Ismail
Marzuki, siapa yang tidak kenal dengan sosok komponis besar Indonesia ini. Lagu
ciptaannya, “Halo-Halo Bandung”, “Gugur Bunga”, “Rayuan Pulau Kelapa”, serta
300-an lagu lainnya ia karang untuk memompa semangat perjuangan pahlawan
Indonesia kala itu. Nama besarnya pun diabadikan sebagai suatu pusat seni di
Jakarta, Taman Ismail Marzuki (TIM) di kawasan Salemba, Jakarta Pusat. Pria
yang dinobatkan menjadi tokoh pahlawan nasional Indonesia pada 2004 ini sungguh
tak asing lagi di telinga setiap warga Indonesia.
Namun,
siapa yang menduga, dibalik kebesaran sosok pahlawan nasional itu, putri semata
wayangnya, Rachmi Aziah, hidup semenjana. Rachmi Aziah, diusianya yang sudah
memasuki 62 tahun masih dihadapkan pada kerasnya hidup. Kendati sudah tua dan
sakit-sakitan, Rachmi masih memaksakan diri untuk berdagang jajanan anak SDN
Kedaung di depan rumahnya yang terletak di Perum Bappenas A12 RT 01/ RW 06,
Cinangka Wates, Kecamatan Sawangan Depok.
Suaminya,
Muhammad Beni, hanyalah seorang pekerja serabutan. Ia tak menolak apa pun
pekerjaan yang ditawarkan kepadanya. Asal halal, seberat apa pun itu akan
ditekuni oleh pria yang telah berumur 59 tahun itu. “Saya dagang kecil-kecilan
untuk anak SD. Lumayan untuk bayar kontrakan,” ujar Rachmi kepada Republika,
Ahad (10/11). Dari dagangannya itu Rachmi mendapatkan untung Rp 30 ribu per
hari. Uang itulah yang dia paksakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Rachmi
mengisahkan, sudah 20 tahun ia menempati kontrakannya saat ini. Semula, uang
kontrakan hanya Rp 500 ribu per tahun. Harga terus naik hingga saat ini Rp 6,5
juta per tahun. “Yang punya rumah sekarang sudah mau menjual rumahnya. Katanya,
mau dijual Rp 300 juta. Memang dia bilang, ‘Sabar, nanti saja kalau sudah ada
rezeki.’ Tapi, saya juga empot-empotan ke mana akan saya cari uang segitu,”
papar Rachmi.
Pada 2010,
Rachmi pernah mendapat bantuan dana dari Kementerian Sosial sebanyak Rp 65
juta. Dana tersebut memang diperuntukkan bagi keluarga pahlawan untuk membeli
rumah. “Saya sudah cari-cari ke Bogor. Tapi, Mas tahu sendiri, sekarang mana
ada rumah harga 65 juta,” ujarnya.
Akhirnya,
dana tersebut ia manfaatkan untuk membayar utang dan keperluan-keperluan
lainnya. Sejak ayahnya ditetapkan sebagai pahlawan nasional, ia mendapat
tunjangan sebesar Rp 1,5 juta per bulan. Kendati dana tersebut sering
terlambat, Rachmi terbantu melunasi
kontrakan rumah. “Kadang suka dirapel tiga bulan sekali baru turun,” kisahnya.
Terpaan
kerasnya hidup bukan sekali itu saja menyapa Rachmi. Dua tahun lalu, ia sempat
terserang stroke dan dilarikan ke Rumah Sakit Karya Bhakti. Kendati dinyatakan
sembuh, beberapa waktu setelahnya ia pun divonis dokter mengidap penyakit
jantung koroner. Tidak hanya kesehatan yang membebaninya, tapi juga biaya
perawatannya di rumah sakit.
Beruntung,
ada pertolongan melalui Kementerian Kesehatan. Jika sewaktu-waktu penyakitnya
kambuh, ia ditawari berobat gratis di RS Harapan Kita. Rachmi juga mendapatkan
uang jaminan kesehatan sebesar Rp 3 juta per tahun.
Prinsip
Rachmi tak jauh berbeda dengan ayahnya. Sosok Ismail Marzuki dikenang dengan
pahlawan yang tak mengharapkan pamrih atas jasa-jasanya. Demikian juga dengan
Rachmi. Kendati diterpa dengan deraan ekonomi, ia tak lantas “menjual” nama
ayahandanya. “Saya diajarkan disiplin dan kuat dalam menghadapi apa pun,”
katanya. (www.republika.co.id)
No comments:
Post a Comment