Diriwayatkan dari Abu Buraidah
r.a., “Ketika Rasulullah baru sampai di kota Madinah, Salman al-Farisi langsung
mendatangi beliau dengan membawa semangkok berisi kurma. Mangkok itu
diletakkannya di hadapan Rasulullah. Beliau kemudian berkata, ‘Wahai Salman!Apa
ini?’ Salman menjawab, ‘Ini sedekah buat engkau dan para sahabatmu, wahai
Rasulullah.’ Beliau berkata, ‘Angkatlah ini dari sini, kami tidak makan barang sedekah.’
Mangkok itu pun diangkat oleh Salman. Keesokan harinya, dia datang lagi dengan membawa makanan yang serupa dan diletakkan di
hadapan Rasulullah. Rasulullah berkata,
‘Apakah ini, wahai Salman?’ Salman menjawab,
‘Ini adalah hadiah buat engkau, wahai Rasulullah.’ Beliau kemudian berkata kepada para sahabatnya, ‘Hidangkan dan makanlah!’
Selepas itu, Salman memperhatikan serban yang melingkar di bahu Rasulullah dan
tiba-tiba dia menyatakan beriman kepadanya. Pada awalnya, Salman r.a. adalah seorang budak milik
orang Yahudi. Kemudian Rasulullah membelinya dengan berpuluh-puluh dirham dan
memerintahkannya untuk menanam pohon kurma dan mengelolanya hingga berbuah. Dalam
penanaman pohon kurma itu, Rasulullah dan Umar bin Khattab juga turut membantu.
Pohon-pohon itu pada akhirnya
tumbuh subur, kecuali sebatang pohon yang kurus dan seakan mati. Rasulullah berkata,
‘Kenapa pohon yang satu ini?’ Umar r.a. menjawab, ‘Wahai Rasulullah, akulah yang menanam pohon
itu.’ Rasulullah pun mencabutnya, lalu menanaminya lagi, dan tumbuhlah dengan subur.”[1]
Kambing Betina yang Mandul Bisa Mengeluarkan
Susu
Ibnu Mas’ud r.a. bercerita, “Ketika aku masih remaja, aku menggembalakan kambing milik ‘Uqbah bin Mu’aith. Di saat aku menggembala
itulah tiba-tiba Rasulullah datang dan menyapaku,
‘Wahai anak muda, apakah kamu punya susu untuk kami minum?’ deangan nada tidak
yakin aku menjawab, ‘Ya.’
Rasulullah
berkata lagi, ‘Apakah di antara kambing-kambing betinamu itu ada yang mandul?’ Tanpa mengulur
waktu, aku bawa salah satu kambing betina
yang mandul itu kepada beliau. Beliau kemudian mengusap kantong susunya
sambil berdo’a memohon
kepada Allah. Tak lama berselang, kantong susu itu membesar menandakan berisikan
air susu banyak. Lalu beliau memerintahkan Abu Bakar mengambil panci sembari
berkata, ‘Tadahkan di sini!’ Abu Bakar pun melaksanakan perintah beliau, lalu
segera meminumnya dan kemudian diikuti Rasulullah. Setelah
semua selesai minum perahan susu itu, beliau berkata, ‘Kempislah!’
Seketika kantong susu kambing itu perlahan mulai mengempis.
Setelah
peristiwa itu, aku mendekati Rasulullah dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, ajarkanlah kepadaku kata-kata yang engkau
ucapkan tadi.’ Kemudian beliau mengusap kepalaku seraya berkata, ‘Semoga Allah melimpahkan
rahmat-Nya kepadamu, dan sesungguhnya kamu akan menjadi seorang yang berilmu (terpelajar)!’”[2]
Keajaiban Kambing Ummu Ma’bad
yang Mengalirkan Susu
Dikisahkan dari Abi Ma’bad al-Khuzai,
“Pada suatu malam, Rasulullah melaksanakan hijrah dari kota Makkah menuju
Madinah. Beliau ditemani oleh Abu Bakar, Amir bin Fuhairah (budak milik Abu
Bakar), dan Abdullah
bin Uraiqath. Di tengah-tengah perjalanan, beliau melewati sebuah tenda milik
Ummu Ma’bad al-Khuzai dan singgah sebentar di sana. Perempuan ini termasuk seorang
yang mahir dalam menyamak kulit dan terkenal dermawan serta suka memberi
makanan ataupun minuman kepada para pelancong yang melewati tendanya. Saat itu,
Ummu Ma’bad al-Khuzai sedang duduk di serambi tendanya. Rasulullah kemudian
bertanya, ‘Apakah engkau punya makanan atau minuman?’ Jawab Ummu Ma’bad, ‘Demi
Allah, kalau aku memiliki makanan ataupun minuman, tentu kalian tidak akan
kesulitan mendapatkan jamuan.’ Saat itu bertepatan musim paceklik, kambing-kambing pun
tidak beranak.
