15,5
juta rumah tangga sasaran. Jika semula dianggarkan 12 bulan, kini ditambah
menjadi 15 bulan. Alokasi tambahan anggarannya senilai Rp4,3 triliun sehingga
total alokasinya menjadi Rp21,9 triliun.
Ketiga,
program keluarga harapan untuk 2,4 juta rumah tangga miskin sasaran. Dengan
tambahan Rp0,7 triliun, total anggarannya jadi Rp3,6 triliun. Semula nilainya
Rp1,5 juta per rumah tangga, mulai semester II-2013 naik jadi Rp1,8 juta per
rumah tangga. Keempat, program beasiswa untuk siswa miskin. Dengan tambahan
dana Rp7,5 triliun, total anggaran program ini jadi Rp12 triliun. Kelima,
Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) senilai Rp11,6 triliun untuk 15,5
juta rumah tangga miskin sasaran. Selama lima bulan mereka mendapat bagian
Rp150.000 per bulan per rumah tangga.
Dari
lima skema itu, empat program sudah berjalan sejak awal tahun. Setelah harga
BBM naik skala dan cakupan diperluas. Satu-satunya skema yang akan berjalan
adalah BLSM. Pada masa lalu BLSM dinamai Bantuan Langsung Tunai (BLT). Saat
harga BBM naik pada 2005 dan 2008, salah satu kompensasinya adalah BLT.
Pertanyaannya, akankah kalkulasi inflasi dan angka kemiskinan itu akan mewujud dalam
kenyataan?
Pertanyaan
ini layak diajukan karena kalkulasi semacam ini dilakukan dengan sejumlah
asumsi yang tak mungkin mewakili realitas sesungguhnya. Hasilnya bisa saja
melenceng. Contohnya, pada 2005 pemerintah dua kali menaikkan harga BBM dengan
total kenaikan sebesar 87 persen. Dengan memanfaatkan kalkulasi LPEMFEUI,
pemerintah yakin kenaikan harga BBM disertai program kompensasi akan menurunkan
jumlah penduduk miskin, dari 16,43 persen menjadi13,87 persen.
Kenyataannya
kenaikan BBM mendongkrak inflasi menjadi 17,1 persen dan jumlah warga miskin
justru naik, dari 15,97 persen jadi 17,75 persen (BPS, 2007). Mengapa ini
terjadi? Selain asumsi yang meleset, jantung masalahnya karena kita tidak
memiliki basis data kemiskinan yang akurat dan tunakarakter kemiskinan. Data
yang tidak mengenali karakter kemiskinan hanya akan membuat kita tersesat.
Tantangan
besar dalam pelbagai program perlindungan sosial adalah menggapai rumah tangga
sasaran secara efisien, tepat, dan akurat (penargetan). Di Indonesia ada
beragam program perlindungan sosial seperti program BLT, Program Keluarga
Harapan, Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Raskin, dan Beasiswa untuk
Siswa Miskin. Meskipun sasarannya sama-sama keluarga atau rumah tangga miskin,
pelbagai program itu menggunakan metodologi penargetan dan data yang berbeda
sebagai sasaran.
Berbagai
penelitian menunjukkan sebagian besar dari program-program tersebut tidak
akurat dalam mencapai kelompok rumah tangga miskin yang menjadi target program.
Salah satu yang bisa dipersoalkan adalah sasaran program BLSM. Pemerintah tentu
menggunakan sumber data terpadu dari Pendataan Program Perlindungan Sosial 2011
(PPLS 2011). Data PPLS 2011 yang dikumpulkan BPS cukup baik.
Data
tidak anonim karena mencakup nama dan alamat calon penerima bantuan sosial.
PPLS menyediakan nama dan alamat 24 juta rumah tangga dengan kondisi sosial
ekonomi terendah dari sekitar 96,7 juta jiwa data yang dihimpun atau mencakup
42,5 persen rumah tangga dinegeri ini. Target BLSM tahun ini 15,5 juta rumah
tangga. Artinya, tidak semua rumah tangga yang terdata dalam PPLS menjadi
penerima BLSM. Pertanyaannya, apa dasar penentuan 15,5 juta rumah tangga itu?
Mengapa
8,5 juta lainnya tak menerima? Perlu disadari, kemiskinan itu bersifat dinamis
dari waktu ke waktu. Adanya perbedaan waktu saat data PPLS dikumpulkan (2011)
dengan implementasi BLSM (2013) perlu diperhitungkan dengan cermat. Dalam
rentang itu pasti ada keluarga yang pindah, dari miskin jadi tidak miskin lagi,
atau sebaliknya, dari tidak miskin malah jatuh miskin. Agar tepat sasaran,
pembaruan data harus dilakukan. Ini untuk mencegah munculnya inclusion dan
exclusion error dalam penyaluran BLSM.
Inclusion
error terjadi jika orang yang seharusnya tidak menerima BLSM justru menerima.
Sebaliknya, exclusion error terjadi saat orang yang harusnya menerima BLSM
justru tidak menerima. Pemerintah harus belajar dari program BLT 2005 dan 2008
yang kisruh di sejumlah daerah. Banyak warga yang merasa jauh lebih miskin
sehingga lebih berhak menerima dana kompensasi justru tidak menikmatinya.
Contohnya,
karena terus-menerus didemo warga miskin, kantor BPS Solo ditutup dan dijaga
polisi. Menurut keterangan Ketua BPS Solo Karyoto, dari pendataan awal tercatat
28.837 keluarga miskin. Setelah diusulkan ke pusat, hanya 22.219 yang disetujui
sebagai penerima BLT. Kasus serupa, dengan berbagai variasinya, banyak terjadi
di berbagai daerah. Ini, sekali lagi, menunjukkan, betapa tidak andalnya (baca:
miskin) data kemiskinan yang kita miliki.
Maraknya
persoalan di lapangan menunjukkan ada disparitas angka orang miskin yang tidak
pernah sinkron di negeri ini. Ini menandakan, pemerintah tidak sepenuhnya
mendalami akar persoalan yang dialami warganya. Sensus atau pendataan ulang
barangkali menjawab sebagian persoalan. Tapi, data itu bisa jadi belum lengkap.
Karena itu, identifikasi penyebab kemiskinan mereka yang dilakukan dengan
wawancara mendalam secara partisipatif perlu dilengkapi.
Dalam
konteks ini, berlaku logika makro-mikro: warga kabupaten/ kotalah yang lebih
tahu sebab-sebab kemiskinan di daerahnya, bukan pemerintah pusat, yang cuma
tahu hutan, tapi tidak kenal pohon.
No comments:
Post a Comment