Tuesday, September 3, 2013

Industri Farmasi Tanyakan Sistem Pembayaran SJSN


Pemerintah tinggal memiliki waktu empat bulan untuk menerapkan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) bidang kesehatan, namun banyak hal penting masih belum jelas sistemnya, termasuk cara pembayaran kepada para stakeholder utama dalam program tersebut.

“Sebetulnya industri farmasi sudah siap, tinggal menunggu keputusan jenis obat apa yang akan diproduksi, jumlah, tempat dan waktunya kapan,” kata Direktur Ekeskutif Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia Dorodjatun Sanusi, Senin (2/9).

“Yang perlu diputuskan segera adalah obat-obatan itu nanti berada dalam tingkat harga berapa, dan bagaimana cara pembayarannya? Itu masih belum jelas sampai sekarang.”

Program ini, yang akan diimplementasikan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) mulai 1 Januari 2014, juga berpotensi menciptakan banyak masalah bagi industri farmasi dan industri terkait lainnya, karena krisis nilai tukar rupiah dan pasar saham belakangan ini yang tidak relevan dengan kondisi ketika SJSN digodok beberapa tahun lalu.

“Dengan situasi yang ada sekarang, harga obat jelas lebih tinggi dari sebelumnya. Sementara itu kami tidak mendapatkan insentif yang signifikan meskipun diminta menjadi mitra pelaksana SJSN,” kata Dorodjatun dalam acara Halal Bihalal industri farmasi di Jakarta.

Dia mengulangi lagi keluhannya bahwa industri obat terkena berbagai macam pajak seperti halnya industri komersial lainnya, mulai dari bea masuk impor bahan baku, dan pajak pertambahan nilai (PPN) sejak dari produksi, kemasan hingga distribusi.

Seharusnya pemerintah menanggung semua beban pajak tersebut di bawah program SJSN untuk menekan harga obat, yang merupakan komponen terbesar dalam biaya kesehatan, mencapai hingga 50%, ujarnya.

Seorang pengusaha bidang kesehatan yang juga hadir dalam acara tersebut menambahkan bukan hanya industri farmasi, namun rumah sakit swasta juga membutuhkan insentif dari pemerintah untuk bisa melaksanakan SJSN.

“Misalkan saja, tarif beban listrik rumah sakit swasta dikategorikan sebagai industri komersial, padahal seharusnya masuk industri sosial yang lebih ringan biayanya,” kata pengusaha tersebut yang tidak mau disebutkan namanya.

“Di sisi lain, rumah sakit umum milik pemerintah bebas biaya listrik dan air. Kemudian obat generik yang dijual ke rumah sakit swasta harga sudah naik daripada yang dikirim ke rumah sakit umum. Itulah kenapa sudah ada 16 rumah sakit swasta yang 'pull out' dari program ini.” (www.beritasatu.com)

No comments:

Post a Comment