Pemerintah tinggal memiliki waktu empat bulan untuk menerapkan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) bidang kesehatan, namun banyak hal penting masih belum jelas sistemnya, termasuk cara pembayaran kepada para stakeholder utama dalam program tersebut.
“Sebetulnya
industri farmasi sudah siap, tinggal menunggu keputusan jenis obat apa yang
akan diproduksi, jumlah, tempat dan waktunya kapan,” kata Direktur Ekeskutif
Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia Dorodjatun Sanusi, Senin (2/9).
“Yang perlu
diputuskan segera adalah obat-obatan itu nanti berada dalam tingkat harga
berapa, dan bagaimana cara pembayarannya? Itu masih belum jelas sampai
sekarang.”
Program
ini, yang akan diimplementasikan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
mulai 1 Januari 2014, juga berpotensi menciptakan banyak masalah bagi industri
farmasi dan industri terkait lainnya, karena krisis nilai tukar rupiah dan
pasar saham belakangan ini yang tidak relevan dengan kondisi ketika SJSN
digodok beberapa tahun lalu.
“Dengan
situasi yang ada sekarang, harga obat jelas lebih tinggi dari sebelumnya.
Sementara itu kami tidak mendapatkan insentif yang signifikan meskipun diminta
menjadi mitra pelaksana SJSN,” kata Dorodjatun dalam acara Halal Bihalal
industri farmasi di Jakarta.
Dia
mengulangi lagi keluhannya bahwa industri obat terkena berbagai macam pajak
seperti halnya industri komersial lainnya, mulai dari bea masuk impor bahan
baku, dan pajak pertambahan nilai (PPN) sejak dari produksi, kemasan hingga
distribusi.
Seharusnya
pemerintah menanggung semua beban pajak tersebut di bawah program SJSN untuk
menekan harga obat, yang merupakan komponen terbesar dalam biaya kesehatan,
mencapai hingga 50%, ujarnya.
Seorang
pengusaha bidang kesehatan yang juga hadir dalam acara tersebut menambahkan
bukan hanya industri farmasi, namun rumah sakit swasta juga membutuhkan
insentif dari pemerintah untuk bisa melaksanakan SJSN.
“Misalkan
saja, tarif beban listrik rumah sakit swasta dikategorikan sebagai industri
komersial, padahal seharusnya masuk industri sosial yang lebih ringan
biayanya,” kata pengusaha tersebut yang tidak mau disebutkan namanya.
“Di sisi
lain, rumah sakit umum milik pemerintah bebas biaya listrik dan air. Kemudian
obat generik yang dijual ke rumah sakit swasta harga sudah naik daripada yang
dikirim ke rumah sakit umum. Itulah kenapa sudah ada 16 rumah sakit swasta yang
'pull out' dari program ini.” (www.beritasatu.com)
No comments:
Post a Comment