Hanya saja, Rasulullah melihat seekor kambing betina di samping tenda. ‘Ada apa dengan kambing ini, wahai Ummu Ma’bad?’ tanya Rasulullah. Jawab Ummu Ma’bad, ‘Kambing itu tidak mendapatkan gizi yang cukup bila
dibandingkan dengan kambing-kambing yang lain lantaran lemah.’ Rasulullah bertanya lagi, ‘Apa dia masih dapat mengeluarkan
susu?’ ‘Bahkan kambing ini lebih payah dari itu!’ ujar Ummu Ma’bad.
‘Apakah engkau izinkan bila aku
memerah susunya?’ tanya Rasulullah kembali. Ummu Ma’bad menjawab, ‘Boleh, demi
ayah dan ibuku, bila engkau melihat kambing itu masih bisa diperah susunya,
perahlah!”
Lalu Rasulullah mengusap
kantong susu kambing betina itu sambil menyebut nama Allah dan berdo’a.
Seketika itu pula, kantong susu kambing betina itu menggembung dan membesar. Rasulullah
meminta panci pada Ummu Ma’bad, lalu memerah susu kambing itu hingga panci itu
penuh berisi air susu. Setelah itu, Rasulullah menyerahkan panci itu kepada
Ummu Ma’bad. Ummu Ma’bad pun meminum susu itu hingga kenyang. Selanjutnya, panci
berisi susu itu diserahkan kepada para sahabat-sahabat beliau hingga mereka juga
kenyang. Setelah para sahahabat selesai minum susu itu, barulah Rasulullah
meminum susu yang masih tersisa. Kemudian, beliau memerah susu kambing itu lagi
hingga panci terisi penuh untuk ditinggalkan kepada Ummu Ma’bad, sebelum beliau
dan para sahabat melanjutkan perjalanan.
Tak lama berselang, suami
Ummu Ma’bad datang sambil menggiring kambing-kambing yang kurus dan lemah.
Ketika melihat panci berisi susu, dia bertanya keheranan, ‘Dari mana susu ini,
wahai istriku? Padahal kambing-kambing kita tidak beranak dan di rumah tak ada
kambing yang bisa diperah!’ Ummu Ma’bad menjawab, “Demi Allah, tadi ada
seseorang yang penuh berkah lewat di sini. Di antara ucapannya, begini dan
begini’
‘Demi Allah,’ sahut Abu
Ma’bad, ‘Aku yakin, dialah salah seorang Quraisy yang sedang mereka cari-cari!
Gambarkan padaku, bagaimana ciri-cirinya, wahai istriku!’
Ummu Ma’bad pun melukiskan
sifat Rasulullah yang dilihatnya. ‘Dia sungguh elok. Wajahnya berseri-seri.
Bagus perawakannya, tidak gemuk, tidak kecil kepalanya, tampan rupawan. Bola
matanya hitam legam, bulu matanya panjang. Suaranya agak serak-serak dan
lehernya jenjang. Jenggotnya lebat, matanya jeli bagaikan bercelak. Alisnya
panjang melengkung dengan kedua ujung yang bertemu, rambutnya hitam legam. Saat
diam, dia tampak berwibawa. Ketika berbicara, dia tampak ramah. Amat bagus dan
elok dilihat dari kejauhan, amat tampan dipandang dari dekat. Manis tutur
katanya, tidak sedikit bicaranya, tidak pula berlebihan. Ucapannya bak untaian mutiara.
Perawakannya sedang, tidak dipandang remeh karena pendek, tak pula enggan mata
memandangnya karena terlalu tinggi. Dia bagai pertengahan antara dua dahan, dia
yang paling tampan dan paling mulia dari ketiga temannya yang lain. Dia memiliki
teman-teman yang mengelilinginya. Bilamana dia berbicara, mereka mendengarkan
ucapannya baik-baik. Tatkala dia memerintahkan sesuatu, mereka dengan segera
melayani dan menaati perintahnya. Dia tak pernah bermuka masam dan tak
bertele-tele ucapannya.’
Mendengar penuturan itu, Abu
Ma’bad berkata yakin, ‘Demi Allah, dia pasti orang Quraisy yang sedang mereka
cari-cari. Aku bertekad menemaninya. Dan sungguh aku akan melakukannya jika
kudapatkan jalan untuk itu! Dan menjadikan suara di Makkah lebih lantang buat
mendengarkan risalah beliau’.”
No comments:
Post a Comment